Political theories fokus Ethical theories

42 Tabel 3 Corporate social responsibilities theories and related approaches Jenis Teori Pendekatan Penjelasan Singkat Beberapa Referensi Kunci 1. Intrumental theories fokus pada pencapaian sasaran ekonomi melalui aktifitas sosial 1. Maksimalisasi nilai shareholder Maksimalisasi nilai jangka panjang Friedman 1970, Jensen 2000 2. Strategi untuk keuntungan kompetitif  Investasi sosial dalam konteks kompetitif Porter and Kramer 2002  Strategi berdasarkan pandangan sumber alami dari perusahaan dan dinamika kapabilitas perusahaan Hart 1995, Lizt 1996  Strategi dari dasar piramida ekonomi Prahalad and Hammond 2002, Hart and Christensen 2002, Prahalad 2003 3. Caused-related marketing Pengakuan aktifitas sosial altruistik dimanfaatkan sebagai alat pemasaran Varadarajan and Menon 1986, Murray and Montanari 1986

2. Political theories fokus

pada pemanfaatan tanggung jawab kekuatan bisnis dalam arena politik 1. Konstitusiona- lisme perusahaan Corporate constitutiona-lism Tanggung jawab sosial bisnis muncul dari sejumlah kekuatan sosial yang mereka Davis 1960, 1967 2. Teori Kontrak Sosial Integrative integrative social contract theories Asumsinya bahwa terdapat suatu kontrak sosial antara perusahaan dan masyarakat Donaldson Dunfee 1994, 1999 3. Corporate or business citizenship Perusahaan dipahami sebagaimana seorang warga dengan keterlibatan tertentu dalam komunitas Wood Lodgson 2002, Andriof McIntosh 2001 Matten Crane in press 43 Lanjutan tabel 3 Jenis Teori Pendekatan Penjelasan Singkat Beberapa Referensi Kunci 3. Integrative theories fokus integrasi tuntutan sosial 1. Manajemen isu issues management Proses-proses perusahaan merespon isu sosial dan politik yang mempengaruhinya. Sethi 1975, Ackerman 1973, Jones 1980, Vogel 1986, Wartick and Mahon 1994 2. Tanggung jawab publik public responsibility Hukum dan adanya proses kebijakan publik diambil sebagai rujukan untuk kinerja sosial social performance Preston and Post 1975, 1981 3. Manajemen Pemangku Kepentingan stakeholder management Kesimbangan para pemangku kepentingan Mitchell et.al. 1997, Agle and Mitchell 1999, Rowley 1997, 4. Kinerja Sosial Perusahaan Corporate social performance Mencari legitimasi sosial dan proses- proses untuk memberi respon yang tepat terhadap isu-isu sosial Carrol 1979, Wartick and Cochran 1985, Wood 1991b, Swanson 1995

4. Ethical theories

fokus pada sesuatu yang baik untuk mencapai suatu masyarakat yang baik 1. Teori Normatif Pemangku Kepentingan Stakeholder normative theories Pertimbangan tugas- tugas yang tergadai dari perusahaan. Aplikasinya membutuhkan rujukan sejumlah teori moral Freeman 1984, 1994, Evan and Freeman 1988, Donaldson and Preston 1995, Freeman and Phillips 2002, Phillips et al. 2003 2. Hak-hak Azasi Universal Kerangkanya berdasarkan hak-hak azasi manusia, hak buruh dan penghargaan lingkungan The Global Sullivan Principles 1999, UN Global Compact 1999 3. Pembanguna n Berkelanjutan Upaya mencapai pembangunan manusia berdasarkan pertimbangan saat ini dan generasi masa depan World Commission on Environment and Development Brutland Report 1987, Gladwin and Kennelly 1995 4. The Common good Berorientasi pada kebiasaan baik masyarakat Alford and Naugghton 2002, Mele 2002 Kaku 1997 Sumber: Garriga Mele, 2004: 63-64 44 Dalam praktiknya, seringkali terjadi penerapan kegiatan corporate social responsibility didasarkan pada banyak alasan dan tuntutan, sebagai paduan antara faktor internal dan eksternal. Sebagaimana dijelaskan lebih jauh oleh Frynas 2009 yang melihat bahwa pertimbangan perusahaan untuk melakukan kegiatan CSR antara lain umumnya karena alasan-alasan berikut: 1. Untuk memenuhi regulasi, hukum dan aturan 2. Sebagai investasi sosial perusahaan untuk mendapatkan image yang positif 3. Bagian dari strategi bisnis perusahaan 4. Untuk memperoleh licence to operate dari masyarakat setempat 5. Bagian dari risk management perusahaan untuk meredam dan menghindari konflik sosial Pada dasarnya tidak ada perspektis teoritis atau metodologi kajian yang dapat menjelaskan aktifitas CSR secara memuaskan menjawab semua pertanyaan Lockett et al.2006, p.12. Namun demikian terdapat terdapat dua teori dan satu perspektif yang berkembang saat ini dalam CSR sebagaimana yang diungkapkan oleh Frynas 2009, yaitu: 1 Teori Stakeholder : menekankan reaksi perusahaan perseorangan dalam konteks hubungan dengan stakeholder eksternal. Teori ini menjelaskan respon strategis yang berbeda dari perusahaan terhadap tekanan-tekanan sosial walaupun dalam industri sejenis atau negara yang sama, berdasarkan pada sifat hubungan eksternal. 45 2 Teori Institusional: menekankan daya adaptif perusahaan secara kelembagaan aturan. Teori ini menjelaskan mengapa perusahaan dari negara atau industri berbeda dalam merespon tekanan sosial dan lingkungan, dan mengapa di negara yang berbeda-beda dari perusahaan multinasional yang sama memilih strategi CSR yang berbeda, sebagai hasil dari pemberlakuan norma atau keyakinan nasional. 