Alternatif Kebijakan Pengelolaan Pantai Kamali Hasil Reklamasi di Kota Bau-bau yang Meminimumkan Dampak Lingkungan.

(1)

ALTERNATIF KEB

HASIL REK

MEMINIM

PENGELOLAAN S

SE

INST

EBIJAKAN PENGELOLAAN PANTAI KA

EKLAMASI DI KOTA BAU-BAU YANG

IMUMKAN DAMPAK LINGKUNGAN

WADI AFDAL FAIZU

PROGRAM STUDI

SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKU

SEKOLAH PASCA SARJANA

STITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

KAMALI

G


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Alternatif Kebijakan Pengelolaan Pantai Kamali Hasil Reklamasi di Kota Bau-Bau yang Meminimumkan Dampak Lingkungan” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutib dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam bentuk teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2011

Wadi Afdal Faizu Nrp. P052090201


(4)

Coast as the Result of Reclamation in the Town of Bau-Bau, which Minimizes the Environmental Impact. Supervised by ETTY RIANI and SUKARDI.

The reclamation of Kamali Coast in Bau-Bau was conducted in 2004. This has led to the loss of potential coastal biological resources, especially some of the marine bio-resources, damaged ecosystem of sea grass and coral reefs. It has also caused changes in the landscape (geomorphology) that have an impact on the changes in ocean currents, sedimentation patterns and a shallower estuary of Bau-Bau River. The study was conducted to find appropriate alternative policies, related to the ecosystem management efforts at Kamali Coast resulting from the reclamation in the Town of Bau-Bau, which minimized the environmental impact. It tried to analyze the existing social, economic, and environmental conditions before and after reclamation and used the analytical hierarchy process (AHP). The results showed that the social condition after reclamation is still quite good and well controlled. The economic condition has also contributed significantly to the regional revenue (PAD) of Bau-Bau. However, the environmental condition found some decreased water qualities, especially turbidity, TSS, dissolved oxygen, nitrate and phosphate. This has led to an increased sedimentation, thus a shallower estuary of Bau-Bau River. The alternative first policy obtained from the AHP analysis is a strict regulation for the dumping along the river. A tight regional regulation (Perda) is expected to enforce the companies that dispose waste in the form of sediment to create IPAL in order to minimize the environmental impact in this area.


(5)

WADI AFDAL FAIZU, Alternatif Kebijakan Pengelolaan Pantai Kamali Hasil Reklamasi di Kota Bau-bau yang Meminimumkan Dampak Lingkungan.

Dibimbing oleh ETTY RIANI dan SUKARDI.

Salah satu jalan keluar yang dipilih untuk mengembangkan kota adalah dengan melakukan reklamasi perairan pantai sebagai upaya untuk menangani keterbatasan lahan. Pantai Kamali yang berada di Kota Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara adalah salau satu pantai yang telah direklamasi pada tahun 2004 seluas 34.040 m2 dan diresmikan pembukaannya pada 18 Agustus 2005. Saat ini, pantai tersebut jadi ruang publik yang paling ramai dan merupakan magnet untuk rekreasi.

Kebijakan yang tidak efektif dapat berdampak pada penurunan kualitas lingkungan juga menimbulkan penurunan bidang sosial budaya yang akan mengakibatkan pembangunan reklamasi yang telah dilakukan menjadi sia-sia. Untuk melakukan pengelolaan yang lebih optimal maka diperlukan analisis atas beberapa aspek, seperti aspek sosial, ekonomi dan lingkungan yang dilakukan melalui analisis kondisi eksisting pra dan pasca reklamasi. Kemudian setelah mengetahui kondisi eksisting aspek-aspek tersebut, maka selanjutnya diperlukan alternatif kebijakan melalui Analysis Hierarchy Process (AHP) yang akan menghasilkan suatu kebijakan strategis sebagai arahan rekomendasi pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi yang meminimumkan dampak lingkungan kepada Pemkot Bau-bau.

Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui alternatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali di Kota Bau-bau yang dapat meminimumkan dampak lingkungan dan tujuan khusus penelitian ini adalah menganalisis kondisi eksisting ekonomi sosial dan ekologi di Pantai Kamali sebelum dan sesudah reklamasi serta mendapatkan alternatif kebijakan tepat, terkait dengan upaya pengelolaan ekosistem Pantai Kamali hasil reklamasi di Kota Bau-Bau yang meminimumkan dampak lingkungan.

Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer dan sekunder, kemudian selanjutnya di analisis kondisi ekonomi, sosial dan ekologi secara deskriptif. Dalam penelitian ini juga digunakan metode analisis AHP untuk menentukan alternatif kebijakan pengelolaan pantai hasil reklamasi yang meminimumkan dampak lingkungan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi sosial setelah reklamasi mengenai jaminan rasa aman masih cukup baik, kesenjangan sosial dalam masyarakat belum terlalu kelihatan dan konflik sosial serta moral mayarakat masih bisa dikendalikan. Kondisi ekonomi setelah reklamasi menunjukkan bahwa dengan adanya areal publik dan pembangunan mall di Pantai Kamali cukup berkontribusi pada peningkatan PAD Kota Bau-bau. Hal ini ditegaskan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat dan pengguna kawasan Pantai Kamali sebagai akibat dari semakin meningkatnya jumlah pengunjung yang datang di kawasan tersebut.

Kualitas perairan Pantai Kamali dan muara Sungai Bau-bau setelah reklamasi khususnya kekeruhan, zat padat tersuspensi (TSS), oksigen terlarut,


(6)

hancurnya padang lamun dan semakin menurunnya kualitas ekosistem estuaria di kawasan tersebut. Tingginya tingkat kekeruhan, TSS, dan sedimentasi ini akibat adanya pembangunan mall dan jembatan batu yang membuat bahan organik dan anorganik yang yang tersuspensi dan terlarut yang berukuran lebih besar seperti lumpur, pasir halus dan lapisan permukaan tanah tertahan di muara Sungai Bau-bau. Akibat dari hal ini telah menyebabkan tingginya nilai nitrat dan fosfat karena bakteri yang melakukan nitrifikasi semakin meningkat dan bertambahnya ketebalan sedimen diwilayah tersebut. Hal ini juga diperparah dengan rendahnya oksigen terlarut di muara sungai tersebut sebagai akibat dari musnahnya padang lamun yang dulu pernah ada dikawasan ini oleh pembagunan reklamasi, karena proses fotosintesis penghasil oksigen terlarut yang dilakukan oleh padang lamun di perairan tersebut menurun drastis.

Prioritas alternatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi di Kota Bau-bau yang meminimumkan dampak lingkungan adalah (1) regulasi yang ketat terhadap pembuangan pada badan sungai dengan bobot nilai 0,420, (2) pembuatan IPAL setiap kegiatan dengan bobot nilai 0,356, dan (3) konservasi padang lamun dengan bobot nilai 0,224.

Regulasi yang ketat terhadap pembuangan pada badan sungai merupakan solusi yang sangat efektif untuk mengurangi pencemaran yang semakin meningkat di kawasan Pantai Kamali dan mengurangi pendangkalan di muara Sungai Bau-bau. Isi perda tersebut sebaiknya memuat aturan yang melingkupi semua perusahaan, masyarakat dan Pemkot Bau-bau sendiri. Substansi perda tersebut terhadap perusahaan adalah perlunya penegasan bahwa setiap perusahaan-perusahaan yang ada di Kota Bau-bau harus memiliki dokumen kelayakan lingkungan, harus membangun IPAL disetiap kegiatannya dan akan terkena sangsi apabila melanggar aturan tersebut. Substansi perda terhadap masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di DAS. Masyarakat yang tinggal di DAS harus memiliki tong sampah, tidak boleh membuang sampahnya ke sungai dan kalau bisa menerapkan IPAL komunal terpadu untuk skala rumah tangga.

Hak dan kewajiban Pemkot Bau-Bau dalam subtansi perda tersebut adalah harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara berkala tentang penyadaran pentingnya pemeliharaan lingkungan khususnya Sungai Bau-bau, menyediakan dan merehabilitasi tempat-tempat pembuangan sampah secara berkala, menyediakan alat dan sarana pengerukan sungai untuk mengurangi pendangkalan, melakukan pengawasan dan pemeriksaan secara berkala terhadap perusahan-perusahaan, melakukan monitoring dan evaluasi sampai dimana ketaatan perusahan tersebut terhadap perda yang telah dilegalkan, memberikan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak mengikuti perda tersebut dan memberikan penghargaan kepada perusahaan yang mendapat predikat terbaik dalam pengelolaan limbahnya.


(7)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan karya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB


(8)

WADI AFDAL FAIZU

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

Pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

PROGRAM STUDI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(9)

Reklamasi di Kota Bau-bau yang Meminimumkan Dampak Lingkungan.

Nama Mahasiswa : Wadi Afdal Faizu Nomor Pokok (NRP) : P052090201

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Etty Riani, M.S Dr. Ir. Sukardi, M.M Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(10)

telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul "Alternatif Kebijakan Pengelolaan Pantai Kamali Hasil Reklamasi di Kota Bau-Bau yang Meminimumkan Dampak Lingkungan". Penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih pada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis, diantaranya :

1. Ibu Dr. Ir. Etty Riani, M.S selaku Ketua Komisi Pembimbing dan bapak Dr. Ir. Sukardi, M.M selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan saran yang sangat berarti mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan tesis ini.

2. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan saran yang sangat berarti pada saat Sidang Tesis.

3. Pak Ifni di Bapedalda Kota Bau-bau atas bantuan dokumen pustaka dan masukan dalam pengambilan data.

4. Sahabat terbaikku Laode Rahmat Asyikin, S.E dan rekan-rekanku yang lain di Kota Bau-bau atas bantuannya dalam pengambilan data dan pengisian kuisioner.

5. Sahabatku di PSL dan IPB yaitu pak Lukita Awang, Aly Alfred Madagaskar, Budiono Senen, pak Prianto, Bang Rusman dan lain-lain.

