Tingkat Aspek yang Dipilih Stakeholder Dalam Menentukan
Perlengkapan tersebut terdiri dari pipa penyaluran, sumur pemeriksaan, pusat pemompaan dan peralatan pemeliharaan. Berdasarkan wawancara dilapangan dan
penelusuran pustaka terkait, limbah yang berupa sedimen sebagian besar berasal dari beberapa perusahaan batuan dan sebuah perusahaan nikel di Kecamatan
Surawolio di Kota Bau-bau, ditambah lagi terjadinya pola pergerakan sedimen akibat pembangunan reklamasi di Pantai Kamali.
Dalam implementasinya nanti, pembangunan IPAL ini bisa dilakukan dalam dua cara, yang pertama yaitu semua perusahaan bersatu untuk membangun
program IPAL bersama dan yang kedua adalah semacam proyek langsung dari Pemkot Bau-bau yaitu program IPAL terpadu yang melayani semua stakeholder
yang ada di Kota Bau-bau, seperti rumah-rumah masyarakat, kantor-kantor pemerintah, rumah sakit, hotel, perusahaan-perusahaan tersebut dan lain-lain
sebagai pelanggan. Program yang kedua ini bisa meningkatkan PAD daerah karena setiap stakeholder tersebut yang menjadi pelanggan dalam program IPAL
akan membayar retribusi kepada Pemkot Bau-bau. Air limbah yang dihasilkan oleh semua stakeholder tersebut, akan
disalurkan melalui pipa ke pumping station rumah pompa yang sebaiknya dibuat beberapa lokasi jika menjalankan program yang kedua dan berakhir ke ke lokasi
IPAL. Dalam IPAL tersebut nanti sebaiknya terdapat empat kolam yang masing- masing terdiri dari dua kolam aerasi dan dua kolam pengendapan sedimentasi
dengan kedalaman masing-masing 4 meter. Setelah diproses, air limbah akan menjadi air biasa lagi dan untuk sementara dibuang ke laut. Kedepannya
diharapkan air bersih tersebut bisa menjadi air baku untuk diolah menjadi air minum dan suplai irigasi.
Sistem aerasi digunakan dengan maksud untuk mengurangi kebutuhan luas lahan dan meningkatkan proses pengolahan menjadi lebih cepat sekaligus
meniadakan bau yang mungkin timbul akibat proses oksidasi yang tidak sempurna. Pelapisan dengan geomembrane dan geotextile dilakukan pada kolam
aerasi untuk mengatasi kemungkinan adanya rembesan terhadap air tanah lapisan kedap air yang sangat kuat. Sistem ini relatif sederhana sehingga tidak
memerlukan tenaga operator dengan kualifikasi khusus untuk pengoperasian dan pemeliharaannya. Ditinjau dari segi biaya investasi dan operasi pemeliharaan,
biaya yang diperlukan relatif rendah dan nantinya diusahakan akan menghasilkan keluaran air olahan dengan COD kurang dari 30 mglt masih lebih baik dari
standar baku mutu yaitu 50 mglt untuk kelas III berdasarkan PP No. 82 tahun 2001, dan selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk penyiraman taman kota atau
dialirkan ke laut. Lingkungan di sekitar IPAL sebaiknya ditanami pepohonan dan diberi
taman sehingga nyaman untuk dilihat. Hal ini diharapkan dapat menghindari adanya kekhawatiran dan pandangan bahwa IPAL merupakan tempat yang
kumuh dan kotor. IPAL tersebut juga nantinya diharapkan dapat berfungsi sebagai pusat pendidikan untuk penanaman kesadaran terhadap lingkungan bagi para
pelajar, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Konservasi padang lamun merupakan alternatif kebijakan terakhir dengan
bobot nilai 0,224 untuk meminimumkan dampak lingkungan di Pantai Kamali. UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya pada pasal 3 dan 4 menyatakan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber
daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia. Hal ini merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat.
Hancurnya ekosistem padang lamun di Pantai Kamali akibat pembangunan reklamasi dan sedimentasi yang berlebihan di kawasan tersebut telah semakin
melangkakan biota-biota perairan yang dulunya cukup banyak dijumpai diwilayah ini. Konservasi padang lamun merupakan solusi yang cukup signifikan untuk
segara di implementasikan jika sumberdaya alam hayati dan ekosistem perairan khususnya lamun ingin di pulihkan kembali. Azkab 2003 mengatakan lamun
dapat dijumpai pada kedalaman 0,5 - 20 meter setelah bakau, dan sebelum terumbu karang. Kondisi ekosistem padang lamun, bakau, dan terumbu karang
sangat mempengaruhi kelestarian kawasan pesisir, namun ironisnya sampai saat ini belum ada penetapan ukuran baku ambang batas kerusakan ekosistem lamun,
jika dibanding mangrove dan terumbu karang.