81 melakukan praktik sosial “struktur berfungsi sebagai peluang pada
agen,” dan bukan struktur yang memaksa, menekan, dan mengendalikan praktik sosial “stuktur berfungsi sebagai pembatas,”
sebagaimana yang didefinisikan oleh para ahli yang menganut paham konvensional terdahulu.
3. Konsep Dualitas Struktur dan Praktik Sosial
Dalam sebuah wawancara, Anthony Giddens pernah ditanya tentang tujuan seluruh proyek kerjanya selama dua puluh tahun terakhir
ini. Ia menjawab, “Saya ingin melakukan tiga hal: menafsir ulang pemikiran sosial, membangun kembali logika serta metode ilmu-ilmu
sosial, dan mengajukan analisis tentang munculnya lembaga-lembaga modern.” Priyono, 2000:16 Apa yang diinginkan Giddens ternyata
bukanlah mimpi kosong karena ia telah menghasilkan satu terobosan penting tidak hanya bagi sosiologi, namun juga bagi ilmu-ilmu sosial
pada umumnya. Salah satu kontribusinya adalah teori strukturasi. Teori ini muncul, menurut Giddens, dari ketiadaan teori
tindakan dalam ilmu sosial. Giddens, 1979 .Ini bukan berarti bahwa para teoritisi tidak mempunyai teori tentang tindakan. Erving Goffman,
misalnya, menggagas ‘pelaku dan tindakannya’ mirip seperti pemain Srimulat yang bermain spontan tanpa naskah. Sebaliknya, Talcott
Parsons melihat pelaku dan tindakannya seperti mantan Menteri Penerangan Indonesia, Harmoko, yang bertindak “menurut petunjuk
bapak presiden .” Priyono, 2003:7-8 Yang pertama cenderung
menafikan bingkai struktural, sedangkan yang kedua menisbikan kapasitas bebas pelaku. Kedua kecenderungan inilah yang menguasai
82 dunia ilmu sosial ketika Giddens membangun teorinya. Ada dualisme
yang menggejala. Akar dualisme tersebut terletak dalam kerancuan kita melihat
objek kajian ilmu sosial. Menurut Giddens, objek utama ilmu sosial bukanlah ‘peran sosial’ seperti dalam fungsionalisme Parsons, bukan
‘kode tersembunyi’ seperti dalam strukturalisme Levi-Strauss, bukan pula ‘keunikan-situasional’ seperti dalam interaksionisme Goffman.
Bukan keseluruhan, bukan bagian, bukan struktur, dan bukan pelaku- perorangan, melainkan titik temu keduanya, yaitu “praktik sosial yang
berulang serta terpola dalam lintas ruang dan waktu” ibid, 2003: 17.
Kritik Giddens terhadap fungsionalisme setidaknya terangkum
dalam tiga hal. Pertama, fungsionalisme memberangus fakta bahwa
kita anggota masyarakat bukan orang-orang dungu. Kita tahu apa yang terjadi disekitar kita, dan bukan robot yang bertindak berdasarkan
“naskah” peran yang sudah ditentukan. Kedua, fungsionalisme
merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Bagi Giddens, sistem sosial tidak
punya kebutuhan apa pun. Yang punya kebutuhan adalah kita para
pelaku. Ketiga, fungsionalisme membuang dimensi waktu time dan
ruang space dalam menjelaskan gejala sosial. Kritik terhadap strukturalisme ada pada poin pokoknya bahwa
apa yang utama dalam analisis sosial adalah menemukan ‘kode ter
sembunyi’ yang ada di balik gejala kasat mata. Kode tersembunyi itu yang disebut struktur. Tindakan dan ruang dalam ruang dan waktu
tertentu hanyalah suatu kebetulan. Contohnya, kalau mau memahami gejala dalam masyarakat kapitalis, kita harus mengarahkan perhatian
83 bukan pada perilaku modal atau konsumen, melainkan pada logika
internal kinerja modal ibid, 2003: 15. Jadi, antara kedua perspektif di atas ada kesejajaran, yaitu
pengebawahan pelaku dan tindakan pelaku pada totalitas gejala. Pelaku, tindakan pelaku, waktu, ruang dan proses tindakan dianggap
sebagai kebetulan. Dalam kritik Giddens, perspektif fungsionalis dan strukturalis merupakan “penolakan yang penuh skandal terhadap
subyek ” ibid, 2003: 38.