3 Perspektif Austrian Economics: perspektif ini menyediakan wawasan terhadap upaya strategi aktif CSR dalam perusahaan dengan suatu perspektif kewirausahaan. Teori Stakeholder dan Teori Institusional dapat membantu menjelaskanbagaimana respon perusahaan terhadap tekanan kondisi sosial eksternal dan lingkungan. Namun demikian gagal untuk menjelaskan pilihan strategi aktif dalam perusahaan, yaitu mengapa perusahaan tertentu menggunakan CSR sebagai sebuah senjata melawan persaingan perusahaan atau mengapa perusahaan tertentu mengeluarkan jutaan dolar dalam pembaruan energy. Sementara, sebagai sebuah perspektif, pendekatan Austrian Economic dapat dipandang sebagai salah satu alternatif pemikiran yang lebih maju dalam memandang kegiatan CSR. Dalam kaitan dengan kewirausahaan sosial sebagai suatu pendekatan dalam mengatasi persoalan sosial dan kemasyarakat; maka CSR dapat sebagai sumber pemecahan masalah sosial tersebut. Beberapa pemikiran Austrian Economics mengenai CSR, adalah sebagai berikut: 1. Wawasan ekonomi dan strategi manajemen mengusulkan bahwa strategi CSR dalam perusahaan harus dipandang sebagai 46 sebuah keputusan investasi dan sebagai suatu cara memperoleh keuntungan kompetitif, sama halnya dengan putusan-putusan investasi lain yang harus diambil. 2. Pendekatan CSR yang berbeda dari Austrian economics berkenaan dengan tindakan kemanusiaan bukanlah berdasarkan ‘external constrains’ sebagai faktor fundamental pembuatan keputusan. 3. Perspektif Austrian menekankan peluang ‘future’ dan kewirausahaan aktif dalam mengidentifikasi masa depan. 4. Karakteristik utama keberhasila nnya ‘capitalist entrepreneurship’; yaitu bukan pada kemampuan mereka beraksi kepada sesuatu atau ‘discover’ tuntutan eksternal, tetapi lebih pada kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang berhasil tentang masa depan Frynas, 2009; hal.19-20 Dilihat dari uraian tersebut, konsep-konsep dari Austrian economics dapat lebih berkaitan dengan upaya kewirausahaan sosial di Indonesia khususnya dalam penyelesaian permasalahan sosial dan kemasyarakatan. Sudut pandang kewirausahaan dalam CSR diharapkan dapat memainkan peran kunci dalam membentuk strategi perusahaan memandang permasalahan sosial dan lingkungan. Sebagai perbandingan dari ketiga perpektif teoritis, dapat dilihat dalam tabel berikut: 47 Tabel 4 Perbandingan Perspektif teoritis terhadap strategi CSR Teori Institusional Teori Stakeholder Austrian View Fokus Utama Ketaatan pada aturan dan norma Hubungan dengan factor eksternal Peran kewirausahaan Determinan Strategi CSR Hidup dengan konteks kelembagaan berbeda Ketergantungan relative suatu perusahaan pada stakeholder Tinjauan masa depan kewirausahaan Lingkup untuk kebebasan aksi manajemen Non-choice behavior Pilihan perilaku terbatas Pilihan perilaku yang substansial Sumber: Frynas 2009: 122 diterjemahkan oleh peneliti. B. Kajian Relasi Dinamis Antara Perusahaan dengan Masyarakat Lokal Soekanto 1982 menyatakan bahwa relasi-relasi sosial yang dinamis adalah interaksi sosial, yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia. Relasi sosial dinamis yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat lokal dapat dipahami dalam konteks relasi kelompok-kelompok sosial yang terdapat dalam sebuah masyarakat secara luas. Pola relasi yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat lokal tersebut bergantung pada persepsi dan cara pandang masing- masing pihak dalam membangun interaksi dan komunikasi diantara mereka. Masyarakat adalah sebuah system yang terdiri dari beragam kelompok yang membuat masyarakat tersebut menjadi sebuah system yang multikompleks. Khadijah 2011:35 menyebutkan bahwa 48 masyarakat merupakan sebuah sistem kehidupan yang multikompleks, yang di dalamnya terdapat sebuah proses sosial yang ditandai dengan adanya interaksi sosial dengan menggunakan simbol-simbol yang sama. Interaksi sosial tersebut kemudian adalah sebuah kebudayaan dalam bentuk hubungan sosial. Dengan demikian, masyarakat mempunyai karakteristik budaya yang unik dan mengikat bagi warganya dalam interaksi antara satu dengan lainnya. Dalam berinteraksi dalam sebuah masyarakat dikenal sebuah istilah realitas sosial. Realitas sosial merupakan satu kesatuan dalam berinteraksi dan beraktifitas dalam sebuah masyarakat. Semakin tinggi dan rumit aktivitas suatu masyarakat semakin tinggi pula tingkat dinamika masyarakat tersebut. Dengan demikian akan terbentuk pola relasi dan interaksi yang berbeda dalam sebuah masyarakat yang kompleks pula. Bentuk dan corak sebuah relasi sebagaimana diungkapkan oleh Comte dalam Azwar 2005: 53 adalah bahwa dasar relasi sosial muncul dari cara berfikir manusia sehingga pijakan relasi sosial dari sisi perkembangan struktur masyarakat dibentuk selalu bersifat konsep pasangan kontradiksi. Frekuensi hubungan sosial, sebagaimana Cooley jelaskan yang dikutip dalam Azwar 2003:54 bahwa usaha untuk membuat kategori hubungan sosial dapat dilakukan dengan membedakan antara hubungan primer dan hubungan sekunder. Yang dimaksud dengan hubungan primer adalah hubungan interaksi yang terjadi berupa tatap muka yang erat dan gotong royong, yang meleburkan kepentingan individual dengan kepentingan orang banyak. Sedangkan mehubungan sekunder dicirikan dengan karakter hubungan yang formal, prosedural dan impersonal. . 