Pemahaman masyarakat akan program CSR PT. Chevron

265 masing, dapat menjadikan struktur CSR sebagai acuan dalam bertindak dan mengubah serta mereproduksi struktur melalui tindakan- tindakan yang terus-menerus dan bersifat rutin. Maka struktur secara aktif diproduksi, direproduksi, dan diubah oleh agen masyarakat, perusahaan dan pemerintah sebagai pelaku yang memiliki kemampuan bertindak.

2. Pemahaman masyarakat akan program CSR PT. Chevron

Geothermal Darajat Garut Masyarakat lokal enggan untuk berinisiatif mengundang pihak PT. CGI dalam kegiatan-kegiatan yang terdapat di masyarakat. Bagi masyarakat lokal berpandangan, sudah seharusnya ba hkan ‘wajib,’ inisiatif menjalin hubungan berasal dari Perusahaan, sebagai tamu masyarakat. sementara menurut LSM Pupuk sejak tahun 2009 program- program Capacity building dan program pemberdayaan masyarakat community development mulai menjadi fokus perhatian dari kegiatan CSR PT. CGI. Walaupun porsi antara pembangunan infrastruktur dan non infrastruktur masih lebih besar pembangunan infrastruktur. Dinamika relasi yang terbangun antara masyarakat dengan PT. CGI, yaitu bersifat fluktuatif, kadang naik kadang turun. Namun dari beragam tuntutan masyarakat lokal kepada perusahaan, nampaknya PT. CGI mencoba belajar dari situasi hubungan sebelumnya yang lebih banyak demo tuntutan masyarakat sekitar, kemudian mencoba membangun komunikasi dan kemitraan baru berdasarkan situasi sebelumnya. PT. CGI mengembangkan local bussiness development LBD, yaitu menjalin mitra dengan perusahaan-perusahaan lokal yang 266 memiliki badan usaha CV. Sehingga melalui LBD inilah penyerapan tenaga lokal dapat terjadi, dan masyarakat lokal pun didorong untuk mengembangkan perusahaan dengan kualifikasi minimal CV, agar dapat mengikuti tender proyek-proyek skala kecil di PT. CGI. Porsi terbesar program CSR PT. CGI masih pada pembangunan infrastruktur; perbaikan jalan, penyediaan air bersih, gorong-gorong, pembangunan sarana ibadah mesjid, penyediaan air bersih dan sarana pendidikan. Sehingga sebagian masyarakat lokal memahami kalau seandainya banyak bantuan yang diberikan di desa-desa wilayah kecamatan Pasirwangi, daripada daerah lainnya di wilayah kabupaten Garut, dan hal tersebut adalah wajar. Sementara itu usulan-usulan kegiatan yang berasal dari perusahaan dapat dipandang sebagai kepedulian perusahaan membangun relasi yang baik dengan masyarakat sekitar perusahaan. Harapan masyarakat yang tinggi kepada perusahaan harus disikapi dan dikelola dengan hati-hati. Sebab di kemudian hari pola hubungan tersebut akan membuat masyarakat menjadi tidak mandiri, karena sangat tergantung kepada perusahaan. Namun demikian mulai muncul kesadaran dalam pandangan masyarakat, bahwa jika ingin memperoleh bantuan, maka mereka harus membuat proposal kepada PT. CGI. Sebagian masyarakat lokal juga mengerti bahwa turunnya bantuan dari perusahaan tersebut memerlukan waktu dan ada prosesnya. Desa-desa se-kecamatan Pasirwangi mengembangkan sebuah forum yang khusus membicarakan usulan-usulan CSR yang terbentuk sekitar 2 tahun yang lalu. Awalnya forum ini merupakan asosiasi pemerintah desa Indonesia APDESI, namun dalam perkembangan 267 selanjutnya asosiasi ini lebih dikenal sebagai forum yang menjadi wadah dan sekaligus menjembatani hubungan antara keinginan dan kebutuhan masyarakat dengan pihak perusahaan PT.CGI. Forum CSR inilah yang kemudian menentukan skala prioritas mengenai program bantuan dari PT. CGI yang akan dilakukan di desa-desa. Terbentuknya forum CSR tersebut sedikit banyak mengurangi beban tekanan dan kepusingan PT. CGI dalam menentukan usulan kegiatan, prioritas kegiatan, sasaran kegiatan, dan pelaksana kegiatan di masing- masing desa. Adanya Forum CSR tersebut memudahkan PT. CGI dalam menyalurkan bantuan yang telah terseleksi melalui forum tersebut. Sehingga PT. CGI akan lebih dapat meluang waktu untuk berkonsentrasi pada kegiatan lainnya. Proses pengajuan usulan perlu untuk diamati untuk memperoleh gambaran dan informasi mengenai pengetahuan masyarakat mengenai cara-cara mengajukan usulan kegiatan. Serta bagaimana pihak perusahaan menanggapi permohonan akan bantuan-bantuan yang berasal dari masyarakat dan dari pemerintah setempat. Tentunya tahapan pengusulan bantuan tersebut terjadi sebagai pengulangan dari kejadian-kejadian sebelumnya rutin. Anggota masyarakat yang berhasil mengajukan proposal bantuan, kemudian akan ditiru oleh anggota masyarakat lain yang akan mengajukan bantuan kepada PT. CGI. Keterulangan praktik sosial tersebut terus berlangsung selama beberapa tahun sebelumnya Giddens, 2010. Pada pengajuan proposal di tahun-tahun sebelumnya, apabila proposal yang diajukan terlalu lama bertahun-tahun atau tidak direspon tidak ada realisasinya maka sudah ada semacam ‘aturan’ tidak tertulis di masyarakat untuk melakukan aksi atau demonstrasi. Munculnya aksi tersebut juga meniru 268 kejadian serupa sebelumnya, bahwa kalau tidak didemo, maka bantuan itu tidak akan cair. Sebagaimana dikemukakan terdahulu bahwa agen adalah pelaku dalam praktik sosial Giddens, 2010; Priyono, 2002. Agen dalam konteks struktur tanggung jawab sosial perusahaan adalah masyarakat lokal, sebagai pemangku kepentingan penting dalam kegiatan