Ekosistem Estuaria E Kerusakan Habitat Alami Kawasan Pantai Kamali 1. Sedimentasi

ekologis padang lamun adalah sebagai produsen primer, pendaur ulang unsur hara, penstabil substrat, dan penangkap sedimen; sebagai habitat dan makanan serta sebagai tempat berlindung bagi organisme laut lainnya; dan sebagai substrat bagi perifiton Nienhuis, 1993 dalam Hamid, 1996. Selain itu padang lamun juga mempunyai berbagai peranan yang besar dalam memfiksasi unsur hara, tempat perlindungan dan mencari makan, tempat asuhan berbagai anak-anak ikan, sebagai stabilisator dasar perairan, mencegah atau melindungi pantai dari erosi, dan mempunyai peranan penting dalam daur hara. Hal ini sangat terkait dengan keberadaan ekosistem lainnya di wilayah pesisir seperti mangrove dan terumbu karang dalam menunjang keberadaan biota-biota pesisir serta beberapa aspek lainnya seperti fungsi fisik dan sosial ekonomi. Dampak negatif dari kondisi saat ini atas hilangnya ekosistem padang lamun terkait dengan masyarakat nelayan khususnya di Pantai Kamali adalah berkurangnya tangkapan nelayan tersebut, seiring semakin langkanya di jumpai biota-biota pantai seperti ikan Baronang, kepiting, udang dan lain-lain. Hal ini pada akhirnya telah menyebabkan penurunan tingkat perekonomian dan kesejahteran masyarakat nelayan di kawasan Pantai Kamali khususnya dan di Kota Bau-bau umumnya. Permasalahan utama yang mempengaruhi padang lamun di Kota Bau-bau khususnya kawasan Pantai Kamali adalah adanya kegiatan pengerukan dan penimbunan pantai atau reklamasi, dan terbawanya partikel-partikel tanah oleh air hujan dan masuk ke sungai lalu diteruskan ke laut. Hal ini menyebabkan lamun tidak dapat hidup dengan baik karena air laut sudah tercemari oleh partikel- partikel tanah yang berasal dari tanah reklamasi dan erosi tanah. Penurunan atau hilangnya biota-biota laut di Pantai Kamali dan muara Sungai Bau-bau berdasarkan wawancara dengan penduduk dan stakeholder setempat, telah mengindikasikan musnahnya padang lamun diwilayah tersebut yang dulu pernah ada. Hal ini juga didukung dari hasil updeting data spasial MCRP silika Bapedalda Sultra dalam Laporan Kondisi Substrat Pesisir Sultra tahun 2007 lalu yang menegaskan bahwa ekosistem padang lamun dan terumbu karang sudah langka ditemukan di kawasan Pantai Kamali pada tahun tersebut. Komunitas padang lamun yang hilang ini biasanya hanya diketahui oleh nelayan setempat karena tidak seperti mangrove dan terumbu karang, komunitas padang lamun tidak tampak nyata. Berbagai jenis padang lamun telah mengalami kerusakan bahkan musnah akibat reklamasipenimbunan pantai untuk keperluan pembangunan, khususnya reklamasi Pantai Kamali untuk area ruang publik public space area dan pendirian mall di kawasan Pantai Kamali Kota Bau-bau. Kegiatan reklamasi untuk perluasan pembangunan ini telah mengurangi luas area padang lamun di kawasan tersebut. Hal ini seperti terlihat sepanjang pesisir kamali Kota Bau-bau, yaitu telah berkurangnya areal padang lamun kurang lebih dua hektar Bapedalda Kota Bau-bau, 2009. Hilangnya sebagian padang lamun ini telah mempengaruhi biota-biota laut yang hidup dan mencari makan di wilayah tersebut. Padang lamun merupakan salah satu ekosistem bahari paling produktif yang mempunyai produktifitas tinggi dan menopang sumberdaya yang tinggi pula. Lamun berperan penting dalam mata rantai ekosistem biota-biota di wilayah pesisir. Ada hubungan interaksi asosiasi antara lamun dengan hewan dan tumbuhan air lainnya. Kikuchi dan Peres 1977 dalam Novita 2006 membagi komunitas hewan padang lamun berdasarkan struktur mikro habitatnya dan pola kehidupannya dalam empat kelompok. Salah satu kelompok adalah spesies yang bergerak yang hidup diperairan di bawah tajuk daun lamun, seperti ikan, udang, dan cumi-cumi. Kelompok spesies yang bergerak ini terbagi dalam empat kategori berdasarkan periode tinggal mereka di padang lamun yaitu penghuni tetap, penghuni musiman, pengunjung temporal dan peruaya yang tidak menentu. Sebagian besar responden berdasarkan wawancara mengatakan bahwa biota-biota air yang dulu cukup banyak di kawasan Pantai Kamali dalam beberapa tahun terakhir ini semakin langka ditemukan. Biota-biota itu adalah ikan baronang, kepiting, udang-udang dan kerang-kerangan. Fortes 1994 dalam Syukur 2001 menjelaskan bahwa secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan Baronang dan dugong. Aktifitas pembangunan di kawasan Pantai Kamali khususnya reklamasi telah memusnahkan padang lamun diwilayah ini sehingga berdampak pada