42 Tabel 3
Corporate social responsibilities theories and related approaches
Jenis Teori Pendekatan
Penjelasan Singkat Beberapa
Referensi Kunci 1. Intrumental
theories fokus pada
pencapaian sasaran
ekonomi melalui
aktifitas sosial
1. Maksimalisasi nilai shareholder
Maksimalisasi nilai jangka panjang
Friedman 1970,
Jensen 2000 2. Strategi untuk
keuntungan kompetitif
Investasi sosial dalam konteks
kompetitif Porter and Kramer
2002 Strategi
berdasarkan pandangan sumber
alami dari perusahaan dan
dinamika kapabilitas
perusahaan Hart 1995, Lizt
1996
Strategi dari dasar piramida ekonomi
Prahalad and
Hammond 2002, Hart
and Christensen 2002,
Prahalad 2003 3. Caused-related
marketing Pengakuan aktifitas
sosial altruistik dimanfaatkan sebagai
alat pemasaran Varadarajan
and Menon
1986, Murray
and Montanari 1986
2. Political theories fokus
pada pemanfaatan
tanggung jawab kekuatan
bisnis dalam arena politik
1. Konstitusiona- lisme perusahaan
Corporate constitutiona-lism
Tanggung jawab sosial bisnis muncul dari
sejumlah kekuatan sosial yang mereka
Davis 1960, 1967
2. Teori Kontrak Sosial Integrative
integrative social contract theories
Asumsinya bahwa terdapat suatu kontrak
sosial antara perusahaan dan
masyarakat Donaldson
Dunfee 1994,
1999 3. Corporate or
business citizenship
Perusahaan dipahami sebagaimana seorang
warga dengan keterlibatan tertentu
dalam komunitas Wood Lodgson
2002, Andriof McIntosh
2001 Matten Crane in
press
43 Lanjutan tabel 3
Jenis Teori Pendekatan
Penjelasan Singkat Beberapa Referensi
Kunci 3. Integrative
theories fokus
integrasi tuntutan
sosial
1. Manajemen isu issues
management Proses-proses
perusahaan merespon isu sosial dan politik
yang mempengaruhinya.
Sethi 1975, Ackerman 1973,
Jones 1980, Vogel 1986, Wartick and
Mahon 1994
2. Tanggung jawab publik
public responsibility
Hukum dan adanya proses kebijakan publik
diambil sebagai rujukan untuk kinerja
sosial social performance
Preston and Post 1975, 1981
3. Manajemen Pemangku
Kepentingan stakeholder
management Kesimbangan para
pemangku kepentingan Mitchell et.al. 1997,
Agle and Mitchell 1999, Rowley 1997,
4. Kinerja Sosial
Perusahaan Corporate
social performance
Mencari legitimasi sosial dan proses-
proses untuk memberi respon yang tepat
terhadap isu-isu sosial Carrol 1979, Wartick
and Cochran 1985, Wood 1991b,
Swanson 1995
4. Ethical theories
fokus pada sesuatu yang
baik untuk mencapai
suatu masyarakat
yang baik
1. Teori Normatif
Pemangku Kepentingan
Stakeholder normative
theories Pertimbangan tugas-
tugas yang tergadai dari perusahaan.
Aplikasinya membutuhkan rujukan
sejumlah teori moral Freeman 1984, 1994,
Evan and Freeman 1988, Donaldson and
Preston 1995, Freeman and Phillips
2002, Phillips et al. 2003
2. Hak-hak Azasi
Universal Kerangkanya
berdasarkan hak-hak azasi manusia, hak
buruh dan penghargaan lingkungan
The Global Sullivan Principles 1999, UN
Global Compact 1999
3. Pembanguna n
Berkelanjutan Upaya mencapai
pembangunan manusia berdasarkan
pertimbangan saat ini dan generasi masa
depan World Commission on
Environment and Development Brutland
Report 1987, Gladwin and Kennelly
1995
4. The Common good
Berorientasi pada kebiasaan baik
masyarakat Alford and Naugghton
2002, Mele 2002 Kaku 1997
Sumber: Garriga Mele, 2004: 63-64
44 Dalam praktiknya, seringkali terjadi penerapan kegiatan
corporate social responsibility didasarkan pada banyak alasan dan
tuntutan, sebagai paduan antara faktor internal dan eksternal. Sebagaimana dijelaskan lebih jauh oleh Frynas 2009 yang melihat
bahwa pertimbangan perusahaan untuk melakukan kegiatan CSR antara lain umumnya karena alasan-alasan berikut:
1. Untuk memenuhi regulasi, hukum dan aturan 2. Sebagai investasi sosial perusahaan untuk mendapatkan image
yang positif 3. Bagian dari strategi bisnis perusahaan
4. Untuk memperoleh licence to operate dari masyarakat setempat 5. Bagian dari risk management perusahaan untuk meredam dan
menghindari konflik sosial
Pada dasarnya tidak ada perspektis teoritis atau metodologi kajian yang dapat menjelaskan aktifitas CSR secara memuaskan
menjawab semua pertanyaan Lockett et al.2006, p.12. Namun demikian terdapat terdapat dua teori dan satu perspektif yang
berkembang saat ini dalam CSR sebagaimana yang diungkapkan oleh Frynas 2009, yaitu:
1 Teori Stakeholder
: menekankan
reaksi perusahaan
perseorangan dalam konteks hubungan dengan stakeholder eksternal. Teori ini menjelaskan respon strategis yang berbeda
dari perusahaan terhadap tekanan-tekanan sosial walaupun dalam industri sejenis atau negara yang sama, berdasarkan pada
sifat hubungan eksternal.
45 2 Teori Institusional: menekankan daya adaptif perusahaan secara
kelembagaan aturan. Teori ini menjelaskan mengapa perusahaan dari negara atau industri berbeda dalam merespon
tekanan sosial dan lingkungan, dan mengapa di negara yang berbeda-beda dari perusahaan multinasional yang sama memilih
strategi CSR yang berbeda, sebagai hasil dari pemberlakuan norma atau keyakinan nasional.