CSR Prayogo, 2011:15, selain perusahaan dan pemerintah. Nampak bahwa dalam konsepsi strukturasi, struktur CSR, dapat dipahami sebagai ‘medium’ dan ‘outcome’ dari tindakan agen melakukan praktik sosial sebagaimana dikemukakan oleh Giddens 2010: 30 sebagai dualitas struktur. Kemudian dalam Giddens menegaskan New Rules of Sociological Method, a positive critique of interpretative sociologies, terjemahan 2010: 141 bahwa produksi interaksi memiliki tiga elemen dasar: konstitusinya sebagai ‘bermakna’ signifikansi, konstitusinya sebagai ‘tatanan moral’ legitimasi, dan konstitusinya sebagai operasi hubungan ‘kekuasaan’ dominasi. C. Relasi Dinamis Antar Masyarakat Lokal dan Perusahaan Melalui Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Relasi yang terjadi diantara para agen, khususnya masyarakat lokal dengan perusahaan melalui struktur yaitu kegiatan atau program tanggung jawab sosial perusahaan, merupakan hubungan yang fluktuatif. Terkadang relasinya harmonis dan terkadang pula memanas, seiring juga dengan perjalanan waktu sejak kehadiran perusahaan di tengah – tengah masyarakat lokal, dan pengalaman praktik-praktik pertemuan para agen tersebut. Sepanjang waktu tersebut terdapat penyesuaian-penyesuaian yang perlu dilakukan dalam struktur 269 tanggung jawab sosial perusahaan PT. CGI oleh para agen, demikian pula pada akhirnya perkembangan struktur tanggung jawab sosial kebijakan nasional dan aturan lainnya memberikan kemungkinan bagi para agen untuk melakukan praktik-praktik sosial dalam relasi masyarakat lokal dan perusahaan. Inilah dualitas struktur tanggung jawab sosial perusahaan yang terjadi di antara masyarakat lokal dengan PT. CGI di desa Karyamekar kecamatan Pasirwangi. Dimana para agen masyarakat lokal dan PT. CGI mempengaruhi tanggung jawab sosial perusahaan melalui praktik sosial yang berulang, juga struktur tanggung jawa sosial perusahaan mempengaruhi tindakan-tindakan para agen dalam melakukan relasi diantara mereka. Dalam Gambar 4.9 menunjukkan skema relasi dinamis yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat lokal, serta agen lainnya yaitu pemerintah, LSM, media dan mitra kerja perusahaan dalam kerangka teori struktur-agen Giddens 2010. Dimensi signifikansi tanggung jawab sosial perusahaan berkenaan pemaknaan masyarakat lokal melalui modalitas skema interpretatif dalam melakukan interaksi komunikasi dalam melakukan praktik sosial. Sedangkan dimensi dominasi dengan modalitas penguasaan sarana dan fasilitas yang ada dalam melakukan interaksi berupa kekuasaan atau kekuatan power yang dimiliki masyarakat dalam struktur tanggung sosial perusahaan. Sedangkan dimensi legitimasi keabsahan berkenaan dengan modalitas norma dan sanksi dalam struktur CSR tersebut. 270 Gambar 12. Skema Relasi Dinamis antara Masyarakat Lokal dengan Perusahaan Melalui Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan . Sumber: Giddens, 2009, 2010, modifikasi oleh peneliti, 2013 Terjadi proses pembelajaran diantara agen melalui praktik- praktik sosial dalam struktur kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Melalui perjalanan waktu, relasi yang terbangun antara perusahaan dengan masyarakat lokal memunculkan modifikasi akan praktik-praktik CSR yang sesuai bagi agen masyarakat – perusahaan, dan pada akhirnya terjadi pergeseran dari dimensi struktur CSR, yang STRUKTUR Modalitas: Interaksi: P E R U S A H A A N Kesadaran: Diskursif Praktis M A S Y A R A K A T Kesadaran: Diskursif Praktis Kegiatan Tanggung Jawab Sosial PT. CGI Manfaat, Keberlanjutan Dimensi Ruang dan Waktu Signifikansi Dominasi Legitimasi Skema Interpretatif Sarana fasilitas Norma Komunikasi Kekuasaan Sanksi Relasi Dinamis antara Perusahaan dengan Masyarakat Lokal AGEN AGEN AGEN-AGEN LAIN: PEMERINTAH, LSM, MEDIA, MITRA 271 dalam konsepsi Giddens 2010 terdiri dari signifikansi, dominasi dan legitimasi. Dalam teori strukturasi, tanggung jawab sosial perusahaan dapat dipandang sebagai struktur, karena di dalamnya terdiri atas aturan- aturan dan sumber daya. Giddens 2010 menunjukkan bahwa sumber daya memiliki dua jenis, yaitu sumber daya otoritatif dan sumber daya alokatif. Kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan memiliki sumber daya otoritatif yang berasal dari koordinasi aktivitas para agen perusahaan, pemerintah, penyedia barang-barang produksi, dan masyarakat; juga sumber daya alokatif yang berasal dari kendali atas produk-produk material atau aspek-aspek dunia material. Besarnya dana dan jenis kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan ditentukan dan diatur dengan kepatutan dan peraturan terkait CSR, seperti UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseorang Terbatas PT, UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, serta Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Terbatas. Demikian pula masyarakat lokal, sebagai agen, juga sebaiknya mengetahui dan memahami struktur tanggung jawab sosial perusahaan. Sehingga masyarakat lokal dapat memeroleh manfaat sebaik-baiknya dari struktur CSR untuk kemaslahatan warga masyarakat, dengan berkolaborasi dengan agen lainnya, terutama pihak perusahaan. Pengetahuan dan kesadaran para agen akan struktur, dalam hal ini CSR, dengan demikian akan