dalam bentuk gaplek lebih menguntungkan bagi petani dibanding pemasaran dalam bentuk ubi kayu segar.
2.5. Analisis Nilai Tambah
Penelitian mengenai analisis nilai tambah diantaranya dilakukan oleh Purba 2002, Asnawi 2003, Mulja 2006, Tunggadewi 2009, dan Sari 2011.
Metode yang umumnya digunakan peneliti terdahulu dalam menganalisis nilai tambah adalah metode Hayami.
Purba 2002 menggunakan metode Hayami untuk menganalisis nilai tambah pada industri kecil tapioka di Desa Ciparigi Kecamatan Bogor Utara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri kecil tapioka mampu memberikan nilai tambah sebesar Rp 98,753 per kilogram ubi kayu. Rasio nilai tambah sebesar
24,115 persen dari total nilai output. Nilai tambah Rp 98,753 merupakan pendapatan tenaga kerja sebesar Rp 69,000 dan keuntungan sebesar Rp 29,753.
Proporsi terbesar dari nilai tambah adalah untuk pendapatan tenaga kerja. Asnawi 2003 meneliti tentang nilai tambah ubi kayu menjadi tepung
tapioka. Penelitian dilakukan pada Industri Tepung Tapioka Rakyat Ittara di Provinsi Lampung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mengolah satu
kilogram ubi kayu membutuhkan tenaga kerja per hari orang kerja HOK sebesar Rp 13.000. Nilai tepung tapioka yang dihasilkan dari setiap kilogram ubi kayu
sebesar Rp 218,50, sedangkan nilai tambah pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka sebesar Rp 57,91 per kilogram. Rasio nilai tambah terhadap nilai produk
yaitu 30,07 persen, yang menunjukkan bahwa setiap Rp 100 produk akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 30,07. Keuntungan yang didapat dari tepung
tapioka adalah Rp 57,91 per kilogram bahan baku, sedangkan bagian keuntungan dari nilai tambah sebesar 88,13 persen. Keuntungan tersebut jauh lebih baik
dibandingkan dengan bagian keuntungan untuk tenaga kerja sebesar 11,87 persen, yang menandakan keuntungan sebesar Rp 57,91 per kilogram bahan baku ubi
kayu hanya dinikmati pemilik dan pengelola Ittara sedangkan petani belum mendapatkan bagian.
Mulja 2006 melakukan penelitian dengan studi kasus yang sama dengan yang dilakukan Purba 2002 yaitu pada pengrajin tepung tapioka di Desa Ciparigi
Kecamatan Bogor Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan ubi
17
kayu menjadi tepung tapioka memberikan nilai tambah sebesar Rp 619,23. Rasio nilai tambah yang diperoleh sebesar 70,76 persen, yang menunjukkan bahwa
pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka memberikan nilai tambah sebesar 70,76 persen dari nilai produk. Imbalan atau pendapatan tenaga kerja langsung
adalah sebesar Rp 80,5 per kilogram bahan baku. Persentase imbalan tenaga kerja terhadap nilai tambah adalah sebesar 13,00 persen. Imbalan terhadap modal dan
keuntungan adalah sebesar 87,00 persen dari nilai produk. Tunggadewi 2009 melakukan penelitian mengenai nilai tambah usaha
tahu dan tempe. Tunggadewi menganalisis nilai tambah usaha tahu dan tempe dengan menggunakan metode Hayami. Hasil perhitungan analisis nilai tambah
pengolahan kedelai terhadap kedua usaha tersebut menunjukkan bahwa usaha tahu memiliki nilai tambah yang lebih besar dibandingkan dengan usaha tempe,
dimana nilai tambah untuk usaha tahu adalah sebesar Rp 6.881 sedangkan usaha tempe sebesar Rp 4.947.
Sari 2011 melakukan penelitian mengenai nilai tambah agroindustri chip ubi kayu sebagai bahan baku pembuatan mocaf modified cassva flour di
Kabupaten Trenggalek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembuatan chips memberikan nilai tambah sebesar Rp 172,37 per kilogram. Rasio nilai
tambah yang diperoleh sebesar 19,32 persen, yang menunjukkan bahwa proses pembuatan chips memberikan nilai tambah sebesar 19,32 persen dari nilai produk.
Pendapatan tenaga kerja adalah sebesar Rp 99,73 per kilogram 37,45 persen dari nilai tambah, sedangkan tingkat keuntungan adalah sebesar Rp 72,64 per
kilogram 62,55 persen dari nilai tambah. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas dapat diketahui bahwa proses
pengolahan yang dilakukan pada satu komoditi akan menciptakan nilai tambah. Nilai tambah yang dihasilkan akan berbeda pada setiap kegiatan pengolahan suatu
komoditi.
18
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis