4.1.3 Pemanfaatan Sumberdaya Laut
Penangkapan ikan merupakan kegiatan utama warga yang berada di sekitar pulau hingga ke pesisir Kabupaten Pangkajene Kepulauan Pangkep. Hasil
tangkapan tidak saja untuk dikonsumsi tetapi juga dijual kepada pengumpul yang ada di pulau atau kepada industri yang ada di Kabupaten Pangkep maupun di Kota
Makassar. Pemanfaatan sumberdaya laut berdasarkan penelusuran sejarah masyarakat Desa Mattiro Labangeng dapat dilihat pada Tabel 6 COREMAP II-
PPTK UNHAS 2006. Tabel 6 Sejarah pemanfaatan sumberdaya laut Desa Mattiro Labangeng,
Kecamatan LiukangTupabbiring Utara, Kabupaten Pangkep
Tahun UraianPeristiwa
1960-1965 Daerah penangkapan hanya disekitar pulau masing-masing, alat tangkap
yang digunakan berupa jala. Sementara sebagian masyarakat Pulau Polewali mencari teripang di sekitar wilayah perairan dekat pulau yang saat itu masih
melimpah
1965-1970 Sebagian nelayan beralih membuat alat tangkap berupa bagan tancap yang
dipasang di dekat pulau dan menggunakan bagang rakit, yaitu jaring yang diangkat secara vertikal dengan menggunakan 2 buah bodi kapal sebagai
penopang konstruksi bagang.
1970-1975 Bagan rakit berubah menjadi bagang rambo dengan menggunakan kapal
tunggal yang berukuran besar dan sudah menggunakan mesin generator untuk pencahayaan.
1975-1980 Masyarakat Pulau Polewali umumnya bermatapencaharian sebagai nelayan,
sementara di Pulau Laiya masyarakat selain berprofesi sebagai nelayan juga banyak yang beralih profesi sebagai pedagang kayu dan pelaut.
1980-1990 Pada tahun 1980-an di Pulau Laiya, mulai muncul dan berkembang
penangkapan ikan hidup dengan alat tangkap pancing t arik atau “kedo-kedo”,
yaitu cara memancing dengan kawat sebagai tali penghantar dan umpan palsu menyerupai ikan, dioperasikan dengan cara ditonda diseret dengan
perahu. Pada era ini masyarakat di kedua pulau mulai membuat “jolloro” yang merupakan sarana transportasi masyarakat. Hadirnya penangkapan ikan
hidup memicu maraknya penangkapan ikan hidup secara ilegal bius bagi masyarakat Pulau Polewali.
1990-sekarang Penggunaan alat tangkap trawl mini sudah mulai digunakan, masyarakat
mengenal alat ini dari Kalimantan dan dimodifikasi di pulau ini yang lebih kecil. Keberadaan alat tangkap ini sebenarnya illegal, namun di beberapa
nelayan masih ditemukan izin penggunaannya. Seiring dengan pasca kenaikan BBM penggunaan trawl mini cenderung menurun karena biaya
operasionalnya tidak seimbang dengan hasil yang didapatkan. Belakangan ini masyarakat Pulau Laiya mulai menggunakan alat pancing cumi-cumi,
terutama sejak adanya dukungan pemerintah daerah, yang sekarang
berkembang menjadi penangkapan ikan dengan sistem ”rawai” dan masyarakat Pulau Polewali kebanyakan menggunakan alat tangkap kepiting
dengan sistem perangkap atau “rakkang”.
4.2 Kondisi Sistem Ekologi DPLDesa Mattiro Labangeng
4.2.1 Kondisi Terumbu Karang
Memasuki phase II program COREMAP di Kabupaten Pangkep, beberapa pengamatan kondisi terumbu karang dilakukan oleh kerjasama pihak terkait
diantaranya pihak COREMAP II-PPTK UNHAS Makassar, COREMAP II-LIPI Jakarta. Pengamatan ini dilakukan di perairan pulau-pulau yang ada di Kabupaten
Pangkep termasuk Pulau Laiya dan Pulau Polewali Desa Mattiro Labangeng. Penyebaran terumbu karang di Desa Mattiro Labangeng cukup luas
sepanjang sisi selatan menuju ke barat, hingga ke utara Pulau Laiya. Berdasarkan data COREMAP II-PPTK UNHAS 2006 dilaporkan kondisi karang pada tahun
2005 tergolong rusak dengan persentase tutupan karang hidup 20. Sementara pengamatan yang dilakukan COREMAP II-LIPI Jakarta pada tahun 2008,
dilaporkan kondisi terumbu karang pada areal DPL didapatkan kondisi persentase tutupan karang hidup sebesar 32 dan termasuk kategori sedang.
4.2.2 Kondisi Perairan
Berdasarkan data penelitian tingkat kabupaten LEMSA 2007, kondisi perairan meliputi suhu permukaan perairan berkisar 30-31 C, dengan salinitas
antara 34- 35‰, pH perairan 8.1-8.4 dan kandungan rata-rata TSS perairan
343.3 8 ppm. Kecerahan perairan berkisar antara 54.5-100 dan kecepatan arus rata-rata 0.04 0.15 mdet dengan arah umumnya ke timur sedangkan arus kuat
terjadi di daerah selatan mengarah ke timur. Kadar oksigen terlarut perairan berkisar antara 5.44-6.24 ppm. Kadar nutrien Nitrat 0.06-0.37 ppm, Nitrit 0.014-
0.026 ppm, Amoniak 0.043-0.045 ppm, Phosphat 0.038-0.326 ppm dan kandungan rata-rata klorofil-a 0.0011 0.007 ppm.
4.3 Kondisi Sistem Sosial-Ekonomi dan Budaya Masyarakat Desa
Mattiro Labangeng
4.3.1 Kependudukan
Penduduk Desa Mattiro Labangeng berjumlah 1028 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 455 jiwa dan perempuan 573 jiwa. Jumlah penduduk di Pulau
Laiya sebanyak 862 jiwa sedangkan di Pulau Polewali sebanyak 166 jiwa Profil
Desa Mattiro Labangeng 2009. Persentase komposisi penduduk Desa Mattiro Labangeng ditampilkan pada Gambar 7 berikut,
Gambar 7 Komposisi penduduk Desa Mattiro Labangeng. 4.3.2 Umur
Umur merupakan salah satu indikator yang ikut mempengaruhi fungsi biologis dan psikologis individu. Umur merupakan faktor karakteristik individu
berupa kondisi biologis yang berlangsung semasa hidup dan bertambah sejalan dengan perjalanan hidup. Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 responden di
lokasi penelitian menunjukkan bahwa struktur umur berkisar antara 18-71 tahun, dimana usia responden di Pulau Laiya berkisar 20-71 sementara di Pulau Polewali
berkisar 18-53 tahun. Umur responden yang paling banyak berada pada kisaran umur antara 31-40 tahun, persentase umur responden pada kisaran umur di bawah
20 tahun sebesar 6.67, pada kisaran umur antara 21-30 sebesar 23.33, kisaran umur 31-40 sebesar 40, kisaran umur 41-50 sebesar 16.67, dan kisaran umur
51-60 sebesar 6.67. Kisaran umur ditampilkan pada Gambar 8 berikut,
Gambar 8 Persentase kisaran umur responden.
44.26 55.74
Laki-Laki Perempuan
6.67
23.33
40 16.67
6.67 6.67
20 21-30
31-40 41-50
51-60 60