menentukan cara-cara atau praktik- praktik sosial kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Giddens 2010, dengan kerangka Goffman, mengidentifikasi 4 empat jenis keadaan atau faktor —faktor yang memengaruhi tingkat dan watak 272 keterlibatan yang dimiliki oleh agen yaitu: 1 sarana akses yang dimiliki oleh para aktor terhadap pengetahuan berdasarkan lokasi sosial mereka, 2 cara-cara artikulasi pengetahuan, 3 keadaan-keadaan yang berhubungan dengan validitas klaim-klaim keyakinan yang dianggap sebagai ‘pengetahuan’, dan 4 faktor-faktor yang berhubungan dengan sarana penyebaran pengetahuan yang tersedia 2010:142. Berdasarkan keempat faktor tersebut maka dapat dimengerti terdapat pengetahuan dan pemahaman yang berbeda antar kedua agen, masyarakat lokal dan perusahaan, mengenai struktur tanggung jawab sosial perusahaan. Seperti halnya pengetahuan masyarakat lokal mengenai proses pengajuan kegiatan kepada PT. CGI, sebagaimana terlihat dalam gambar 13. Berbeda halnya dengan pemahaman pihak perusahaan gambar 14 mengenai hal tersebut. 1 Gambar 13: Alur proses pengusulan kegiatan masyarakat desa kepada PT. CGI Menurut Masyarakat lokal. Sumber: hasil olah data wawancara 2013. 2 A B C D Humas CE Pemerintah Desa Musyawarah FGD PT. CGI, Pengusul Masyarakat, Pemerintah Desa: untuk menentukan prioritas kegiatan Usulan Masyarakat Usulan Masyarakat Usulan Masyarakat 273 - Pertama, masyarakat lokal mengusulkan langsung kepada PT. CGI. , kemudian oleh PT. CGI dikonfirmasikan kembali pemerintah desa tentang pengusulan kegiatan warganya, kemudian dibicarakan melalui FDG. Peserta FGD adalah pengusul kegiatan dari masyarakat, aparat pemerintah desa dan perakilan PT. CGI. - Kedua, melalui pemerintah desa masyarakat lokal mengusulkan kegiatan kepada PT. CGI. Kemudian dibahas melalui FGD untuk menentukan prioritas kegiatan. Sedangkan menurut pihak PT. CGI alur proses dan tahapan kegiatan CSR sebagaimana terlihat dalam gambar 14, sebagai berikut: Gambar 14. Alur proses dan tahapan program menurut PT. CGI. Sumber: PT. CGI, 2012 274 - Pertama, Usulan masyarakat, Pemda, Tawaran kerjasama dan Inisiatif CGI ditampung; - Kedua, kemudian semua usulan dibicarakan melalui muspika, atau musrenbang, atau musyawarah APDESI forum CSR; dengan dihadiri oleh pihak CGI untuk menentukan prioritas kegiatan dalam daftar usulan kegiatan. - Ketiga, daftar usulan program kegiatan tersebut kemudian diajukan untuk memperoleh persetujuan management CGI untuk menentukan RKAB rencana kegiatan dan anggaran biaya - Keempat, RKAB tersebut kemudian dilaporkan kepada Pertamina untuk memperoleh persetujuan RKAB untuk selanjutnya dieksekusi dan dimonitoring oleh CGI dan Mitra kerjanya - Kelima, proses pencairan kegiatan kepada masyarakat, melalui monitoring dari PT. CGI dan mitranya. Gambar 4.9 dan gambar 4.10 menunjukkan bahwa pada tahapan pengajuan usulan kepada PT. CGI, terdapat perbedaan pengetahuan dan pemahaman akan tahapan pengajuan diantara agen masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Perbedaan pemahaman tersebut akan menimbulkan perbedaan bertindak dari masing-masing agen yang berbeda pula, perbedaan praktik atau tindakan antar agen tentang operasional kegiatan CSR menunjukkan ketidakharmonisan relasi yang terjadi. 275 Salah satu proses implementasi kegiatan dari pihak perusahaan PT. CGI yaitu mengeluarkan program local business development, sebagai program unggulan. Namun dalam pemahaman masyarakat lokal, pola LBD local business development ini justru telah mematikan nilai-nilai partisipasi, kebersamaan, rasa memiliki dan keberdayaan masyarakat. Sebab pembangunan infrastruktur atau pembangunan fisik yang dilakukan oleh CV pemenang tender tersebut. Warga masyarakat lokal hanya berperan sebagai penonton, masyarakat tidak diajak serta untuk terlibat dalam proses pembangunan fisik tersebut baik tahap perencannaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi. Setelah pembangunan fisik tersebut selesai, kemudian terjadi serah terima bantuan pembangunan fisik tersebut dari PT. CGI kepada warga masyarakat setempat. Sehingga, manakala hasil pembangunan fisik LBD tersebut rusak, maka biasanya dalam pemahaman warga masyarakat segera menuntut kembali untuk perbaikan pembangunan fisik tersebut kepada PT.CGI. Begitulah seterusnya proses lelang tender pekerjaan itu berulang, dimana warga masyarakat hanya berperan sebagai penonton. Artinya adalah melampaui perjalanan ruang dan waktu, praktik-praktik relasi yang terjadi antara agen perusahaan dan masyarakat, ternyata beberapa pengetahuan dan pemahaman masyarakat berkembang melalui interaksi dengan agen-agen lainnya. Sehingga agen masyarakat mampu dan memiliki kesadaran diskursif untuk mengevaluasi salah program CSR yang dianggap unggulan oleh pihak perusahaan. Giddens 2010:111 menunjukkan bahwa pengulangan rutinisasi praktik-praktik sosial melalui perjumpaan- perjumpaan antara pihak warga masyarakat lokal dengan perusahaan akan mengikat dalam reproduksi sosial dan dengan demikian 276 mengesankan pemapanan instiusi-institusi. Proses tersebut juga mendorong menciptakan reproduksi struktur ketergantungan warga masyarakat kepada PT. Chevron. Tabel 30. Jenis Bantuan dari PT. Chevron Geothermal Indonesia, menurut