hektar 53 persen dari biaya keseluruhan usahatani pada MT 19971998 menjadi Rp 1.156.333 per hektar 30 persen dari biaya keseluruhan usahatani pada MT
19981999. Hasil penelitian Darwis et al. 2009 juga menyatakan bahwa biaya sewa lahan merupakan biaya terbesar yang dikeluarkan oleh petani ubi kayu di
Kabupaten Pati, yaitu sebesar 66,59 persen dari keseluruhan biaya usahatani. Niftia 2005 dan Asnawi 2007 menyatakan hal yang berbeda dengan
hasil penelitian Situmorang 1999 dan Darwis et al. 2009. Hasil penelitian yang dilakukan Niftia 2005 menunjukkan bahwa biaya terbesar dari usahatani ubi
kayu adalah biaya untuk bibit ubi kayu yaitu sebesar Rp 1.000.000 atau 27 persen dari keseluruhan biaya usahatani. Hasil penelitian Asnawi 2007, menunjukkan
bahwa biaya terbesar yang dikeluarkan petani adalah biaya tenaga kerja, yaitu sebesar 60,28 persen dari biaya keseluruhan dengan sistem double row dan 62,15
persen dengan teknologi petani. Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas diketahui bahwa struktur biaya
usahatani ubi kayu berbeda-beda untuk setiap kasus usahatani. Struktur biaya tersebut akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh petani dari kegiatan
usahatani ubi kayu.
2.4. Pemasaran Ubi Kayu
Penelitian mengenai pemasaran diantaranya dilakukan oleh Situmorang 1999 dan Darwis et al. 2009. Jenis produk ubi kayu yang dipasarkan di
beberapa daerah di Indonesia diantaranya adalah berupa ubi kayu dan gaplek. Perbedaan jenis produk tersebut membedakan saluran pemasarannya.
Sebagai bahan baku pabrik tepung tapioka, saluran pemasaran ubi kayu relatif pendek, hal ini terkait dengan sifat ubi kayu segar yang mudah rusak. Ubi
kayu segar untuk tujuan pengolahan tapioka hanya dapat disimpan selama 48 jam. Saluran pemasaran ubi kayu di Desa Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara hanya
terdiri dari satu saluran, yaitu petani – pabrik tapioka kasar PTK – pabrik tapioka halus PTH Situmorang 1999. Saluran pemasaran ubi kayu di
Kabupaten Pati terdiri dari tiga saluran, yaitu 1 petani – pedagang pengumpul atau penebas – pabrik atau perusahaan makanan ringan, 2 petani – pedagang
pengumpul atau penebas – perusahaan pengrajin tapioka atau krosok – pabrik atau perusahaan makanan ringan, 3 petani – pedagang pengumpul atau penebas –
15
makelar – perusahaan pengrajin tapioka atau krosok – pabrik atau perusahaan makanan ringan Darwis et al. 2009.
Menurut hasil penelitian Situmorang 1999, stuktur pasar yang terjadi antara petani dan pabrik tapioka kasar adalah pasar oligopoli, sedangkan struktur
pasar yang terjadi antara pabrik tapioka kasar dan pabrik tapioka halus adalah pasar monopsoni. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa struktur pasar ubi
kayu didominasi oleh pabrik tapioka kasar. Efisiensi pemasaran merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam
suatu sistem pemasaran. Efisiensi pemasaran ubi kayu dapat dianalisis dengan menggunakan alat analisis marjin pemasaran, farmer’s share dan analisis
keuntungan terhadap biaya. Situmorang 1999 menggunakan analisis marjin dan menghitung share masing-masing lembaga pemasaran.
Situmorang 1999 melakukan analisis marjin pemasaran berdasarkan harga-harga dan biaya-biaya yang berlaku. Harga serta biaya tersebut dihitung
dalam satuan yang setara dengan satu kilogram ubi kayu untuk setiap tingkat lembaga pemasaran. Marjin pemasaran total dalam penelitian tersebut adalah
sebesar Rp 188,66 yang terdiri dari biaya pemasaran sebesar Rp 57,64 dan keuntungan pemasaran sebesar Rp 131,02. Total marjin tersebut merupakan
penjumlahan marjin yang diperoleh Pabrik Tapioka Halus PTH yaitu Rp 129,37 dengan yang diperoleh Pabrik Tapioka Kasar PTK yaitu sebesar Rp 59,29.
Situmorang 1999 juga menganalisis share masing-masing lembaga pemasaran. Share tertinggi diperoleh oleh petani yaitu sebesar 59,31 persen, kedua oleh PTH
sebesar 27,9 persen, dan share terendah yaitu sebesar 12,79 persen diterima oleh PTK. Pembagian keuntungan diantara lembaga yang terlibat tidak adil, sebab PTK
yang lebih banyak mengeluarkan biaya justru memperoleh keuntungan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan yang diterima oleh PTH. Berdasarkan hasil
analisis share maka sistem pemasaran ubi kayu di Desa Cimahpar dapat dikatakan tidak efisien.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa saluran pemasaran ubi kayu di setiap daerah berbeda-beda. Saluran pemasaran ubi kayu
juga berbeda untuk setiap jenis produk yang dipasarkan. Pemasaran ubi kayu
16
dalam bentuk gaplek lebih menguntungkan bagi petani dibanding pemasaran dalam bentuk ubi kayu segar.
2.5. Analisis Nilai Tambah