6. Saudara-saudaraku tercinta (Farid, Zehan, Awal, Aso, Ahmat, dan Afan), kemenakan-kemenakanku dan keluarga lainnya

7. Winda Lestari, Waode Sucy Rembulan dan Fanny Tsuraya.

Bogor, April 2011


(11)

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Juli 1979 di Keraton Buton, Lingkungan Baluwu, Kelurahan Melai, Kecamatan Murhum, Kota Bau-bau, Propinsi Sulawesi Tenggara dan merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara pasangan Bapak Drs. H. Nasrun Faizu dan Ibu Hj. Andi Rahma Oddang. Penulis menamatkan pendidikan dari taman kanak-kanak, sekolah dasar hingga sekolah lanjutan tingkat pertama di di Kota Madya Kendari-Sulawesi Tenggara. Setamat dari TK Kuncup Pertiwi Kendari tahun 1985, penulis melanjutkan ke SDN 3 Wua-Wua Kendari dan tamat tahun 1991. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke SMPN Wua-Wua Kendari dan tamat pada tahun 1994. Selanjutnya penulis pindah domisili bersama keluarga ke Kota Bau-Bau, penulis kemudian melanjutkan pendidikan pada SMUN 2 Bau-Bau dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis mengikuti UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) di Unhalu (Universitas Haluoleo) Kendari dan lulus pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi Manajeman Sumberdaya Perikanan.

Setelah lulus pada tahun 2003 dari Unhalu Kendari, penulis diterima sebagai tenaga magang pada instansi Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Buton, Sulawesi Tenggara. Setelah magang selama 4 tahun, pada tahun 2007 penulis lulus sebagai Pegawai Negeri Sipil di tempatkan di instansi tersebut. Pada tahun 2009, penulis kemudian diberi tugas belajar oleh Pemerintah Daerah Kab. Buton untuk melanjutkan pendidikan pada program Magister Sains (S2) Sekolah Pascasarjana IPB.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi/Mayor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian tentang “Alternatif Kebijakan Pengelolaan Pantai Kamali Hasil Reklamasi yang Meminimumkan Dampak Lingkungan” yang dibimbing oleh ibu Dr.Ir.Etty Riani, M.S sebagai Ketua dan bapak Dr.Ir.Sukardi, M.M sebagai Anggota Komisi Pembimbing.


(12)

xi

Halaman

Daftar Tabel ... xv

Daftar Gambar ... xvii

Daftar Lampiran ... xix

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran... 3

1.3. Perumusan Masalah ... 5

1.4. Tujuan Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu ... 7

2.2. Reklamasi Pantai ... 9

2.2.1. Motif Kegiatan Reklamasi Pantai ... 9

2.2.2. Contoh Pelaksanaan Reklamasi ... 11

2.2.3. Reklamasi Pantai Kamali Kota Bau-Bau ... 14

2.3. Dampak Umum Reklamasi ... 15

2.4. Model Kebijakan Kawasan Pesisir ... 19

2.5. Analisis Kebijakan ... 20

2.6. Aspek Kegagalan Kebijakan (Policy Failure) ... 22

2.7. Analisis AHP... 23

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi ... 25

3.2. Data yang Diperlukan ... 25

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 26

3.4. Pengambilan Responden ... 26

3.5. Metode Analisis Data ... 27

3.5.1. Analisis Kondisi Eksisting Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial ... 27

3.5.2. Analisis Alternatif Kebijakan yang Meminimumkan Dampak Lingkungan ... 28


(13)

IV. KARAKTERISTIK UMUM PANTAI KAMALI

4.1. Sejarah Reklamasi Pantai Kamali ... 37

4.2. Karakteristik ... 37

4.2.1. Letak Geografis dan Administratif ... 37

4.2.2. Hidrologi dan Topografi ... 38

4.2.3. Hidrooceanografi ... 39

4.2.3.1. Pasang Surut ... 39

4.2.3.2. Arus Laut ... 40

4.2.3.3. Gelombang Laut ... 41

4.2.4. Klimatologi ... 41

4.3. Fasilitas Kegiatan di Pantai Kamali ... 42

4.3.1. Kegiatan Olahraga dan Seni ... 42

4.3.2. Tempat Duduk Santai ... 43

4.3.3. Sarana Permainan Anak ... 43

4.4. Fasilitas Perekonomian ... 43

4.5. Kependudukan ... 44

4.6. Suku Bangsa (Etnis) dan Tingkat Pendidikan... 44

4.7. Agama ... 45

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Eksisting Sosial dan Ekonomi Pra dan Pasca Reklamasi ... 47

5.1.1. Kondisi Sosial ... 47

5.1.1.1. Jaminan Rasa Aman Masyarakat ... 47

5.1.1.2. Kesenjangan Sosial dalam Masyarakat ... 49

5.1.1.3. Konflik Sosial dan Moral Masyarakat ... 50

5.1.2. Kondisi Ekonomi ... 51

5.1.2.1. Pendapatan Masyarakat Kawasan Pantai Kamali ... 52

5.1.2.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 54

5.2. Kondisi Eksisting Lingkungan Pra dan Pasca Reklamasi ... 55

5.2.1. Kualitas Fisik-Kimia Air Dibandingkan dengan Peraturan Baku Mutu Air ... 55

5.2.1.1. Kualitas Fisik ... 57

5.2.1.2. Kualitas Kimia ... 59


(14)

xiii

5.2.2.1. Sedimentasi ... 62

5.2.2.2. Ekosistem Estuaria ... 64

5.2.2.3. Padang Lamun ... 67

5.2.2.4. Terumbu Karang ... 71

5.3. Prioritas Alternatif Kebijakan ... 72

5.3.1. Tingkat Stakeholder yang Akan Menentukan Alternatif Kebijakan ... 75

5.3.2. Tingkat Aspek yang Dipilih Stakeholder Dalam Menentukan Alternatif Kebijakan ... 81

5.3.3. Prioritas Kebijakan yang Meminimumkan Dampak Lingkungan ... 82

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 91

6.2. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(15)

(16)

xv

No. Halaman

1. Pengambilan jumlah responden untuk metode AHP ... 27

2. Skala banding secara berpasangan. ... 30

3. Nilai random indeks (RI) ... 33

4. Matriks kerangka penelitian ... 35

5. Lokasi daerah rawan banjir di Kec. Wolio, Kota Bau-bau ... 39

6. Fasilitas perekonomian di Pantai Kamali... 44

7. Tingkat pendidikan di Kelurahan Wale ... 45

8. Jumlah fasilitas pendidikan di Kelurahan Wale ... 45

9. Matriks perbandingan sebelum dan sesudah reklamasi terhadap kondisi sosial di kawasan Pantai Kamali ... 47

10. Matriks perbandingan sebelum dan sesudah reklamasi terhadap Kondisi ekonomi di kawasan Pantai Kamali ... 52

11. Realisasi penerimaan karcis pelataran harian Pantai Kamali ... 55

12. Retribusi sampah kawasan Pantai Kamali ... 55

13. Pajak reklame pada Plaza Umna Rijoli Bau-bau ... 55

14. Hasil pemantauan perairan Pantai Kamali Kota Bau-bau tahun 2001-2009 dibandingkan dengan Kepmen LH. No. 179 Tahun 2004 ... 57

15. Matriks perbandingan sebelum dan sesudah reklamasi terhadap Kondisi lingkungan di kawasan Pantai Kamali ... 74

16. Nilai prioritas kelompok stakeholder ... 75

17. Tingkat aspek dalam penentuan alternatif kebijakan... 81


(17)

(18)

xvii

1. Kerangka pemikiran ... 5

2. Tiga unsur sistem kebijakan ... 21

3. Lokasi peneltian ... 25

4. Struktur hirarki perumusan strategi kebijakan ... 34

5. Peta tutupan substrat dasar perairan kawasan Pantai Kamali tahun 1990 .. 69

5. Mall Umna Rijoli dan sedimentasi ... 90


(19)

(20)

xix

No. Halaman

1. Hasil kuisioner lengkap perhitungan AHP ... 100

2. Hasil matriks pendapat gabungan AHP. ... 105

3. Jawaban kuisioner eksisting sosial ... 108

4. Jawaban kuisioner eksisting ekonomi ... 109

5. Jawaban kuisioner eksisting lingkungan ... 110

6. Grafik persentase jawaban responden untuk kondisi eksisting sosial ... 111

7. Grafik persentase jawaban responden untuk kondisi eksisting ekonomi ... 113

8. Grafik persentase jawaban responden untuk kondisi eksisting Lingkungan ... 114

9. Jenis dan jumlah Life Form yang ditemukan di pesisir dan laut Kota Bau-bau ... 115

10. Jenis-jenis ikan karang yang ditemukan di kawasan Pantai Kamali ... 116


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat sumberdaya lahan yang ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase (UU 27, 2007). Hal ini umumnya terjadi karena semakin tingginya tingkat populasi manusia, khususnya di kawasan pesisir, sehingga perlu dicari solusinya.

Pertumbuhan penduduk dengan segala aktivitasnya tidak bisa dilepaskan dengan masalah kebutuhan lahan. Pembangunan yang ditujukan untuk mensejahterakan rakyat yang ingin mendapatkan lahan khususnya di perkotaan telah mengantar pada perluasan wilayah yang tak terhindarkan. Hal ini menyebabkan manusia memikirkan untuk mencari lahan baru, terutama daerah strategis dimana terjadi aktivitas perekonomian yang padat seperti pelabuhan, bandar udara atau kawasan komersial lainnya. Akibat dari lahan yang ada arealnya terbatas sehingga kondisinya harus diubah menjadi lahan yang produktif untuk jasa dan kegiatan perkotaan.

Salah satu jalan keluar yang dipilih untuk mengembangkan kota adalah dengan melakukan reklamasi perairan pantai sebagai upaya untuk menangani keterbatasan lahan tadi. Alasan lain dipilihnya reklamasi adalah bahwa pesisir dan laut merupakan harta milik bersama (common property), sehingga penimbunan pesisir relatif tidak berbenturan dengan kepentingan atau kepemilikan lahan, karena wilayah pesisir tidak dimiliki oleh seseorang (Dharmayanti, 2006).

Pembangunan kawasan komersial jelas akan mendatangkan banyak keuntungan ekonomi bagi wilayah tersebut. Alasan yang digunakan disini adalah bahwa semakin banyak kawasan komersial yang dibangun maka akan menambah pendapatan asli daerah (PAD).

