1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kehadiran industri tidak terlepas dari penerapan teknologi modern dalam proses industrialisasi dan pengembangan industri, yang
secara langsung maupun tidak langsung akan membawa perubahan baik fisik maupun non fisik sosial-ekonomi pada masyarakat
sekitarnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang diungkapkan
oleh Schneider 1986:429, bahwa
“..., industri tidak terlepas dalam keterisolasian. Sebaliknya, industri kita berada dalam matriks sosial yang kita sebut
komunitas dan masyarakat, industri di satu pihak serta komunitas dan masyarakat di lain pihak terus-menerus saling
mempengaruhi dengan berbagai cara”. Dengan demikian kehadiran industri pada suatu komunitas atau
masyarakat tidak dapat dilepaskan dengan keadaan dan kondisi dari masyarakat tersebut. Keberadaan industri di suatu daerah sedikit
banyak akan berpengaruh kepada masyarakat sekitar. Perubahan yang berlangsung cepat di masyarakat sebagai akibat
perkembangan industri yang pesat ini di satu sisi telah membawa dampak kemajuan yang berarti, terutama dalam mendorong percepatan
pertumbuhan ekonomi. Namun di lain pihak, perubahan itu pun tidak luput pula membawa efek terhadap pergeseran tata nilai kehidupan
masyarakat yang tidak diinginkan. Dengan kata lain, pembangunan
2 ekonomi dapat juga menimbulkan kemunduran nilai-nilai dalam
kehidupan masyarakat Soemardjan, 1986.
Keberadaan industri di daerah tentunya akan berkaitan dengan adanya nilai-nilai baru, sikap dan pola tingkah laku yang lebih
bercirikan perindustrian. Hal ini akan berbeda dengan masyarakat sekitar yang lebih bercirikan tradisional. Perbedaan-perbedaan antara
masyarakat industri dan masyarakat sekitarnya yang terlalu mencolok akan mengarah pada timbulnya gejolak-gejolak sosial. Dengan
demikian, proses penyesuaian dan penserasian sosial bagi industri dan masyarakat sekitar menjadi begitu penting. Harapan adanya keserasian
ini tidak hanya milik dari masyarakat setempat, tetapi juga merupakan harapan pihak industri. Sebab, dari adanya keserasian akan
menumbuhkan hubungan yang ‘mutualis’ antara industri dan masyarakat sekitar. Keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyarakatan
melaksanakan fungsinya
masing-masing dan
saling mengisi
kekosongan fungsi akan menimbulkan harmoni dalam masyarakat yang pada akhirnya akan menciptakan social equilibrium Soemardjan,
1986. Atas dasar kesesuaian dan keserasian, maka industri sebagai
suatu unit produksi berteknologi tinggi sudah selayaknya berusaha sedapat mungkin menempatkan diri pada lingkungan masyarakat
setempat, melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Persoalannya
adalah bagaimana
industri membangun
dan mengembangkan relasi yang saling menguntungkan dengan masyarakat
sekitar, dan bagaimana pula masyarakat sekitar mengembangkan pola hubungan yang baik dengan industri tersebut.
3 Konsep tanggung jawab sosial perusahaan CSR dapat
dipandang sebagai salah satu upaya membangun relasi yang baik atau harmonis dengan masyarakat sekitar. Berbagai cara dan pendekatan
dilakukan oleh perusahaan dalam rangka membangun hubungan yang serasi dengan masyarakat sekitar dalam lingkup tanggung jawab sosial
perusahaan kepada masyarakat sekitar. Konsep CSR didasari oleh tiga prinsip dasar yang dikenal
dengan istilah triple bottom lines yang dikenal sebagai 3P people, profit, planet
yaitu kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya profit bagi kepentingan pembangunan manusia
people dan lingkungan planet agar keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan. Pertimbangan implementasi CSR terkait
dengan upaya memenuhi regulasi, hukum dan aturan yang mengaturnya. Selain itu CSR juga berperan sebagai investasi sosial
perusahaan untuk mendapatkan image yang positif, sebagai bagian dari strategi bisnis perusahaan, sehingga perusahaan memperoleh licence to
operate dari masyarakat setempat. Hal lain adalah sebagai bagian dari
risk management perusahaan untuk meredam atau menghindari konflik.
Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan CSR di Indonesia diatur menurut Undang-Undang No. 402007 tentang
Perseroan Terbatas dan Undang-Undang No.252007 tentang Penanaman Modal. Perusahaan yang wajib melaksanakan CSR,
berdasarkan UU PT tersebut yaitu: 1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud ayat 1 merupakan kewajiban Perseroan yang
4 dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan
yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun demikian kehadiran UU PT tersebut di kalangan dunia usaha telah menimbulkan pro dan kontra. Sebagaimana dikemukakan oleh
Sukarmi 2008:11, bahwa
.
Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung dalam
Kadin dan Asosiasi Pengusaha Indonesia Apindo yang sangat keras menentang kehadiran dari pasal tersebut. Pertanyaan yang
selalu muncul adalah kenapa CSR harus diatur dan menjadi sebuah kewajiban? Alasan mereka adalah CSR kegiatan di luar
kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak
atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Jika diatur sambungnya selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR
juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan.
Dengan keluarnya UU PT No 40 tahun 2007, berikut dengan Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2012, maka konsep CSR yang semula
merupakan kewajiban moral, menjadi kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum, tetapi khusus hanya perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam. Bagi perseroan lainnya, CSR hanya
merupakan kewajiban moral. Sebagai suatu
‘agent of development’, sangat penting bagi
industri untuk mengetahui kondisi-kondisi sosial budaya masyarakat sekitar. Keberhasilan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh
5 pihak industri akan terlihat dari adanya interaksi yang
‘assosiatif’ antara pihak industri dengan masyarakat sekitar, sehingga tidak
menimbulkan gejolak-gejolak sosial. Akan tetapi, apabila kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan tidak terselesaikan dengan baik
maka akan dapat menimbulkan kondisi sosial yang kurang menunjang terhadap keberadaan industri di tengah-tengah masyarakat.
Kegiatan-kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dengan demikian membutuhkan pemahaman yang baik dan mendalam kondisi
masyarakat setempat dimana kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan tersebut diwujudkan. Peran serta masyarakat dan
stakeholder menjadi penting untuk dilibatkan dalam kegiatan tersebut.
Tanggung jawab sosial perusahaan masyarakat merupakan suatu proses yang bergerak dan bertalian dengan sumber-sumber yang ada di
masyarakat, yang saat ini mulai dimanfaatkan secara maksimal oleh perusahaan dan industri.
Konsep CSR dipopulerkan pada tahun 1953 dengan diterbitkan buku yang bertajuk “Social Responsibility of the Businessman” karya
Howard R. Bowen yang kemudian dikenal dengan bapak CSR Garriga Mele, 2004. Gema CSR mulai berkembang pada tahun
1960-an dimana persoalan-persoalan kemiskinan dan keterbelakangan mulai mendapat perhatian lebih luas dari berbagai kalangan.
Perkembangan konsep CSR kemudian diperkuat pada KTT Bumi earth summit, tahun 1992 di Rio De Janeiro menegaskan
konsep pembangunan berkelanjutan sustainable development yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi
dan sosial sebagai hal yang harus diimplementasikan. Lalu, World Summit on Sustainable Development WSSD
tahun 2002 di
6 Yohannesberg,
Afrika Selatan
memunculkan konsep
Social Responsibility
yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic and environment sustainability
. Kemudian rencana diberlakukannya sertifikasi ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility
pada tahun 2010. Dalam draft akhir final draft ISO 26000 berkaitan dengan labour practices, fair operating practices, consumer issues, the
environment, community involvement and development dan human
rights. Rangkaian tersebut mendorong banyak kalangan menaruh
perhatian lebih terhadap perlunya kajian-kajian mengenai tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat sekitar.
Sejumlah penelitian telah dilakukan berkaitan dengan relasi antara korporasi dengan masyarakat sekitar melalui kegiatan tanggung jawab
sosial perusahaan, baik itu relasi yang positif maupun negatif konflik sebagai contoh, Suharto, 2010; Idemudia, 2009; Eweje, 2007; Imbun,
2007; Wahyudi Muzni, 2005; Prayogo, 2004, Ngadisah, 2002, namun kesemua penelitian tersebut belum menyentuh persepsi atau
pandangan masyarakat sekitar mengenai tanggung jawab sosial perusahaan yang berada di lingkungan sekitar mereka.
Ada pula penelitian CSR dari sudut pandang komunikasi, seperti misalnya Chariri Nugroho, 2009; Harmoni, 2009 kedua penelitian
tersebut mengungkapkan pentingnya pelaporan CSR dalam rangka membangun imej perusahaan, namun kedua penelitian tersebut masih
bersifat informatif saja, sehingga rekomendasi yang dihasilkan adalah menekankan pada pentingnya komunikasi yang terjalin antara pihak
perusahaan dengan para stakeholder. Sementara itu, penelitian yang berkaitan dengan CSR dalam
industri ekstraktif sebagai contoh Tahyudin, 2001; Ngadisah, 2002;
7 Alfitri, Yenrizal, Hakim, 2004; Nanlohy, 2005; Wahyudi Muzni,
2005; Alfitri, 2010 memunculkan fakta mengenai kurang harmonisnya relasi antara perusahaan dengan masyarakat sekitar, dan bahwa
perusahaan melaksanakan CSR tanpa melibatkan masyarakat, mengakibatkan program CSR yang dilaksanakan perusahaan selalu
berujung pada ketidakpuasan masyarakat terhadap perusahaan tersebut. Sejumlah penelitian yang telah dilakukan tersebut, belum memetakan
secara tegas mengenai pandangan dan pemahaman masyarakat lokal serta pihak perusahaan dalam melihat program tanggung jawab sosial
perusahaan. Berdasarkan hal inilah, maka penelitian ini berupaya memetakan relasi antara perusahaan dengan masyarakat lokal,
khususnya pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dari sudut pandang masyarakat lokal dan pihak perusahaan. Kemudian
dalam kajian sosiologi belum banyak penelitian yang mencoba memetakan relasi perusahaan dengan masyarakat lokal, khususnya
dengan menggunakan teori struktur –agen Giddens 1999, 2006, 2010,
dan 2011. Oleh karena itu, urgensi penelitian ini adalah memperkaya kajian-kajian sosiologis tentang CSR yang telah ada pada industri
ektraktif di Indonesia, khususnya dengan menggunakan kerangka teori struktur-agen yang memang masih terbatas. Kajian sosiologi
kontemporer khususnya dengan menggunakan kerangka teori struktur- agen Giddens dalam melihat relasi sosial antara masyarakat dengan
perusahaan melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan CSR. Sejumlah isu muncul berkaitan dengan kehadiran perusahaan di
dalam lingkungan dan masyarakat, apalagi pada industri yang memanfaatkan sumber daya alam. Isu-isu tersebut, sebagaimana
dikemukakan oleh Crowther David 2008:29, antara lain:
8 1.