3 Perspektif Austrian Economics: perspektif ini menyediakan wawasan terhadap upaya strategi aktif CSR dalam perusahaan
dengan suatu perspektif kewirausahaan.
Teori Stakeholder
dan Teori
Institusional dapat
membantu menjelaskanbagaimana respon perusahaan terhadap tekanan kondisi
sosial eksternal dan lingkungan. Namun demikian gagal untuk menjelaskan pilihan strategi aktif dalam perusahaan, yaitu mengapa
perusahaan tertentu menggunakan CSR sebagai sebuah senjata melawan persaingan perusahaan atau mengapa perusahaan tertentu
mengeluarkan jutaan dolar dalam pembaruan energy. Sementara, sebagai sebuah perspektif, pendekatan Austrian
Economic dapat dipandang sebagai salah satu alternatif pemikiran yang
lebih maju dalam memandang kegiatan CSR. Dalam kaitan dengan kewirausahaan sosial sebagai suatu pendekatan dalam mengatasi
persoalan sosial dan kemasyarakat; maka CSR dapat sebagai sumber pemecahan masalah sosial tersebut. Beberapa pemikiran Austrian
Economics mengenai CSR, adalah sebagai berikut:
1. Wawasan ekonomi dan strategi manajemen mengusulkan bahwa strategi CSR dalam perusahaan harus dipandang sebagai
46 sebuah keputusan investasi dan sebagai suatu cara memperoleh
keuntungan kompetitif, sama halnya dengan putusan-putusan investasi lain yang harus diambil.
2. Pendekatan CSR yang berbeda dari Austrian economics berkenaan dengan tindakan kemanusiaan bukanlah berdasarkan
‘external constrains’ sebagai faktor fundamental pembuatan keputusan.
3. Perspektif Austrian menekankan peluang ‘future’ dan
kewirausahaan aktif dalam mengidentifikasi masa depan. 4. Karakteristik
utama keberhasila
nnya ‘capitalist
entrepreneurship’; yaitu bukan pada kemampuan mereka beraksi kepada sesuatu atau ‘discover’ tuntutan eksternal, tetapi
lebih pada kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang berhasil tentang masa depan Frynas, 2009; hal.19-20
Dilihat dari uraian tersebut, konsep-konsep dari Austrian economics
dapat lebih berkaitan dengan upaya kewirausahaan sosial di Indonesia khususnya dalam penyelesaian permasalahan sosial dan
kemasyarakatan. Sudut pandang kewirausahaan dalam CSR diharapkan dapat memainkan peran kunci dalam membentuk strategi perusahaan
memandang permasalahan sosial dan lingkungan. Sebagai perbandingan dari ketiga perpektif teoritis, dapat dilihat
dalam tabel berikut:
47 Tabel 4 Perbandingan Perspektif teoritis terhadap strategi CSR
Teori Institusional
Teori Stakeholder
Austrian View Fokus Utama
Ketaatan pada aturan dan
norma Hubungan
dengan factor eksternal
Peran kewirausahaan
Determinan Strategi CSR
Hidup dengan konteks
kelembagaan berbeda
Ketergantungan relative suatu
perusahaan pada stakeholder
Tinjauan masa depan
kewirausahaan
Lingkup untuk kebebasan aksi
manajemen Non-choice
behavior Pilihan perilaku
terbatas Pilihan perilaku
yang substansial
Sumber: Frynas 2009: 122 diterjemahkan oleh peneliti. B. Kajian Relasi Dinamis Antara Perusahaan dengan Masyarakat
Lokal
Soekanto 1982 menyatakan bahwa relasi-relasi sosial yang dinamis adalah interaksi sosial, yang menyangkut hubungan antara
orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia. Relasi sosial dinamis
yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat lokal dapat dipahami dalam konteks relasi kelompok-kelompok sosial yang terdapat dalam
sebuah masyarakat secara luas. Pola relasi yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat
lokal tersebut bergantung pada persepsi dan cara pandang masing- masing pihak dalam membangun interaksi dan komunikasi diantara
mereka. Masyarakat adalah sebuah system yang terdiri dari beragam kelompok yang membuat masyarakat tersebut menjadi sebuah system
yang multikompleks. Khadijah 2011:35 menyebutkan bahwa
48 masyarakat merupakan sebuah sistem kehidupan yang multikompleks,
yang di dalamnya terdapat sebuah proses sosial yang ditandai dengan adanya interaksi sosial dengan menggunakan simbol-simbol yang
sama. Interaksi sosial tersebut kemudian adalah sebuah kebudayaan dalam bentuk hubungan sosial. Dengan demikian, masyarakat
mempunyai karakteristik budaya yang unik dan mengikat bagi warganya dalam interaksi antara satu dengan lainnya.
Dalam berinteraksi dalam sebuah masyarakat dikenal sebuah istilah realitas sosial. Realitas sosial merupakan satu kesatuan dalam
berinteraksi dan beraktifitas dalam sebuah masyarakat. Semakin tinggi dan rumit aktivitas suatu masyarakat semakin tinggi pula tingkat
dinamika masyarakat tersebut. Dengan demikian akan terbentuk pola relasi dan interaksi yang berbeda dalam sebuah masyarakat yang
kompleks pula. Bentuk dan corak sebuah relasi sebagaimana diungkapkan oleh Comte dalam Azwar 2005: 53 adalah bahwa dasar
relasi sosial muncul dari cara berfikir manusia sehingga pijakan relasi sosial dari sisi perkembangan struktur masyarakat dibentuk selalu
bersifat konsep pasangan kontradiksi. Frekuensi hubungan sosial, sebagaimana Cooley jelaskan yang dikutip dalam Azwar 2003:54
bahwa usaha untuk membuat kategori hubungan sosial dapat dilakukan dengan membedakan antara hubungan primer dan hubungan sekunder.
Yang dimaksud dengan hubungan primer adalah hubungan interaksi yang terjadi berupa tatap muka yang erat dan gotong royong, yang
meleburkan kepentingan individual dengan kepentingan orang banyak. Sedangkan mehubungan sekunder dicirikan dengan karakter hubungan
yang formal, prosedural dan impersonal. .