masyarakat lokal No. Jenis Bantuan Fisik Non Fisik 1. Pendidikan PAUD TK, SD, SMP, ATK, papan tulis, laptop Super camp Asgar Muda 2. Usaha Permodalan Pendampingan oleh PUPUK dalam program LED, I3E 3. Kesehatan Puskesmas HIVAIDS 4. Lingkungan Penanaman pohon, penyediaan air bersih 5. Ketenagakerjaan Pelatihan budi daya jamur 6. Fasilitas umum Pembangunan jalan gorong-gorong Pipanisasi MCK 7. Fasilitas Agama Pembangunan mesjid Bantuan kitab Al- Quran Ceramah di PT. CGI informal Sumber: Diolah dari data penelitian, 2013. Kondisi ketergantungan agen-masyarakat ini mulai disadari oleh pihak perusahaan, sehingga upaya-upaya untuk menghilangkan ketergantungan masyarakat lokal akan bantuan pihak perusahaan, ternyata merupakan kesulitan tersendiri yang dihadapi oleh pihak perusahaan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh agen perusahaan dalam rangka mengubah struktur CSR yang terlalu bersifat karitas 277 semata coba dilakukan sebagaimana terlihat dalam tabel 4.23, dengan mengembangkan program-program penguatan kapasitas capacity building terhadap masyarakat. Dalam perkembangan terakhir, dalam data sekunder dan primer hasil wawancara dan observasi, program CSR yang dikembangkan oleh pihak perusahaan berupaya mengembangkan program yang lebih memberdayakan masyarakat, walaupun secara jumlah kegiatan masih sedikit. Artinya dalam konsepsi agen Giddens 2010, nampak bahwa agen-perusahaan dalam divisi CSR PT. CGI telah mencoba mengadopsi kesadaran praktis, melakukan refleksi ulang dan melakukan suatu tindakan dengan mencari makna atau nilai dari tindakannya tersebut. Hasilnya adalah, berupa pergeseran praktik CSR yang dilakukan sebelumnya yang bersifat karitas semata, ke arah pengembangan masyarakat. Sejak sekitar tahun 2009, mulai nampak upaya perusahaan sebagai agen, melakukan perubahan perbaikan terhadap struktur CSR, walaupun secara jumlah dan maupun kualitas masih terbatas. Hanya saja ketepatan assesment dan program yang dilakukan masih perlu dipertanyakan, mengingat banyak program yang tidak berlanjut. Namun demikian upaya perubahan struktur CSR tersebut tidak diikuti atau tidak seiring dengan agen-agen lainnya, yaitu masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dan pemerintah, memiliki pemahaman yang berbeda dengan agen-perusahaan. Sehingga akhirnya, pihak perusahaan menganggap bahwa komitmen warga yang telah memperoleh bantuan masih belum sinambung, seringkali terhenti di tengah jalan. Sementara sebelumnya warga masyarakat meminta 278 bantuan untuk mengembangkan usaha dengan mengajukan usulan atau proposal kepada PT. CGI. Melihat hal tersebut PT. CGI perlu kiranya berfikir ulang dan selektif dalam menerima proposal dan menyalurkan bantuan usaha kepada masyarakat, selain mengembangkan dialog dan komunikasi dengan sejumlah tokoh masyarakat, agar terbangun pemahaman yang merata mengenai program CSR. Perbedaan pemahaman akan struktur CSR dari masing-masing agen, perusahaan, masyarakat dan pemerintah menimbulkan pola relasi yang cenderung dinamis, terkadang harmonis dan suatu waktu tertentu harmonis. Sebaliknya masyarakat lokal menilai, PT. CGI hanya melakukan monitoring di tahap awal saja khususnya pada tahan perencanaan, yaitu saat memastikan program tersebut berasal dari desa tertentu kepada aparat desa. Selanjutnya melalui kegiatan FGD focus group discussion , dilakukanlah prioritas kegiatan untuk desa tersebut. Sebelum bantuan diberikan, maka dilakukan kajian terlebih dahulu. Setelah disetujui dan kemudian bantuan itu turun dilaksanakan, namun tidak dilakukan monitoring. Sementara itu, pihak kecamatan berpandangan bahwa mekanisme pelaksanaan kegiatan CSR dari PT. CGI cenderung tidak melibatkan pihak kecamatan. Fenomena hubungan antara pemerintah desa, pemerintah kecamatan dan PT. CGI ini menarik untuk disimak. Idealnya diantara stakeholder ini akan terbangun relasi yang baik, dalam rangka efektifitas dan efisiensi pembangunan masyarakat di wilayahnya. Jika masing-masing pihak merasa benar dan tidak ada komunikasi yang harmonis, maka masyarakatlah yang akan menjadi korban. Sehingga tidak aneh apabila aparat pemerintah kecamatan Pasirwangi, tidak tahu-menahu mengenai bantuan yang diberikan oleh 279 PT.CGI. Namun begitu, kondisi tersebut bagi pihak kecamatan tidak masalah, bahkan merasa tidak terganggu dengan urusan bantuan yang terjadi antara PT. CGI dengan pemerintahan desa. Kemudian pelibatan pengontrolan atau pelaporan kepada pihak pemerintah kecamatan jarang dilakukan. Kegiatan bantuan pembangunan tersebut sering dilakukan antara pihak pemerintah desa dengan PT. CGI. Tetapi kalau pihak kecamatan berinisiatif melakukan monitoring dan pengontrolan, baru kemudian pihak pemerintah desa atau PT. CGI memberikan pelaporan kepada kecamatan. Masyarakat lokal masih berpandangan cenderung negatif terhadap PT. CGI, jika dibandingkan dengan perusahaan nasional seperti Indonesia Power atau Pertamina. Tidak banyak gejolak yang muncul dari masyarakat lokal kepada dua perusahaan nasional tersebut. Padahal, realitasnya PT. CGI merupakan perusahaan di kawasan tersebut yang paling banyak menyalurkan bantuan kepada masyarakat lokal. Bagi kalangan pemuda, mereka memandang hubungan antara PT. CGI dengan