Ga mbar
1 2 P
eta loka
si p ena
ngka p
an sumb
erda y
a ikan
De sa
Matti ro L
aba n
ge ng.
5.2.2 Distribusi Pendapatan
Hasil wawancara dan perhitungan pendapatan didapatkan nilai pendapatan tiap responden yang bervariasi. Perhitungan pendapatan responden didasarkan
pada pendapatan dan pengeluaran selama melakukan aktifitas penangkapan. Perhitungan ini didasarkan pada jenis dan jumlah alat tangkap, jenis perahu,
kebutuhan melaut, jumlah trip, musim, serta jumlah hasil tangkap. Hasil perhitungan nilai pendapatan bersih dari responden untuk jenis alat tangkap bubu
kepiting rata-rata Rp 11 jutatahun, jenis alat tangkap pancing cumi dan pancing ikan berkisar Rp 6 juta hingga 8 jutatahun. Nilai pendapatan tersebut sudah
termasuk biaya operasional, biaya penyusutan dan biaya perawatan Lampiran 5. Pendapatan responden berdasarkan jenis alat tangkap secara rinci tersaji pada
Tabel 16. Tabel 16 Distribusi pendapatan berdasarkan jenis alat tangkap
Alat tangkap Jumlah
Responden n
Rata-rata Pendapatan
KotorTahun Rp
Rata-rata Total
BiayaTahun Rp
Rata-rata Pendapatan
BersihTahun Rp
Bubu Kepiting 11
29.054.545 17.972.327
11.082.218 Pancing Cumi
6 13.274.667
7.255.567 6.019.100
Pancing Cumi dan Ikan 7
15.751.318 5.711.245
6.776.504 Bubu Bambu
1 11.169.000
6.031.500 5.137.500
Jaring Insang Tetap 3
18.953.500 14.506.333
4.447.167
Total Rata-rata 7.997.626
Tabel 16 menunjukkan bahwa nelayan dengan alat tangkap Bubu Kepiting memiliki pendapatan tertinggi dibanding dengan alat tangkap lain. Tingginya nilai
pendapatan ini didukung oleh jumlah alat tangkap yang dimiliki masing-masing nelayan mencapai100-500 unitnelayan, selain itu frekuensi penangkapan nelayan
Bubu Kepiting sangat menentukan jumlah hasil tangkapan. Nelayan Bubu Kepiting pada umumnya tidak dipengaruhi oleh faktor cuaca dan pemasangan alat
tangkapnya tidak jauh dari perairan Desa Mattiro Labangeng, sehingga memiliki pendapatan yang relatif tinggi. Berbeda dengan nelayan yang pendapatannya
rendah sangat dipengaruhi faktor alam, seperti nelayan Pancing Cumi yang sangat tergantung pada saat bulan purnama, nelayan Pancing Ikan dan Jaring Ikan yang
sangat tergantung pada faktor cuaca. Musim penghujan umumnya ikan cukup banyak, namun di ombak yang cukup besar pada musim ini menyebabkan nelayan
tidak berani menangkap ikan. Namun demikian, berdasarkan perhitungan Gini Ratio Indeks
GRI didapatkan sebesar 0.22 Lampiran 6 diindikasikan bahwa distribusi pendapatan relatif merata atau tidak adanya ketimpangan pendapatan
antar kelas pendapatan nelayan GRI0.3. Perhitungan pendapatan pada tahun 2004 dan 2005 juga dilakukan untuk
melihat perbandingan pendapatan antara tahun 2004 dan 2005 sebelum adanya penetapan DPL dengan pendapatan tahun 2010 setelah adanya penetapan DPL.
Perbandingan pendapatan nelayan rata-rata terlihat bahwa besaran pendapatan pada tahun 2004 dan 2005 berdasarkan hasil tangkapan dan nilai inflasi berturut-
turut sebesar Rp 1.602.600tahun dan Rp 1.413.500tahun. Nilai pendapatan ini lebih rendah dibanding dengan nilai pendapatan nelayan rata-rata pada tahun 2010
yang mencapai Rp 7.997.625tahun, sementara nilai upah minimun kabupaten UMK, yaitu Rp 4.320.000tahun. Dengan demikian, pendapatan rata-rata
nelayan pada tahun 2010 setelah adanya penetapan DPL masih berada di atas upah minimun kabupaten UMK dibanding pendapatan nelayan pada 2004 dan
2005 sebelum adanya penetapan DPL. Peningkatan pendapatan nelayan di Desa Mattiro Labangeng tersebut mengindikasi hasil yang dicapai karena adanya
program DPL oleh pemerintah Program COREMAP.