Pantai Kamali yang berada di Kota Bau-bau, Provinsi Sulawesi Tenggara adalah salah satu pantai yang telah direklamasi pada tahun 2004, yaitu seluas 34.040 m2dan diresmikan pembukaannya pada 18 Agustus 2005. Saat ini, pantai tersebut jadi ruang publik yang paling ramai dan merupakan magnet untuk rekreasi. Pembangunan tempat rekreasi di pantai tersebut merupakan suatu


(22)

usaha yang sesuai dengan konsep water front city dengan menciptakan perpaduan atau sinergi yang indah dan harmonis antara daerah laut dan daratan. Pembangunan ruang terbuka untuk umum di Pantai Kamali itu sesuai dengan jargon Kota Bau Bau yang terpampang di beberapa lokasi, dalam dialek Buton: "bolimo karo somanamo lipu" yang artinya "mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi".

Reklamasi pantai telah memberikan keuntungan dan dapat membantu kota dalam rangka penyediaan lahan untuk berbagai keperluan (pemekaran kota), penataan daerah pantai, pengembangan wisata bahari, dan lain‐lain. Namun bagaimanapun juga reklamasi adalah bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap keseimbangan lingkungan alamiah pantai yang akan melahirkan perubahan ekosistem seperti perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi pantai, dan berpotensi menimbulkan gangguan pada lingkungan.

Setiap kebijakan dalam rangka pembangunan dan pengembangan wilayah pasti akan membawa dampak positif (manfaat) dan dampak negatif (kerugian) dari aspek sosial budaya, ekonomi dan ekologi. Peranan ketiga aspek tersebut dalam suatu pembangunan mulai dari tahap perencanaan sampai pada pelaksanaan dan dampaknya, sangat menentukan keberhasilan dari pembangunan tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya suatu perencanaan yang matang dan terpadu serta pelaksanaan kebijakan pengelolaan pantai hasil reklamasi yang cermat, agar tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan kualitas pantai tercapai, dan menghindari terjadinya penurunan kualitas lingkungan perairan atau bahkan menimbulkan konflik sosial dan permasalahan penataan ruang lainnya.

Persoalan reklamasi telah terjadi di beberapa tempat seperti di Pesisir Ternate, kawasan Pantura Jakarta, Teluk Manado dan di Pantai Dadap Tangerang. Tetapi penelitian yang telah dilakukan relatif belum terpadu, sehingga diperlukan suatu penelitian yang terpadu dalam rangka mendapatkan alternatif kebijakan yang meminimumkan dampak lingkungan dalam membuat dan menjalankan suatu kebijakan pembangunan.


(23)

1.2.Kerangka Pemikiran

Kebijakan yang tidak efektif dapat berdampak pada penurunan kualitas lingkungan juga menimbulkan penurunan bidang sosial budaya yang akan mengakibatkan pembangunan reklamasi yang telah dilakukan menjadi sia-sia. Penelitian kebijakan diperlukan untuk menilai sejauh mana implementasi kebijakan tersebut selama ini. Hal tersebut juga sebagai upaya untuk mengembangkan kebijakan ke depan yang dapat memecahkan permasalahan yang ada. Pengembangan kebijakan ke depan idealnya harus diawali dengan mencari alternatif kebijakan dalam mengatasi dampak negatif dari suatu kebijakan.

Dampak lingkungan hidup yang sudah jelas nampak di depan mata akibat proyek reklamasi itu adalah rusaknya ekosistem berupa hilangnya keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati yang diperkirakan akan punah akibat proyek reklamasi itu antara lain berupa hilangnya berbagai spesies

mangrove, padang lamun, punahnya spesies ikan, kerang, kepiting, burung dan berbagai mahluk hidup lainnya.

Dampak lingkungan lainnya dari proyek reklamasi pantai adalah meningkatkan potensi banjir. Hal itu dikarenakan proyek tersebut dapat mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan reklamasi tersebut. Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai dan merusak kawasan tata air. Potensi banjir akibat proyek reklamasi itu akan semakin meningkat bila dikaitkan dengan adanya kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh pemanasan global.

Sementara itu, secara sosial rencana reklamasi pantai dipastikan juga dapat menyebabkan nelayan tradisional tergusur dari sumber‐sumber kehidupannya. Penggusuran itu terjadi karena kawasan komersial yang akan dibangun mensyaratkan pantai sekitarnya bersih dari berbagai fasilitas penangkapan ikan milik nelayan.

Reklamasi pesisir pantai Kota Bau-bau dilakukan sejak tahun 2004 yang dimulai dengan penimbunan areal pantai yang sekarang di sebut oleh masyarakat dengan sebutan Pantai Kamali. Reklamasi ini telah menyebabkan hilangnya potensi sumberdaya hayati pesisir terutama beberapa biota laut yang selama ini


(24)

dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Bau-bau. Pengerukan dan penimbunan dalam proses reklamasi pantai ini juga telah menyebabkan kehancuran ekosistem berupa hilangnya keanekaragaman hayati yaitu padang lamun dan terumbu karang yang pernah ada di kawasan reklamasi tersebut, kemudian berubahnya bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) yang memungkinkan terjadinya perubahan arus laut sekitarnya yang dapat mengubah pola sedimentasi atau perubahan dan perpindahan sedimen yang sebelumnya tertampung pada wilayah reklamasi, sehingga memungkinkan terjadinya pendangkalan sungai di sekitar tempat itu.

Sebenarnya sudah ada penelitian tentang reklamasi sebelumnya yaitu oleh Drakel (2004) tentang dampak reklamasi pantai terhadap kualitas perairan pesisir di Kota Ternate Provinsi Maluku. Basir (2005) tentang skenario modeling kebijakan reklamasi kawasan pantura terhadap sosial ekonomi masyarakat nelayan di Kecamatan Penjaringan DKI Jakarta. Karaunan (2007) tentang kajian pengelolaan ekosistem pesisir di sekitar reklamasi Teluk Manado Provinsi Sulawesi Utara, dan Dharmayanti (2006) tentang kajian persepsi stakeholder pada lokasi reklamasi Pantai Dadap Kabupaten Tangerang, namun penelitian yang selama ini di lakukan belum menyeluruh. Penelitian yang lebih komprensif perlu segera dilakukan untuk menjawab persoalan-persoalan yang ada, khususnya di Pantai Kamali Kota Bau-bau yaitu alternatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi yang meminimumkan dampak lingkungan, sehingga pembangunan reklamasi yang telah dilakukan tidak sia-sia.

Analisis atas beberapa aspek, seperti aspek sosial, ekonomi dan lingkungan yang dilakukan melalui analisis kondisi eksiting pra dan pasca reklamasi merupakan suatu langkah tepat untuk melakukan pengelolaan yang lebih otimal. Setelah mengetahui kondisi eksisting aspek-aspek tersebut tadi, maka selanjutnya diperlukan alternatif kebijakan melalui analysis hierarchy process (AHP) yang akan menghasilkan suatu kebijakan strategis sebagai arahan rekomendasi pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi yang meminimumkan dampak lingkungan kepada Pemkot Bau-bau.


(25)

Gambar 1. Kerangka pemikiran

1.3.Perumusan Masalah

Sampai saat ini, masih menimbulkan multipersepsi banyak pihak terkait dengan dampak reklamasi ini terhadap sosial budaya, ekonomi dan lingkungan seperti yang diberitakan di berbagai media massa dan berbagai opini yang berkembang dalam masyarakat Kota Bau-bau. Degradasi lingkungan pesisir, berpengaruh begitu besar terhadap hilangnya potensi sumberdaya hayati pesisir terutama beberapa biota laut yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, dan dampak selanjutnya pada aspek sosial adalah hilangnya tempat rekreasi untuk mencari ikan bagi masyarakat setempat khususnya dan Kota Bau-bau umumnya. Menurut Baharuddin (2006) menyatakan bahwa reklamasi Pantai Kamali telah menyebabkan perubahan pada garis pantai, perubahan pola arus sehingga berdampak pada penumpukan sedimentasi di muara sungai.

Dalam mewujudkan suatu pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) diperlukan suatu keterpaduan dan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu maka muncul pertanyaan penelitian yaitu:


(26)

1. Bagaimana kondisi eksisting lingkungan, ekonomi dan sosial Pantai Kamali sebelum dan sesudah reklamasi di Kota Bau-bau.

2. Alternatif kebijakan apa yang sebenarnya diterapkan, terkait dengan upaya pengelolaan ekosistem Pantai Kamali hasil reklamasi di Kota Bau-bau yang meminimumkan dampak lingkungan.

1.4.Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang ada, tujuan dari penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Mengetahui kondisi eksisting lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat dan pengguna Pantai Kamali sebelum dan sesudah reklamasi di Kota Bau-bau. 2. Mendapatkan alternatif kebijakan tepat, terkait dengan upaya pengelolaan

ekosistem Pantai Kamali hasil reklamasi di Kota Bau-bau yang meminimumkan dampak lingkungan.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Pelaksanaan pembangunan di kawasan pesisir harus dilakukan dengan terpadu dan holistik jika ingin mewujudkan pengembangan dan pembangunan kawasan pesisir yang optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu (integrated coastal zone management – ICZM) adalah pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental service) yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assessment) tentang kawasan pesisir beserta sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya, guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan (Dahuri et al. 2001). Pengelolaan ini dilakukan dengan kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholder) serta memperhatikan konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Sorensen dan Mc Creary dalam Dahuri et al. 2001).

Batas wilayah pesisir untuk kepentingan pengelolaan terdapat dua macam, yaitu batas untuk wilayah perencanaan dan batas untuk wilayah pengaturan atau pengelolaan sehari-hari. Wilayah perencanaan meliputi seluruh daerah daratan (hulu) apabila terdapat kegiatan pembangunan yang dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumber daya di pesisir. Sementara dalam pengelolaan wilayah sehari-hari (day to day management), pemerintah (pihak pengelola) mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan atau menolak suatu kegiatan pembangunan di kawasan pesisir. Sehingga untuk wilayah pengaturan menjadi tanggung jawab bersama antara instansi pengelolaan wilayah pesisir dalam regulation zone dengan instansi yang mengelola daerah hulu atau laut lepas.

Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami maupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di wiayah pesisir antara lain


(28)

adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir (sandy beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, industri, agroindustri, dan pemukiman.

Lang (1986) dalam Dahuri (2001) menyarankan bahwa keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut hendaknya dilakukan pada tiga tataran (level) yaitu tataran teknis, konsultatif dan koordinasi. Pada tataran teknis, segenap pertimbangan teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan harus seimbang/proporsional dimasukkan ke dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumber daya pesisir dan lautan. Sedangkan pada tataran konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan para pihak yang terlibat (stakeholder) atau pihak yang akan terkena dampak pembangunan sumber daya pesisir harus diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan. Dan pada tataran koordinasi mensyarakatkan diperlukannya kerjasama yang harmonis antara semua pihak yang terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat.