masyarakat lokal saat ini sedang renggang, tidak begitu harmonis. Sedangkan pendapat berbeda dikemukakan oleh aparat pemerintah lokal cenderung memandang hubungan tersebut secara positif. Sementara itu Munculnya kecemburuan mengenai penyaluran program tanggung jawab sosial perusahaan CSR dari PT. CGI. yang lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kecamatan Pasirwangi dan Samarang. Tabel 4.24 menunjukkan dinamika hubungan yang terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat dengan agen perusahaan, yang dipicu oleh pemahaman yang berbeda mengenai 280 kehadiran masing-masing agen, perbedaan mengenai struktur CSR baik oleh masyarakat, perusahaan ataupun pemerintah. Tabel 31 Sejumlah Aksi atau Tuntutan Sosial Masyarakat kepada PT. Chevron yang terekam berita media massa dalam kurun 7 tahun terakhir No. Waktu Aksi dan Tuntutan 1 6 April 2006 Serikat Petani Pasundan SPP memberikan batas waktu atau deadline kepada PT Chevron sampai Juni 2006 untuk memenuhi tuntutan masyarakat Garut soal bagi hasil atas usaha panas bumi yang dikelola Chevron di Darajat Kecamatan Pasirwangi. 2 12 Agust 2008 Gerakan Pemuda Pemudi Samarang GPPS Tuntutan: kesejahteraan masyarakat sekitar PT. Chevron Geothermal Indonesia 3 3 Juni 2009 Warga Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut, Jawa Barat memblokir jalan menuju pembangkit listrik tenaga panas bumi Gunung Darajat. Semua kendaraan milik Chevron Geotermal Indonesia dihentikan dan warga. Akibatnya, ratusan karyawan Chevron tertahan di tempat itu. Mereka menilai keberadaan perusahan itu telah menyebabkan hilangnya sumber mata air di desanya,. meminta tanggung jawab perusahaan atas kondisi itu. Warga meminta Chevron untuk membuat saluran air bersih. 4 31 Agust 2010 Paguyuban Masyarakat Pasirwangi Bersatu PMPB Tuntutan: 500 pendemo menghujat PT. CGI, Indonesia Power dan PT. Pertamina, transparansi royalti, realisasi dana CSR CD, pemda membuat peraturan daerah ttg CSR 5 19 Januari 2011 Warga Pasirwangi menuntut pembangunan Masjid Besar Pasirwangi yang sudah 7 tahun terkatung-katung 6 29 Sept 2011 Pemkab Bandung, Protes perambahan hutan oleh PT. Chevron GI. 7 30 Des 2011 Menteri Kehutanan mengingatkan PT. CGI agar tidak melakukan pembabatan hutan Sumber: Diolah dari data penelitian, 2013. Dalam data hasil primer hasil wawancara hal:144 sebelumnya pun terungkap bahwa kesadaran diskursif dalam masyarakat, bahwa 281 apabila usulan-usulan dari masyarakat tidak dipenuhi oleh PT. CGI, maka mereka akan melakukan aksi atau demonstrasi tuntutan kepada PT. CGI. Aksi dan demonstrasi tuntutan yang terus-menerus kepada PT. CGI, secara langsung atau tidak langsung yang akan mengganggu jalannya operasi perusahaan. Sehingga pada akhirnya tuntutan masayarakat tersebut akan dipenuhi. Walaupun, sebenarnya masyarakat tidak ingin melakukan aksi dan demonstrasi kepada PT. CGI, jadi cara tersebut hanya merupakan jalan terakhir yang dilakukan oleh masyarakat dan sebagian warga. Sebagaimana terlihat dalam tabel 31. Kesadaran masyarakat lokal terhadap perusahaan dan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan CSR merupakan kemampuan interpretatif dari agen dalam menyikapi antivitasnya sendiri dan tindakan-tindakan orang lain dalam perilaku sehari-hari. Sebagaimana dikemukakan oleh Giddens mengenai model stratifikasi tindakan agen, bahwa agen juga mampu ‘memonitor monitoring’ itu di dalam kesadaran diskursif. Sebagaimana masyarakat lokal sebagai agen memonitor kehadiran PT. CGI, yang ‘notabene’ merupakan perusahaan asing yang hadir di lingkungan mereka. Sentimen kepemilikan perusahaan seperti PT. CGI merupakan perusahaan asing, mempengaruhi cara pandang dan sikap masyarakat terhadap perusahaan tersebut. Hal tersebut nampak pada demo-demo atau aksi- aksi tuntutan masyarakat lokal lebih banyak ditujukan kepada PT. CGI tersebut. Padahal di wilayah tersebut terdapat PT. Pertamina dan PT. Indonesia Power anak perusahaan PLN yang memang berstatus perusahaan nasional, yang cenderung tidak sering ‘diganggu’. Demikian pula kesadaran praktis masyarakat, bahwa PT. CGI telah mengeksploitasi sumber alam mereka, sehingga sudah sewajarnya 282 apabila pihak perusahaan memberikan bantuan kepada masyarakat sekitar perusahaan tersebut. Lebih lanjut Giddens 2010 menyatakan bahwa para agen memiliki ‘skema interpretatif’ yaitu cara-cara penjenisan yang tersimpan dalam gudang pengetahuan para aktor, dan diterapkan secara reflektif ketika melakukan komunikasi dengan aktor lainnya. Masyarakat lokal sebagai agen memiliki bekal pengetahuan yang membuat mereka mampu membuat cerita, mengemukakan alasan- alasan, dan sebagainya. Seperti halnya ketika berkaitan dengan siapa yang seharusnya melakukan inisiatif membangun komunikasi dan relasi antara perusahaan dengan masyarakat. Maka masyarakat lokal memandang, sudah seharusnya dimulai oleh pihak perusahaan. Sebab bagi masyarakat lokal, kehadiran perusahaan tersebut adalah tamu di lingkungan mereka. Walaupun pihak PT. CGI berpandangan masuk ke wilayah Pasirwangi secara sah dan berijin resmi. Demikian pula permasalahan relasi antara masyarakat lokal dengan PT. CGI yang di awal-awal tahun kehadiran PT.CGI yang tidak baik menurut masyarakat, secara akumulatif