49 Menurut Bungin 2008:44, struktur relasi sosial dapat dibagi berdasarkan jenis kelompok sosial yang akan mempengaruhi pola-pola relasi antar kelompok tersebut. Kategori kelompok dapat tergambar dalam tabel berikut: Tabel 5 Tipe Kelompok Sosial Kelompok Primer Sekunder Formal A B Informal C D Sumber: Bungin, 2008 Lebih lanjut, Khadijah 2011:38-40 menggambarkan karakteristik keempat kelompok sosial tersebut sebagai berikut: a. Kelompok Formal-Pimer A adalah kelompok sosial yang berkarakter formal resmi, namun keberadaannya bersifat primer. Kelompok ini tidak memiliki aturan yang jelas, stuktur yang tegas secara fungsional impementasinya jeas terlihat. Terbentuknya kelompok ini, dapat karena tujuan yang jelas atau tidak jelas. b. Kelompok Formal-Sekunder B adalah kelompok sosial yang bersifat sekunder, resmi, serta memiliki aturan dan struktur yang tegas, dibentuk berasarkan tujuan yang jelas. Kelompok formal sekunder memiliki ciri-ciri sebagai berikut: c. Kelompok Informal-Primer C, adalah kelompok sosial yang terjadi karena meleburnya sifat-sifat kelompok sosial primer- sekunder atau karena pembentukkan sifat dari luar kelompok yang tidak dapat ditampung dalam keompok primer sekunder. d. Kelompok Informal-Sekunder D, adalah kelompok sosial yang umumnya informal maupun keberadaannya bersifat sekunder. 50 Kelompok ini bersifat tidak mengikat, tidak memiliki aturan dan struktur yang tegas. Dibentuk hanya untuk sesaat dan tidak mengikat, karena dibentuk untuk tujuan yang tidak jelas. Hubungan sosial yang terjalin menunjukkan adanya pengertian bahwa setiap individu, kelompok dan masyarakat menyadari tentang kehadirannya di samping kehadiran individu, kelompok dan masyarakat lainnya. Kesadaran akan kehadiran pihak lain tersebut, diharapkan akan muncul tindakan bersama mutual action dan pengakuan bersama mutual recognition. Setiap relasi sosial dapat menjadi objek dari nilai-nilai. Inkeles dalam Soekanto 1983 menyatakan bahwa, secara umum, kualitas dan aspek hubungan manusia terdapat di sebagian besar masyarakat, perbedaan budayalah yang menentukan kualitas tersebut penting atau tidak penting, baik atau buruk. Inkeles yang dikutip oleh Soekanto 1983, menekankan bahwa aspek nilai dan kebudayaan dalam sebuah masyarakat merupakan dimensi terpenting hubungan sosial dalam kebersamaan. Artinya setiap masyarakat memiliki penilaian tertentu terhadap hubungan antara manusia, hubungan dengan alam, waktu dan kegiatan atau kekaryaan lainnya. Menurut Kluckhon dan Strodtbeck dalam Koentjaraningrat, 1990:78, terdapat lima orientasi nilai budaya dalam hidup manusia, yaitu: “1 Human nature atau makna hidup manusia; 2 man-nature atau makna hubungan manusia dengan alam sekitarnya; 3 time atau persepsi manusia tentang waktu; 4 activity atau makna akan perkerjaan, karya dan amal perbuatan manusia; 5 relational atau hubungan manusi a dengan sesama manusia.” 51 Hubungan manusia dengan sesamanya telah dituntun oleh struktur budaya sejak dari awal, sebagai bagian menata dan mengelola warga masyarakatnya agar mampu bertahan dan langgeng. Di negara-negara yang sedang berkembang dimana struktur kekuasaan begitu kuat dan dominan, terdapat kecenderungan para elit-elit kekuasaan berupaya memelihara struktur budaya masyarakat yang mudah dan dapat diatur oleh kekuasaan. Elit-elit kekuasaan mempunyai semangat yang besar terhadap pengembangan diri mereka karena secara politis mereka memerlukan dukungan masyarakat. Khadijah 2011:58-59 menyebutkan media massa mempunyai posisi-peran strategis dalam menyampaikan isu-isu nasional, yang merupakan alat bagi elit kekuasaan untuk meraih dukungan tersebut, yaitu melalui proses komunikasi informasi satu arah bukan dialog. Dengan media massa, masyarakat menjadi penonton yang bersifat pasif, menerima informasi-infomasi elit kekuasaan. Dalam batas-batas tertentu masyarakat tidak cukup mengetahui realitas atau kebenaran sehingga masyarkaat begitu mudahnya menjadi salah satu pendukung dari isu atau informasi yang disebarkan elit melalui media massa tersebut. Mills dikutip oleh Khadijah 2011:59 menyebut mereka sebagai masyarakat massa mass society. Masyarakat massa seperti kerbau yang dicocok hidungnya karena tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran yang cukup untuk mengerti isi dari informasi atau isu yang disampaikan para elit Khadijah, 2011. Para elit yang dimaksud dalam konteks Indonesia adalah, sebagaimana disebutkan oleh Mills, para penguasa dan golongan politisi, militer, dan pengusaha ekonomi termasuk penguasaan sumber 52 daya alam yang digambarkan memiliki karakter dan gerakan yang serupa Khadijah, 2011. Para elit kekuasaan di Indonesia membangun hubungan mendominasi rakyat dan akan bergerak mencapai posisi yang lebih tinggi dari pada yang lainnya. Konsepsi Habermas aliran Frankfurt, meyakini bahwa semestinya ilmuwan sosial mempunyai kewajiban moral melakukan kritik masyarakat dan bahwa kepentingan teori sosial adalah emansipasi yang membebaskan masyarakat dari kekejaman struktur sosial yang menindas Khadijah, 2011. Pemikiran Habermas berbicara tentang pengembangan konsep nalar yang lebih komprehensif, yakni nalar yang tidak tereduksi pada instrumen teknis dari subjek manusia Khadijah, 2011. Postulat Habermas adalah adanya tiga kepentingan manusia yang berakar, yaitu kepentingan teknis technical, kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam kontrol teknis terhadap alam; praktik practical dalam bentuk memahami orang lain; dan emansipatoris emancipatory dalam membebaskan diri dari struktur dominan. Masyarakat modern menyaksikan adanya perubahan pada manusia ketika muncul keinginan menguasai