nelayan penuh dan 495 jiwa nelayan sambilan utama. Perkembangan jumlah nelayan dari tahun 2004 sampai tahun 2009 dapat dilihat dalam Tabel 6.
Pekembangan jumlah nelayan di Kecamatan Muara Batu berfluktuasi. Pada tahun 2005, jumlah nelayan di Perairan Kecamatan Muara Batu mengalami
penurunan sebesar 763 jiwa. Hal ini dikarenakan dampak dari bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi di tahun 2004. Nelayan-nelayan di Kecamatan
Muara Batu mengalami traumatis terhadap bencana, sehingga sebagian nelayan berpindah profesi dan bermigrasi ke daerah yang berdataran tinggi. Dampak
traumatis nelayan tidak berlangsung lama, secara berlahan jumlah nelayan di Kecamatan Muara Batu mengalami peningkatan. Begitu pula di tahun 2005,
profesi nelayan sambilan tambahan tidak ditekuni lagi oleh masyarakat di Kecamatan Muara Batu. Hal ini dikarenakan nelayan-nelayan di Kecamatan
Muara Batu profesinya telah beralih sebagai nelayan penuh
Tabel 6 Jumlah nelayan di Kecamatan Muara Batu periode 2004-2009
Tahun Jumlah Nelayan Orang
Jumlah Penuh
Sambilan utama Sambilan Tambahan
2004 766
544 232
1542 2005
330 449
- 779
2006 401
462 -
863 2007
435 441
- 876
2008 448
437 -
885 2009
462 495
- 957
Sumber: BPS Kabupaten Aceh Utara 2005-2010
5.4 Sistem Bagi Hasil
Pendapatan nelayan di Kecamatan Muara Batu umumnya dipengaruhi oleh jumlah hasil tangkapan dan harga pasar dari penjualan hasil tangkapan tersebut.
Upah nelayan pukat cincin diperoleh melalui sistem bagi hasil antara pemilik dan Nelayan yang terdiri atas juru mudi atau pawang tekong, mekanis dan anak buah
kapal lainnya yang mendapat bagian yang sama Gambar 7.
Sumber: Diolah dari data primer tahun 2011
Gambar 7 Struktur bagi hasil unit penangkapan purse seine di Kecamatan Muara Batu.
Sistem bagi hasil yang berlaku pada nelayan pukat cincin adalah 70 untuk pemilik dan 30 untuk nelayan. Pembagian tersebut diperoleh dari total bersih
penjualan hasil tangkapan setelah dikurangi biaya untuk toke bangku sebesar 7 dari hasil tangkapan dan biaya operasional pukat cincin. Bagi hasil untuk nelayan
sebesar 30 masing-masing memperoleh 1 bagian untuk ABK, 2 Bagian untuk pawang tekong dan 2 bagian untuk mekanis. Bagi hasil dilakukan sehari sekali
setelah hasil tangkapan terjual habis.
ABK 1 Bagian
Pawang 2 Bagian
Mekanis 2 Bagian
Pemilik 70 Nelayan 30
Dikurangi Biaya Operasional Penjualan Hasil Tangkapan
Dikurangi Biaya untuk Toke Bangku 7
6 HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Sejarah Panglima Laôt
Panglima Laôt adalah lembaga hukum adat laut yang telah ada sejak abad ke 14, yaitu pada zaman Kerajaan Samudera Pasai 1607-1636. Panglima Laôt
merupakan perpanjangan tangan Sultan Iskandar Muda pada saat itu, yang berperan memungut pajak dari kapal-kapal dagang di pelabuhan dan memobilisasi
massa dalam berperang Adli et al. 2006. Menurut Hoven 1979 diacu dalam Adli et al. 2006, Panglima Laôt adalah lembaga adat resmi dan diatur oleh
negara. Kekuasaan ini diberikan oleh Sultan melalui surat kepada pembesar wilayah. Hal ini menggambarkan bahwa Panglima Laôt pada masa itu diberi
kekuasaan oleh Sultan untuk menguasai wilayah maritim di Aceh. Pemunggutan pajak diberlakukan pada kapal-kapal atau pengunjung yang berlabuh di sekitar
wilayah Aceh. Pajak tersebut digunakan oleh kerajaan, seperti untuk bantuan perang. Peran lain Panglima Laôt, yaitu mengumpulkan massa untuk berperang
yang hampir sebagian besar berasal dari masyarakat nelayan sendiri. Adli et al. 2006 menjelaskan bahwa Panglima Laôt tidak lagi berperan