akan menumpuk yang di kemudian hari akan muncul mengemuka berupa aksi dan tindakan demo. Oleh karena itu, Giddens menegaskan bahwa komunikasi makna, bersama dengan seluruh kontektualitas tindakan, tidak harus dipandang semata- mata terjadi ‘dalam’ ruang dan waktu’. Komunikasi, sebagai unsur umum interaksi, merupakan konsep yang mencakupi dibanding dengan isi komunikasi, yaitu apa yang akan dikatakan atau dilakukan oleh para agen. Sehingga pandangan masyarakat lokal dengan menghubungkan kehadiran PT. CGI dengan menurunnya kualitas lingkungan, berkurangnya air tanah, dan kegagalan panen 283 sebagai dampak operasional perusahaan merupakan bukti bagaimana mana masyarakat lokal memaknai proses relasinya dengan pihak agen- perusahaan. Pandangan masyarakat lokal akan pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial PT.CGI merupakan pemahaman masyarakat lokal akan struktur. Giddens 1986 sendiri menyatakan bahwa struktur bukanlah benda, melainkan skemata yang hanya tampil dan dan melalui praktik sosial. Dengan kata lain, struktur hanya bersifat maya, artinya hanya hadir di dalam dan melalui aktivitas agen manusia, serta ada dalam pikiran manusia. CSR merupakan struktur, yang dalam kegiatan CSR PT. CGI masyarakat menghargai positif bantuan pembangunan infrastruktur, khususnya pembangunan jalan Tarogong-Samarang- Pasirwangi. Bagi masyarakat lokal, sesuatu yang dinilai baik, apabila bantuan tersebut mewujud, terlihat dan terasa manfaatnya. Namun demikian masyarakat menganggap program CSR dari PT. CGI yang pendanaannya disalurkan melalui pemerintah desa kepala desa, tidak transparan dan sulit dipertanggungjawabkan, yang mana program CSR hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Demikian pula masyarakat menganggap apapun program yang berasal dari PT. CGI adalah bantuan atau hibah. Masyarakat tidak mengenal makna tanggung jawab sosial perusahaan CSR secara lebih mendalam, yaitu sebagai upaya membangun relasi sosial yang lebih harmonis antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Sementara itu juga masyarakat belum terbiasa dengan usulan kegiatan yang harus diajukan dalam bentuk tertulis proposal. Hal ini berkaitan dengan latar belakang pengetahuan dan pendidikan masyarakat lokal sekitar 284 wilayah operasi PT. CGI yang secara umum 50 tingkat pendidikan SD masih rendah. Prayogo 2008:85 menunjukkan bahwa ketimpangan antara komunitas lokal merupakan keadaan yang umum ditemui di semua praktek industri tambang di Indonesia. Setidaknya terdapat dua penjelasan mengenai hal tersebut, pertama masyarakat lokal umumnya menempati suatu wilayah yang terpencil dengan rata-rata masyarakat miskin secara ekonomi; kemudian kedua industri tersebut merupakan industri padat modal dengan teknologi tinggi yang jauh dari jangkauan masyarakat lokal. Akibat lebih lanjut dari ketimpangan tersebut adalah munculnya pelapisan stratifikasi sosial antara ‘warga perusahaan’ yang berprofesi se bagai karyawan tetap dengan ‘warga desa’ yang umumnya berprofesi sebagai petani. Implikasi sosial dari pelapisan vertikal dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Apabila relasi antara perusahaan dan masyarakat menuju ke arah konflik, maka perusahaan harus segera menanggapi secara cepat dan tepat segala tuntutan masyarakat Prayogo, 2008:144. Masyarakat menginginkan keterbukaan transparancy dalam pengelolaan dana CSR yang disalurkan dari PT. CGI melalui pemerintah desa masing- masing setiap tahunnya. Kesulitan menemui kepada desa merupakan persoalan tersendiri yang dihadapi oleh warga masyarakat; kalau pun dapat bertemu dengan kepala desa, maka belum tentu usulan tersebut dapat disetujui oleh kepala desa. Sebagian warga berharap adanya balai latihan kerja untuk meningkatkan keterampian dan keahlian para pencari kerja, khususnya para pemuda. Pelatihan kerja tersebut bukan berarti untuk dapat 285 diterima kerja menjadi karyawan di Chevron, tetapi penciptaan lapangan pekerjaan baru. Sebagian warga berharap adanya kegiatan pendampingan, khususnya pada bantuan untuk usaha mikro kecil dan menengah. Masyarakat memahami bahwa banyak bantuan yang diberikan oleh PT. CGI. Namun seringkali bantuan tersebut sering disalahgunakan, dan tidak sampai ke masyarakat. Selain minimnya tenaga ahli yang dimiliki oleh perusahaan tersebut, mengakibatkan minimnya kontrol dan monitoring yang dilakukan oleh PT. CGI melalui tim PGPA. Sebagaimana dinyatakan oleh Frynas 2009: 122 bahwa kurangnya sumber daya manusia, khususnya spesialis pengembangan masyarakat dan CSR merupakan salah satu hambatan penting dari gagalnya penerapan CSR di beberapa negara. Tidak banyak orang yang ahli dalam pengembangan masyarakat dan CSR, ditempatkan dalam unit atau divisi CSR perusahaan ibid; 127. Bahkan keberadaan unit atau divisi CSR di sebuah perusahaan cenderung merupakan pelengkap dari struktur perusahaan. Fakta menunjukkan bahwa orang yang ditempatkan di dalam divisi atau unit CSR adalah orang- orang “tidak berposisi” atau “sekedar mengisi” jabatan yang kosong. Sejumlah hambatan penting lainnya dalam penerapan CSR antara lain, perusahaan gagal dalam memahami isyu-isyu khusus yang berkembangan di masyarakat lokal dan pemerintahan lokal. Kedua, perusahaan gagal melibatkan