The utilization of natural resouces as a part of its production processes
2. The effect of competition between it self and other organizations
in the same market 3.
The enrichment of a local community throught the creation of employment opportunities.
4. Transformation of the landscape due raw material extraction or
waste product storage 5.
The distribution of wealth created within the firm to the owners of that firm via dividends and the workers of that firm
throught wages and the effect of this upon the welfare of individuals.
6. And more recently the greatest concern has been with climate
change and the way in which the emission of greenhouse are exacerbating this.
Pelaksanaan otonomi daerah juga memunculkan persoalan tersendiri yang harus dihadapi oleh perusahaan multinasional di daerah.
Seiring pula dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak- haknya untuk turut serta mengatur penyelenggaraan negara, masyarakat
mulai ingin memperoleh manfaat dari keberadaan perusahaan yang beroperasi di daerahnya. Perusahaan nasional maupun multinasional
dituntut untuk memberikan kontribusi langsung pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain melalui pemberdayaan masyarakat di
tempat mereka melakukan operasi. Hal ini didukung oleh tuntutan penerapan konsep tanggung jawab sosial perusahaan corporate social
responsibility baik secara lokal melalui berbagai aksi masyarakat,
secara nasional melalui legitimasi hukum, serta iklim perindustrian di seluruh penjuru dunia. Seluruh perusahaan diminta untuk mewujudkan
tanggung jawab sosialnya tidak lagi semata-mata bekerja untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik modal atau
9 pemegang saham, melainkan juga memberikan manfaat pada
masyarakat pada umumnya dan pada komunitas sekitar khususnya. Berbagai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang timbul akibat
berdirinya suatu kawasan industri, mengharuskan perusahaan untuk bertanggung jawab kepada publik melalui aktivitas yang nyata.
Bentuk pemberian dari para perusahaan dikenal dengan semangat filantropi. Philanthropy atau kedermawanan, memiliki arti kebaikan
hati yang diwujudkan dalam perbuatan baik dengan menolong dan memberikan sebagian harta, tenaga maupun pikiran secara sukarela
untuk kepentingan orang lain. Sumbangan, amal, derma memang merupakan salah satu bentuk dari filantropi, namun barulah tahap yang
paling awal. Bentuk akhir dari filantropi adalah sebagai investasi: yaitu investasi sosial Ibrahim, 2005. Berdasarkan dari filantropi tersebut
maka pelaku bisnis yang memiliki perusahaan besar maupun kecil korporat memiliki tanggung jawab untuk turut mengembangkan
masyarakat di sekitarnya untuk menghindari terjadinya ketimpangan, kesenjangan serta kecemburuan sosial yang dapat mengakibatkan
disharmonisasi sosial. Namun Paradigma tanggung jawab sosial perusahaan tesebut perlu disikapi secara positif oleh seluruh perusahaan
untuk menjaga keberlanjutan usahanya. Dalam penerapan CSR oleh perusahaan, perlu hati-hati dan cara-cara yang benar agar tidak
memperkuat kondisi relasi ketergantungan dari masyarakat akan kehadiran perusahaan. Keuntungan-keuntungan yang secara otomatis
didapat dari pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat di sini adalah adanya pengurangan resiko, meningkatnya good will,
mengurangi biaya, membangun sumber daya manusia, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
10 Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut dan
Chevron Geothermal Indonesia CGI menjadi lokus dari penelitian relasi antara masyarakat lokal dengan perusahaan ini. Pemilihan lokasi
penelitian tersebut memenuhi kebutuhan penelitian sebagai berikut, pertama
PT. CGI
merupakan perusahaan
ekstraktif yang
menyelenggarakan program CSR, kedua di Desa Karyamekar mewakili masyarakat lokal yang hidup di sekitar lokasi perusahaan dalam hal ini
yang menyelenggarakan kegiatan CSR.
B. Rumusan Masalah