berlangsung pada air yang lebih tipis. Lioyd 1985 dalam Effendi 2003 menyatakan bahwa peningkatan kekeruhan sebesar 5 NTU di danau dan sungai
dapat mengurangi produktifitas primer berturut-turut sebesar 75 dan 3 - 13 . Kekeruhan yang tinggi juga dapat mematikan organisme perairan karena
mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, seperti misalnya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik.
Dalam penelitian ini, nilai kekeruhan pasca reklamasi tahun 2009 lalu pada muara Sungai Bau-bau adalah 6,76 NTU. Nilai kekeruhan ini telah melewati
ambang batas baku mutu air berdasarkan Kepmen LH No. 179 tahun 2004 yaitu 5 NTU. Pengambilan sampel air di muara sungai tersebut sebelum reklamasi pada
tahun 2003 lalu untuk nilai kekeruhan adalah 0,7 NTU, dan nilai tersebut masih dibawah ambang batas baku mutu air berdasarkan Kepmen LH tersebut.
Berdasarkan kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa kegiatan reklamasi yang telah dilakukan pada kawasan Pantai Kamali sedikit banyaknya telah
mempengaruhi tingkat kekeruhan pada muara sungai tersebut. Adanya jeti yang dibangun tegak lurus pantai dan adanya kegiatan reklamasi untuk pendirian mall
dimuara sungai tersebut telah mempengaruhi tingginya tingkat kekeruhan. Hal ini disebabkan tertahannya bahan-bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan
terlarut yang berukuran lebih besar misalnya lumpur dan pasir halus serta lapisan atas permukaan tanah yang terbawa oleh arus di muara sungai. Zat anorganik
biasanya berasal dari lapukan batuan dan senyawa logam, sedangkan yang organik dapat berasal dari lapukan tanaman dan hewan. Zat organik diketahui juga dapat
menjadi makanan bakteri, sehingga mendukung pertumbuhan bakteri tersebut. Kondisi tersebut secara tidak langsung dapat menambah kekeruhan air karena
bakteri adalah zat organik tersuspensi, sehingga pertambahannya akan menambah pula kekeruhan air. Aktifitas masyarakat misalnya membuang sampah di hulu dan
sepanjang Sungai Bau-bau juga telah mempengaruhi tingginya tingkat kekeruhan di sungai tersebut.
Nilai zat padat tersuspensi atau TSS di muara Sungai Bau-bau setelah reklamasi pada tahun 2009 lalu adalah 37,0 mgL. Nilai ini telah melewati
ambang batas baku mutu air berdasarkan Kepmen LH No. 179 tahun 2004 yaitu
20 mgL. Pengukuran TSS sebelum reklamasi memang tidak ada, namun tingginya nilai TSS dapat menambah nilai kekeruhan pada suatu perairan.
TSS adalah bahan-bahan tersuspensi diameter 1
µ m yang tertahan pada
saringan millipore dengan diameter pori 0,45 µ
m, yang terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah
atau erosi tanah yang terbawa ke dalam air Effendi, 2003. Berbagai aktifitas masyarakat di hulu dan sepanjang Sungai Bau-bau telah mempengaruhi kikisan
dan erosi tanah yang terbawa kedalam air sungai tersebut sehingga mempengaruhi tingginya nilai TSS di muara sungai ini.
Wardoyo 1995 menyatakan bahwa kandungan TSS yang tinggi menyebabkan perairan keruh dan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam badan air
sehingga membatasi laju fotosintesis. Adanya padatan tersuspensi akan mengakibatkan yaitu :
1. Mengurangi daya pemurnian alami self purification karena proses
fotosintesis menurun dan menutupi organisme dasar organisme bentik. 2.
Dapat merusak sumberdaya perikanan di daerah pemijahan spawning area
dan daerah penangkapan fishing ground, dan 3.
Mengurangi estetika perairan. Mackereth et al. 1989 menyatakan konduktifitas atau daya hantar listrik
DHL adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik, oleh karena itu semakin banyak garam-garam yang terlarut yang dapat
terisolasi maka semakin tinggi mulai nilai DHL. Boyd 1988 menyatakan nilai DHL di perairan alami sekitar 20-1500
µ mhoscm. Pengukuran DHL tidak
dilakukan sebelum reklamasi, dan hasil pengukuran setelah reklamasi pada tahun 2008 dan 2009 lalu, untuk muara Sungai Bau-bau sebesar 63,2 dan 68,2
µ mhoscm sedangkan pada Pantai Kamali sebesar 62,7 dan 93,2
µ mhoscm.
5.2.1.2. Kualitas Kimia
Untuk parameter kimia berdasarkan hasil pemantauan sebelum dan sesudah reklamasi jika dibandingkan dengan Kepmen LH No. 179 tahun 2004 terlihat
bahwa parameter oksigen terlarut pasca reklamasi sudah melewati batas baku mutu air yang ditetapkan dalam peraturan tersebut. Kandungan oksigen terlarut di
muara Sungai Bau-bau dan Pantai Kamali pada tahun 2009 lalu masing-masing telah berada pada angka 2 dan 1 mgl. Jika dibandingkan dengan sebelum
reklamasi pada tahun 2001 masih dibawah standar baku mutu air, yaitu masing- masing untuk muara Sungai Bau-bau dan Pantai Kamali adalah 7, 29 dan 5,53.