masyarakat lokal sebagai beneficiaries CSR dalam setiap tahapan pelaksanaan kegiatan pengembangan masyarakat dan CSR. Ketiga, minimnya sumber daya manusia, khususnya spesialis pengembangan masyarakat dan CSR. Keempat, akibatnya SDM yang meninim menimbulkan sikap- sikap sosial dari 286 staf perusahaan yang terlalu fokus pada solusi teknis dan manajerial jangka pendek. Kelima, seringkali program CSR tidak terintegrasi dalam sebuah rencana pembangunan yang lebih luas, menyangkut program pembangunan daerah atau pun pusat Frynas, 2009: 122-130. Keterlibatan penerima manfaat CSR dalam pelaksanaan proyek cenderung terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali, dan paling mungkin terbatas pada pemberian kontrak pada perusahaan lokal, seperti CV-CV yang belum tentu memberdayakan masyarakat lokal. Padahal, kegagalan melibatkan orang-orang lokal telah memelihara suatu mental yang berdampak lebih buruk lagi, yaitu mentalitas ketergantungan dependency mentality. Persoalan-persoalan tersebut sebetulnya dapat dihindari dengan dilakukannya diskusi mendalam dan dengan adanya inisiatif masyarakat lokal untuk berpartisipasi dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan-keterampilan dan alat-alat lokal Prayogo, 2008; 2011, Alfitri 2011, Frynas 2009. Perusahaan seharusnya tidak sekedar mencari keuntungan semata, namun harus memperhatikan aspek-aspek yang lebih luas dan bahwa tuntutan-tuntutan yang dikeluarkan oleh masyarakat, saat ini, tidak lagi boleh dipandang sebagai hambatan oleh perusahaan. Tuntutan-tuntutan tersebut sewajarnya dipandang sebagai peluang bagi perusahaan untuk mengembangkan bisnisnya sehingga bisnis dapat berkembang dan tuntutan masyarakat pun terjawab. Perlu dibangun suatu kesepatakan bagi seluruh perusahaan untuk melakukan tanggung jawab sosialnya tidak sebatas pada pemenuhan ketaatan terhadap aturan dan kewajiban seperti pajak, amdal, ketenagakerjaan, namun perlu adanya penanganan langsung pada masalah-masalah nyata yang dihadapi masyarakat lokal di lingkungan sekitar perusahaan. 287 Kehadiran PT. CGI dengan kualitas sumber daya dan keahlian yang dimilikinya untuk mengeksploitasi sumber daya alam di lingkungan yang berdekatan dengan masyarakat masyarakat lokal, dapat memunculkan kesadaran PT. CGI untuk melakukan kegiatan bantuan kepada masyarakat lokal. Kesadaran tersebut tidak muncul dengan tiba-tiba, tetapi kesadaran yang terbentuk dan melalui perjalanan waktu, serta diperkuat melalui pengalaman-pengalaman berinteraksi praktik sosial dengan masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya sepanjang kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat tersebut. Perjalanan waktu berpraktik sosial berinteraksi antara PT. CGI dengan masyarakat lokal menunjukkan terjadinya pengulangan rutin peristiwa praktik sosial melalui media struktur tanggung jawab sosial perusahaan, sehingga para agen masyarakat lokal, PT. CGI dan agen lain turut mempengaruhi dan bahkan membentuk struktur tanggung jawab sosial perusahaan itu sendiri di wilayah mereka. Dimensi signifikansi tanggung jawab sosial perusahaan berkenaan pemaknaan masyarakat lokal melalui modalitas skema interpretatif dalam melakukan interaksi komunikasi dalam melakukan praktik sosial. Sedangkan dimensi dominasi dengan modalitas penguasaan sarana dan fasilitas yang ada dalam melakukan interaksi berupa kekuasaan atau kekuatan power yang dimiliki masyarakat dalam struktur tanggung sosial perusahaan. Sedangkan dimensi legitimasi keabsahan berkenaan dengan modalitas norma dan sanksi dalam struktur CSR tersebut. 288 Demikian pula masyarakat lokal memiliki klasifikasi kesadaran sendiri dalam memandang kehadiran PT. CGI di tengah-tengah mereka, baik kesadaran praktis maupun ‘motif tidak sadar’. Dengan kesadarannya sendiri, masyarakat lokal memandang keberadaan struktur tanggung jawab sosial perusahaan yaitu sebagai, sumber daya dan aturan; masyarakat lokal membangun dan mengembangkan praktik-praktik sosial dengan agen-agen lainnya, khususnya perusahaan sebagai agen penting dari struktur tersebut. Masyarakat melakukan praktik-praktik sosial melalui kesadaran akan dimensi struktur yang terdiri dari signifikansi, dominasi dan legitimasi. Relasi yang terjadi diantara para agen, khususnya masyarakat lokal dengan perusahaan melalui media struktur yaitu kegiatan atau program tanggung jawab sosial perusahaan, merupakan hubungan yang fluktuatif. Terkadang relasinya harmonis dan terkadang pula memanas, seiring juga dengan perjalanan waktu sejak kehadiran perusahaan di tengah – tengah masyarakat lokal, dan pengalaman praktik-praktik pertemuan para agen tersebut Giddens, 2010. Sepanjang waktu tersebut terdapat penyesuaian-penyesuaian yang perlu dilakukan dalam struktur tanggung jawab sosial PT. CGI oleh para agen. Demikian pula pada akhirnya perkembangan struktur tanggung jawab sosial kebijakan nasional dan aturan lainnya memberikan kemungkinan bagi para agen khususnya masyarakat lokal dan perusahaan untuk melakukan praktik-praktik sosial dalam relasi masyarakat lokal dan perusahaan. Inilah dualitas struktur tanggung jawab sosial perusahaan yang terjadi di antara masyarakat lokal dengan PT. CGI di desa Karyamekar kecamatan Pasirwangi. Dimana para