Deskripsi Tanaman Murbei Persuteraan Alam

7 hanya menentukan pertumbuhan dan kesehatan ulat sutera tapi juga berpengaruh terhadap kualitas kokon yang dihasilkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka akan berpengaruh juga terhadap produksi benang suteranya Samsijah dan Andadari, 1992b. Daun murbei adalah satu-satunya makanan ulat sutera jenis Bombyx mori, dimana untuk pertumbuhannya memerlukan zat-zat makanan yang ada di dalamnya. Susunan kimia daun murbei terdiri dari air, protein, dekstrin garam-garam anorganik phosfat, kalium, kalsium, dan lain-lain, vitamin provitamin A, B1, B2, C dan sebagainya, karbohidrat, bahan ekstraksi, macam-macam gula dan juga asam-asam organik Samsijah dan Kusumaputera, 1976 dalam Fauziyah, 2003. Katsumata 1964 menyatakan bahwa dalam rencana penanaman tanaman murbei di daerah tropis sebaiknya memperhatikan beberapa hal seperti letak perkebunan murbei dan jenis tanahnya, keadaan sekitar perkebunan murbei, persiapan tanah untuk tanaman murbei, pengairan untuk kebun murbei, penggunaan mata air dalam tanah, serta pemilihan jenis tanaman murbei.

B. Prospek Pengembangan Persuteraan Alam

Perkembangan ulat sutera alam pada tahun-tahun terakhir ini menunjukkan prospek yang cukup baik. Dapat tergambarkan dari jumlah produksi raw silk dunia yang terus menurun selama enam tahun terakhir dari 55.222 ton menjadi 52.342 ton, sedangkan kebutuhan dunia cukup besar dan stabil yaitu sebesar 81.546 ton. Kebutuhan akan benang sutera ini diprediksi akan terus meningkat seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk serta semakin membaiknya kondisi perekonomian Pemda Kabupaten Tasikmalaya, 2005. Indonesia memiliki potensi lahan yang masih luas, iklim yang mendukung, tenaga kerja yang cukup banyak dan murah serta teknologi persuteraan alam yang telah dikuasai, tetapi perkembangan kegiatan persuteraan alam di Indonesia selama ini masih mengalami pasang surut seperti komoditas lainnya. Tingkat produksi sutera alam di dalam negeri 8 masih rendah yakni hanya 30 dari kebutuhan nasional, khususnya untuk memenuhi kebutuhan industri sutera rakyat. Dan dengan peningkatan kebutuhan benang sutera negara-negara Eropa dari 30 gramkapitatahun menjadi 100 gramkapitatahun, maka memberi peluang yang sangat prospektif bagi persuteraan alam di Indonesia, dimana persuteraan alam sifatnya padat karya sehingga sangat cocok bagi Indonesia yang penduduknya cukup padat terutama di pedesaan Sunanto, 1997. Kegiatan usaha persuteraan alam yang telah berkembang di Indonesia terdapat di propinsi Sulawesi Selatan, D.I. Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Barat. Dari lima propinsi tersebut dihasilkan benang sutera rata–rata per tahun sebesar 140 ton. Sesungguhnya kebutuhan benang sutera mencapai 400 ton per tahun. Hal ini menunjukkan masih terdapat peluang pasar dalam negeri sebesar 260 ton per tahun yang setara dengan 4500-5000 ha areal tanaman monokultur murbei. Dengan demikian telah terbuka peluang usaha yang cukup besar dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi untuk mengisi pasar sutera alam baik di dalam maupun di luar negeri Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Program kemitraan di bidang persuteraan alam dimaksudkan sebagai bentuk upaya kerjasama yang berlandaskan kepada semangat kekeluargaan dan kebersamaan antara yang kuat dengan yang lemah dalam rangka pemberdayaan yang lemah, agar tidak menjadi korban dalam persaingan usaha dengan tujuan tercapainya tujuan–tujuan pembangunan persuteraan alam Atmosoedarjo et al, 2000. Kegiatan persuteraan alam di Perum Perhutani dimulai sekitar tahun 1960 sebagai proyek Prosperity Approach. Kegiatan ini merupakan salah satu cara pendekatan pengamanan hutan sekaligus sebagai diversifikasi produk yang cepat menghasilkan. Akan tetapi hingga saat ini usaha persuteraan alam di Perum Perhutani belum menunjukkan angka yang menggembirakan karena potensi usaha belum didayagunakan secara optimal. Penyebabnya adalah belum adanya keterpaduan usaha persuteraan alam mulai dari sektor hulu budidaya murbei dan ulat sutera sampai dengan sektor hilir industri raw silk dan twist silk Sunanto, 1997.