Tingkat Stakeholder yang Akan Menentukan Alternatif Kebijakan

kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup. Dinas Pekerjaan Umum PU menduduki urutan keenam dalam penentuan alternatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi yang meminimumkan dampak lingkungan. Hal ini salah satunya di dukung oleh visi jangka panjang departemen pekerjaan umum sampai tahun 2025 yang berbunyi “Menjamin Ketersediaan Infrastruktur Bidang Pekerjaan Umum yang Handal untuk Kehidupan yang Nyaman, Produktif dan Berkelanjutan. Kata-kata berkeanjutan disini bermakna pendekatan pembagunan yang berwawasan lingkungan dimana pertumbuhan ekonomi bisa disinergikan dengan kelestarian lingkungan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan atau instrumen- instrumen lain yang dianggap mampu meminumkan dampak lingkungan yang negatif. Dalam penelitian ini instansi perguruan tinggi PT menduduki urutan yang sama dengan PU dalam penentuan altenatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi yaitu urutan keenam. Perguruan tinggi diketahui juga memiliki kewajiban dalam menerapkan tanggung jawab Tri Darma perguruan tinggi yaitu, pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. LSM merupakan salah satu stakeholder yang mempunyai peran terhadap penanggulangan degradasi kualitas lingkungan di Pantai Kamali, Kota Bau-bau. Peran ini adalah dalam hal melakukan pemantauan dan pengawasan di lapangan tentang efektifitas penerapan ketentuan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, upaya penyadaran terhadap kualitas dan pemeliharaan lingkungan pada masyarakat, kondisi sosial ekonomi masyarakat dipesisir Kamali dan yang sama pentingnya juga adalah LSM dapat menempuh hak class actions serta legal standing yang dapat ditempuh oleh LSM dalam menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan. Lebih jauh lagi Santoso 2001 dalam Arifuddin 2009 mengemukakan bahwa keberadaan LSM lingkungan dilandasi suatu kepedulian tentang suatu masalah lingkungan tertentu, hak hukum dari LSM sebagai penunjang pengelolaan lingkungan hidup dijamin secara tegas berdasarkan UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 19 dan UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intansi Dispenda adalah stakeholder yang paling terakhir dalam penentuan alternatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi yang meminimumkan dampak lingkungan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya Kota Bau-bau telah menjadi tempat eksodus masyarakat Ambon akibat konflik yang terjadi pada tahun 1999 lalu. Oleh karena itu Pemkot Bau-bau mengambil inisiatif dengan membuat ruang multi fungsi untuk dapat memberikan kenyamanan psikologis dan mengurangi stres kepada masyarakat. Bentuk inisiatif ini adalah melakukan reklamasi Pantai Kamali menjadi ruang publik yang dapat memberikan suasana nyaman dan aman. Pemkot Bau-bau juga mendirikan mall disamping muara Sungai Bau-bau yang masih termasuk kawasan pesisir Kamali untuk meningkatkan sektor perdagangan di kota ini. Pembangunan mall dan ruang publik di Pesisir Kamali tersebut telah berkontribusi positif pada aspek ekonomi Kota Bau-bau melalui pajak hiburan, pajak reklame, retribusi jasa umum seperti retribusi pelayanan persampahankebersihan dan retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum. Landasan konstitusi aturan perpajakan ini mengacu pada UU No. 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.