Pada dasarnya pengelolaan (management) terdiri dari tiga tahap utama yaitu : perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi, maka nuansa keterpaduan tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Selain itu keterpaduan juga harus mencakup tiga dimensi yaitu dimensi sektoral, bidang ilmu serta keterkaitan ekologis. Pada dimensi keterpaduan sektoral, mensyaratkan adanya koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektoral. Keterpaduan dari sudut pandang bidang keilmuan dimaksudkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir harus dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, d1l) yang relevan. Keterpaduan juga harus memperhatikan keterkaitan ekologis, mengingat wilayah pesisir tersusun dari berbagai macam ekosistem yang satu sama lain saling terkait, perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan berdampak pada ekosistem yang lain.


(29)

2.2. Reklamasi Pantai

Dalam memanfaatkan lahan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi, seharusnya secara otomatis membuat manusia lebih bijaksana, bukan justru menjadikannya sebagai alat untuk mempermudah memaksimalkan eksploitasi lahan tersebut.

Asvaliantina et al. (2004) dalam Dharmayanti (2006) menyatakan bahwa dalam melakukan reklamasi terhadap kawasan pantai, harus memperhatikan berbagai aspek/dampak-dampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan tersebut. Dampak-dampak tersebut antara lain dampak lingkungan, sosial budaya maupun ekonomi. Dampak lingkungan misalnya mengenai perubahan arus laut, kehilangan ekosistem penting, kenaikan muka air sungai yang menjadi terhambat untuk masuk ke laut yang memungkinkan terjadinya banjir yang semakin parah, kondisi lingkungan di wilayah tempat bahan timbunan, sedimentasi, perubahan hidrodinamika yang semuanya harus tertuang dalam analisis mengenai dampak lingkungan. Dampak sosial budaya diantaranya adalah kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM (dalam pembebasan tanah), perubahan kebudayaan, konflik masyarakat, dan isolasi masyarakat. Sementara dampak ekonomi diantaranya berapa kerugian masyarakat, nelayan, petambak yang kehilangan mata pencahariannya akibat reklamasi pantai.

2.2.1.Motif Kegiatan Reklamasi Pantai

Reklamasi adalah suatu kegiatan atau proses memperbaiki daerah atau areal yang tidak terpakai atau tidak berguna menjadi daerah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia antara lain untuk lahan pertanian, perumahan, tempat rekreasi dan industri (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990). Dari definisi di atas, kegiatan reklamasi pantai adalah kegiatan untuk memperbaiki kondisi pesisir suatu wilayah. Hal ini sangat terkait dengan pesatnya kemajuan pembangunan suatu kota di pesisir yang menuntut pengembangan sarana-prasarana baru seperti pelabuhan, bandara, kawasan perindustrian, pemukiman, sarana sosial, rekreasi dan sebagainya.


(30)

Kegiatan reklamasi biasanya dilatarbelakangi oleh alasan bahwa harga lahan di darat semakin mahal sehingga orang atau pemerintah daerah lebih memilih alternatif untuk menimbun pantai atau reklamasi untuk memperoleh lahan bagi pengembangan kota. Bahkan dalam beberapa kasus, reklamasi di kawasan pesisir sangat menjanjikan keuntungan secara ekonomis bagi pemerintah setempat, misalnya dalam hal penjualan lahan hasil reklamasi, investasi dalam bidang properti dan infrastruktur, retribusi dan pajak pembangunan juga kegiatan perekonomian di kawasan tersebut merupakan pemasukan ke kas pemerintah yang sangat menjanjikan.

Ruesink dan Wu (2004) menyatakan telah mengidentifikasi 4 penggerak utama reklamasi pantai yaitu pertama adalah ekspansi pertanian yang dimulai pada awal abad ke 6 di teluk Osaka Jepang. Kedua adalah pembangunan industri yaitu pantai dinilai sebagai lokasi yang nyaman dilakukannya reklamasi untuk kawasan industri karena dekat dengan rute perdagangan untuk bahan dan ekspor. Ketenagakerjaan tersedia dari kota terdekat dan limbah dari proses industri hanya dibuang begitu saja pada anak sunga. Ketiga adalah reklamasi untuk pengembangan industri diwilayah pantai sering disertai dengan pembangunan pelabuhan untuk pengiriman barang. Keempat adalah kepadatan penduduk yang semakin meningkat akibat dari pengembangan kawasan industri diatas.

Reklamasi pantai, apabila dilaksanakan secara terpadu, dengan teknologi yang tepat, dan sesuai dengan kondisi biogeofisik serta memperhatikan kondisi sosial ekonomi, maka kegiatan ini akan memberikan keuntungan dan manfaat seperti dalam hal (Pratikno, 2004) :

• mendapatkan tambahan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti untuk untuk tempat wisata, daerah industri, pelabuhan bahkan perumahan atau hotel,

• memperbaiki kondisi fisik pantai yang telah mengalami kerusakan seperti akibat erosi,

• memperbaiki kualitas lingkungan pantai secara keseluruhan, • memberikan kejelasan tanggung jawab pengelolaan pantai

Sedangkan, reklamasi yang dilakukan secara parsial dan tidak terpadu justru akan memberikan kondisi yang sebaliknya. Banyak kegiatan reklamasi di


(31)

Indonesia baik yang telah maupun yang sedang berjalan pada akhirnya menimbulkan permasalahan. Permasalahan ini terkait dengan teknis pelaksanaan kegiatan, masalah sosial, ekonomi, budaya dan khususnya masalah lingkungan. Masalah tersebut muncul pada semua tahap baik pra, pelaksanaan, maupun pasca kegiatan, yang seringkali membuat kegiatan reklamasi menjadi terbengkalai dan bahkan menimbulkan masalah.

Kegiatan reklamasi, secermat apapun dilakukannya, tetap akan mengubah kondisi dan ekosistem pesisir dan tentunya tidak akan sebaik ekosistem yang alami. Upaya reklamasi pesisir perlu direncanakan sedemikian rupa agar keberadaannya tidak mengubah secara radikal ekosistem pantai yang asli. Perencanaan tata ruang yang rinci, penelitian lingkungan untuk analisis dampak lingkungan, penelitian kondisi hidrooseanografi, perencanaan teknis reklamasi dan infrastruktur, perencanaan drainase dan sanitasi, perencanaan fasilitas sosial-ekonomi, dan lain sebagainya sangat dibutuhkan sebelum kegiatan dilakukan dalam suatu konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu.

2.2.2.Contoh Pelaksanaan Reklamasi

Reklamasi pantai telah dilaksanakan di berbagai tempat di dalam, maupun luar negeri. Contoh reklamasi pantai terjadi pantai utara Jakarta yang dinilai sengaja diberikan kesan seolah-olah proyek ini ramah lingkungan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta melakukan revitalisasi bersamaan dengan reklamasi Pantura Jakarta (Cahyadi, 2008)

Revitalisasi dengan tetap mengijinkan reklamasi pantai untuk kawasan komersial dan hunian mewah di Jakarta sudah dapat dipastikan tidak akan mampu mengatasi dampak sosial dan lingkungan yang terjadi di lahan hasil reklamasi. Pasalnya, pembangunan kawasan komersial baru di kawasan hasil reklamasi itu dipastikan akan semakin menjadikan kota ini sebagai daerah tujuan urbanisasi. Akibatnya, problem sosial dan ekologi di kota ini semakin sulit dipecahkan.

Problem ekologi yang segera muncul dari meledaknya urbanisasi di Jakarta adalah bertambahnya volume sampah di kota ini. Menurut Walhi, kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada


(32)

tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3). Volume itu dipastikan akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya manusia yang ada di Jakarta.

Bukan hanya sampah, meningkatnya kawasan komersial di Jakarta yang difasilitasi oleh reklamasi Pantura Jakarta dipastikan juga akan menarik kendaraan bermotor pribadi masuk ke kota ini. Akibatnya, kemacetan lalu lintas dan polusi udara akan semakin parah terjadi. Meskipun berbagai infrastruktur transportasi di bangun di kota ini dipastikan tidak akan mampu mengatasi kemacetan lalu lintas dan polusi udara bila daya tarik Jakarta terus saja difasilitasi untuk tetap tumbuh.

Pembangunan kawasan komersil baru di lahan hasil reklamasi Pantura Jakarta juga dipastikan akan mengubur mimpi kota ini untuk dapat mengatasi banjir yang terjadi pada musim hujan dan yang disebabkan oleh air pasang laut. Pengambilan air tanah secara besar-besaran juga ditambah beban bangunan di atas kota Jakarta telah menyebabkan penurunan permukaan tanah di kota ini beberapa sentimeter dalam setiap tahunnya. Artinya, potensi banjir di Jakarta akan semakin besar dengan penambahan kawasan komersial baru di lahan hasil reklamasi Pantura itu.

Reklamasi Pantai Dadap yang dilakukan oleh Koperasi Pasir Putih telah berlangsung sejak tahun 2001. Puluhan Hektar Bibir Pantai telah berhasil direklamasi dan akibatnya muara sungai Dadap menjadi dangkal akibat sedimentasi dan “timbunan” tanah merah yang membuat Lumpur menjadi terangkat kepermukaan. Pendangkalan ini membuat lalu-lintas perahu nelayan kesulitan lewat dan sering kandas. Tidak jarang perahu yang berpapasan harus antri untuk lewat secara bergantian, padahal lebar mulut sungai Dadap sebelum adanya kegiatan reklamasi mencapai 35 meter lebih (LANSKAP, 2008).

Secara ekologis, reklamasi Pantai Dadap telah memusnahkan puluhan hektar hutan mangrove yang dulu tumbuh subur disekitar Pantai Dadap. Menurut sebuah kajian, musnahnya mangrove ternyata menjadi penyebab utama menurunnya hasil pendapatan nelayan yaitu secara ilmiah, pohon mangrove

adalah tempat berkumpulnya biota laut yang menjadi sumber makanan bagi ikan, udang, kerang dan sebagainya. Hilangnya mangrove berarti habitat laut


(33)

kehilangan sumber makanannya sehingga nelayan kesulitan mendapatkan ikan disekitar perairan Pantai Dadap.