sebagai perpanjangan tangan Sultan, melainkan pemimpin adat nelayan yang mengatur segala praktek kenelayanan dan kehidupan sosial yang terkait di sebuah
wilayah pada zaman kolonial Belanda 1904-1942. Hal ini menunjukkan bahwa Panglima Laôt memiliki kekuasaan penuh untuk memimpin dan mengatur segala
hal yang berhubungan dengan kegiatan nelayan. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, peran Panglima Laôt tidak terlalu berbeda
jauh dengan perannya saat zaman kolonial Belanda. Apabila dilihat perannya saat zaman kolonial Belanda dan Jepang, maka tugas Panglima Laôt saat itu sebagai
Panglima Laôt Lhôk. Peran Panglima Laôt setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, yaitu mengatur cara-cara untuk menyelesaikan konflik antara nelayan yang terjadi di laut dan perikanan di daerah pesisir Aceh. Pada Tahun
1945-1982, Panglima Laôt berdiri sendiri-sendiri di tiap wilayah lhôk. Perubahan peran Panglima Laôt berdampak juga pada sistem pengangkatan atau pemilihan
Panglima Laôt. Pemilihan Panglima Laôt dilakukan oleh masyarakat nelayan
sendiri dan pilihan tersebut jatuh kepada pawang laôt yang memiliki pengalaman di bidang kelautan.
Kedudukan Panglima Laôt Lhôk yang berdiri sendiri-sendiri di tiap wilayah mengakibat hukum adat laut yang berlaku di suatu wilayah belum tentu sama
dengan hukum adat yang berlaku di wilayah lainnya. Hal ini yang memicu seringnya terjadi sengketa nelayan antar wilayah atau lhôk, sehingga Panglima
Laôt Lhôk di seluruh wilayah Aceh mengadakan pertemuan di Kota Langsa pada tahun 1982 untuk membentuk Panglima Laôt Kabupaten. Panglima Laôt
Kabupaten dibentuk atas dasar kesepakatan antar Panglima Laôt Lhôk yang diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa nelayan yang terjadi antar dua
Panglima Laôt Lhôk yang tidak dapat diselesaikan oleh Panglima Laôt Lhôk. Pada tahun 2000, pertemuan dilaksanakan kembali di Banda Aceh dan
Sabang yang dihadiri oleh Panglima Laôt Kabupaten dan Panglima Laôt Lhôk. Hasil pertemuan tersebut berupa kesepakatan untuk membentuk Panglima Laôt
Provinsi. Panglima Laôt Provinsi dibentuk karena penting bagi Panglima Laôt Kabupaten dan Panglima Laôt Lhôk. Persoalan-persoalan antar Panglima Laôt
Kabupaten terkadang sulit untuk diselesaikan. Hal ini dikarenakan lembaga tersebut masih belum kokoh. Panglima Laôt Provinsi yang telah terbentuk diberi
tugas untuk mengkoordinasikan hukum adat laut, menjembatani kepentingan nelayan dengan pemerintah dan mengadvokasi kebijakan kelautan dan perikanan
termasuk advokasi hukum dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat nelayan Aceh termasuk bagi nelayan yang terdampar.
Paparan di atas menunjukkan bahwa peran Panglima Laôt terus mengalami pergeseran peran seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan zaman.
Pergeseran tersebut disebabkan oleh kondisi wilayah yang terus mengalami perkembangan baik kondisi sosial, budaya maupun politik. Selain itu, tingkat
kebutuhan nelayan yang semakin meningkat serta permasalahan yang dihadapi semakin pelik sehingga Panglima Laôt Provinsi harus dibentuk untuk
mengkoordinasi hukum adat laut baik bagi Panglima Laôt Kabupaten maupun Panglima Laôt Lhôk. Pergeseran peran Panglima Laôt diharapkan dapat bergerak
ke arah semakin baik untuk pembangunan Aceh dalam pemenuhan kebutuhan
ekonomi dan menjaga keberlanjutan sumberdaya kelautan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di wilayah Aceh.
6.2 Analisis Hukum dan Kelembagaan