Analisis Tingkat Efektivitas Pengelolaan DPL

Tingkat indeks efektivitas pengelolaan DPL pada penelitian ini dianalisis menggunakan rumus sebagai berikut Carter et al. 2011: ……………………………………………………………………..18 Keterangan: IEP = Indeks efektivitas pengelolaan DPL Ni = Nilai indikator ke-i bobot x skor N max = Nilai maksimum seluruh indikator Berdasarkan perhitungan tersebut, didapatkan tingkat indeks efektivitas pengelolaan DPL sebagai berikut: 0 - 25 : Sangat tidak efektif 25 – 50 : Tidak efektif 50 – 75 : Efektif 75 – 100 : Sangat efektif 4 SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA MATTIRO LABANGENG

4.1 Kondisi Umum Desa Mattiro Labangeng

4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi

Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkep secara geografis terletak antara 04°48‟13.2”- 04°50‟53.9” LS dan 119°23‟45.0”- 119°26‟38.3” BT. Desa ini secara administrasi termasuk dalam wilayah Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Desa ini terdiri dari dua pulau, yakni Pulau Laiya dan Pulau Polewali, dimana kedua pulau ini semua berpenghuni. Pulau Laiya merupakan pusat pemerintahan dari Desa Mattiro Labangeng. Desa Mattiro Labangeng memiliki batas-batas wilayah yakni sebelah utara berbatasan dengan Desa Mattiro Uleng, sebelah barat berbatasan dengan Desa Mattiro Dolangeng, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Mattiro Bulu dan sebelah timur berbatasan dengan pesisir ibukota Kabupaten Pangkep. Batas wilayah desa ini ditunjukkan pada Gambar 6. Desa Mattiro Labangeng memiliki luas total daratan pulau 6.54 ha dan luas hamparan terumbu karang 36.45 ha. Daratan Pulau Laiya memiliki luas 5.26 ha dan paparan terumbunya seluas 34.41 sedangkan daratan Pulau Polewali memiliki luas 1.28 ha dan luas paparan terumbu 2.04 ha. Desa Mattiro Labangeng dapat dijangkau dengan transportasi laut dari Kabupaten Pangkep dan Kota Makassar. Pulau Laiya sebagai ibu kota dari desa Mattiro Labangeng dapat diakses dengan menggunakan perahu penumpang dari kota Pangkep dengan waktu tempuh kurang lebih 1.5 jam.

4.1.2 Penutupan Lahan

Desa Mattiro Labangeng Pulau Laiya dan Polewali ditumbuhi oleh berbagai jenis pohon yang rimbun, di antaranya pohon sukun, mangga, kelor, asam dan pohon kelapa.Walau kedua pulau ini pohonnya rindang namun sumber air tawar tidak ada, kondisi airnya payau sehingga hanya digunakan untuk mandi dan mencuci saja.Sedangkan untuk kebutuhan air minum harus didatangkan dari pulau tetangga atau dari daratan utama Pulau Sulawesi Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Ga mbar 6 P eta admi nist ra si De sa Matti ro L ab ang eng.

4.1.3 Pemanfaatan Sumberdaya Laut

Penangkapan ikan merupakan kegiatan utama warga yang berada di sekitar pulau hingga ke pesisir Kabupaten Pangkajene Kepulauan Pangkep. Hasil tangkapan tidak saja untuk dikonsumsi tetapi juga dijual kepada pengumpul yang ada di pulau atau kepada industri yang ada di Kabupaten Pangkep maupun di Kota Makassar. Pemanfaatan sumberdaya laut berdasarkan penelusuran sejarah masyarakat Desa Mattiro Labangeng dapat dilihat pada Tabel 6 COREMAP II- PPTK UNHAS 2006. Tabel 6 Sejarah pemanfaatan sumberdaya laut Desa Mattiro Labangeng, Kecamatan LiukangTupabbiring Utara, Kabupaten Pangkep Tahun UraianPeristiwa 1960-1965 Daerah penangkapan hanya disekitar pulau masing-masing, alat tangkap yang digunakan berupa jala. Sementara sebagian masyarakat Pulau Polewali mencari teripang di sekitar wilayah perairan dekat pulau yang saat itu masih melimpah 1965-1970 Sebagian nelayan beralih membuat alat tangkap berupa bagan tancap yang dipasang di dekat pulau dan menggunakan bagang rakit, yaitu jaring yang diangkat secara vertikal dengan menggunakan 2 buah bodi kapal sebagai penopang konstruksi bagang. 1970-1975 Bagan rakit berubah menjadi bagang rambo dengan menggunakan kapal tunggal yang berukuran besar dan sudah menggunakan mesin generator untuk pencahayaan. 1975-1980 Masyarakat Pulau Polewali umumnya bermatapencaharian sebagai nelayan, sementara di Pulau Laiya masyarakat selain berprofesi sebagai nelayan juga banyak yang beralih profesi sebagai pedagang kayu dan pelaut. 1980-1990 Pada tahun 1980-an di Pulau Laiya, mulai muncul dan berkembang penangkapan ikan hidup dengan alat tangkap pancing t arik atau “kedo-kedo”, yaitu cara memancing dengan kawat sebagai tali penghantar dan umpan palsu menyerupai ikan, dioperasikan dengan cara ditonda diseret dengan perahu. Pada era ini masyarakat di kedua pulau mulai membuat “jolloro” yang merupakan sarana transportasi masyarakat. Hadirnya penangkapan ikan hidup memicu maraknya penangkapan ikan hidup secara ilegal bius bagi masyarakat Pulau Polewali. 1990-sekarang Penggunaan alat tangkap trawl mini sudah mulai digunakan, masyarakat mengenal alat ini dari Kalimantan dan dimodifikasi di pulau ini yang lebih kecil. Keberadaan alat tangkap ini sebenarnya illegal, namun di beberapa nelayan masih ditemukan izin penggunaannya. Seiring dengan pasca kenaikan BBM penggunaan trawl mini cenderung menurun karena biaya operasionalnya tidak seimbang dengan hasil yang didapatkan. Belakangan ini masyarakat Pulau Laiya mulai menggunakan alat pancing cumi-cumi, terutama sejak adanya dukungan pemerintah daerah, yang sekarang berkembang menjadi penangkapan ikan dengan sistem ”rawai” dan masyarakat Pulau Polewali kebanyakan menggunakan alat tangkap kepiting dengan sistem perangkap atau “rakkang”.