semakin langkanya biota-biota air seperti yang disebut diatas karena hancurnya tempat mencari makan, perlindungan dan memijah untuk mereka. Coles et al. 1993 dalam Syukur 2001, menyatakan bahwa aktifitas pembangunan di wilayah pesisir yang terus berkembang telah berdampak pada penurunan fungsi ekologis kawasan pesisir seperti yang terjadi di pesisir Queensland-Australia bagian utara. Hal ini telah menyebabkan jumlah crustacea dan populasi ikan mengalami penurunan yang cukup signifikan. Bengen 1999 juga telah mengatakan bahwa kegiatan manusia yang dapat merusak ekosistem padang lamun salah satunya adalah penimbunan atau reklamasi. Sebuah model ekosistem digunakan dalam penelitian Sohma et al. 2008 di Teluk Atsumi, Jepang untuk mengevaluasi dampak reklamasi atas padang lamun. Penelitian tersebut membuat perairan dangkal buatan berisikan padang lamun yang berfungsi mengurangi dampak reklamasi. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa reklamasi atas padang lamun alami mengakibatkan sebuah peningkatan fitoplankton dan detritus dari sistem pelagis yaitu mengakibatkan kerugian di tingkat pemurnian air. Sebaliknya, penciptaan perairan buatan dangkal mengakibatkan penurunan fitoplankton dan detritus dari sistem pelagis yaitu menghasilkan keuntungan pada tingkat pemurnian air. Kemudian semakin meningkatnya pencemaran air disertai dengan blooming fitoplankton dimuara sungai Jepang terkait sebagai akibat dari semakin menurunnya fungsi ekologis perairan dangkal akibat reklamasi Sohma et al. 2008 Berdasarkan hasil penelitian Wang et al. 2010 juga menunjukkan bahwa biaya yang terkait dengan kerusakan ekosistem secara signifikan lebih tinggi dari biaya internal proyek-proyek reklamasi. Prospek untuk pembangunan berkelanjutan pada masyarakat pesisir adalah suram jika tren eksploitasi terus berlanjut. Sayangnya, keputusan pengembang lahan dan beberapa investor lokal biasanya didorong oleh keuntungan ekonomi langsung jangka pendek, yang telah mengabaikan kerusakan lingkungan akibat reklamasi lahan.

5.2.2.4. Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem dasar laut tropis yang komunitasnya didominasi oleh biota laut penghasil kapur, terutama karang batu stony coral dan algae berkapur calcareous algae. Terumbu karang mempunyai respon spesifik terhadap lingkungan sekitarnya dan mengalami pertumbuhan yang pesat pada kedalaman rata-rata 2 – 15 meter. Cahaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi distribusi vertikalnya Nybakken, 1992. Berdasarkan wawancara di lapangan dan penelusuran pustaka terkait, ekosistem terumbu karang di Kota Bau-bau khususnya di kawasan Pantai Kamali telah rusak bahkan hilang sebagai akibat dari segala aktifitas masyarakat di wilayah pesisir kota tersebut dan reklamasi kawasan Pantai Kamali pada tahun 2004 lalu. Hal ini berdasarkan hasil analisis citra landsat TM tahun 1990 yang menyatakan bahwa terdapat 2,1 hektar terumbu karang Gambar 5 sampai tahun 1990 di kawasan tersebut. Hal ini kemudian didukung juga dari hasil updeting data spasial MCRP silika Bapedalda Sultra dalam Laporan Kondisi Substrat Pesisir Sultra tahun 2007 lalu yang menegaskan bahwa ekosistem terumbu karang sangat langka ditemukan lagi di kawasan tersebut. Dalam ekosistem terumbu karang terdapat kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkatan trofik yang mempunyai sifat saling tergantung erat. Biota tersebut meliputi berbegai jenis ikan karang, seperti ikan kerapu dan ikan baronang, teripang, bulu babi, beberapa jenis rumput laut dan beberapa jenis moluska yang bernilai komersil Nybakken,1992. Hilangnya berbagai jenis biota- biota pesisir seperti ikan baronang, kepiting dan lain-lain di kawasan Pantai Kamali merupakan dampak dari telah hancur dan punahnya ekosistem terumbu karang di kawasan ini. Biota-biota tersebut selama ini sering dimanfaatkan oleh sebagian kecil masyarakat di kawasan Pantai Kamali yang berprofesi sebagai nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat Kota Bau-bau pada umumnya juga sering memanfaatkan kawasan Pantai Kamali sebagai tempat refresing seperti misalnya memancing ikan dan mencari biota-biota pesisir lainnya. Veron 1989 dalam Panggabean 2007 menyatakan ekosistem terumbu karang sangat rapuh dan peka bila terjadi perubahan pada lingkungan akan mempengaruhi kondisinya. Daya pemulihan ini tergantung pada daerah kerusakan dan sumber-sumber yang potensial untuk pembentukannya kembali. Daya pemulihan ini juga tidak terlepas dari penyebab kerusakan pada karang tersebut.