alam berubah menjadi hasrat mendominasi manusia lain. Untuk memperbaiki penyimpangan ini, Habermas menekankan rasionalitas yang inheren dalam kepentingan praktis dan emansipatoris Khadijah, 2011. Ini berarti bahwa dasar rasional untuk bersama-sama hidup dalam harmoni hanya dapat diraih ketika hubungan sosial diatur menurut kesepakatan yang dicapai dalam komunikasi yang bebas dari dominasi satu pihak terhadap pihak lainnya. Sedangkan bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerjasama co-operation, persaingan competition dan bahkan dapat 53 juga berbentuk pertentangan atau pertikaian conflict, Soekanto 1990:63. Sedangkan Gillin dan Gillin 1954 dalam Bungin 2008:134, menggolongkan secara luas terdapat dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu proses asosiatif dan proses disosiatif. Proses asosiatif terbagi menjadi dua yaitu akomodasi dan asimilasi, serta akulturasi; kemudian proses yang disosiatif mencakup persaingan, kontraversi dan pertentangan atau pertikaian conflict. Perusahaan dapat mengidentifikasi masyarakat lokal secara menyeluruh, yaitu baik secara budaya, ekonomi, dan sosial sehingga dapat menghasilkan sebuah kehidupan yang harmonis antara perusahaan dan masyarakat tempat perusahaan tersebut beroperasi. Berdasarkan pemahaman akan kondisi masyarakat tersebut, perusahaan diharapkan mampu membangun proses-proses sosial yang bermanfaat bagi masyarakat lokal sekitar wilayah operasi mereka. Kemanfaatan yang diperoleh dan dinikmati oleh masyarakat lokal, secara langsung atau tidak langsung serta berjangka waktu panjang akan memberi manfaat juga bagi perusahaan bersangkutan. Dalam penerapan kegiatan CSR oleh perusahaan seringkali mengalami kegagalan atau tidak efektif dalam pencapaian tujuannya; bahkan lebih jauh lagi hasilnya contra-productive dengan harapan. Selain hambatan business case, sejumlah studi yang dilakukan Nuffield Foundation dikutip oleh Frynas 2009 telah mengidentifikasi sejumlah hambatan penting dalam penerapan CSR di beberapa negara, antara lain:  Gagal memahami negara dan konteks isu-isu khusus.  Gagal melibatkan beneficiaries CSR. 54  Kurangnya sumber daya manusia: spesialist pengembangan masyarakat.  Sikap-sikap sosial dari staf perusahaan atau hanya fokus pada solusi teknis dan manajerial.  Tidak ada integrasi ke dalam sebuah rencana pembanguan yang lebih luas. Contoh yang paling sering terjadi mengenai ‘negara dan konteks isu-isu khusus’ antara lain adalah konflik antar suku dan korupsi Frynas, 2009. Sedangkan kegagalan melibatkan beneficiaries adalah tidak adanya upaya membangun partisipasi dari perusahaan dan upaya memandirikan beneficiaries Frynas, 2009. Perusahaan pertambangan biasanya gagal melakukan konsultasi secara lebih luas kepada pimpinan lokal dan tokoh-tokoh lokal Frynas, 2009. Keterlibatan penerima manfaat CSR dalam pelaksanaan proyek cenderung terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali, dan paling mungkin terbatas pada pemberian kontrak pada perusahaan lokal. Padahal, kegagalan melibatkan orang-orang lokal telah memelihara suatu mental yang berdampak lebih buruk lagi, yaitu mentalitas ketergantungan dependency mentality Frynas, 2009. Persoalan-persoalan yang muncul tersebut sebetulnya dapat dihindari dengan dilakukannya konsultasi mendalam dan dengan adanya inisiatif masyarakat lokal untuk berpartisipasi dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan-keterampilan dan alat-alat lokal. Namun, keterlibatan masyarakat lokal tersebut secara inheren terhambat karena perusahaan kekurangan sumber daya manusia 55 perusahaan dan pendekatan teknismanajerial dari staf perusahaan, terutama perusahaan minyak dan pertambangan Frynas, 2009. Kurangnya ‘jalur karier’ career path untuk spesialis pengembangan masyarakat di dalam perusahaan lebih jauh membatasi keahlian pembangunan secara potensial. Berkaitan dengan kurangnya sumber daya manusia, inisiatif CSR secara inheren menjadi cacat karena hasil dari sikap-sikap sosial staf perusahaan minyak, artinya nilai-nilai sosial yang mengarahkan penentuan keputusan staf perusahaan. Orang-orang yang bergerak di perusahaan minyak biasanya memiliki latar belakang manajerial atau keahlian teknik. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi menghadapi tantangan teknis dan manajerial. Dengan demikian pendekatan-pendekatan teknik dan manajerial bisa berhasil mengatasi tantangan lingkungan, tetapi tidak cukup dalam mengatasi permasalahan sosial yang kompleks dimana lebih mementingkan soft skill, kesabaran, dan keterampilan interpersonal. Dengan tidak terintegrasinya CSR atau ‘social invesment’ ke dalam rencana pembangunan yang lebih luas, potensi pembangunan dari inisiatif perusahaan menjadi terbatas dan sumber-sumber mungkin tidak berhubungan dengan efektifitas pembangunan yang digunakan. Bahkan akibat buruk lainnya adalah perusahaan akan menghadapi resiko timbulnya konflik lokal karena kecemburuan dan menciptakan konsekuensi pembangunan negatif. Persoalan lainnya adalah berkaitan dengan transparansi, yaitu keterbukaan dan kejujuran untuk melaporkan keuangan dan kegiatan CSR. Kajian-kajian yang pernah ada Alt Lassen, 2006a,b; Gelos 56 Wei, 2005; Shi Svenson, 2002 menunjukkan pengaruh perkembangan yang positif mengenai transparansi, diantaranya:  Pengaruh politik, yaitu transparansi memperbaiki aliran informasi dari pengatur dan yang diatur.  Pengaruh ekonomi, yaitu transparansi meningkatkan kredibilitas suatu negara diantara investor luar negeri dan masyarakat perbankan internasional.  Pengaruh sosial, yaitu pengaruh positif politik dan ekonomi dapat membawa banyak pengaruh sosial yang positif Frynas, 2009. Namun demikian hasil penelitian mengenai transparansi tersebut juga menyarankan sejumlah kondisi yang harus dipenuhi dalam rangka memaksimalkan dampak positif dari transparansi. Berdasarkan hasil penelitian Alt Lassen, 2006a,b; Gelos Wei, 2005; Shi Svenson, 2002 setidaknya ada 3 tiga kondisi atau prasyarat yang harus dipenuhi: 1 kebebasan media; 2 keterlibatan masyarakat sipil; dan 3 waktu pengenalan transparansi. Sesungguhnya CSR memiliki potensi yang besar untuk mengatasi tantangan lingkungan. Sebaliknya CSR memiliki kelemahan dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan masyarakat dan pemerintahan. Perusahaan semestinya memperoleh manfaat yang besar dari relasi dengan masyarakat dan pemerintahan yang lebih baik diantaranya adalah berkurangnya biaya operasional, tidak banyak korupsi, meningkatnya reputasi perusahaan, dan seterusnya. Negara penyelenggara semestinya juga memperoleh manfaat yang besar dari peningkatan sumber daya manusia dan 57 pemerintahan, dalam kerangka meningkatnya investasi swasta, meningkatnya tingkat pendidikan, pelayanan publik yang lebih baik dan seterusnya. Namun demikian, perusahaan nampak enggan mengatasi isu-isu pemerintahan, sementara pendekatannya melalui pengembangan masyarakat seringkali tidak efektif. Dua alasan mendasar mengapa perusahaan multinasional gagal mengatasi persoalan pembangunan dan pemerintahan secara efektif adalah Pertama, ‘business case for CSR’ yakni, memanfaatkan inisiatif sosial untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan terbatas pada satuan inisiatif untuk dapat mencapai masyarakat yang lebih luas. Kedua, perusahaan multinasional seringkali gagal mengenali secara penuh lingkup interaksi mereka dengan masyarakat dan politik, dan mereka tidak mau menerima tanggung jawab terhadap isu-isu di level makro – isu-isu yang berkaitan dengan dampak industri mereka terhadap masyarakat luas. Keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam CSR bukan berarti usaha swasta tidak melakukan apa-apa terhadap isu-isu kemasyarakatan. Perusahaan perlu didorong untuk melibatkan diri dengan aspek sosial dan lingkungan dalam operasinya, dan mereka akan memperoleh peluang-peluang bisnis yang CSR tawarkan. Banyak inisiatif sukarela perusahaan gagal karena mereka tidak mendengar stakeholders-nya dengan baik. Keterlibatan pemangku kepentingan seringkali dangkal dan singkat, perusahaan mungkin mendengarkan stakeholder-nya dengan daya tawar yang lebih besar dengan prioritas kepentingan perusahaannya daripada memperhatikan stakeholder -nya. Sehingga masalah krusial berikutnya adalah keputusan mengenai inisiatif sosial dan lingkungan seringkali 58 dilakukan untuk mencapai prioritas perusahaan daripada stakeholder, yang akhirnya mengarah pada terbatasnya kemampuan CSR memberi manfaat signifikan kepada stakeholder pemangku kepentingan. Pengembangan industri pada dasarnya ditujukan untuk memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat baik melalui pembukaan lapangan pekerjaan, mendatangkan devisa negara, maupun peningkatan pendidikan. Namun pada kenyataannya selain dampak positif di atas, pengembangan industri menuai berbagai dampak negatif antara lain; kerusakan lingkungan hidup serta menimbulkan permasalahan sosial yaitu konflik antara perusahaan dengan penduduk setempat akibat adanya kesenjangan secara sosial maupun ekonomi antara pelaku usaha korporat dengan masyarakat sekitar. Berbagai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang timbul akibat berdirinya suatu kawasan industri, mengetuk hati pelaku usaha untuk bertanggung jawab kepada publik melalui aktivitas yang nyata. Bentuk pemberian dari para pelaku usaha tersebut dikenal dengan semangat Filantropi. Philanthropy dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kedermawanan sesungguhnya berasal dari Bahasa Yunani cinta atau kasih dan anthropos manusia; dengan demikian artinya adalah kebaikan hati yang diwujudkan dalam perbuatan baik dengan menolong dan memberikan sebagian harta, tenaga maupun pikiran secara sukarela untuk kepentingan orang lain. Sumbangan, amal, derma memang merupakan salah satu bentuk dari filantropi, namun barulah tahap yang paling awal. Bentuk akhir dari filantropi adalah sebagai investasi: yaitu investasi sosial Ibrahim, 2005. 