Disamping itu, kegiatan reklamasi Pantai Dadap ini juga berpotensi menimbulkan banjir akibat tertahannya air dari hulu sungai perancis. Bila musim hujan tiba, air dari hulu sungai tertahan oleh timbunan lumpur di muara dan tumpah ruah ke pemukiman penduduk.

Demikian juga dengan kasus Reklamasi di Pulau Serangan – Bali. Pulau Serangan yang luasnya 111,9 Ha dan berpenduduk 3253 jiwa (85 % penduduknya sebagai nelayan), merupakan daerah pariwisata sejak tahun 1970. Reklamasi di Pulau Serangan dimulai awal tahun 1990-an, dengan masuknya investor yang akan membangun resort "Bali Turtle Island Development (BTID)". Pembebasan lahan mulai dilakukan, BTID melakukan AMDAL, serta pengerukan dan penimbunan dimulai untuk menambah luasan lahan Serangan hampir empat kali lipat. Proyek BTID menimbulkan permasalahan bagi lingkungan dan masyarakat. Permasalahan utama adalah hilangannya mata pencaharian masyarakat akibat rusaknya lingkungan dan penimbunan. Perubahan area laut terjadi di Pulau Serangan, yang menyebabkan abrasi pantai di beberapa lokasi juga terjadinya penumpukan lumpur dan sampah, yang berdampak pada kerusakan ekosistem hutan bakau, terumbu karang dan padang lamun serta ekosistem penyu (Moinarski, 2002).

Proyek BTID juga berdampak pada kehidupan sosial. Dalam proses pembebasan tanah, terjadi intimidasi-intimidasi bahkan sampai pelanggaran HAM dengan sistem ganti rugi yang tidak wajar, disamping itu, kesucian pura (Pura Sakenan) di ganggu oleh proyek BTID. Kehidupan sosial budaya berubah secara drastis dengan kehilangan 'budaya nelayan Serangan, sementara budaya baru sulit dicari karena umumnya masyarakat kurang berpendidikan.

Indriasar (2003) dalam Dharmayanti (2006) menyatakan bahwa kegiatan reklamasi juga dilakukan hampir di 70 % kota-kota pantai di dunia. Seperti di Hongkong, Bangkok (Thailand), Manila (Philipina), Tokyo dan Osaka (Jepang), Pearl River Delta Infrastructure dan Victoria Harbour, Amsterdam dan Sidney (Australia), Ho Chi Minth City (Vietnam) serta Singapura. Bahkan di Belanda pun yang ketinggian daratannya di bawah permukaan air laut, reklamasi bisa


(34)

dilakukan mencapai sepertiga dari wilayahnya, dengan bantuan teknologi. Sebagai contoh negara tetangga kita Singapura, telah berhasil melakukan reklamasi. Di Singapura, reklamasi merupakan satu-satunya jalan untuk memperluas wilayahnya. Laju pertambahan penduduk di Singapura yaitu 1.3 % per tahun. Turis dan tenaga asing terus bertambah. Tahun 2002, sekitar 4 juta penduduk mendiami Singapura, dan diperkirakan akan naik menjadi lima juta penduduk sepuluh tahun yang akan datang.

Selain untuk menampung penduduk, Singapura juga memerlukan lahan untuk industri. Di Jurong, sedang dibangun industri Petrokimia, sedang Changi akan dijadikan kawasan industri teknologi tinggi. Reklamasi di Singapura terlihat jelas, luas Singapura yang asalnya 580 km2 pada tahun 1960-an, kini bertambah menjadi 760 km2. Lebih luas dari DKI Jakarta yang hanya 661,52 km2. Salah satu contoh kegiatan reklamasi yang sedang direncanakan adalah reklamasi Pantai Utara Jakarta. Dalam sepuluh tahun terakhir, di wilayah pantai utara Jakarta terutama di Kawasan Ancol sudah terlihat proyek-proyek reklamasi.

2.2.3.Reklamasi Pantai Kamali Kota Bau-bau

Posisi Kota Bau-bau dari segi geostrategis merupakan posisi yang dilalui jalur pelayaran nasional dan internasional, sehingga Kota Bau-bau pada prinsipnya juga ikut memainkan peranan yang cukup besar terhadap kawasan Asia. Sebab posisi dan jalur yang dipakai serta sumber potensi perdagangan hasil laut yang cukup besar terhadap percaturan pasar di Asia dan Asia Tenggara.

Hal ini menunjukan geliat kota yang ramai dan penuh dengan tekanan persaingan yang akan menimbulkan manusia dengan tingkat stress tinggi sehingga potensi konflik besar terjadi. Karakter kota perdagangan jelas membuat suasana masyarakat dengan karakter yang keras. Embrio ini sudah terlihat karena kota Bau-bau menjadi tempat eksodus masyarakat Ambon akibat konflik yang terjadi beberapa waktu lalu. Oleh karena itu Pemko Bau-bau mengambil inisiatif yaitu membuat ruang multi fungsi untuk dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat. Bentuk inisiatif tersebut salah satunya melakukan reklamasi pantai Kamali sebagai ruang publik yang dapat memberikan suasana nyaman dan aman.


(35)

Pantai ini disebut sebagai Pantai Kamali karena berada di pesisir pantai bekas bangunan “Kesultanan Buton (Butuni)” (Apeksi, 2006).

Kota Bau-bau merupakan kota perdagangan dan transportasi laut yang tergolong sangat aktif. Sehingga untuk mewujudkan sebagai kota yang nyaman, aman dan asri, Pemko yang melibatkan stakeholder segera mengambil tindakan untuk menanggulangi berbagai permasalahan (Apeksi, 2006).

2.3. Dampak Umum Reklamasi

Aktivitas reklamasi, baik reklamasi pantai, sungai atau rawa yang bertujuan untuk mengubah badan air/lahan basah menjadi daratan/lahan kering dengan jalan penimbunan atau pengeringan secara umum dapat membawa dampak terhadap ekosistem perairan, apalagi jika aktivitas tersebut tanpa adanya perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan dan pemantauan yang baik (Pratikno, 2004). Pekerjaan reklamasi yang didalamnya meliputi tiga tahap pekerjaan, yaitu: tahap pra-konstruksi (mencakup aktivitas survei dan perencanaan serta pembebasan lahan dan pemukiman kembali), tahap konstruksi (terdiri atas aktivitas mobilisasi personal, persiapan lahan reklamasi dan pelaksanaan reklamasi) dan tahap pasca-konstruksi (pematangan tanah dan pengembangan) mempunyai beberapa potensi dampak pada ekosistem perairan yang disebabkan oleh beberapa sumber dampak. Dampak-dampak tersebut perlu dikaji dengan seksama pada tahap penyusunan rencana kerja serta perlu dipersiapkan langkah-langkah mitigasi sehingga dampak tersebut khususnya yang bersifat negatif dapat diminimalkan.

Pratikno (2004) dan Bengen (2004) menyebutkan, terdapat beberapa isu utama yang berkaitan dengan kegiatan reklamasi di kawasan pesisir yang meliputi hal-hal seperti hilangnya habitat alami yang berdampak pads penurunan keanekaragaman hayati, penurunan pendapatan nelayan, terjadinya erosi pantai, banjir, pencemaran perairan pesisir, juga isu-isu teknis seperti terjadinya penurunan tanah dan korosi yang terjadi pada pondasi-pondasi bangunan di atas kawasan reklamasi. Dengan direklamasinya suatu wilayah pesisir maka akan terjadi perubahan akses ke laut bagi masyarakat setempat, sehingga yang diuntungkan dengan adanya reklamasi hanya orang-orang yang memiliki lahan di lokasi tersebut, sedangkan masyarakat pada umumnya nelayan-nelayan kecil dan


(36)

miskin akan mengalami kesulitan. Dampak dari aktifitas reklamasi dapat bersifat sementara dan berlangsung dalam waktu singkat selama pelaksanaan pekerjaan pengerukan, maupun yang berjangka menengah hingga yang permanen.

Kegiatan-kegiatan yang menyebabkan gangguan yang bersifat fisik seperti reklamasi terhadap perairan pesisir dan estuaria dapat menimbulkan dampak yang serius terhadap ekosistem pesisir dari laut. Selain itu kegiatan tersebut juga memicu meningkatnya kekeruhan perairan, meningkatkan sedimentasi, serta gangguan terhadap komunitas-komunitas biologi seperti terumbu karang,

mangrove, dan padang lamun. Peningkatan kekeruhan di perairan, akan mengganggu kelangsungan hidup ekosistem-ekosistem tersebut, sehingga dapat rusak dan mati. Pengembalian habitat yang rusak tersebut tentu saja tidak mudah dan murah. Hal ini juga akan berdampak pada ekosistem antara lain kerusakan atau hilangnya habitat dan penurunan keanekaragaman hayati serta terganggunya fungsi ekosistem.

Reklamasi yang dilakukan di kawasan mangrove dikhawatirkan akan mengganggu fungsi ekosistem ini dalam menjaga kelestarian kegiatan perikanan dan pariwisata mengingat kawasan mangrove merupakan kawasan nursery,

feeding, dan spawning bagi berbagai biota ekonomis dan biota lainnya yang penting secara ekologis, juga fungsi kawasan mangrove dalam menyediakan perlindungan bagi pantai melalui stabilisasi sedimen, mencegah erosi, dan penyaringan run off dari darat.

Demikian juga dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Penghamparan dan pemadatan material timbunan di pantai yang terdapat padang lamun dan terumbu karang, dapat menyebabkan kekeruhan perairan dan sedimentasi yang dapat membuat kerusakan dan kehancuran ekosistem, yang secara tidak langsung juga dapat berpengaruh pada ekosistem di dekatnya, terutama melalui gangguan pada rantai dan jaring makanan. Penghamparan dan pemadatan material timbunan di kawasan pantai yang dekat dengan estuaria dapat menyebabkan gangguan pada ekosistem estuaria. Jika hal tersebut sampai menyebabkan banjir atau bergesernya alur sungai, maka akan mengganggu ekosistem darat.


(37)

Ekosistem perairan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam bentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan perairan yang disusun oleh berbagai sub-sistem yang berbeda-beda. Dampak-dampak yang telah disebutkan di atas terkait dengan komunitas biologi, habitat pesisir, dan ekosistem pesisir, pada akhirnya akan mempengaruhi sumberdaya perikanan pesisir. Selain itu habitat penting di pesisir juga merupakan kawasan pemijahan dan mencari makan. Sehingga dengan adanya kegiatan reklamasi yang kurang memperhatikan lingkungan, mempunyai potensi menyebabkan gangguan terhadap sumberdaya perikanan, akibat terganggunya salah satu komponen rantai makanan di perairan pesisir dan laut (mangrove, terumbu karang, dan padang lamun) khususnya fauna benthic, fitoplanton, clan zooplankton.