5.3.2. Tingkat Aspek yang Dipilih Stakeholder Dalam Menentukan

Alternatif Kebijakan Hasil analisis gabungan pendapat seluruh stakeholder terhadap level aspek Tabel 14 menggunakan program AHP dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kepentingan ekonomi dan sosial merupakan prioritas pertama yang dipilih. Sebagian besar stakeholder telah memilih aspek ekonomi dan sosial dalam penentuan alternatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi yang meminimumkan dampak lingkungan di Kota Bau-bau. Tabel 17. Tingkat aspek dalam penentuan alternatif kebijakan No Aspek Bobot Kepentingan Prioritas 1 Ekonomi 0,400 1 2 Sosial 0,400 1 3 Ekologi 0,200 2 Pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi yang meminimumkan dampak lingkungan di Kota Bau-bau dan berbagai penentuan alternatif kebijakan menunjukkan bahwa aspek ekonomi dan sosial menempati dengan bobot nilai masing-masing 0,400 dan urutan terakhir adalah ekologi dengan bobot nilai 0,200. Penentuan alternatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi yang meminimumkan dampak lingkungan cenderung lebih mengutamakan aspek ekonomi dan sosial berdasarkan hasil analisis ini. Aspek ekonomi untuk pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi dan aspek sosial agar kerukunan, toleransi dan keamanan di kawasan Pantai Kamali dapat terjaga, sehingga tidak menimbulkan konflik khususnya di masa mendatang. Aspek lingkungan tetap mendapat prioritas agar keseimbangan ekosistem dapat terjaga dan lestari.

5.3.3. Prioritas Kebijakan yang Meminimumkan Dampak Lingkungan

Kebijakan adalah dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan dengan maksud untuk membangun suatu landasan yang jelas dalam pengambilan keputusan dan langkah yang diambil. Kebijakan didasarkan pada masalah yang ada di daerah, selanjutnya kebijakan harus secara terus menerus dipantau, direvisi dan ditambah agar tetap memenuhi kebutuhan yang terus berubah. Berdasarkan arah dan kebijaksanaan dari pembangunan wilayah pesisir dan lautan yang ditegaskan dalam GBHN tahun 1993, maka kebijaksanaan pembangunan kelautan diarahkan untuk mendukung antara lain mempertahankan daya dukung serta kelestarian fungsi lingkungan hidup. Kebijaksanaan Pemerintah yang mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis untuk menjaga kelestarian sumberdaya laut, adalah terbitnya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999. Undang-undang tersebut secara tegas telah mengatur mengenai kewenangan Daerah dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang terdiri dari wilayah darat dan laut sejauh 12 mil yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas danatau kearah perairan kepulauan. Dalam usaha mewujudkan penerapan kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi yang meminimumkan dampak lingkungan di Kota Bau-bau harus dilakukan secara terpadu dan holistik, yang di mulai dari dukungan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Dalam pengelolaan termasuk perencanaan dan pemanfaatan bagi pemerintah, swasta dan masyarakat sebaiknya adanya kepastian hukum secara efektif Budiharsono, 2001. Hasil analisis AHP diperoleh beberapa alternatif kebijakan Tabel 15. Tabel 18. Tingkat alternatif kebijakan dari hasil analisis AHP Regulasi yang ketat terhadap terhadap pembuangan pada badan sungai merupakan alternatif kebijakan pertama dengan nilai pembobotan sebesar 0,420, sedangkan alternatif kedua adalah Pembuatan IPAL setiap kegiatan dengan nilai pembobotan 0,356. Prioritas kebijakan terakhir dalam penelitian ini adalah koservasi padang lamun dengan bobot nilai 0,224. Regulasi yang ketat terhadap pembuangan pada badan sungai menjadi alternatif pertama karena adanya regulasi atau perundang-undangan khususnya penerapan Perda peraturan daerah yang ketat terhadap pembuangan pada badan sungai merupakan solusi yang sangat efektif untuk mengurangi pencemaran yang semakin meningkat di