5.2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang
Mengintegrasikan multi kriteria dalam satu kerangka kerja dapat memberikan keuntungan dalam menghasilkan suatu analisis benefit-cost, dimana
analisis benefit-cost ini dapat efektif bila sasaran sosial-ekonomi mencapai nilai maksimal, dan nilai ekologi dapat memberikan manfaat Brown et al. 2000.
Seperti diketahui ekosistem terumbu karang yang ada di dalam DPL dan di perairan Desa Mattiro Labangeng memberikan nilai kontribusi yang besar bagi
kehidupan masyarakat setempat terutama dalam jumlah hasil penangkapannya. Jumlah hasil penangkapan sangat terkait dengan nilai suatu sumberdaya
laut ekosistem terumbu karang. Melalui pendekatan Effect on Production EOP, nilai sumberdaya dan manfaat langsung dari ekosistem terumbu karang sebelum
adanya pembentukan DPL dan setelah terbentuknya DPL di Desa Mattiro Labangeng dapat diduga. Dengan menggunakan program Maple 9.5 diperoleh
nilai utility dan konsumen surplus, seperti tersaji pada Tabel 17.
Tabel 17 Pendugaan nilai utility dan surplus konsumen sebelum dan sesudah adanya DPL dari sumberdaya ekosistem terumbu karangtahun
Waktu Pemanfaatan Rata-Rata
Penangkapan Kg
Utility Rp Surplus
Konsumen Rp
Nilai Sumberdaya
Terumbu Karang Rp
Sebelum Penetapan DPL 142.43
2.1432 x10
7
1.9425 x 10
7
4.2635 x 10
7
Setelah Penetapan DPL 1214.75
4.3993 x 10
7
2.3730 x 10
7
5.2084 x 10
7
Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai utility terhadap sumberdaya ikan sebelum adanya DPL sebesar Rp 21.432.852.42tahun dengan konsumen surplus
sebesar Rp19.425.986.72tahun. Sedangkan nilai utility setelah adanya penetapan DPL sebesar Rp43.993.552.87tahun, dengan konsumen surplus sebesar Rp
23.730.950.27tahun. Nilai ini diperoleh dari luas ekosistem terumbu karang 36.45 ha, dimana rata-rata penangkapan sebelum adanya DPL sebesar 142.43
kgtahun dan rata-rata penangkapan setelah adanya DPL sebesar 1214.75 kgtahun.
Nilai utility dan surplus konsumen sebelum penetapan DPL 2005 menunjukkan kepuasan atau kenikmatan yang diperoleh seorang konsumen dari
hasil sumberdaya terumbu karang sebelum adanya penetapan DPL termasuk rendah, sedangkan setelah penetapan DPL 2010 terdapat peningkatan pada nilai
utility dan surplus konsumen, sehingga apabila dihitung manfaat ekonomi atau
nilai ekonomi terumbu karang sebelum adanya DPL dari aktivitas perikanan tangkap sebesar Rp 42.635.910.51hatahun, nilai ini lebih rendah dibandingkan
setelah ditetapkannya DPL yakni nilai ekonomi terumbu karang dari aktivitas perikanan tangkap sebesar Rp 52.084.390.18hatahun Lampiran 7 -12. Dengan
demikian terdapat kenaikan nilai sumberdaya terumbu karang di Desa Mattiro Labangeng, Kabupaten Pangkep.
5.2.4 Ketersediaan Pasar Pemasaran atau pengumpul hasil perikanan di Desa Mattiro Labangeng
saat ini tersedia 2 tempat yakni di Pulau Laiya dan Pulau Polewali. Pedagang pengumpul ini mendapatkan hasil tangkapan langsung dari nelayan dan kemudian
di bawa ke pengumpul yang ada di Kabupaten Pangkep atau ke Kota Makassar.