59 Berdasarkan dari filantropi tersebut maka pelaku bisnis yang memiliki perusahaan besar maupun kecil korporat memiliki tanggung jawab untuk turut mengembangkan masyarakat di sekitarnya untuk menghindari terjadinya ketimpangan, kesenjangan serta kecemburuan sosial yang dapat mengakibatkan disharmonisasi sosial. Trinidad and Tobago Bereau of Standards TTBS menyatakan bahwa Tanggung jawab sosial perusahaan dalam terminologi bahasa Inggris disebut Corporate Social Responsibility, yang didefinisikan sebagai “komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersama dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara lebih luas Sankat, Clement K, 2002 dalam Budimanta, dkk, 2005 Sementara menurut The World Business Council for Sustainable Development WBCSD 2002 difahami bahwa definisi Corporate social responsibility adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitas-komunitas setempat lokal dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Peningkatan kualitas kehidupan tersebut memiliki arti adanya suatu itikad baik dari perusahaan untuk meningkatakan kemampuan masyarakat sekitarnya agar mampu bertahan dengan perubahan yang ada, mampu berkarya, menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup. Dengan demikian tujuan dari peningkatkan kualitas kehidupan tersebut adalah tidak mengurangi keadaan sebelum perusahaan berdiri 60 serta semaksimal mungkin berusaha meningkatkan daya saing masyarakat setempat untuk mampu beradaptasi dan bertahan. Sejalan dengan pandangan tersebut, I Nyoman Tjager 2003 mengartikan corporate social responsibility sebagai tanggung jawab moral perusahaan baik terhadap karyawan perusahaan itu sendiri internal, maupun di luar lingkungan perusahaan yaitu masyarakat di sekitar perusahaan eksternal. Pendapat tersebut menunjukkan adanya kaitan yang erat antara keberadaan perusahaan dan ketentuan yang mengikatnya yang dinamakan etika bisnis. Pada satu sisi perusahaan memiliki orientasi mendapatkan keuntungan money oriented namun di sisi lain perusahaan harus memiliki tanggung jawab dan kepedulian pada masyarakat sebab perusahaan tersebut berada pada lingkungan masyarakat dan sedikit banyak telah menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negatif. Corporate social responsibility merupakan proses penting dalam pengaturan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan bisnis dari para stakeholders baik secara internal maupun secara eksternal. Dengan demikian, tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya terbatas pada pemberian donor saja, namun konsepnya sangat luas dan tidak bersifat statis dan pasif, hanya dikeluarkan dari perusahaan, akan tetapi hak dan kewajiban yang dimiliki bersama antar stakeholders. Drucker 1993 menyatakan bahwa pendekatan yang diperlukan dalam tanggung jawab sosial perusahaan adalah holistik dalam usaha bisnis semata bergerak dari yang bersifat derma menuju ke arah tanggung jawab sosial perusahaan dan lebih kepada keberlanjutan penanaman sosial perusahaan. Pertanyaannya adalah bagaimana bentuk penanaman sosial 61 perusahaan, apa dan kepada siapa yang harus ditanamkan tanggung jawab sosial yang ada. Mark Goyder membagi dua bentuk corporate social responsibility , yaitu yang berbentuk tindakan atas program yang diberikan terhadap masyarakat dan nilai yang menjadi acuan dari corporate social responsibility . Bentuk yang pertama merupakan tindakan terhadap aspek ekternal perusahaan atau kaitannya dengan lingkungan luar seperti masyarakat dan lingkungan alam. Dengan kata lain bagaimana perusahaan berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat sekitarnya. Bentuk kedua cenderung mengarah pada tipe ideal antara lain: berupa nilai perusahaan yang dipakai untuk menerapkan atau mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan keadaan sosial terhadap masyarakat sekitarnya. Menurut Goyder, interpretasi yang benar dari corporate social responsibility adalah ekspresi dari tujuan perusahaan dan nilai-nilai dalam seluruh hubungan yang telah dibangun. Nilai-nilai yang ada diartikan berbeda dari norma yang ada dalam perusahaan. Dengan demikian difahami bahwa corporate social responsibility akan berjalan dengan cara abstrak, di mana nilai-nilai perusahaan yang menjadi acuan dalam bertindak, atau tindakan nyata yang dilakukan oleh perusahaan berdasarkan kondisi sosial masyarakat sekitarnya. Pada masa lalu perusahaan berada dalam lingkaran kegiatan untuk menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi kesejahteraan perusahaan itu sendiri tanpa mengindahkan kewajiban recovery atas lingkungan. Pandangan konvensional dari perusahaan mengenai hak dan kewajibannya tersebut telah menyebabkan beberapa dampak 62 negatif atas aspek sosial, manusia, lingkungan terutama pada perusahaan yang bergerak pada bidang pemanfaatan sumber daya alam dan ekonomi itu sendiri, karena secara tidak langsung keberadaan perusahaan di tengah-tengah masyarakat telah menyebabkan perubahan bagi pola mata pencaharian penduduk sekitar. Sehingga tidak jarang masyarakat menjadi miskin dengan keberadaan perusahaan tersebut. Sejalan dengan berbagai fenomena yang terjadi kemudian lahirlah konsep pembangunan berkelanjutan yang mengusung niat melakukan pembangunan yang berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya. Rudito, dkk, 2004. Pembangunan berkelanjutan harus dibangun atas dasar kerangka bahwa bisnis akan tumbuh dengan subur di atas masyarakat yang sejahtera. Karena itu bisnis perlu menyeimbangkan antara aspek ekonomi berupa mencari keuntungan dan pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan hidup. Sehingga perusahaan dan masyarakat mendapatkan hasil yang saling menguntungkan. Pembangunan berkelanjutan mengilhami pelaksanaan corporate social responsibility yang kemudian dibahas dalam area internasional yaitu pada Konvensi Rio de Janeiro tahun 1992. Kegiatan industrialisasi besar-besaran pada masyarakat dunia telah menyebabkan berkurangnya beberapa modal penting dalam kehidupan yaitu modal lingkungan sebagai implikasi