40,54 dengan implementasi MTBS rendah dan 7 responden 18,9 dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 15 responden yang
pernah mengikuti pelatihan MTBS, terdapat 5 responden 13,51 dengan implementasi MTBS rendah dan 10 responden 27 dengan
implementasi MTBS tinggi.
Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf kepercayaan 95 diperoleh p value = 0,037 dimana itu kurang dari 0,05
0,037 0,05 berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara keikutsertaan pelatihan MTBS oleh petugas dengan implementasi MTBS.
Berdasarkan Symmetric Measures didapatkan Coefisient Contingency sebesar 0,325. Hal ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara
pelatihan MTBS yang diikuti petugas terhadap implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang.
4.2.2.5. Hubungan antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan
Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS
Hubungan antara
kepemimpinan kepala
puskesmas dengan
implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut :
Tabel 4.17 Tabulasi Silang antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS
Kepemimpinan Kepala
Puskesmas Implementasi MTBS
Jumlah P value
CC Rendah
Tinggi
n n
N Cukup
7 18,92
1 2,7
8 21,62
0,032 0,332
Baik 13
35,14 16 43,2
29 78,34
Jumlah 20
54.1 17
45,9 37
100 Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.17 dapat diketahui bahwa dari 8 responden yang mengatakan kepemimpinan kepala puskesmas cukup, terdapat 7 responden
18,92 dengan implementasi MTBS rendah dan 1 responden 2,7 dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 29 responden yang
mengatakan kepemimpinan kepala puskesmas baik, terdapat 13 responden 35,14 dengan implementasi MTBS rendah dan 16 responden 43,2
dengan implementasi MTBS tinggi. Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf
kepercayaan 95 diperoleh p value = 0,032 dimana itu kurang dari 0,05 0,032 0,05 berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara
kepemimpinan kepala puskesmas dengan implementasi MTBS. Berdasarkan Symmetric Measures didapatkan Coefisient Contingency sebesar 0,332. Hal
ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara kepemimpinan
kepala puskesmas terhadap implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang.
4.2.2.6. Hubungan antara Ketersediaan Peralatan yang Digunakan dalam
pemeriksaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS
Hubungan antara ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit
MTBS dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut :
Tabel 4.18 Tabulasi Silang antara Ketersediaan Peralatan yang Digunakan dalam pemeriksaan MTBS dengan Implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit MTBS
Ketersediaan Peralatan
Implementasi MTBS Jumlah
P value Rendah
Tinggi
n n
N Tidak Lengkap
9 24,32
9 24,32
18 48,6
0,630 Lengkap
11 29,73
8 21,62
19 51,4
Jumlah 20
54,1 17
45,9 37
100 Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.18 dapat diketahui bahwa dari 18 responden yang mengatakan ketersediaan peralatan MTBS tidak lengkap, terdapat 9
responden 24,32 dengan implementasi MTBS rendah dan 9 responden 24,32 dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 19 responden
yang mengatakan ketersediaan peralatan MTBS lengkap, terdapat 11
responden 29,73 dengan implementasi MTBS rendah dan 8 responden 21,62 dengan implementasi MTBS tinggi.
Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf kepercayaan 95 diperoleh p value = 0,630 dimana itu lebih dari 0,05 0,630
0,05 berarti Ho diterima atau dapat dikatakan tidak ada hubungan antara ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS dengan
implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang.
4.2.2.7. Hubungan antara Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan dengan