49 Menurut Bungin 2008:44, struktur relasi sosial dapat dibagi
berdasarkan jenis kelompok sosial yang akan mempengaruhi pola-pola relasi antar kelompok tersebut. Kategori kelompok dapat tergambar
dalam tabel berikut:
Tabel 5 Tipe Kelompok Sosial
Kelompok Primer
Sekunder Formal
A B
Informal C
D
Sumber: Bungin, 2008 Lebih lanjut, Khadijah 2011:38-40 menggambarkan karakteristik
keempat kelompok sosial tersebut sebagai berikut: a. Kelompok Formal-Pimer A adalah kelompok sosial yang
berkarakter formal resmi, namun keberadaannya bersifat primer. Kelompok ini tidak memiliki aturan yang jelas, stuktur yang tegas
secara fungsional impementasinya jeas terlihat. Terbentuknya kelompok ini, dapat karena tujuan yang jelas atau tidak jelas.
b. Kelompok Formal-Sekunder B adalah kelompok sosial yang bersifat sekunder, resmi, serta memiliki aturan dan struktur yang
tegas, dibentuk berasarkan tujuan yang jelas. Kelompok formal sekunder memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
c. Kelompok Informal-Primer C, adalah kelompok sosial yang terjadi karena meleburnya sifat-sifat kelompok sosial primer-
sekunder atau karena pembentukkan sifat dari luar kelompok yang tidak dapat ditampung dalam keompok primer sekunder.
d. Kelompok Informal-Sekunder D, adalah kelompok sosial yang umumnya informal maupun keberadaannya bersifat sekunder.
50 Kelompok ini bersifat tidak mengikat, tidak memiliki aturan dan
struktur yang tegas. Dibentuk hanya untuk sesaat dan tidak mengikat, karena dibentuk untuk tujuan yang tidak jelas.
Hubungan sosial yang terjalin menunjukkan adanya pengertian bahwa setiap individu, kelompok dan masyarakat menyadari tentang
kehadirannya di samping kehadiran individu, kelompok dan masyarakat lainnya. Kesadaran akan kehadiran pihak lain tersebut,
diharapkan akan muncul tindakan bersama mutual action dan pengakuan bersama mutual recognition.
Setiap relasi sosial dapat menjadi objek dari nilai-nilai. Inkeles dalam Soekanto 1983 menyatakan bahwa, secara umum, kualitas dan
aspek hubungan manusia terdapat di sebagian besar masyarakat, perbedaan budayalah yang menentukan kualitas tersebut penting atau
tidak penting, baik atau buruk. Inkeles yang dikutip oleh Soekanto 1983, menekankan bahwa aspek nilai dan kebudayaan dalam sebuah
masyarakat merupakan dimensi terpenting hubungan sosial dalam kebersamaan. Artinya setiap masyarakat memiliki penilaian tertentu
terhadap hubungan antara manusia, hubungan dengan alam, waktu dan kegiatan atau kekaryaan lainnya.
Menurut Kluckhon dan Strodtbeck dalam Koentjaraningrat, 1990:78, terdapat lima orientasi nilai budaya dalam hidup manusia,
yaitu: “1 Human nature atau makna hidup manusia; 2 man-nature
atau makna hubungan manusia dengan alam sekitarnya; 3 time atau persepsi manusia tentang waktu; 4 activity atau makna
akan perkerjaan, karya dan amal perbuatan manusia; 5 relational
atau hubungan manusi a dengan sesama manusia.”
51 Hubungan manusia dengan sesamanya telah dituntun oleh struktur
budaya sejak dari awal, sebagai bagian menata dan mengelola warga masyarakatnya agar mampu bertahan dan langgeng. Di negara-negara
yang sedang berkembang dimana struktur kekuasaan begitu kuat dan dominan, terdapat kecenderungan para elit-elit kekuasaan berupaya
memelihara struktur budaya masyarakat yang mudah dan dapat diatur oleh kekuasaan. Elit-elit kekuasaan mempunyai semangat yang besar
terhadap pengembangan diri mereka karena secara politis mereka memerlukan
dukungan masyarakat.
Khadijah 2011:58-59
menyebutkan media massa mempunyai posisi-peran strategis dalam menyampaikan isu-isu nasional, yang merupakan alat bagi elit
kekuasaan untuk meraih dukungan tersebut, yaitu melalui proses komunikasi informasi satu arah bukan dialog.
Dengan media massa, masyarakat menjadi penonton yang bersifat pasif, menerima informasi-infomasi elit kekuasaan. Dalam
batas-batas tertentu masyarakat tidak cukup mengetahui realitas atau kebenaran sehingga masyarkaat begitu mudahnya menjadi salah satu
pendukung dari isu atau informasi yang disebarkan elit melalui media massa tersebut. Mills dikutip oleh Khadijah 2011:59 menyebut
mereka sebagai masyarakat massa mass society. Masyarakat massa seperti kerbau yang dicocok hidungnya karena tidak memiliki
pengetahuan dan kesadaran yang cukup untuk mengerti isi dari informasi atau isu yang disampaikan para elit Khadijah, 2011.