rusaknya kondisi alam akibat eksplorasi, serta modal sosial yaitu ketimpangan dan kesenjangan sosial antara perusahaan dan masyarakat sekitar yang menyebabkan konflik berkepanjangan. Pendapat tersebut mengusung ide pelestarian lingkungan, dan bahwa hal tersebut merupakan suatu bentuk penyadaran bagi 63 perusahaan terutama perusahaan yang berada pada bidang pemanfaatan sumber daya alam. Lahirnya corporate social responsibility mendapat tanggapan kontradiktif dari penganut ekonomi klasik kapitalis murni, perusahaan dianggap tidak perlu melakukan kegiatan sosial sebab hal tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah. Perusahaan berpendapat seperti itu karena perusahaan telah menyerahkan tanggung jawabnya pada pemerintah secara penuh melalui pajak. Perusahaan hanya memiliki kewajiban untuk memperoleh keuntungan yang sebesar- besarnya yang akan berdampak pada pembayaran pajak yang lebih besar sebagai pemberian keuntungan bagi negara. Pendapat tersebut didukung oleh pakar manajemen, Peter Drucker, yang menyatakan bahwa keterlibatan perusahaan di luar kegiatan bisnis yang digelutinya, merupakan perluasan kekuasaan para eksekutif perusahaan yang melampaui kekuasaan mereka di bidang ekonomi. Prayogo 2011 menolak pendapat tersebut, dan menyatakan bahwa bisnis seharusnya tidak hanya mencari keuntungan semata, namun harus memperhatikan aspek-aspek yang lebih luas dan bahwa tuntutan-tuntutan yang dikeluarkan oleh masyarakat, saat ini, tidak lagi boleh dipandang sebagai hambatan oleh perusahaan. Tuntutan-tuntutan tersebut sewajarnya dipandang sebagai peluang bagi perusahaan untuk mengembangkan bisnisnya sehingga bisnis dapat berkembang dan tuntutan masyarakat pun terjawab. Lambat laun hal tersebut menjadi sebuah kesepakatan bagi seluruh perusahaan di dunia untuk melakukan tanggung jawab sosialnya tidak sebatas pada pembayaran pajak, namun perlu ada 64 penanganan langsung pada masalah-masalah yang dihadapi masyarakat di lingkungan sekitar perusahaan tersebut. Pelaksanaan corporate social responsibility menjadi trend global sebagai agenda bagi tiap-tiap perusahaan terlepas dari tepat atau tidak tepatnya pelaksanaan CSR tersebut. Di Indonesia, konsep corporate social responsibility CSR mulai menjadi isu hangat namun belum memasyarakat baik bagi seluruh lingkungan pelaku industri maupun bagi masyarakat itu sendiri. Pelaksanaan CSR di Indonesia masih berada pada tahap pembagian keuntungan yang dipergunakan untuk menjawab felt needs keinginan daripada real needs kebutuhan nyata masyarakat. Hal ini disebabkan banyak perusahaan belum memahami pentingnya mengetahui dan memfasilitasi kebutuhan nyata masyarakat melalui pelaksanaan CSR yang tepat. Pelaksanaan CSR yang tidak tepat dapat menuai permasalahan yang lebih mendalam, dengan kata lain memecahkan masalah dengan masalah baru. Kecenderungan perusahaan melaksanakan CSR adalah melalui pemberian derma berupa sumbangan, padahal hal tersebut berada pada tingkatan terendah pada kedermawanan. Hendaknya perusahaan melakukan CSR dengan itikad untuk ”growing bigger together” antara perusahaan dengan masyarakat setempat. Artinya perusahaan seiring dengan perkembangannya melakukan pengembangan terhadap masyarakat agar memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik, sehingga perusahaan dan masyarakat dapat berkembang secara bersama-sama. Terdapat beberapa tipe pelaksanaan CSR seperti yang diungkapkan oleh Budimanta, dkk 2007 yaitu: 1. Community relations 65 2. Community services 3. Community empowering Community relations ; yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait. Dalam kategori ini, program cenderung mengarah pada bentuk-bentuk kedermawanan charity atau filantropis perusahaan kepada masyarakat, atau pemangku kepentingan lainnya. Jika semua kegiatan-kegiatan CSR lebih banyak diarahkan pada kegiatan tersebut maka akan menimbulkan ketergantungan dari masyarakat lokal kepada perusahaan. Kegiatan-kegiatan CSR yang ditujukan dalam upaya meredam gejolak di masyarakat dan dikhawatirkan akan mengganggu hubungan antara perusahaan dengan masyarakat, juga termasuk dalam kategori ini. Sehingga kegiatan- kegiatan CSR yang lebih berlandaskan pada community relations semata, perlu ditunjang dengan kegiatan lainnya yang lebih memberdayakan. Dari hubungan ini maka perlu dirancang pengembangan hubungan yang lebih mendalam dan terkait dengan bagaimana mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang ada di komunitas lokal sehingga perusahaan dapat menerapkan program selanjutnya. Tipe kedua adalah community services; merupakan pelayanan kemasyarakatan dari perusahaan untuk memenuhi kepentingan komunitas ataupun kepentingan umum lainya. Tipe kategori ini, kegiatan atau program yang biasa dilakukan adalah pembangunan secara fisik sektor kesehatan, keagamaan, pendidikan, transportasi dan sebagainya yang berupa puskesmas, sekolah, rumah ibadah, jalan raya, sumber air minum, dan sebagainya. Hal pokok dari kategori ini adalah 66 memberikan kebutuhan yang ada di komunitas dan pemecahan masalah yang dihadapi oleh komunitas. Idealnya, pelaksana kegiatan ini dilakukan oleh komunitas sendiri, sedangkan perusahaan hanya bertindak sebagai fasilitator dari pemecahan masalah yang ada di komunitas. Sehingga dalam rangka peran fasilitator tersebut, kebutuhan-kebutuhan yang ada