Pratikto (2004) juga menjelaskan bahwa kegiatan reklamasi pun harus dipandang dalam kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, karena tanpa keterpaduan dalam pelaksanaan reklamasi, akan terjadi benturan kepentingan khususnya kepentingan yang bersifat ekonomi dengan kepentingan pelestarian sumberdaya. Misalnya, mempertahankan kawasan mangrove untuk tujuan konservasi, yakni wisata alam, perikanan, pelindung pantai, dan sumber plasma nutfah dianggap kurang menguntungkan oleh para pengembang (developer) dibandingkan jika lahan mangrove tersebut diubah dan digunakan untuk perhotelan, pemukiman mewah, atau pusat bisnis. Oleh karena itu, banyak lahan

mangrove yang akhir-akhir ini direklamasi oleh para pengembang clan pemerintah daerah demi kepentingan ekonomi, dengan kurang memperhatikan kelestarian ekosistem pesisir dan kepentingan masyarakat luas. Padahal sebenarnya, dapat dicari pola reklamasi yang dapat mengharmoniskan antara kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang (konservasi atau kelestarian).

Berdasarkan penelitian Xu dan Wang (2003) tentang pengaruh reklamasi pantai pada dermaga Zhangzhou terhadap evolusi kawasan pesisir yang terdekat menyimpulkan bahwa pengendapan pantai dermaga Zhangzhou terutama disebabkan oleh penimbunan pantai, dan penumpukan sedimen dari penimbunan adalah alasan utama terjadinya akresi pantai (Xu and Wang, 2003). Kemudian berdasarkan laporan penelitian yang dikeluarkan oleh departemen ekonomi Universitas San Carlos, Filipina yang berjudul “biaya lingkungan atas reklamasi


(38)

pesisir di Metro Cebu, Filipina” menyimpulkan bahwa biaya lingkungan total dalam kasus proyek reklamasi cordoba diperkirakan sekitar US $ 59.000.000. Loncatan angka ini diperkirakan masih rendah karena tidak termasuk berbagai eksternalitas negatif yang timbul sementara dari konstruksi reklamasi. Ini juga tidak termasuk dampak dari peningkatan tingkat polusi yang disebabkan oleh kegiatan ekonomi di area reklamasi tersebut. Dari empat kategori biaya lingkungan dinilai dalam laporan penelitian ini, kerusakan karang dan eksternalitas dari penggalian untuk reklamasi adalah yang paling signifikan. Menghindari kerusakan pada terumbu karang saja diperkirakan akan mengurangi lebih dari setengah biaya lingkungan (Lauders et al. 2005).

Singapura yang telah melakukan kegiatan reklamasi pantai selama 4 dekade, telah mendapat masalah internal dan eksternal. Penduduk singapura yang telah meningkat lebih dari 4 juta jiwa, membuat pemerintah singapura menghadapi masalah dalam pengadaan lahan yang cukup untuk perumahan, industri dan kantor untuk aktifitas pemerintahan. Beberapa pelabuhan dan pulau-pulau lepas pantai di Singapura telah dirubah atau diperbesar dengan beberapa proyek reklamasi pantai. Masalah internal yang dihadapi Singapura adalah reklamasi ini telah sangat merusak lingkungan yaitu menurunnya beberapa parameter kualitas lingkungan akibat terjadinya degradasi lingkungan yang parah khususnya laut, baik oleh kerusakan langsung yaitu habitat terumbu karang, atau efek tidak langsung seperti konsentrasi sedimen tersuspensi dan angka kematian ikan yang meningkat. Sedangkan masalah eksternal adalah lingkungan dan teritorial dimana telah timbul beberapa kekhawatiran dari negara-negara tetangganya. Saat ini, masalah tersebut tampaknya menjadi masalah regional sejak proyek reklamasi tersebut banyak menerima keprihatinan, khususnya dari lingkungan. Indonesia yang telah memberikan kontribusi materi untuk bahan reklamasi selama lebih dari dua dekade, telah menghadapi beberapa masalah lingkungan akibat pengerukan pasir dan aktivitas ekspor (Syamsidik, 2004)

Kompleksitas kegiatan reklamasi dapat dilihat dalam hal pengaturan kegiatan di areal hasil reklamasi dan pengelolaan dampak kegiatan. Kegiatan-kegiatan yang berlangsung di kawasan hasil reklamasi antara lain permukiman, pariwisata, perindustrian, perdagangan, dan transportasi, juga yang didominasi


(39)

oleh masyarakat yang dahulunya menempati atau memanfaatkan kawasan sebelum direklamasi, seperi perikanan, kegiatankegiatan kemasyarakatan/budaya, serta budidaya perairan. Tanpa adanya pengaturan kegiatan baik dalam cara maupun lokasinya, maka beberapa kegiatan dapat saling merugikan sehingga akan menimbulkan permasalahan jangka panjang baik sosial, ekonomi, maupun terkait dengan hal-hal yang bersifat teknis. Sebaliknya dengan pengaturan yang baik akan diperoleh optimalisasi ruang dan sumberdaya bagi kepentingan semua pihak.

Adapun perubahan-perubahan yang terjadi akibat reklamasi antara lain: perubahan ekosistem, perubahan sosial ekonomi, penataan ruang dan alokasi sumberdaya di areal hasil reklamasi, permasalahan hukum atas status dan pengaturan penguasaan lahan, perijinan, perubahan batas administrasi, teknologi reklamasi yang digunakan dan lain-lain. Permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja tetapi terkait dan menjadi tanggung jawab berbagai pihak terkait.

2.4. Model Kebijakan Kawasan Pesisir

Kebijakan adalah dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan. Islamy dalam Harrison (2000) mendefinisikan bahwa suatu keputusan adalah suatu pilihan terhadap berbagai alternatif yang bersaing mengenai sesuatu hal. Salah satu faktor penyebab sulitnya mengambil keputusan (kebijakan) adalah adanya kesulitan dalam memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit disimpulkan. Analisa parsial terhadap suatu permasalahan sering kali tidak dapat memberikan jawaban. Permasalahan yang kompleks perlu dipandang sebagai suatu sistem, sehingga untuk mempelajarinya perlu pendekatan sistem. Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan akan lebih mudah dengan menggunakan suatu model tertentu.

Model kebijakan (policy model) adalah sajian yang disederhanakan mengenai aspek-aspek terpilih dari situasi problematis yang disusun untuk tujuan-tujuan khusus. Model-model kebijakan tersebut yaitu model deskriptif, model normatif, model verbal, model simbolik, model prosedural, model pengganti, dan model perspektif. Perumusan kebijakan mengenal banyak model namun tidak ada satupun model yang dianggap baik. Hal ini karena masing-masing model


(40)

memfokuskan perhatiannya pada aspek yang berbeda. Menurut Forester dalam

Dunn (1999), persoalan kebijakan tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, tetapi terletak pada pemilihan diantara berbagai alternatif.

Pendekatan sistem dengan teknik simulasi akan menghemat biaya dan waktu dalam pengkajian alternatif kebijakan. Sistem alam nyata yang kompleks dan dahulu tidak mungkin diselesaikan dengan model analisis, sekarang dapat diselesaikan dengan model simulasi yang diterapkan secara luas dalam mempelajari sistem dinamik yang kompleks.

Keberadaan suatu sumberdava dikawasan pesisir sangat potensial dalam memberikan keuntungan bagi masyarakat. Suatu kebijakan perlu diambil dalam pengelolaan dan pembangunan di kawasan pesisir. Oleh karena itu keberadaan sumberdaya tersebut perlu dinilai secara ekonomis sebagai suatu pertimbangan dalam pembuatan suatu keputusan atau kebijakan pengelolaan suatu wilayah pesisir. Dalam pembuatan suatu kebijakan, dapat digunakan analysis hierarchy process (AHP) yaitu suatu pendekatan analisis yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu permaslahan yang tidak terstruktur.

2.5. Analisis Kebijakan

Analis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang bersifat deskriptif, evaluatif dan prespektif. Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu social terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argument untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn, 2000).

Analisis kebijakan adalah salah satu diantara sejumlah banyak faktor didalam system kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola institusional dimana didalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbale balik antara tiga unsur yaitu : kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Gamber 3 merupakan gabungan tiga unsur didalam sistem kebijakan (Thomas


(41)

Gambar 2. Tiga unsur sistem kebijakan

Kebijakan publik (public policies) merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah yang diformulasikan didalam berbagai bidang termasuk lingkungan hidup. Masalah kebijakan tergantung pula pada pola keterlibatan pelaku kebijakan (policy stakeholders) yang khusus, yaitu para individu atau kelompok individu yang mempunyai andil didalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Lingkungan kebijakan (policy environment) yaitu konteks khusus dimana kejadian-kejadian disekeliling isu kebijakan terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik.

Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan (kebijakan) adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit disimpulkan. Karena itu dalam pengambilan keputusan akan lebih mudah bila menggunakan model tertentu. Model kebijakan adalah sajian yang disederhanakan melalui aspek-aspek terpilih dari situasi problematik yang disusun untuk tujuan-tujuan khusus. Model-model kebijakan tersebut yaitu model deskriptif, model normative, model verbal, model simbolik, model prosedural, model pengganti dan model perspektif.

Setiap model kebijakan yang ada tidak dapat diterapkan untuk semua perumusan kebijakan karena masing-masing model menfokuskan pada aspek-aspek yang berbeda. Menurut Forrester dalam Dunn (2000), persoalan kebijakan tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, persoalannya hanyalah terletak pada pemilihan diantara berbagai alternatif.

Pelaku

Lingkungan Kebijakan

Kebijakan Publik


(42)

Menurut Dunn (2000) proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktifitas intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktifitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai rangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu yaitu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan.

