kuning, mediteran, grumosol, dan andosol. Derajat kemasaman pH tanah yang sesuai untuk budidaya ubi kayu berkisar antara 4,5-8,0 dengan pH ideal 5,8.
2.2. Usahatani Ubi Kayu
Ubi kayu merupakan salah satu komoditi yang diusahakan dalam kegiatan usahatani. Penelitian mengenai usahatani ubi kayu telah dilakukan oleh berbagai
peneliti diantaranya dilakukan oleh Situmorang 1999, Niftia 2005, Asnawi 2007, dan Darwis et al. 2009. Situmorang 1999, Niftia 2005, Asnawi
2007, dan Darwis et al. 2009 menggunakan analisis pendapatan usahatani dan R-C rasio dalam penelitiannya.
Niftia 2005 menggunakan analisis pendapatan usahatani dan R-C rasio untuk menganalisis usahatani ubi kayu di Desa Mekarwangi Kecamatan Tanah
Sareal. Analisis pendapatan usahatani dan R-C rasio dilakukan secara umum yaitu dengan menyatukan usahatani pemilik dan penggarap. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa usahatani ubi kayu di Desa Mekarwangi memberikan keuntungan kepada petani sebesar Rp 1.096.500 per hektar. Usahatani ubi kayu di
Desa Mekarwangi juga layak untuk dijalankan karena nilai R-C rasio atas biaya total lebih besar dari satu, yaitu 1,3.
Darwis et al. 2009 melakukan analisis usahatani dengan lokasi yang berbeda dengan Niftia 2005, yaitu Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Hasil
penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa usahatani ubi kayu memberikan keuntungan bagi petani. Pendapatan total petani ubi kayu di Kabupaten Pati
adalah sebesar Rp 15.000.000 per hektar dengan R-C rasio sebesar 1,67. Analisis usahatani ubi kayu yang dilakukan oleh Niftia 2005 dan Darwis
et al. 2009 sebenarnya dapat dikembangkan lebih lanjut tergantung dari tujuan penelitian. Analisis usahatani dapat dilakukan berdasarkan status pengusahaan
lahan dan musim tanam MT Situmorang 1999, serta perbedaan sistem tanam Asnawi 2007.
Situmorang 1999 melakukan analisis usahatani berdasarkan status penguasaan lahan dan musim tanam. Analisis usahatani dalam penelitian tersebut
dibedakan antara petani pemilik dan petani penggarap karena 36,67 persen dari jumlah responden dalam penelitian tersebut merupakan petani penggarap.
Perbedaan status pengusahaan lahan menyebabkan adanya perbedaan biaya lahan,
12
dimana petani pemilik membayar pajak dan sewa lahan yang diperhitungkan, sedangkan petani pemilik membayar sewa lahan berdasarkan sistem bagi hasil
yang telah disepakati dengan pemilik lahan. Analisis usahatani dalam penelitian tersebut juga dibedakan antara MT 19971998 dan MT 19981999, karena
diantara kedua MT tersebut terdapat perbedaan biaya produksi dan penerimaan dalam usahatani ubi kayu. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
penurunan harga ubi kayu dan peningkatan biaya produksi biaya tunai dan biaya diperhitungkan menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan pada petani
pemilik dan petani penggarap. Pendapatan total per hektar petani pemilik turun dari Rp 4.376.679 pada
MT 19971998 menjadi Rp 115.329 pada MT 19981999, sedangkan pendapatan total per hektar petani penggarap turun dari Rp 4.124.812 pada MT 19971998
menjadi Rp 1.228.995 pada MT 19981999. Nilai R-C rasio juga mengalami penurunan pada petani pemilik dan petani penggarap. R-C rasio atas biaya total
bagi petani pemilik turun dari 1,97 pada MT 19971998 menjadi 1,02 pada MT 19981999, sedangkan R-C rasio atas biaya total bagi petani penggarap turun dari
1,87 pada MT 19971998 menjadi 1,32 pada MT 19981999. Penelitian Situmorang memberikan informasi bahwa penurunan harga dan
peningkatan biaya produksi memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap usahatani ubi kayu petani pemilik. Usahatani ubi kayu petani pemilik mengalami
penurunan pendapatan dan R-C rasio yang lebih besar dibanding usahatani petani penggarap. Usahatani ubi kayu petani penggarap pada MT 19981999 lebih
efisien dibandingkan dengan usahatani ubi kayu petani pemilik. Asnawi 2007 melakukan analisis usahatani untuk membandingkan
sistem tanam double row dan teknologi petani dalam kegiatan budidaya ubi kayu di Lampung. Hasil penelitian tersebut memberikan informasi bahwa sistem tanam
double row mampu meningkatkan penerimaan petani karena produktivitas ubi kayu meningkat lebih dari 100 persen. Peningkatan penerimaan pada akhirnya
akan meningkatkan pendapatan petani. Pendapatan usahatani ubi kayu dengan sistem tanam double row adalah Rp 12.714.000, sedangkan dengan teknologi
petani hanya Rp 3.742.500. Sistem tanam double row juga lebih layak untuk digunakan karena nilai R-C rasio atau biaya variabelnya lebih besar dari R-C rasio
13
atas biaya variabel dari teknologi petani. Nilai R-C rasio atas biaya variabel dari sistem double row adalah 2,55 sedangkan teknologi petani adalah 1,65.
Dari beberapa penelitian di atas, dapat diketahui bahwa usahatani ubi kayu memberikan keuntungan dan layak untuk dijalankan di berbagai daerah. Status
pengusahaan lahan dan sistem tanam yang berbeda dapat mempengaruhi pendapatan yang diperoleh petani dan nilai R-C rasio. Penggunaan pola tanam dan
sistem tanam yang tepat merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan petani untuk meningkatkan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usahatani ubi
kayu.
2.3. Struktur Biaya Usahatani Ubi Kayu