di komunitas dianalisis oleh para community development officer , kemudian dibuat rencana kegiatannya. Namun persoalannya, tidak semua perusahaan memiliki sumber daya manusia yang cukup dan memadai, baik kualitas maupun kuantitas, yang mendukung kegiatan CSR bersama masyarakat. Kemudian tipe ketiga adalah community empowering; merupakan kegiatan-kegiatan dan program-program yang berkaitan dengan pemberian akses yang lebih luas kepada komunitas untuk menunjang kemandiriannya. Pada dasarnya, kategori ini melalui tahapan-tahapan kategori lain seperti melakukan community relation pada awalnya, yang kemudian berkembang pada community services dengan segala metodologi penggalian data dan kemudian diperdalam melalui ketersediaan pranata sosial yang sudah lahir dan muncul di komunitas melalui program kategori ini. Dalam rangka menunjang kemandirian masyarakat tersebut, maka dalam setiap tahapan kegiatan pemberdayaan masyarakat community empowering, masyarakat harus dilibatkan sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan masyarakat Ife, 2007. Relasi industri dengan stakeholder khususnya masyarakat lokal, tergantung pada jenis industri. Berdasarkan bahan dasar raw material dan teknologi pengolahan maka industri dibedakan menjadi 3 tiga 67 yaitu industri ektratif, industri manufaktur dan jasa. Dalam Tabel 6 nampak bagaimana kecenderungan relasi korporasi-stakeholder. Tabel 6. Kecenderungan Relasi Korporasi-Stakeholder Industri Komunitas Lokal Pekerja Konsumen Ektraktif Eksploitasi atas sumber alam komunitas lokal Kategori 1: resistensi tinggi, rentan konflik hingga ke bentuk kekerasan, sumber konflik utamanya berkait dengan sumber ekonomi Kategori 2: resistensi sedang, tidak terlau rentan terhadap konflik, secara umum kesejahteraan pekerja sangat baik Kategori 3: resistensi rendah, konflik jarang terjadi, terkecuali bentuk boikot produk terkait pencemaran lingkungan dan HAM Manufaktur Eksploitasi atas pekerja Kategori 2: resistensi sedang, tidak terlalu rentan konflik terkecuali berkaitan dengan masalah lingkungan Kategori 1: resistensi tinggi, sangat rentan konflik, karena ekstra marjin diperoleh melalui minimalisasi upah Kategori 2: resistensi rendah, jarang konflik, terkecuali keluhan atas kualitas produk Jasa Eksploitasi atas konsumen Kategori 3: resistensi rendah, jarang konflik, interkasi dan silang kepentingan jarang terjadi Kategori 2: resistensi sedang, tidak terlalu rentan konflik terkecuali perusahaan yang bermasalah dengan manajemennya Kategori 1: resistensi tinggi, sangat rentan konflik, ekstra marjin diperoleh dari selisih kualitas jasa dengan harga Sumber: Prayogo, 2007 Berdasarkan tabel 6 nampak bahwa relasi antara korporasi- stakeholder berkaitan dengan penelitian ini masuk dalam kategori 1. Dalam kategori 1 nampak bahwa relasi yang terjadi antara jenis industri ektratif dan masyarakat lokal cenderung ’resistensi tinggi dengan 68 masyarakat lokal, kerentanan konflik terjadi hingga ke bentuk kekerasan, sedangkan sumber konflik utamanya adalah ekonomi. Kemudian kegiatan-kegiatan corporate social responsibility CSR ditengarai merupakan operasionalisasi dari upaya membangun hubungan yang baik dengan stakeholder, khususnya masyarakat lokal. Persoalannya adalah apakah kegiatan tanggungjawab sosial perusahaan tersebut dapat menjadi media dan konteks hubungan antara korporasi dengan masyarakat lokal. Berikut adalah tabel yang menggambarkan operasionalisasi kegiatan CSR dengan konsep Keadilan dan Pemerataan yang diungkapkan oleh Prayogo 2008:156-157. Tabel 7. Operasionalisasi Konsep ”Keadilan dan Pemerataan” Tingkat Justice and Equity Operasionalisasi Philanthropy Charity korporasi sebagi donor, komunitas sebagai residual, prinsip sukarela, secara politik ditujukan agar tidak mengganggu proses produksi, pendekatan conservatism, jauh dari prinsip justice and equality Share of profit Korporasi dominan, jumlah keuntungan dan prosentasi pembagian ditentukan sepihak oleh korporasi, komunitas sudah masuk sebagai primary stakeholders, kewajiban korporasi hanya pada pembagian keuntungan, equality mulai berjalan namun hak komunitas secara prinsip belum tersentuh. Share of Cost of Production Komunitas merupakan bagian integratif dalam sistem produksi, biaya CSR, dan CD dimasukan dalam biaya produksi, equality bagian dari cost of production, prinsip equality mulai tercapai namun justice belum, posisi korporasi masih lebih di atas komunitas Share of ownership Justice and equality sudah ditegakkan, ’hak’ komunitas lokal ditegaskan dalam prosentase pemilikan dan pembagian keuntungan, namun resiko kerugian turut pula ditanggung komunitas, posisi komunitas dan korporasi sejajar dalam praktek tambang Sumber: Prayogo 2008:156-157 69 Prayogo 2008 memetakan tingkat keadilan dan pemerataan yang dilakukan oleh perusahaan melalui tanggung jawab sosial perusahaan. Tingkat terendah kegiatan tanggungjawab sosial perusahaan adalah hanya dorongan philantropic, dengan dominasi kegiatan yang bersifat bantuan charity. Sedangkan tingkat yang tertinggi adalah share of ownership, dimana hal ini terjadi apabila posisi hubungan antara korporasi dengan masyarakat lokal adalah sejajar. Dalam praktiknya kesejajaran relasi antara korporasi dengan masyarakat lokal tersebut hingga saat ini masih sulit terwujud.

C. Operasionalisasi Tanggung