Para elit yang dimaksud dalam konteks Indonesia adalah, sebagaimana disebutkan oleh Mills, para penguasa dan golongan
politisi, militer, dan pengusaha ekonomi termasuk penguasaan sumber
52 daya alam yang digambarkan memiliki karakter dan gerakan yang
serupa Khadijah, 2011. Para elit kekuasaan di Indonesia membangun hubungan mendominasi rakyat dan akan bergerak mencapai posisi yang
lebih tinggi dari pada yang lainnya. Konsepsi Habermas aliran Frankfurt, meyakini bahwa
semestinya ilmuwan sosial mempunyai kewajiban moral melakukan kritik masyarakat dan bahwa kepentingan teori sosial adalah
emansipasi yang membebaskan masyarakat dari kekejaman struktur sosial yang menindas Khadijah, 2011. Pemikiran Habermas berbicara
tentang pengembangan konsep nalar yang lebih komprehensif, yakni nalar yang tidak tereduksi pada instrumen teknis dari subjek manusia
Khadijah, 2011. Postulat Habermas adalah adanya tiga kepentingan manusia yang berakar, yaitu kepentingan teknis technical,
kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam kontrol teknis terhadap alam; praktik practical dalam bentuk memahami orang lain;
dan emansipatoris emancipatory dalam membebaskan diri dari struktur dominan. Masyarakat modern menyaksikan adanya perubahan
pada manusia ketika muncul keinginan menguasai alam berubah menjadi hasrat mendominasi manusia lain. Untuk memperbaiki
penyimpangan ini, Habermas menekankan rasionalitas yang inheren dalam kepentingan praktis dan emansipatoris Khadijah, 2011. Ini
berarti bahwa dasar rasional untuk bersama-sama hidup dalam harmoni hanya dapat diraih ketika hubungan sosial diatur menurut kesepakatan
yang dicapai dalam komunikasi yang bebas dari dominasi satu pihak terhadap pihak lainnya.
Sedangkan bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerjasama co-operation, persaingan competition dan bahkan dapat
53 juga berbentuk pertentangan atau pertikaian conflict, Soekanto
1990:63. Sedangkan Gillin dan Gillin 1954 dalam Bungin 2008:134, menggolongkan secara luas terdapat dua macam proses
sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu proses asosiatif dan proses disosiatif. Proses asosiatif terbagi menjadi dua
yaitu akomodasi dan asimilasi, serta akulturasi; kemudian proses yang disosiatif mencakup persaingan, kontraversi dan pertentangan atau
pertikaian conflict. Perusahaan dapat mengidentifikasi masyarakat lokal secara
menyeluruh, yaitu baik secara budaya, ekonomi, dan sosial sehingga dapat menghasilkan sebuah kehidupan yang harmonis antara
perusahaan dan masyarakat tempat perusahaan tersebut beroperasi. Berdasarkan pemahaman akan kondisi masyarakat tersebut, perusahaan
diharapkan mampu membangun proses-proses sosial yang bermanfaat bagi masyarakat lokal sekitar wilayah operasi mereka. Kemanfaatan
yang diperoleh dan dinikmati oleh masyarakat lokal, secara langsung atau tidak langsung serta berjangka waktu panjang akan memberi
manfaat juga bagi perusahaan bersangkutan. Dalam penerapan kegiatan CSR oleh perusahaan seringkali
mengalami kegagalan atau tidak efektif dalam pencapaian tujuannya; bahkan lebih jauh lagi hasilnya contra-productive dengan harapan.
Selain hambatan business case, sejumlah studi yang dilakukan Nuffield Foundation dikutip oleh Frynas 2009 telah mengidentifikasi sejumlah
hambatan penting dalam penerapan CSR di beberapa negara, antara lain:
Gagal memahami negara dan konteks isu-isu khusus. Gagal melibatkan beneficiaries CSR.
54 Kurangnya sumber daya manusia: spesialist pengembangan
masyarakat. Sikap-sikap sosial dari staf perusahaan atau hanya fokus pada
solusi teknis dan manajerial. Tidak ada integrasi ke dalam sebuah rencana pembanguan yang
lebih luas.
Contoh yang paling sering terjadi mengenai ‘negara dan
konteks isu-isu khusus’ antara lain adalah konflik antar suku dan
korupsi Frynas, 2009. Sedangkan kegagalan melibatkan beneficiaries adalah tidak adanya upaya membangun partisipasi dari perusahaan dan
upaya memandirikan beneficiaries Frynas, 2009. Perusahaan pertambangan biasanya gagal melakukan konsultasi secara lebih luas
kepada pimpinan lokal dan tokoh-tokoh lokal Frynas, 2009. Keterlibatan penerima manfaat CSR dalam pelaksanaan proyek
cenderung terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali, dan paling mungkin terbatas pada pemberian kontrak pada perusahaan lokal.
Padahal, kegagalan melibatkan orang-orang lokal telah memelihara suatu mental yang berdampak lebih buruk lagi, yaitu mentalitas
ketergantungan dependency mentality Frynas, 2009. Persoalan-persoalan yang muncul tersebut sebetulnya dapat
dihindari dengan dilakukannya konsultasi mendalam dan dengan adanya inisiatif masyarakat lokal untuk berpartisipasi dengan
menggunakan pengetahuan, keterampilan-keterampilan dan alat-alat lokal. Namun, keterlibatan masyarakat lokal tersebut secara inheren
terhambat karena perusahaan kekurangan sumber daya manusia
55 perusahaan dan pendekatan teknismanajerial dari staf perusahaan,
terutama perusahaan minyak dan pertambangan Frynas, 2009. Kurangnya ‘jalur karier’ career path untuk spesialis
pengembangan masyarakat di dalam perusahaan lebih jauh membatasi keahlian pembangunan secara potensial. Berkaitan dengan kurangnya
sumber daya manusia, inisiatif CSR secara inheren menjadi cacat karena hasil dari sikap-sikap sosial staf perusahaan minyak, artinya
nilai-nilai sosial yang mengarahkan penentuan keputusan staf perusahaan. Orang-orang yang bergerak di perusahaan minyak
biasanya memiliki latar belakang manajerial atau keahlian teknik. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi menghadapi tantangan teknis
dan manajerial. Dengan demikian pendekatan-pendekatan teknik dan manajerial bisa berhasil mengatasi tantangan lingkungan, tetapi tidak
cukup dalam mengatasi permasalahan sosial yang kompleks dimana lebih mementingkan soft skill, kesabaran, dan keterampilan
interpersonal. Dengan tidak terintegrasinya CSR atau
‘social invesment’ ke dalam rencana pembangunan yang lebih luas, potensi pembangunan
dari inisiatif perusahaan menjadi terbatas dan sumber-sumber mungkin tidak berhubungan dengan efektifitas pembangunan yang digunakan.