agen 289 masyarakat lokal dan PT. CGI mempengaruhi tanggung jawab sosial perusahaan melalui praktik sosial yang berulang, juga struktur tanggung jawa sosial perusahaan mempengaruhi tindakan-tindakan para agen dalam melakukan relasi diantara mereka. Prayogo 2011 menunjukkan bahwa pelaksanaan CSR yang tidak tepat dapat menuai permasalahan yang lebih mendalam, dengan kata lain memecahkan masalah dengan masalah baru. Kecenderungan perusahaan melaksanakan CSR adalah melalui pemberian derma berupa sumbangan, padahal hal tersebut berada pada tingkatan terendah pada kedermawanan. Hendaknya perusahaan melakukan CSR dengan itikad untuk ”growing bigger together” antara perusahaan dengan masyarakat setempat. Artinya perusahaan seiring dengan perkembangannya melakukan pengembangan terhadap masyarakat agar memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik, sehingga perusahaan dan masyarakat dapat berkembang secara bersama-sama. Sebagaimana ditunjukkan oleh Gidden 2010: 134 yang melihat bagaimana praktik sosial itu dilakukan terus-menerus diperkokoh dan direproduksi menurut informasi baru, yang pada gilirannya mengubah praktik sosial tersebut secara konstitutif. Lebih lanjut Giddens menegaskan bahwa, melalui praktik sosial yang dilakukan berulang-ulang atau terus-menerus itulah, struktur diciptakan, dan begitu sebaliknya, struktur menjadi medium yang memungkinkan praktik sosial. Perkembangan pengetahuan dan pemahaman para agen masyarakat, perusahaan dan pemerintah akan struktur CSR, menentukan perubahan struktur yang memberdayakan para agen. Seiring dengan pernyataan Giddens, bahwa praktik-praktik 290 sosial yang dilakukan terus-menerus oleh agen yang memiliki pemahaman yang sama, yang melintasi batas ruang dan waktu; maka akan terjadi reproduksi struktur. Sebaliknya struktur sebagai hasil outcome juga akan menjadi media media bagi para agen masyarakat, perusahaan, dan pemerintah untuk melakukan praktik- praktis CSR berikutnya yang memberdayakan dan memfasilitasi agen. Inilah relasi dualitas dari agen dan struktur, bukan dualisme yang saling terpisah. Suatu hubungan antara agen dan struktur yang diibaratkan sebagai dua sisi dari satu keping uang logam Giddens, 1986:2. Suatu relasi agen dan struktur yang saling jalin-menjalin tanpa terpisahkan dalam paktik sosial manusia. Sebagai agen, masyarakat lokal memahami bahwa terdapat upaya membangun relasi dari agen perusahaan kepada masyarakat sekitar melalui berbagai bantuan, baik fisik maupun non fisik. Namun demikian terdapat kesadaran dalam masyarakat lokal bahwa jika usulan kegiatan atau bantuan sulit atau diterima, maka usulan kegiatan tersebut akan diterima kalau mereka melakukan aksi atau demo kepada perusahaan. Kesadaran tersebut muncul berdasarkan praktik-praktik usulan program sebelumnya, yaitu usulan tersebut akan cair kalau terlebih dahulu masyarakat melakukan demostrasi kepada perusahaan. Struktur ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan merupakan hasil dari praktik-praktik CSR sebelumnya yang cenderung bersifat bantuan sosial social asistance atau karitatif semata. Dinamika relasi yang terjadi antara masyarakat lokal dengan perusahaan, terkadang harmonis dan terkadang pula memanas, seiring juga dengan perjalanan waktu sejak kehadiran perusahaan di tengah – 291 tengah masyarakat lokal, dan pengalaman praktik-praktik pertemuan para agen tersebut Giddens, 2010. Dalam pertemuan antara agen di sepanjang perjalanan waktu tersebut terdapat penyesuaian dan peningkatan pemahaman masing-masing agen akan CSR. Pemahaman agen masyarakat ditunjukkan dengan pola relasi konfrontatif di suatu waktu tertentu dengan demo-demo atau aksi-aksi tuntutan masyarakat lokal yang ditujukan kepada perusahaan. Perbedaan pemahaman para agen dan ketidakjelasan struktur CSR tersebut telah mengakibatkan masing-masing agen membangun dan mengembangkan praktik-praktik sosial dengan cara-cara yang dipandang sesuai menurut para agen sendiri. 292 293

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, secara umum dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut, bahwa perusahaan dan masyarakat membangun relasi melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dengan latar pemahaman yang berbeda-beda. Pemahaman berbeda dari masing-masing agen, yaitu masyarakat lokal dan pihak perusahaan akan tanggung jawab sosial perusahaan CSR tersebut menentukan pola relasi sosial antara masyarakat dan perusahaan mengarah pada disharmonis atau harmonis. Ketidakjelasan struktur dalam hal ini kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan, baik pusat maupun daerah, turut menyumbang ketidakharmonisan relasi yang terbangun antara perusahaan dengan masyarakat. Temuan-temuan tersebut memperkuat teori struktur-agen Giddens, mengenai strukturasi dimana agen masyarakat, perusahaan dan pemerintah diasumsikan memiliki pengetahuan praktis mengenai struktur yaitu peraturan dan sumber daya yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sosial. Melalui pengetahuan praktis tersebut agen merekonstruksi reproduksi kembali struktur, sekaligus pula agen melakukan praktis sosial melalui media struktur. Dengan demikian relasi agen-struktur merupakan relasi sosial yang bersifat dinamis.