2.6. Aspek Kegagalan Kebijakan (Policy Failure)

Aspek kegagalan dalam merumuskan kebijakan failure dapat diindikasikan dengan masih banyaknya kebijakan pembangunan yang tidak holistik, termasuk UUD 1945 yang tidak menyentuh aspek perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup; kebijakan tentang tenurial dan property rights yang tidak memberikan jaminan hak pada masyarakat adat; kebijakan yang sentralistik dan seragam; dan kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung "pemerintah yang terbuka" atau open government Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam kajian kebijakan yang terbatas (kebijakan yang dihasilkan pemerintahan transisi di tahun 1998-1999) pengelolaan sumber daya alam dengan menggunakan delapan tolak ukur yaitu delapan elemen yang harus terintegrasi dalam setiap kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pemanfaatan sumberdaya alam. Menemukan fakta bahwa peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pemerintahan transisi belum mendukung, good environmental governance. Kedelapan elemen tersebut adalah: (1) Pemberdayaan, pelibatan masyarakat dan akses publik terhadap informasi; (2) Transparansi; (3) Desentralisasi yang demokratis; (4) Pengakuan terhadap keterbatasan daya dukung ekosistem dan keberlanjutan; (5) Pengakuan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal; (6) Konsistensi dan harmonisasi; (7) Kejelasan (clarity); (8) Daya penerapan dan penegakan


(43)

2.7. Analisis AHP

Analysis hierarchy process (AHP) dikembangkan pertama kali oleh Thomas L. Saaty seorang ahli matematika dari University of Pittsburg Amerika Serikat pada tahun 1970-an.

AHP adalah suatu pendekatan analisis yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang tidak terstruktur. Analisis ini biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif), maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgement). AHP banyak digunakan untuk pengambilan keputusan pada persoalan yang mengandung banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki pihak yang terlihat (aktor) dalam situasi konflik (Saaty, 1993).

Kelebihan dari AHP ini adalah kemampuannya jika dihadapkan pada situasi yang kompleks atau tidak berkerangka. Situasi ini terjadi jika data, informasi statistik dari masalah yang dihadapi sangat minim atau tidak ada sama sekali. Data yang diperlukan kalaupun ada hanyalah bersifat kualitatif yang mungkin didasari oleh persepsi pengalaman ataupun intuisi.

Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP, tiga prinsip dasar AHP yang dapat dijadikan acuan yakni :

a. Menggambarkan dan menguraikan secara hierarkis, yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur terpisah-terpisah.

b. Pembedaan prioritas dan sintesis (penetapan prioritas), yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif pentingnya dengan cara penilaian berpasangan.

c. Konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan situasi criteria yang logis.

Tahap paling penting dalam AHP ini adalah tahap penilaian pasangan (judgement) antar faktor pada suatu tingkat hierarki. Penilaian ini dilakukan dengan memberikan bobot numerik atau verbal berdasarkan perbandingan pasangan antar faktor yang satu dengan faktor yang lain. Selanjutnya melakukan analisis untuk menentukan faktor mana yang paling tinggi atau paling rendah peranannya terhadap level atas dimana faktor tersebut berada. Penilaian diperoleh


(44)

melalui partisipan yang mengevaluasi setiap himpunan faktor secara berpasangan satu dengan yang lain yang menyatakan kepentingan faktor tersebut pada tingkat yang lebih tinggi pada hierarki yang terbentuk.

Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah :

a. Hierarki yang mempresentasikan sistem dapat dipergunakan untuk menjelaskan bagaimana perubahan elemen pada level bawah.

b. Hierarki memberikan informasi yang lengkap akan struktur dan fungsi dari system pada tingkat bawah dan menentukan faktor-faktor apa saja yang menjadi bagian/mempengaruhi untuk level atas hierarki. Pembatas elemen direpresentasikan oleh level atas dari elemen yang bersangkutan.

c. AHP lebih efisien dibandingkan dengan melihat system secara keseluruhan. d. AHP stabil dan fleksibel, stabil karena perubahannya yang kecil akan

memberikan pengaruh yang kecil pula dan fleksibel karena tambahan pda struktur hierarki tidak akan merusak/mengacaukan bangunan hierarki secara keseluruhan.


(45)

III. METODE PENELITIAN

1.1.Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan di Pantai Kamali, Kota Bau-bau (Gambar 3). Pemilihan lokasi ini ditentukan secara sengaja (purposive sampling). Waktu penelitian dari bulan November sampai Desember 2010.

Gambar 3. Lokasi penelitian

1.2.Data yang Diperlukan

Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu :

• Data primer, dengan melihat langsung kondisi di lapangan dan dari kuisioner terhadap para stakeholder yang terlibat langsung dalam pengelolaan ekosistem Pantai Kamali hasil reklamasi di Kota Bau-bau. • Data sekunder, melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada di berbagai

instansi pemerintah terkait dengan kondisi sosial budaya, ekonomi dan ekologi.


(46)

1.3.Metode Pengumpulan Data

Metode penelitian ini bersifat deskriptif, dimana pengambilan contohnya dilakukan dengan metode survey yaitu metode yang bertujuan untuk meminta tanggapan responden. Diskusi dan wawancara, panduan kuesioner serta pengamatan langsung terhadap kondisi di pesisir Kamali merupakan beberapa pendekatan sebagai data primer yang akan digunakan dalam penelitian ini. Penentuan responden dipilih secara sengaja (purposive sampling), pengumpulan data berdasarkan pertimbangan sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian (Soehartono, 1999). Responden terdiri dari stakeholder yang mengetahui permasalahan dan kondisi pesisir Kamali dari berbagai lembaga/instansi terkait, swasta, LSM dan masyarakat sekitar.

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen hasil studi/penelitian, peraturan perundang-undangan dan data-data pendukung lainnya sebagai kompilasi kebijakan dari berbagai sektor baik nasional maupun lokal yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dari dinas/instansi yang terkait yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bau-bau, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Bau-bau, Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bau-bau, Dinas Pekerjaan Umum dan lain-lain.

1.4.Pengambilan Responden

Pengambilan responden untuk metode AHP didasarkan pada stakeholder-stakeholder terkait yang mengetahui dan memahami persoalan pengelolaan kawasan Pantai Kamali. Pengambilan responden untuk analisis kondisi eksisting sosial, ekonomi dan lingkungan sebanyak 30 orang, yang terdiri dari 15 responden yang tinggal di kawasan Pantai Kamali dan 15 responden pengguna Pantai Kamali. 30 responden tersebut terdiri dari pedagang 50 % (15 orang), 25 % jasa/swasta (8 orang), 20 % PNS/swasta (6 orang) dan 5 % nelayan (2 orang). Tabel pengambilan jumlah reponden untuk metode AHP dapat dilihat secara lengkap dalam Tabel 1.


(47)

Tabel 1. Pengambilan jumlah responden untuk metode AHP

1.5.Metode Analisis Data

Analisis data yang akan dilakukan meliputi beberapa tahap yaitu :

1.5.1. Analisis Kondisi Eksisting : • Ekonomi

Didasarkan atas kuisioner, yaitu data dikumpulkan dan disederhanakan pencatatannya dengan tabulasi,selanjutnya data tersebut di analisis. Untuk data sekunder akan diambil dari penelusuran pustaka-pustaka terkait di instansi-instansi pemerintah setempat

• Lingkungan

Dilakukan secara deskriptif dari data sekunder yang ada dan dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pengelolaan lingkungan hidup Pesisir Kamali.

• Sosial

Didasarkan atas kuisioner, yaitu data dikumpulkan dan disederhanakan pencatatannya dengan tabulasi,selanjutnya data tersebut di analisis. Untuk data sekunder akan diambil dari penelusuran pustaka-pustaka terkait di instansi-instansi pemerintah setempat.

No Stakeholder Jumlah (orang) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Bapedalda Kota Bau-bau BAPPEDA Kota Bau-bau

Dinas Pekerjaan Umum Kota Bau-bau Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bau-bau Dinas Tata Ruang Kota Bau-bau

Dinas Pendapatan Daerah Kota Bau-bau Perguruan Tinggi

Organisasi Non Pemerintah (LSM) Tokoh masyarakat di Pantai Kamali

1 1 1 1 1 1 1 1 6


(48)

1.5.2. Analisis Alternatif Kebijakan yang Meminimumkan Dampak Lingkungan

Analisis data yang digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan, terkait dengan upaya pengelolaan ekosistem Pantai Kamali hasil reklamasi di Kota Bau-bau yang meminimumkan dampak lingkungan adalah metode AHP (analytical hierarchy process).

Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur, strategis dan dinamis serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibanding dengan variable yang lain. Dengan berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada system tersebut (Marimin, 2002).

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menyelesaikan suatu masalah dalam AHP adalah dekomposisi, komparatif judgement, sintesis prioritas dan konsistensi logika. Adapun tahapan pendekatan AHP meliputi :

a. Identifikasi Sistem

Identifkasi sistem bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan. Dalam penelitian ini karena menggunakan pendekatan AHP, maka untuk memecahkan masalah dan solusi yang diiginkan guna mendapatkan alternatif kebijakan yang meminimumkan dampak lingkungan dalam pengelolaan pesisir Kamali di Kota Bau-bau perlu diketahui dahulu faktor yang mempengaruhinya. Untuk mendefinisikan dampaknya, maka pertanyaan yang diajukan adalah dampak ekonomi, lingkungan dan sosial apa yang timbul dari pengelolaan pantai kamali hasil reklamasi di wilayah pesisir Kota Bau-bau dapat dijelaskan sebagai berikut:


(1)

Lampiran 10. Jenis-jenis ikan karang yang ditemukan di kawasan Pantai Kamali

No

Spesies/Genus

Family

1

Acanthurus sp

Acanthuridae

2

Zebrasoma Scopas

Acanthuridae

3

Melachanthus sp

Blennidae

4

Heniochus chrysostomus

Chaetodontidae

5

Plectorhincus sp

Haemulidae

6

Coris sp 1

Labridae

7

Coris sp 2

Labridae

8

Halichoeres sp 1

Labridae

9

Halichoeres sp 2

Labridae

10

Labroides Dimidiatus

Labridae

11

Thalassoma Lunare

Labridae

12

Lutjanus sp 1

Lutjanidae

13

Lutjanus sp 2

Lutjanidae

14

Parapeneus sp 1

Mullidae

15

Parapeneus sp 2

Mullidae

16

Amblyglyphidodon Curacao Pomacentridae

17

Neoglyphidodon sp 1

Pomacentridae

18

Neoglyphidodon sp 2

Pomacentridae

19

Pomacentrus Alexanderae

Pomacentridae

20

Pomacentrus Auriventris

Pomacentridae

21

Scarus sp 1

Scaridae


(2)

