pada tahun 2008 yaitu 0.693 Lampiran 4. Hasil indeks keseragaman tahun 2010 dengan nilai 0.84 menunjukkan adanya jumlah individu yang terkonsentrasi pada
satu atau beberapa jenis. Sedangkan nilai indeks keseragaman pada tahun 2008 dengan nilai 1 menunjukkan bahwa jumlah individu di setiap spesies adalah sama
atau hampir sama. Rahayuningsih 2009 menyatakan bahwa nilai keseragaman yang tinggi menunjukkan bahwa kelimpahan individu pada suatu tempat hampir
merata, tidak ada dominasi yang sangat menonjol. Hal yang sama menurut Kartono 2006 keanekaragaman terkait dengan kelimpahan jenis dan
keseragaman jenis. Nilai keseragaman yang tinggi menunjukkan tidak ada jenis secara tunggal yang dominan.
5.1.3 Kondisi Kualitas Perairan
Lokasi pengukuran kualitas perairan dilakukan sama pada lokasi pengamatan karang di DPL Desa Mattiro Labangeng. Beberapa parameter kualitas
perairan yang diukur langsung di lokasi penelitian adalah parameter suhu perairan, salinitas, kecepatan arus, kecerahan, kedalaman, dan oksigen terlarut. Hasil
pengamatan kualitas perairan ditampilkan pada Tabel 14 berikut, Tabel 14 Hasil pengamatan kualitas perairan
No Parameter
Satuan Hasil Pengamatan
2007
2010
1 Suhu
°C 29
30 2
Kecepatan arus mdtk
0.10 0.16
3 Salinitas
o oo
35 34
4 Kecerahan
100 85.71
5 Kedalaman
m 6-7
7 6
DO ppm
6.24 6.02
Keterangan: : LEMSA 2007; : Studi ini 2010 Parameter kualitas perairan di perairan Desa Mattiro Labangeng secara
umum dapat dikatakan dalam kondisi baik, mengingat kualitas perairan masih berada pada kisaran yang menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup
organisme dan hasil pengukuran beberapa parameter menunjukkan tidak ada perbedaan yang begitu mencolok dengan pengamatan sebelumnya.
5.2 Evaluasi Indikator Sosial-Ekonomi dan Kelembagaan
5.2.1 Produksi Perikanan Tangkap
Alat tangkap ikan yang digunakan nelayan di Desa Mattiro Labangeng bervariasi, namun dalam penelitian ini hanya mengkaji alat tangkap dengan
operasi penangkapan di daerah terumbu karang termasuk gosong dan perairan sekeliling desa. Alat tangkap ikan tersebut meliputi Bubu Kepiting rakkang,
Bubu Ikan bubu bambu, Pancing Ikan rinta‟, Jaring Insang palanra‟ dan
Pancing Cumi. Hasil tangkapan ikan yang didapatkan nelayan berupa ikan pelagis, cumi-cumi, sotong, kepiting, rajungan dan ikan-ikan karang untuk
kepentingan konsumsi dan dijual ke pengumpul. Jumlah hasil tangkapan yang didapatkan oleh nelayan sangat bergantung pada musim kecuali bubu kepiting
dan jumlah alat tangkap yang dimilikinya. Rata-rata hasil tangkapan tiap tripnya berkisar antara 1-20 kg. Hasil tangkapan yang dominan diperoleh nelayan
pancing antara lain ikan kembungbanyar Rastrelliger sp, sunu Plectrodomus maculatus
, dan cumi-cumi Loligo sp, sementara nelayan bubu kepiting adalah hasil tangkapan yang dominan adalah rajungan, komoditi ini merupakan komoditi
yang tidak mengenal musim, akan tetapi paling melimpah masa penangkapannya pada musim penghujan. Menurut PPTK-UH 2009, masa-masa paceklik bagi
nelayan terjadi pada musim barat yaitu sekitar bulan Desember hingga bulan Maret. Pada musim ini banyak nelayan yang tidak melaut karena kondisi perairan