Bahkan akibat buruk lainnya adalah perusahaan akan menghadapi resiko timbulnya konflik lokal karena kecemburuan dan menciptakan
konsekuensi pembangunan negatif. Persoalan lainnya adalah berkaitan dengan transparansi, yaitu
keterbukaan dan kejujuran untuk melaporkan keuangan dan kegiatan CSR. Kajian-kajian yang pernah ada Alt Lassen, 2006a,b; Gelos
56 Wei, 2005; Shi Svenson, 2002 menunjukkan pengaruh
perkembangan yang positif mengenai transparansi, diantaranya: Pengaruh politik, yaitu transparansi memperbaiki aliran
informasi dari pengatur dan yang diatur. Pengaruh ekonomi, yaitu transparansi meningkatkan kredibilitas
suatu negara diantara investor luar negeri dan masyarakat perbankan internasional.
Pengaruh sosial, yaitu pengaruh positif politik dan ekonomi dapat membawa banyak pengaruh sosial yang positif Frynas,
2009.
Namun demikian hasil penelitian mengenai transparansi tersebut juga menyarankan sejumlah kondisi yang harus dipenuhi
dalam rangka memaksimalkan dampak positif dari transparansi. Berdasarkan hasil penelitian Alt Lassen, 2006a,b; Gelos Wei,
2005; Shi Svenson, 2002 setidaknya ada 3 tiga kondisi atau prasyarat yang harus dipenuhi: 1 kebebasan media; 2 keterlibatan
masyarakat sipil; dan 3 waktu pengenalan transparansi. Sesungguhnya CSR memiliki potensi yang besar untuk
mengatasi tantangan lingkungan. Sebaliknya CSR memiliki kelemahan dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan
masyarakat dan pemerintahan. Perusahaan semestinya memperoleh manfaat yang besar dari relasi dengan masyarakat dan pemerintahan
yang lebih baik diantaranya adalah berkurangnya biaya operasional, tidak banyak korupsi, meningkatnya reputasi perusahaan, dan
seterusnya. Negara penyelenggara semestinya juga memperoleh manfaat yang besar dari peningkatan sumber daya manusia dan
57 pemerintahan, dalam kerangka meningkatnya investasi swasta,
meningkatnya tingkat pendidikan, pelayanan publik yang lebih baik dan seterusnya. Namun demikian, perusahaan nampak enggan
mengatasi isu-isu pemerintahan, sementara pendekatannya melalui pengembangan masyarakat seringkali tidak efektif.
Dua alasan mendasar mengapa perusahaan multinasional gagal mengatasi persoalan pembangunan dan pemerintahan secara efektif
adalah Pertama, ‘business case for CSR’ yakni, memanfaatkan inisiatif
sosial untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan terbatas pada satuan inisiatif untuk dapat mencapai masyarakat yang lebih luas. Kedua,
perusahaan multinasional seringkali gagal mengenali secara penuh lingkup interaksi mereka dengan masyarakat dan politik, dan mereka
tidak mau menerima tanggung jawab terhadap isu-isu di level makro –
isu-isu yang berkaitan dengan dampak industri mereka terhadap masyarakat luas.
Keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam CSR bukan berarti usaha swasta tidak melakukan apa-apa terhadap isu-isu
kemasyarakatan. Perusahaan perlu didorong untuk melibatkan diri dengan aspek sosial dan lingkungan dalam operasinya, dan mereka
akan memperoleh peluang-peluang bisnis yang CSR tawarkan. Banyak inisiatif sukarela perusahaan gagal karena mereka tidak
mendengar stakeholders-nya dengan baik. Keterlibatan pemangku kepentingan seringkali dangkal dan singkat, perusahaan mungkin
mendengarkan stakeholder-nya dengan daya tawar yang lebih besar dengan prioritas kepentingan perusahaannya daripada memperhatikan
stakeholder -nya. Sehingga masalah krusial berikutnya adalah
keputusan mengenai inisiatif sosial dan lingkungan seringkali
58 dilakukan untuk mencapai prioritas perusahaan daripada stakeholder,
yang akhirnya mengarah pada terbatasnya kemampuan CSR memberi manfaat signifikan kepada stakeholder pemangku kepentingan.
Pengembangan industri pada dasarnya ditujukan untuk memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat baik melalui
pembukaan lapangan pekerjaan, mendatangkan devisa negara, maupun peningkatan pendidikan. Namun pada kenyataannya selain dampak
positif di atas, pengembangan industri menuai berbagai dampak negatif antara lain; kerusakan lingkungan hidup serta menimbulkan
permasalahan sosial yaitu konflik antara perusahaan dengan penduduk setempat akibat adanya kesenjangan secara sosial maupun ekonomi
antara pelaku usaha korporat dengan masyarakat sekitar. Berbagai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang timbul
akibat berdirinya suatu kawasan industri, mengetuk hati pelaku usaha untuk bertanggung jawab kepada publik melalui aktivitas yang nyata.
Bentuk pemberian dari para pelaku usaha tersebut dikenal dengan semangat
Filantropi. Philanthropy
dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan sebagai kedermawanan sesungguhnya berasal dari
Bahasa Yunani cinta atau kasih dan anthropos manusia; dengan demikian artinya adalah kebaikan hati yang diwujudkan dalam
perbuatan baik dengan menolong dan memberikan sebagian harta, tenaga maupun pikiran secara sukarela untuk kepentingan orang lain.
Sumbangan, amal, derma memang merupakan salah satu bentuk dari filantropi, namun barulah tahap yang paling awal. Bentuk akhir dari
filantropi adalah sebagai investasi: yaitu investasi sosial Ibrahim, 2005.
59 Berdasarkan dari filantropi tersebut maka pelaku bisnis yang
memiliki perusahaan besar maupun kecil korporat memiliki tanggung jawab untuk turut mengembangkan masyarakat di sekitarnya untuk
menghindari terjadinya ketimpangan, kesenjangan serta kecemburuan sosial yang dapat mengakibatkan disharmonisasi sosial.
