Kependudukan ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

97 contoh air limbah secara langsung sebanyak 60 buah menyimpulkan bahwa 24 industri 40 memiliki parameter TSS melebihi baku mutu, 38 industri 63 memiliki parameter Amonia yang melebihi baku mutu dan 28 industri 47 memiliki parameter BOD dan COD yang melebihi baku mutu. Dengan demikian secara umum lebih dari 40 persen industri di Kota Bekasi kualitas air limbahnya masih diatas standar baku mutu yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 6 Tahun 1999 Tentang Baku Mutu Limbah Cair. Di sisi lain Total Coliform meningkat dari 345.000 mpn100 ml 2006 menjadi 1.600.000 mpn100 ml 2007, merupakan pencemar tertinggi berdasarkan hasil pemantauan kualitas air permukaan di 3 tiga sungai utama di Kota Bekasi yaitu Sungai Bekasi, Sungai Cikeas, dan Sungai Cileungsi Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi, 2009. Air permukaan yang berasal dari saluran irigasi Tarum Barat, selain digunakan untuk mengairi sawah juga merupakan sumber air baku bagi kebutuhan air minum wilayah Bekasi kota dan kabupaten dan wilayah DKI Jakarta. Kondisi air tanah yang cukup potensial digunakan sebagai sumber air bersih berada di wilayah selatan Kota Bekasi, kecuali di sekitar TPA Bantargebang yang kondisi air tanahnya kemungkinan besar sudah tercemar. Wilayah Kota Bekasi beriklim kering dengan tingkat kelembaban yang rendah rata-rata 70 persen. Kondisi Iingkungan sehari-hari sangat panas antara 24- 33 o C, terlebih dipengaruhi oleh meningkatnya aktivitas industriperdagangan. Sepanjang tahun 2008 keadaan iklim di Kota Bekasi cenderung panas. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari dan Maret yaitu masing-masing tercatat 585 mm dan 258 mm dengan jumlah hari hujan 24 dan 18 hari. Jumlah curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 12 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak satu hari. Total curah hujan yang tercatat sepanjang tahun 2008 adalah 1.538 mm BPS Kota Bekasi, 2009. Keadaan ini berbanding terbalik dengan kota di hulunya yaitu Kota Bogor yang memiliki ketinggian antara 190 - 350 meter diatas permukaan laut dan curah hujan rata-rata 4.000 mmTahun BPS Kota Bogor, 2006.

4.4. Kependudukan

Penduduk migran secara umum lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan penduduk asli Kota Bekasi. Hal ini merupakan konsekuensi Kota Bekasi 98 sebagai daerah penyeimbang ibukota negara. Fenomena pergerakan penduduk dari Kota Bekasi ke Jakarta sangatlah besar disamping pergerakan penduduk dari sekitar Kota Bekasi menuju Jakarta. Jumlah penduduk di Kota Bekasi tahun 2007 sebesar 2.143.804 jiwa dengan tingkat kepadatan sebesar 10.185 jiwa per-km 2 . Lonjakan yang tinggi atas Laju Pertumbuhan Penduduk LPP yang terjadi hanya menyumbang 30 persen saja disebabkan oleh LPP alaminya, sedangkan 70 persen sisanya berasal dari migrasi Bapeda Kota Bekasi, 2008. Data penduduk Kota Bekasi tahun 2008 berjumlah 2.238.717 jiwa BPS, 2009 sebagaimana disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Perkembangan jumlah penduduk Kota Bekasi 2005-2008 Sumber : BPS Kota Bekasi 2009 Data jumlah penduduk Kota Bekasi tahun 2005 sebesar 2.001.889 jiwa berdasarkan hasil survei BPS Kota Bekasi dijadikan sebagai data awal pada simulasi sistem dinamis dalam penelitian ini. Selama kurun waktu 10 tahun periode 1997-2007 tercatat rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 4,14 persen Apabila tidak dikendalikan dengan baik maka dalam kurun waktu 18 tahun yang akan datang jumlah penduduk Kota Bekasi akan menjadi dua kali lipat atau sekitar 4,2 juta jiwa BPLH Kota Bekasi, 2008 . Data terakhir penduduk Kota Bekasi tahun 2009 berjumlah 2.319.518 jiwa BPS, 2010. Hasil analisis penyebaran penduduk perwilayah kecamatan menggambarkan bahwa konsentrasi jumlah penduduk dengan penyebaran tertinggi pada Kecamatan 99 Bekasi Utara sebanyak 12,77 persen 240.456 jiwa, Bekasi Barat 12,10 persen 227.810 jiwa, Pondokgede 12,08 persen 227.415 jiwa dan terendah di Kecamatan Jati Sampurna sebesar 3,50 persen 65.816 jiwa. Berdasarkan distribusi per-wilayah kecamatan, konsentrasi jumlah penduduk paling banyak dijumpai di Kecamatan Bekasi Barat 13,43, paling sedikit di Kecamatan Jatisampurna 3,44. Sementara itu, di kecamatan lainnya, jumlah penduduknya berkisar antara lima persen 5 hingga 10 persen. Persoalan pengaruh sebaran penduduk terhadap kondisi lingkungan hidup adalah konsentrasi penduduk perwilayah kecamatan yang tidak seimbang dengan ketersediaan lahan. Kondisi tersebut berdampak pada meningkatnya permintaan sarana dan prasarana dasar yang memadai, pelanggaran tata ruang atau meningkatnya kawasan kumuh. Tekanan kebutuhan utilitas kota yang kalah cepat dengan pelayanan perkotaan menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya air, polusi udara, persoalan sampah, konversi lahan serta memburuknya kondisi lingkungan permukiman. 4.5. Rencana Tata Ruang Wilayah dan Penggunaan LahanLand Use 4.5.1. Kawasan Lindung