laut yang berbahaya namun aktivitas penangkapan ikan dilakukan di sekitar pulau.Pada musim timur terjadi pada bulan-bulan Mei hingga bulan Oktober dan
musim pancaroba peralihan terjadi pada bulan April dan November. Secara rinci alat tangkap dan hasil perikanan nelayan Desa Mattiro Labangeng ditampilkan
pada Tabel 15. Tabel 15 Jenis alat tangkap dan hasil perikanan nelayan Desa Mattiro Labangeng
Alat tangkap Jumlah
Alatnelayan unit
Hasil Tangkapantrip
Kg
Tangkapan Daerah
Penangkapan Bubu Kepiting
100-500 5 - 20
kepiting, rajungan sekitar pulau
Pancing ikan 1-3
1 - 5 ikan karang, pelagis
sekitar pulau;gosong Pancing Cumi
1-3 1 - 7
cumi;sotong sekitar pulau;gosong
Bubu Bambu 1-4
1 - 4 ikan karang
tubir karang Jaring Insang
1-2 3 - 8
ikan karang, pelagis sekitar pulau;gosong
Pada umumnya sebagian besar nelayan Desa Mattiro Labangeng adalah penangkap kepiting, pemancing cumi-cumi dan pemancing ikan atau merangkap
pemancing cumi-cumi dan ikan. Nelayan penangkap kepiting melakukan aktivitasnya pada pagi dan sore hari. Nelayan ini memasang bubu 2 kali dalam
sehari, biasanya pemasangan bubu dilakukan pada subuh hari dan mengambil serta memasangnya kembali pada siang hingga sore hari. Lamanya waktu
pemasangan dan pengambilan bubu biasanya 2-3 jam, tergantung jumlah alat tangkap bubu yang dimilikinya, dimana jumlah alat tangkap nelayan bubu
kepiting berkisar 100 hingga 500 unit. Bubu kepiting ini dipasang pada kedalaman 15 hingga 20 meter, pemasangan ini menggunakan tali yang diturunkan
sedemikian rupa dan ditandai dengan pelampung sehingga antara pelampung satu dengan yang lainnya dapat dikenal sesama antara nelayan bubu kepiting.
Memancing ikan dilakukan pada siang hari hingga menjelang sore hari sedangkan memancing cumi dilakukan pada malam hari karena sangat bergantung
pada pencahayaan bulan. Menurut nelayan setempat memancing cumi-cumi biasa dilakukan selama 7-10 jam, lamanya memancing ini tergantung pada cahaya
bulan. Pada hari ke-8 hingga hari ke-15, lamanya pancaran cahaya bulan adalah 6 hingga 10 jam dan cahayanya muncul pada jam 7 malam hingga jam 5 subuh,
sehingga waktu yang panjang ini dimanfaatkan nelayan untuk memancing cumi- cumi. Waktu penangkapan dan jumlah tangkapan cumi-cumi yang didapatkan
oleh nelayan sebenarnya tidak pasti, memancing cumi sepanjang malam dibantu dengan cahaya bulan belum menjamin adanya hasil tangkapan. Berdasarkan
beberapa pengalaman nelayan, penangkapan cumi-cumi yang tinggi dapat juga terjadi ketika cahaya bulan sudah hampir hilang atau cahaya bulan mulai muncul.
Adapun lokasi penangkapan nelayan adalah di sekitar perairan desa dan gosong- gosong yang ada di Desa Mattiro Labangeng, yang ditampilkan pada Gambar 12.
Produksi perikanan tangkap secara keseluruhan nelayan Desa Mattiro Labangeng pada tahun 2010 rata-rata 1214.75 kgtahunnelayan. Hal ini jauh lebih
tinggi dibanding dengan produksi perikanan tangkap pada tahun 2004 yang hanya mencapai 141.4 kgtahunnelayan dan 132.2 kgtahunnelayan pada tahun 2005.
Perbedaan produksi perikanan tersebut dikarenakan adanya program motorisasi, bantuan alat tangkap dan modal usaha setelah penetapan DPL pada tahun 2007.