Trinidad and Tobago Bereau of Standards TTBS menyatakan
bahwa Tanggung jawab sosial perusahaan dalam terminologi bahasa Inggris disebut Corporate Social Responsibility, yang didefinisikan
sebagai “komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersama dengan
peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara lebih luas Sankat, Clement K, 2002 dalam
Budimanta, dkk, 2005 Sementara menurut The World Business Council for Sustainable
Development WBCSD 2002 difahami bahwa definisi Corporate
social responsibility adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitas-komunitas
setempat lokal dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.
Peningkatan kualitas kehidupan tersebut memiliki arti adanya suatu itikad baik dari perusahaan untuk meningkatakan kemampuan
masyarakat sekitarnya agar mampu bertahan dengan perubahan yang ada, mampu berkarya, menikmati serta memanfaatkan lingkungan
hidup. Dengan demikian tujuan dari peningkatkan kualitas kehidupan tersebut adalah tidak mengurangi keadaan sebelum perusahaan berdiri
60 serta semaksimal mungkin berusaha meningkatkan daya saing
masyarakat setempat untuk mampu beradaptasi dan bertahan. Sejalan dengan pandangan tersebut, I Nyoman Tjager 2003
mengartikan corporate social responsibility sebagai tanggung jawab moral perusahaan baik terhadap karyawan perusahaan itu sendiri
internal, maupun di luar lingkungan perusahaan yaitu masyarakat di sekitar perusahaan eksternal. Pendapat tersebut menunjukkan adanya
kaitan yang erat antara keberadaan perusahaan dan ketentuan yang mengikatnya yang dinamakan etika bisnis. Pada satu sisi perusahaan
memiliki orientasi mendapatkan keuntungan money oriented namun di sisi lain perusahaan harus memiliki tanggung jawab dan kepedulian
pada masyarakat sebab perusahaan tersebut berada pada lingkungan masyarakat dan sedikit banyak telah menimbulkan berbagai dampak
baik positif maupun negatif. Corporate social responsibility
merupakan proses penting dalam pengaturan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan bisnis dari
para stakeholders baik secara internal maupun secara eksternal. Dengan demikian, tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya terbatas pada
pemberian donor saja, namun konsepnya sangat luas dan tidak bersifat statis dan pasif, hanya dikeluarkan dari perusahaan, akan tetapi hak dan
kewajiban yang dimiliki bersama antar stakeholders. Drucker 1993 menyatakan bahwa pendekatan yang diperlukan dalam tanggung jawab
sosial perusahaan adalah holistik dalam usaha bisnis semata bergerak dari yang bersifat derma menuju ke arah tanggung jawab sosial
perusahaan dan lebih kepada keberlanjutan penanaman sosial perusahaan. Pertanyaannya adalah bagaimana bentuk penanaman sosial
61 perusahaan, apa dan kepada siapa yang harus ditanamkan tanggung
jawab sosial yang ada. Mark
Goyder membagi
dua bentuk
corporate social
responsibility , yaitu yang berbentuk tindakan atas program yang
diberikan terhadap masyarakat dan nilai yang menjadi acuan dari corporate social responsibility
. Bentuk yang pertama merupakan tindakan terhadap aspek ekternal perusahaan atau kaitannya dengan
lingkungan luar seperti masyarakat dan lingkungan alam. Dengan kata lain bagaimana perusahaan berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat
sekitarnya. Bentuk kedua cenderung mengarah pada tipe ideal antara lain:
berupa nilai perusahaan yang dipakai untuk menerapkan atau mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan keadaan sosial
terhadap masyarakat sekitarnya. Menurut Goyder, interpretasi yang benar dari corporate social responsibility adalah ekspresi dari tujuan
perusahaan dan nilai-nilai dalam seluruh hubungan yang telah dibangun. Nilai-nilai yang ada diartikan berbeda dari norma yang ada
dalam perusahaan. Dengan demikian difahami bahwa corporate social responsibility
akan berjalan dengan cara abstrak, di mana nilai-nilai perusahaan yang menjadi acuan dalam bertindak, atau tindakan nyata
yang dilakukan oleh perusahaan berdasarkan kondisi sosial masyarakat sekitarnya.
Pada masa lalu perusahaan berada dalam lingkaran kegiatan untuk menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi kesejahteraan
perusahaan itu sendiri tanpa mengindahkan kewajiban recovery atas lingkungan. Pandangan konvensional dari perusahaan mengenai hak
dan kewajibannya tersebut telah menyebabkan beberapa dampak
62 negatif atas aspek sosial, manusia, lingkungan terutama pada
perusahaan yang bergerak pada bidang pemanfaatan sumber daya alam dan ekonomi itu sendiri, karena secara tidak langsung keberadaan
perusahaan di tengah-tengah masyarakat telah menyebabkan perubahan bagi pola mata pencaharian penduduk sekitar. Sehingga tidak jarang
masyarakat menjadi miskin dengan keberadaan perusahaan tersebut. Sejalan dengan berbagai fenomena yang terjadi kemudian lahirlah
konsep pembangunan berkelanjutan yang mengusung niat melakukan pembangunan yang berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan masa
kini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya. Rudito, dkk, 2004.
Pembangunan berkelanjutan harus dibangun atas dasar kerangka bahwa bisnis akan tumbuh dengan subur di atas masyarakat yang
sejahtera. Karena itu bisnis perlu menyeimbangkan antara aspek ekonomi berupa mencari keuntungan dan pembangunan sosial dan
perlindungan lingkungan hidup. Sehingga perusahaan dan masyarakat mendapatkan hasil yang saling menguntungkan. Pembangunan
berkelanjutan mengilhami pelaksanaan corporate social responsibility yang kemudian dibahas dalam area internasional yaitu pada Konvensi
Rio de Janeiro tahun 1992. Kegiatan industrialisasi besar-besaran pada masyarakat dunia telah menyebabkan berkurangnya beberapa modal
penting dalam kehidupan yaitu modal lingkungan sebagai implikasi rusaknya kondisi alam akibat eksplorasi, serta modal sosial yaitu
ketimpangan dan kesenjangan sosial antara perusahaan dan masyarakat sekitar yang menyebabkan konflik berkepanjangan.