Konsep strukturasi memusatkan perhatian pada hubungan dialektika antara agen dan struktur Giddens 1984: 23. Seperti telah
dijelaskan, tidak ada struktur tanpa agen dan juga sebaliknya, tidak ada agen tanpa struktur. Pembahasan Giddens atas konsep agen dan
struktur menjadi basis bagi teori strukturasinya. Demikian pula, konsepnya tentang agensi memandang agen sebagai subjek bebas
sepenuhnya. Giddens mengikuti jalan yang ditempuh agen untuk menciptakan dirinya sendiri melalui partisipasi dalam praktik-praktik
sosial yang terus berlangsung. Giddens mengemukakan definisi struktur yang tak lazim,
berbeda dengan pola Durkheimian dan Parsonian tentang struktur yang lebih bersifat me
maksa, mendesak, atau mengendalikan ‘constraining’ dimana struktur dipandang sebagai suatu benda di luar dan bersifat
memaksa agen. Oleh sebab itu, Giddens berupaya menghindarkan kesan bahwa struktu
r berada “diluar” atau “eksternal” terhadap agen. Dengan kata lain, objektivitas struktur tidak bersifat eksternal
melainkan melekat pada praktik sosial yang kita lakukan Priyono 2003: 23. Dalam mengindari konsepsi struktur sebagai bingkai
eksternal, Giddens pun menekankan bahwa struktur itu bersifat
84 memungkinkan agen melakukan praktik sosial ‘enabling’, struktur
yang berfungsi memberikan pada agen peluang. Karena itulah, Giddens melihat
struktur sebagai ‘medium’ dan ‘outcome’ seperti yang dikemukakan oleh Giddens 1984:25, inilah yang dimaksud dengan
dualitas struktur. The constitution of agents and structures are not two
independently given sets phenomena, a dualism, but represent a duality...the structural properties of social systems are both the
medium an outcome of the practices they recursively organise
Dapat disimpulkan bahwa strukturasi, menurut Giddens, merupakan suatu proses yang berkaitan dengan produksi dan
reproduksi struktur, sehingga dapat dikatakan bahwa struktur dalam kerangka teori strukturasi, sesungguhnya bersifat dinamis karena
dikonstruksikan kembali oleh agen. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hubungan antara konsep
agen dan struktur saling bergantung sama lain, dan dikombinasikan untuk menyatakan suatu praktik sosial. Melalui penjelasan sebelumnya,
dapat dipahami bahwa yang menjadi inti dari teori strukturasi Giddens 2010:3
adalah “praktik sosial yang berulang”, sebagaimana yag dikemukakan dalam buku “The Constitution of Society: Outline of the
Theory of Structuration ” bahwa
The basic domain of study the social science, according to the theory of structuration, is neither the experience of the
individual actor, nor the existence of any form of social totality, but social practices ordered across space and time. Human
social activities, like some self-reproducing items in nature, are recursive. This is to say, they are not brought into being by
social actors but continually recreated by them via the very means whreby they themselves as actors. In and through their
85 activities agents reproduce the conditions that make these
activities possible.
Demikianlah, Giddens memandang praktik-praktik sosial yang terus berlangsung sebagai segi analitis terpenting dalam teori
strukturasinya. Dalam mengokohkan teori strukturasi, Giddens 2010: 135 melihat bagaimana praktik sosial itu dilakukan terus-menerus atau
dikokohkan, dan bagaimana mereka direproduksi. Dalam bahasa Giddens 1990:38, “praktik sosial itu dikaji dan diperbarui terus-
menerus menurut infomasi baru, yang kemudian pada gilirannya mengubah praktik sosial tersebut secara konstitutif”. Kemudian,
Giddens juga melihat adanya interaksi antara agen dan struktur dalam suatu praktik sosial, yang kemudian dinyatakan dalam kebiasaan atau
rutinitas, dan direproduksi dalam kehidupan sosial, seperti yang diungkapkan dalam Giddens 2010.
How practice are continued or enduring, and how they are reproduced. As a result, social action and interaction as ‘tacitly
enacted practice s’ become ‘instituions or routine’ and ‘
reproduce familiar of social life”.
Dengan demikian, praktik sosial dianggap sebagai basis yang melandasi keberadaan agen dan masyarakat. Untuk terlibat dalam
praktik-praktik sosial, seorang agen harus mengetahui apa yang ia kerjakan, meskipun pengetahuan tersebut biasanya tak terucapkan. Di
sini terlihat, sebelum terlibat dalam sebuah praktik sosial maka seseorang diasumsikan telah memiliki pengetahuan praktis mengenai
peraturan yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sosial. Artinya, praktik sosial yang dilakukan berlandaskan atas pengetahuan dan
86 kesadaran praktis, dan akan diproduksi atau direproduksi oleh agen
berdasarkan aturan-aturan dan sumber daya yang terdapat di dalam struktur. Lebih jauh, salah satu proposisi penting dalam teori strukturasi
Giddens adalah, melalui praktik sosial yang dilakukan secara berulang- ulang atau terus-menerus itulah, struktur diciptakan. Begitu sebaliknya,
struktur merupakan medium yang memungkinkan munculnya praktik sosial.
Hal itu berarti bahwa di satu sisi ada agen yang melakukan praktik sosial dalam konteks tertentu, dan di sisi lainnya ada aturan dan
sumber daya yang memediasi praktik sosial tersebut dan pada gilirannya, melalui praktik sosial tersebut akan terbentuk struktur baru
yang selanjutnya mengorganisasi praktik sosial yang dilakukan oleh agen. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa tanpa praktik sosial, maka
struktur tidak akan terbentuk. Dan sebaliknya, struktur terbentuk dari pola-pola praktik sosial yang berulang-ulang, yang dilakukan melalui
aturan dan sumber daya tertentu. Dengan kata lain, praktik sosial menurut Giddens adalah praktik sosial yang mengintegrasikan agen dan
struktur. Dalam
hubungan dengan
pelaksanaan praktik
sosial, keterlibatan konsep ruang dan waktu merupakan tuntutan yang tidak
dapat ditawar. Ini juga yang membuat Giddens menamakan teorinya sebagai struktur
asi, sebagaimana setiap akhiran ‘is-asi menunjuk pada kelangsungan proses. Artinya, ruang dan waktu merupakan unsur yang
tidak bisa tidak bagi terjadinya peristiwa atau gejala sosial Priyono 2002:20. Sesuatu tidak hanya berada dalam ruang dan waktu, namun
ruang dan waktu juga membentuk makna dari sesuatu itu Giddens 1986:141. Singkatnya, hubungan antara ruang dan waktu dengan
87 praktik sosial berupa hubungan ontologis. Hubungan keduanya bersifat
kodrati dan menyangkut makna serta hakikat praktik sosial itu sendiri. Lugasnya, tanpa ruang dan waktu tidak ada praktik sosial Semua
praktik sosial hanya berlangsung dalam ruang dan waktu Priyono 2003: 38
4. Konsep Kesadaran