Nilai parameter oksigen terlarut atau DO berdasarkan Kepmen LH LH No. 179 tahun 2004 adalah
5 mgl. Noventy dan Olem 1994 menyatakan bahwa sumber oksigen terlarut dapat
berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer sekitar 35 dan aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Namun, pada hakikatnya difusi
oksigen dari atmosfer ke perairan berlangsung relatif lambat, meskipun terjadi pergolakan masssa air. Sehingga sumber utama oksigen diperairan adalah
fotosintesis. Menurunnya oksigen terlarut pada pada kawasan Pantai Kamali disebabkan
hilangnya ekosistem padang lamun yang dulu pernah ada ditempat tersebut. Pembangunan reklamasi yang menimbun habitat padang lamun telah
menyebabkan berkurangnya oksigen terlarut dalam perairan tersebut, sehingga kondisi ini menyebabkan proses fotosintesis yang dilakukan oleh lamun untuk
menghasilkan oksigen terlarut dalam perairan menurun total. Di lain pihak hal ini diduga sebagai akibat dari limbah khususnya limbah domestik dari masyarakat
yang tinggal disepanjang aliran dan hulu Sungai Bau-bau. Limbah domestik yang berupa bahan organik ini telah dioksidasi oleh mikroba atau melalui proses
dekomposisi secara aerob sehingga memerlukan pasokan oksigen secara terus menerus. Boyd 1988 menyatakan bahwa oksidasi bahan organik di perairan
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, pH, pasokan oksigen, jenis bahan organik serta rasio karbon dan nitrogen.
Adanya perubahan kosentrasi oksigen dalam perairan dapat mengakibatkan kematian bagi organisme, sedangkan pengaruh tidak langsung adalah dapat
menigkatkan toksitas bahan pencemar yang pada akhirnya akan membahayakan kehidupan organisme pada perairan tersebut. Kandungan oksigen terlarut
sebaiknya tidak kurang dari 4 mgl. Hal ini bertujuan agar kehidupan organisme perairan dapat layak dan kegiatan perikanan dapat berhasil NTAC, 1968 dalam
Novita, 2006.
Nilai parameter pH untuk semua pengamatan setiap tahun masih dalam kisaran yang memenuhi baku mutu perairan baik PP No. 82 tahun 2001 maupun
Kepmen LH No. 179 tahun 2004. Parameter nitrat berdasarkan pemantauan sudah melewati ambang batas baku mutu sebelum adanya reklamasi yaitu pada tahun
2003 lalu yang masing-masing untuk muara Sungai Bau-bau dan Pantai kamali adalah 2,02 dan 1,71 mgl, namun hasil pemantauan setelah adanya reklamasi
pada tahun 2006 lalu semakin naik menjadi 3, 48 mgl di muara Sungai Bau-bau dan 9, 12 mgl di Pantai Kamali.
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen diperairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman adan algae. Nitrifikasi yang merupakan proses
oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob. Noventy dan Olem 1994 dalam
Effendi 2003 menyatakan proses nitrifikasi atau oksidasi nitrit menjadi nitrat yang dilakukan oleh bakteri Nitrobacter sangat dipengaruhi oleh beberapa
paremeter,yang diantaranya adalah nilai pH yang optimum bagi proses nitrifikasi adalah 8 – 9, dimana pada pH
6, reaksi akan berhenti. Kemudian bakteri yang melakukan nitrifikasi cenderung menempel pada sedimen dan bahan padatan lain.
Kisaran pH 7 – 8 di muara Sungai Bau-bau dan Pantai Kamali adalah salah satu faktor yang menyebabkan semakin meningkatnya kandungan nitrat di tempat
tersebut. Hal ini ditunjang lagi dengan meningkatnyas sedimen yang berada di muara Sungai Bau-bau membuat bakteri yang melakukan nitrifikasi semakin
meningkat. Kadar nitrat di Pantai Kamali pada tahun 2006 lalu telah mencapai angka 9,12 mgl. Kadar Nitrat yang lebih dari 5 mgl menggambarkan terjadinya
pencemaran antropogenik yang berasal dari aktifitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat-nitrogen yang lebih dari 0,2 mgl dapat mengakibatkan terjadinya
eutrofikasi perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat blooming.
Hasil pemantauan parameter fosfat telah melewati ambang batas baku mutu berdasarkan Kepmen LH No. 179 tahun 2004 sebelum reklamasi pada tahun 2001,
dan kemudian semakin meningkat pasca reklamasi tahun 2006 lalu. Batas baku mutu untuk kandungan fosfat berdasarkan Kepmen LH No. 179 tahun 2004
adalah 0,015 mgl. Kandungan fosfat di muara sungai Bau-bau dan Pantai Kamali