Pendapat tersebut mengusung ide pelestarian lingkungan, dan bahwa hal tersebut merupakan suatu bentuk penyadaran bagi
63 perusahaan terutama perusahaan yang berada pada bidang pemanfaatan
sumber daya alam. Lahirnya corporate social responsibility mendapat tanggapan
kontradiktif dari penganut ekonomi klasik kapitalis murni, perusahaan dianggap tidak perlu melakukan kegiatan sosial sebab hal tersebut
merupakan tanggung jawab pemerintah. Perusahaan berpendapat seperti itu karena perusahaan telah menyerahkan tanggung jawabnya
pada pemerintah secara penuh melalui pajak. Perusahaan hanya memiliki kewajiban untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-
besarnya yang akan berdampak pada pembayaran pajak yang lebih besar sebagai pemberian keuntungan bagi negara.
Pendapat tersebut didukung oleh pakar manajemen, Peter Drucker, yang menyatakan bahwa keterlibatan perusahaan di luar
kegiatan bisnis yang digelutinya, merupakan perluasan kekuasaan para eksekutif perusahaan yang melampaui kekuasaan mereka di bidang
ekonomi. Prayogo 2011 menolak pendapat tersebut, dan menyatakan
bahwa bisnis seharusnya tidak hanya mencari keuntungan semata, namun harus memperhatikan aspek-aspek yang lebih luas dan bahwa
tuntutan-tuntutan yang dikeluarkan oleh masyarakat, saat ini, tidak lagi boleh dipandang sebagai hambatan oleh perusahaan. Tuntutan-tuntutan
tersebut sewajarnya dipandang sebagai peluang bagi perusahaan untuk mengembangkan bisnisnya sehingga bisnis dapat berkembang dan
tuntutan masyarakat pun terjawab. Lambat laun hal tersebut menjadi sebuah kesepakatan bagi
seluruh perusahaan di dunia untuk melakukan tanggung jawab sosialnya tidak sebatas pada pembayaran pajak, namun perlu ada
64 penanganan langsung pada masalah-masalah yang dihadapi masyarakat
di lingkungan sekitar perusahaan tersebut. Pelaksanaan corporate social responsibility menjadi trend
global sebagai agenda bagi tiap-tiap perusahaan terlepas dari tepat atau
tidak tepatnya pelaksanaan CSR tersebut. Di Indonesia, konsep corporate social responsibility
CSR mulai menjadi isu hangat namun belum memasyarakat baik bagi seluruh lingkungan pelaku industri
maupun bagi masyarakat itu sendiri. Pelaksanaan CSR di Indonesia masih berada pada tahap
pembagian keuntungan yang dipergunakan untuk menjawab felt needs keinginan daripada real needs kebutuhan nyata masyarakat. Hal ini
disebabkan banyak perusahaan belum memahami pentingnya mengetahui dan memfasilitasi kebutuhan nyata masyarakat melalui
pelaksanaan CSR yang tepat. Pelaksanaan CSR yang tidak tepat dapat menuai permasalahan yang lebih mendalam, dengan kata lain
memecahkan masalah
dengan masalah
baru. Kecenderungan perusahaan melaksanakan CSR adalah melalui pemberian derma
berupa sumbangan, padahal hal tersebut berada pada tingkatan terendah pada kedermawanan. Hendaknya perusahaan melakukan CSR dengan
itikad untuk ”growing bigger together” antara perusahaan dengan masyarakat
setempat. Artinya
perusahaan seiring
dengan perkembangannya melakukan pengembangan terhadap masyarakat agar
memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik, sehingga perusahaan dan masyarakat dapat berkembang secara bersama-sama.
Terdapat beberapa tipe pelaksanaan CSR seperti yang diungkapkan oleh Budimanta, dkk 2007 yaitu:
1. Community relations
65 2. Community services
3. Community empowering Community relations
; yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada
para pihak yang terkait. Dalam kategori ini, program cenderung mengarah pada bentuk-bentuk kedermawanan charity atau filantropis
perusahaan kepada masyarakat, atau pemangku kepentingan lainnya. Jika semua kegiatan-kegiatan CSR lebih banyak diarahkan pada
kegiatan tersebut maka akan menimbulkan ketergantungan dari masyarakat lokal kepada perusahaan. Kegiatan-kegiatan CSR yang
ditujukan dalam upaya meredam gejolak di masyarakat dan dikhawatirkan akan mengganggu hubungan antara perusahaan dengan
masyarakat, juga termasuk dalam kategori ini. Sehingga kegiatan- kegiatan CSR yang lebih berlandaskan pada community relations
semata, perlu ditunjang dengan kegiatan lainnya yang lebih memberdayakan.
Dari hubungan
ini maka
perlu dirancang
pengembangan hubungan yang lebih mendalam dan terkait dengan bagaimana mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah
yang ada di komunitas lokal sehingga perusahaan dapat menerapkan program selanjutnya.
Tipe kedua adalah community services; merupakan pelayanan kemasyarakatan dari perusahaan untuk memenuhi kepentingan
komunitas ataupun kepentingan umum lainya. Tipe kategori ini, kegiatan atau program yang biasa dilakukan adalah pembangunan
secara fisik sektor kesehatan, keagamaan, pendidikan, transportasi dan sebagainya yang berupa puskesmas, sekolah, rumah ibadah, jalan raya,
sumber air minum, dan sebagainya. Hal pokok dari kategori ini adalah
66 memberikan kebutuhan yang ada di komunitas dan pemecahan masalah
yang dihadapi oleh komunitas. Idealnya, pelaksana kegiatan ini dilakukan oleh komunitas sendiri, sedangkan perusahaan hanya
bertindak sebagai fasilitator dari pemecahan masalah yang ada di komunitas. Sehingga dalam rangka peran fasilitator tersebut,
kebutuhan-kebutuhan yang ada di komunitas dianalisis oleh para community development officer
, kemudian dibuat rencana kegiatannya. Namun persoalannya, tidak semua perusahaan memiliki sumber daya
manusia yang cukup dan memadai, baik kualitas maupun kuantitas, yang mendukung kegiatan CSR bersama masyarakat.