117

Lampiran 11. Kategori jenis ikan karang yang ditemukan di pesisir Kota Bau-bau

No

Spesies/Genus

Family

Target Indikator

Utama

1 Acanthurus sp Acanthuridae

2 Naso sp Acanthuridae

3 Zebrasoma Scopas Acanthuridae

4 Apogon sp Apogonidae

5 Apogon sp 1 Apogonidae

6 Apogon sp 2 Apogonidae

7 Apogon sp 3 Apogonidae

8 Balistapus Undulatus Balistidae

9 Sufflamen sp Balistidae

10 Bleniniella sp Balistidae

11 Melacanthus sp Balistidae

12 Pterocaesio sp Caesionidae

13 Chaetodon auriga Chaetodontidae

14 Chaetodon Baronesa Chaetodontidae

15 Chaetodon Bennetti Chaetodontidae

16 Chaetodon Kleinii Chaetodontidae

17 Chaetodon Trifasciatus Chaetodontidae

18 Chelmon Rostratus Chaetodontidae

19 Forcipiger Longirastris Chaetodontidae

20 Heniochus Chrysostomus Chaetodontidae

21 Heniochus diphreutes Chaetodontidae

22 Plectorhincus sp Haemulidae

23 Plectorhincus sp 1 Haemullidae

24 Plectorhincus sp 2 Haemullidae

25 Sargocentron sp Holocentridae

26 Coris sp Labridae

27 Coris sp 1 Labridae

28 Coris sp 2 Labridae

29 Halichoeres sp Labridae

30 Halichoeres sp 1 Labridae

31 Halichoeres sp 2 Labridae

32 Labroides Dimidiatus Labridae

33 Thalassoma Lunare Labridae

34 Thalassoma sp 1 Labridae

35 Thalassoma sp 2 Labridae

36 Lutjanus sp 1 Lutjanidae

37 Lutjanus sp 2 Lutjanidae

38 Parapeneus sp1 Mullidae


(3)

40 Parupeneus multifasciatus Mullidae

41 Parupeneus Bifasciatus Mullidae

42 Scolopsis Bilineatus Nemipteridae

43 Centropyge Bicolor Pomacanthidae

44 Pygoplites Diacanthus Pomacanthidae

45 Amplyglyphidodon Curacao Pomacanthidae

46 Amplyglyphidodon sp Pomacanthidae

47 Amphiprion sp Pomacanthidae

48 Chromis Analis Pomacanthidae

49 Chromis Margaritifer Pomacanthidae

50 Chromis Retrofasciata Pomacanthidae

51 Chromis sp 1 Pomacanthidae

52 Chromis sp 2 Pomacanthidae

53 Chrysiptera Springeri Pomacanthidae

54 Dascyllus Melanurus Pomacanthidae

55 Dascyllus Trimaculatus Pomacanthidae

56 Neoglyphidodon sp Pomacanthidae

57 Neoglyphidodon sp 1 Pomacanthidae

58 Neoglyphidodon sp 2 Pomacanthidae

59 Pomacentrus Alexanderae Pomacanthidae

60 Pomacentrus Auriventris Pomacanthidae

61 Pomacentrus Coelestis Pomacanthidae

62 Pomacentrus Moluccensis Pomacanthidae

63 Pomacentrus sp Pomacanthidae

64 Chlorurus Sardidus Scaridae

65 Scarus sp Scaridae

66 Epinephelus Guoyanus Serranidae

67 Epinephelus sp Serranidae

68 Epinephelus Taufina Serranidae

69 Pseudanthias sp 1 Serranidae

70 Pseudanthias sp 2 Serranidae

71 Siganus sp Siganidae

72 Siganus Vulpinus Siganidae


(4)

119

Ket : A = Perubahan garis pantai yang menyebabkan perubahan pola arus B = pada muara sungai akibat menumpuknya sedimentasi

C = Berkurangnya biota-biota pantai seperti Kepiting, Ikan Baronang dll D = Hancurnya kawasan padang lamun yang dulu pernah ada


(5)

Reklamasi di Kota Bau-bau yang Meminimumkan Dampak Lingkungan. Dibimbing oleh ETTY RIANI dan SUKARDI.

Salah satu jalan keluar yang dipilih untuk mengembangkan kota adalah dengan melakukan reklamasi perairan pantai sebagai upaya untuk menangani keterbatasan lahan. Pantai Kamali yang berada di Kota Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara adalah salau satu pantai yang telah direklamasi pada tahun 2004 seluas 34.040 m2 dan diresmikan pembukaannya pada 18 Agustus 2005. Saat ini, pantai tersebut jadi ruang publik yang paling ramai dan merupakan magnet untuk rekreasi.

Kebijakan yang tidak efektif dapat berdampak pada penurunan kualitas lingkungan juga menimbulkan penurunan bidang sosial budaya yang akan mengakibatkan pembangunan reklamasi yang telah dilakukan menjadi sia-sia. Untuk melakukan pengelolaan yang lebih optimal maka diperlukan analisis atas beberapa aspek, seperti aspek sosial, ekonomi dan lingkungan yang dilakukan melalui analisis kondisi eksisting pra dan pasca reklamasi. Kemudian setelah mengetahui kondisi eksisting aspek-aspek tersebut, maka selanjutnya diperlukan alternatif kebijakan melalui Analysis Hierarchy Process (AHP) yang akan menghasilkan suatu kebijakan strategis sebagai arahan rekomendasi pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi yang meminimumkan dampak lingkungan kepada Pemkot Bau-bau.

Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui alternatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali di Kota Bau-bau yang dapat meminimumkan dampak lingkungan dan tujuan khusus penelitian ini adalah menganalisis kondisi eksisting ekonomi sosial dan ekologi di Pantai Kamali sebelum dan sesudah reklamasi serta mendapatkan alternatif kebijakan tepat, terkait dengan upaya pengelolaan ekosistem Pantai Kamali hasil reklamasi di Kota Bau-Bau yang meminimumkan dampak lingkungan.

Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer dan sekunder, kemudian selanjutnya di analisis kondisi ekonomi, sosial dan ekologi secara deskriptif. Dalam penelitian ini juga digunakan metode analisis AHP untuk menentukan alternatif kebijakan pengelolaan pantai hasil reklamasi yang meminimumkan dampak lingkungan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi sosial setelah reklamasi mengenai jaminan rasa aman masih cukup baik, kesenjangan sosial dalam masyarakat belum terlalu kelihatan dan konflik sosial serta moral mayarakat masih bisa dikendalikan. Kondisi ekonomi setelah reklamasi menunjukkan bahwa dengan adanya areal publik dan pembangunan mall di Pantai Kamali cukup berkontribusi pada peningkatan PAD Kota Bau-bau. Hal ini ditegaskan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat dan pengguna kawasan Pantai Kamali sebagai akibat dari semakin meningkatnya jumlah pengunjung yang datang di kawasan tersebut.

Kualitas perairan Pantai Kamali dan muara Sungai Bau-bau setelah reklamasi khususnya kekeruhan, zat padat tersuspensi (TSS), oksigen terlarut,


(6)

nitrat dan fosfat telah melewati ambang batas baku mutu air laut yang diizinkan. Hal ini juga terlihat pada kondisi ekosistem Pantai Kamali setelah adanya reklamasi yaitu semakin tingginya sedimentasi di Muara Sungai Bau-bau, hancurnya padang lamun dan semakin menurunnya kualitas ekosistem estuaria di kawasan tersebut. Tingginya tingkat kekeruhan, TSS, dan sedimentasi ini akibat adanya pembangunan mall dan jembatan batu yang membuat bahan organik dan anorganik yang yang tersuspensi dan terlarut yang berukuran lebih besar seperti lumpur, pasir halus dan lapisan permukaan tanah tertahan di muara Sungai Bau-bau. Akibat dari hal ini telah menyebabkan tingginya nilai nitrat dan fosfat karena bakteri yang melakukan nitrifikasi semakin meningkat dan bertambahnya ketebalan sedimen diwilayah tersebut. Hal ini juga diperparah dengan rendahnya oksigen terlarut di muara sungai tersebut sebagai akibat dari musnahnya padang lamun yang dulu pernah ada dikawasan ini oleh pembagunan reklamasi, karena proses fotosintesis penghasil oksigen terlarut yang dilakukan oleh padang lamun di perairan tersebut menurun drastis.

Prioritas alternatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi di Kota Bau-bau yang meminimumkan dampak lingkungan adalah (1) regulasi yang ketat terhadap pembuangan pada badan sungai dengan bobot nilai 0,420, (2) pembuatan IPAL setiap kegiatan dengan bobot nilai 0,356, dan (3) konservasi padang lamun dengan bobot nilai 0,224.

Regulasi yang ketat terhadap pembuangan pada badan sungai merupakan solusi yang sangat efektif untuk mengurangi pencemaran yang semakin meningkat di kawasan Pantai Kamali dan mengurangi pendangkalan di muara Sungai Bau-bau. Isi perda tersebut sebaiknya memuat aturan yang melingkupi semua perusahaan, masyarakat dan Pemkot Bau-bau sendiri. Substansi perda tersebut terhadap perusahaan adalah perlunya penegasan bahwa setiap perusahaan-perusahaan yang ada di Kota Bau-bau harus memiliki dokumen kelayakan lingkungan, harus membangun IPAL disetiap kegiatannya dan akan terkena sangsi apabila melanggar aturan tersebut. Substansi perda terhadap masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di DAS. Masyarakat yang tinggal di DAS harus memiliki tong sampah, tidak boleh membuang sampahnya ke sungai dan kalau bisa menerapkan IPAL komunal terpadu untuk skala rumah tangga.

Hak dan kewajiban Pemkot Bau-Bau dalam subtansi perda tersebut adalah harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara berkala tentang penyadaran pentingnya pemeliharaan lingkungan khususnya Sungai Bau-bau, menyediakan dan merehabilitasi tempat-tempat pembuangan sampah secara berkala, menyediakan alat dan sarana pengerukan sungai untuk mengurangi pendangkalan, melakukan pengawasan dan pemeriksaan secara berkala terhadap perusahan-perusahaan, melakukan monitoring dan evaluasi sampai dimana ketaatan perusahan tersebut terhadap perda yang telah dilegalkan, memberikan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak mengikuti perda tersebut dan memberikan penghargaan kepada perusahaan yang mendapat predikat terbaik dalam pengelolaan limbahnya.