kawasan Pantai Kamali sebagai akibat dari semakin tingginya limbah-limbah organik dan anorganik dari masyarakat yang tinggal disepanjang DAS Sungai Bau-bau. Hal ini juga untuk mengurangi pendangkalan di muara Sungai Bau-bau akibat tingginya sedimentasi yang berasal dari Sungai Bau-bau dan terjadinya pola perubahan sedimen yang sebelumnya tertampung pada wilayah reklamasi. Tingginya sedimentasi dari Sungai Bau-bau berasal dari pertambangan bebatuan yang limbahnya berupa tanah dan lumpur terutama bila hujan turun di Kecamatan Surawolio yang tidak memiliki izin dokumen lingkungan. Kemudian ditambah lagi dengan sebuah perusahaan nikel yang ada juga berada di kecamatan tersebut. Perusahaan nikel ini menghasilkan banyak sedimentasi ketika membuka lahan untuk mendapatkan bahan baku nikel yang akan di kirim ke pulau Jawa. No Alternatif Kebijakan Bobot Kepentingan Prioritas 1 Regulasi yang ketat terhadap pembuangan pada badan sungai 0,420 1 2 Pembuatan IPAL setiap kegiatan 0,356 2 3 Konservasi padang lamun 0,224 3 Sidharta et al. 2005 mengatakan asas peraturan perundang-undangan antara lain adalah menghasilkan suatu peraturan perudangan-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan ataupun pelestarian. Perusahaan-perusahaan tersebut diharapkan akan mengusahakan pembuatan IPAL untuk pengolahan limbahnya demi keberlangsungan perusahaannya, jika perda tentang aturan yang ketat terhadap pembuangan pada badan Sungai Bau-bau telah diberlakukan. Lebih lanjut lagi Sidharta, et al 2005 mengatakan suatu studi yang dilakukan oleh proyek pesisir sebagai mitra pemerintah dalam menanggulangi wilayah pesisir di Kabupaten Minahasa menunjukkan kurangnya peraturan perundangan-undangan khususnya perda yang menanggulangi suatu masalah di wilayah pesisir. Proses pembuatan rancangan perda harus melalui tahapan penyusunan yang meliputi persiapan, identifikasi isu atau permasalahan, proses penyusunan dan penetapan implemantasi. Semua rentetan tahapan diatas melibatkan berbagai pihak yang berhubungan dengan pengelolaan pesisir yaitu pemerintah, masyarakat pesisir, swasta, LSM yang bergerak dipesisir, perguruan tinggi, penegak hukum ,dunia usaha, media cetak maupun elektronik dan lain-lain. Isi perda tersebut sebaiknya memuat aturan yang melingkupi semua perusahaan, masyarakat dan Pemkot Bau-bau sendiri. Substansi perda tersebut terhadap perusahaan adalah perlunya penegasan bahwa setiap perusahaan- perusahaan yang ada di Kota Bau-bau harus memiliki dokumen kelayakan lingkungan, harus membangun IPAL disetiap kegiatannya dan akan terkena sangsi apabila melanggar aturan tersebut. Substansi perda terhadap masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di DAS. Masyarakat yang tinggal di DAS harus memiliki tong sampah, tidak boleh membuang sampahnya ke sungai dan kalau bisa menerapkan IPAL komunal terpadu untuk skala rumah tangga. Masyarakat juga harus ikut serta menjadi pengontrol dalam pemeliharaan lingkungan khususnya pembuangan sampah pada badan Sungai Bau-bau tersebut. Hak dan kewajiban Pemkot Bau-Bau dalam subtansi perda tersebut adalah harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara berkala tentang penyadaran pentingnya pemeliharaan lingkungan khususnya Sungai Bau-bau, menyediakan dan merehabilitasi tempat-tempat pembuangan sampah secara berkala di tempat- tempat yang strategis, melakukan pengawasan dan pemeriksaan secara berkala terhadap perusahan-perusahaan. Pemeriksaan ini mencakup kelengkapan dokumen kelayakan lingkungan, sarana dan lokasi pembuangan serta pengelolaan limbahnya. Hak dan kewajiban Pemkot Bau-bau selanjutnya adalah melakukan monitoring dan evaluasi sampai dimana ketaatan perusahan tersebut terhadap perda yang telah dilegalkan serta memberikan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak mengkuti perda tersebut. Substansi perda tersebut juga sebaiknya memuat kewajiban Pemkot Bau-bau memberikan penghargaan kepada