Kemudian tipe ketiga adalah community empowering; merupakan kegiatan-kegiatan dan program-program yang berkaitan
dengan pemberian akses yang lebih luas kepada komunitas untuk menunjang kemandiriannya. Pada dasarnya, kategori ini melalui
tahapan-tahapan kategori lain seperti melakukan community relation pada awalnya, yang kemudian berkembang pada community services
dengan segala metodologi penggalian data dan kemudian diperdalam melalui ketersediaan pranata sosial yang sudah lahir dan muncul di
komunitas melalui program kategori ini. Dalam rangka menunjang kemandirian masyarakat tersebut, maka dalam setiap tahapan kegiatan
pemberdayaan masyarakat community empowering, masyarakat harus dilibatkan sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan masyarakat
Ife, 2007. Relasi industri dengan stakeholder khususnya masyarakat lokal,
tergantung pada jenis industri. Berdasarkan bahan dasar raw material dan teknologi pengolahan maka industri dibedakan menjadi 3 tiga
67 yaitu industri ektratif, industri manufaktur dan jasa. Dalam Tabel 6
nampak bagaimana kecenderungan relasi korporasi-stakeholder.
Tabel 6. Kecenderungan Relasi Korporasi-Stakeholder
Industri Komunitas Lokal
Pekerja Konsumen
Ektraktif Eksploitasi atas
sumber alam komunitas lokal
Kategori 1: resistensi tinggi,
rentan konflik hingga ke bentuk
kekerasan, sumber konflik
utamanya berkait dengan sumber
ekonomi Kategori 2:
resistensi sedang, tidak terlau rentan
terhadap konflik, secara umum
kesejahteraan pekerja sangat
baik Kategori 3:
resistensi rendah, konflik jarang
terjadi, terkecuali bentuk
boikot produk terkait
pencemaran lingkungan dan
HAM
Manufaktur Eksploitasi atas
pekerja Kategori 2:
resistensi sedang, tidak terlalu
rentan konflik terkecuali
berkaitan dengan masalah
lingkungan Kategori 1:
resistensi tinggi, sangat rentan
konflik, karena ekstra marjin
diperoleh melalui minimalisasi upah
Kategori 2: resistensi rendah,
jarang konflik, terkecuali
keluhan atas kualitas produk
Jasa Eksploitasi atas
konsumen Kategori 3:
resistensi rendah, jarang konflik,
interkasi dan silang
kepentingan jarang terjadi
Kategori 2: resistensi sedang,
tidak terlalu rentan konflik
terkecuali perusahaan yang
bermasalah dengan
manajemennya Kategori 1:
resistensi tinggi, sangat rentan
konflik, ekstra marjin diperoleh
dari selisih kualitas jasa
dengan harga
Sumber: Prayogo, 2007 Berdasarkan tabel 6 nampak bahwa relasi antara korporasi-
stakeholder berkaitan dengan penelitian ini masuk dalam kategori 1.
Dalam kategori 1 nampak bahwa relasi yang terjadi antara jenis industri ektratif dan masyarakat lokal cenderung ’resistensi tinggi dengan
68 masyarakat lokal, kerentanan konflik terjadi hingga ke bentuk
kekerasan, sedangkan sumber konflik utamanya adalah ekonomi. Kemudian kegiatan-kegiatan corporate social responsibility
CSR ditengarai merupakan operasionalisasi dari upaya membangun hubungan yang baik dengan stakeholder, khususnya masyarakat lokal.
Persoalannya adalah apakah kegiatan tanggungjawab sosial perusahaan tersebut dapat menjadi media dan konteks hubungan antara korporasi
dengan masyarakat lokal. Berikut adalah tabel yang menggambarkan operasionalisasi kegiatan CSR dengan konsep Keadilan dan
Pemerataan yang diungkapkan oleh Prayogo 2008:156-157.
Tabel 7. Operasionalisasi Konsep ”Keadilan dan Pemerataan”
Tingkat Justice and
Equity Operasionalisasi
Philanthropy Charity
korporasi sebagi donor, komunitas sebagai residual, prinsip sukarela, secara politik ditujukan agar tidak mengganggu
proses produksi, pendekatan conservatism, jauh dari prinsip justice
and equality Share of profit
Korporasi dominan, jumlah keuntungan dan prosentasi pembagian ditentukan sepihak oleh korporasi, komunitas sudah
masuk sebagai primary stakeholders, kewajiban korporasi hanya pada pembagian keuntungan, equality mulai berjalan namun hak
komunitas secara prinsip belum tersentuh.
Share of Cost of Production
Komunitas merupakan bagian integratif dalam sistem produksi, biaya CSR, dan CD dimasukan dalam biaya produksi, equality
bagian dari cost of production, prinsip equality mulai tercapai namun justice belum, posisi korporasi masih lebih di atas
komunitas
Share of ownership
Justice and equality sudah ditegakkan, ’hak’ komunitas lokal
ditegaskan dalam prosentase pemilikan dan pembagian keuntungan, namun resiko kerugian turut pula ditanggung
komunitas, posisi komunitas dan korporasi sejajar dalam praktek tambang
Sumber: Prayogo 2008:156-157
69 Prayogo 2008 memetakan tingkat keadilan dan pemerataan
yang dilakukan oleh perusahaan melalui tanggung jawab sosial perusahaan. Tingkat
terendah kegiatan tanggungjawab sosial perusahaan adalah hanya dorongan philantropic, dengan dominasi
kegiatan yang bersifat bantuan charity. Sedangkan tingkat yang tertinggi adalah share of ownership, dimana hal ini terjadi apabila
posisi hubungan antara korporasi dengan masyarakat lokal adalah sejajar. Dalam praktiknya kesejajaran relasi antara korporasi dengan
masyarakat lokal tersebut hingga saat ini masih sulit terwujud.
C. Operasionalisasi Tanggung