perusahaan yang mendapat predikat terbaik dalam pengelolaan limbahnya. IPAL setiap kegiatan merupakan alternatif kebijakan kedua dengan dengan nilai pembobotan 0,356. Pengadaan IPAL terhadap semua kegiatan yang menghasilkan limbah, baik limbah rumah tangga maupun limbah industri, maka di harapkan tingginya sedimentasi di muara sungai Bau-bau akibat perubahan pola sedimen akan berkurang signifikan. Sugiharto 1987 mengatakan air limbah suatu industri baru diperbolehkan dibuang ke badan-badan air apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Efek samping dari limbah tersebut 1 dapat membahayakan kesehatan manusia karena dapat merupakan pembawa suatu penyakit, 2 merugikan segi ekonomi karena dapat menimbulkan kerusakan pada bendabangunan maupun tanam-tanamanpeternakan, 3 dapat merusak atau membunuh kehidupan dalam yang ada dalam karena dengan banyaknya zat pencemar yang ada di dalam air limbah, maka akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen yang terlarut di dalam air limbah, sehingga menyebabkan kehidupan di dalam air yang membutuhkan oksigen akan terganggu, dalam hal ini akan mengurangi perkembangannya, dan yang terakhir adalah 4 dapat merusak keindahan aestetika, karena bau busuk dan pemandangan yang tidak sedap dipandang. Sugiharto 1987 mengatakan juga bahwa susunan dan sifat air limbah tidak boleh diabaikan agar air limbah dapat dikelola dengan baik maka, misalnya saja susunan dan sifat air limbah yang berasal dari daerah industri sangat bervariasi tergantung dari macam dan jenis industri. Beberapa perlengkapan diperlukan untuk mengalirkan air limbah dari sumbernya sampai ke tempat pengolahan. Perlengkapan tersebut terdiri dari pipa penyaluran, sumur pemeriksaan, pusat pemompaan dan peralatan pemeliharaan. Berdasarkan wawancara dilapangan dan penelusuran pustaka terkait, limbah yang berupa sedimen sebagian besar berasal dari beberapa perusahaan batuan dan sebuah perusahaan nikel di Kecamatan Surawolio di Kota Bau-bau, ditambah lagi terjadinya pola pergerakan sedimen akibat pembangunan reklamasi di Pantai Kamali. Dalam implementasinya nanti, pembangunan IPAL ini bisa dilakukan dalam dua cara, yang pertama yaitu semua perusahaan bersatu untuk membangun program IPAL bersama dan yang kedua adalah semacam proyek langsung dari Pemkot Bau-bau yaitu program IPAL terpadu yang melayani semua stakeholder yang ada di Kota Bau-bau, seperti rumah-rumah masyarakat, kantor-kantor pemerintah, rumah sakit, hotel, perusahaan-perusahaan tersebut dan lain-lain sebagai pelanggan. Program yang kedua ini bisa meningkatkan PAD daerah karena setiap stakeholder tersebut yang menjadi pelanggan dalam program IPAL akan membayar retribusi kepada Pemkot Bau-bau. Air limbah yang dihasilkan oleh semua stakeholder tersebut, akan disalurkan melalui pipa ke pumping station rumah pompa yang sebaiknya dibuat beberapa lokasi jika menjalankan program yang kedua dan berakhir ke ke lokasi IPAL. Dalam IPAL tersebut nanti sebaiknya terdapat empat kolam yang masing- masing terdiri dari dua kolam aerasi dan dua kolam pengendapan sedimentasi dengan kedalaman masing-masing 4 meter. Setelah diproses, air limbah akan menjadi air biasa lagi dan untuk sementara dibuang ke laut. Kedepannya diharapkan air bersih tersebut bisa menjadi air baku untuk diolah menjadi air minum dan suplai irigasi. Sistem aerasi digunakan dengan maksud untuk mengurangi kebutuhan luas lahan dan meningkatkan proses pengolahan menjadi lebih cepat sekaligus meniadakan bau yang mungkin timbul akibat proses oksidasi yang tidak sempurna. Pelapisan dengan geomembrane dan geotextile dilakukan pada kolam aerasi untuk mengatasi kemungkinan adanya rembesan terhadap air tanah lapisan kedap air yang sangat kuat. Sistem ini relatif sederhana sehingga tidak memerlukan tenaga operator dengan kualifikasi khusus untuk pengoperasian dan pemeliharaannya. Ditinjau dari segi biaya investasi dan operasi pemeliharaan,