Dinamika perubahan penggunaan lahan dan strategi pengalokasian ruang terbuka hijau berdasarkan penganggaran daerah berbasis lingkungan (studi kasus Kota Bekasi)

(1)

PENGANGGARAN DAERAH BERBASIS LINGKUNGAN

(STUDI KASUS KOTA BEKASI)

SUWARLI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dan Strategi Pengalokasian Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Penganggaran Daerah Berbasis Lingkungan (Studi Kasus Kota Bekasi) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Juli 2011

Suwarli P 062074174


(3)

ABSTRACT

SUWARLI, Landuse Change Dynamics and Green Open Space (GOS) Allocation Strategy Based on Environmentally Sound Regional Budgeting (A Case Study of Bekasi City). Under the direction of SANTUN R.P. SITORUS, WIDIATMAKA, EKA INTAN K.PUTRI. and KHOLIL.

Marginalization issue of Green Open Space (GOS) with a high level of land conversion from vegetative or agriculture land to built l a n d in urban area shows that there is no commitment of regional government on a sustainable urban development. Political commitment on the regional government is indicated among others by the weak support of green regional budgeting (APBD) related to GOS. The research was conducted in Bekasi City. The purpose of this research was to determine a model of environmentally sound regional budgeting policy strategy related for allocation of public GOS by using a hard systems and a soft systems approaches. The former was conducted by landuse changes analysis with the factors influencing them, by designing a regional budgeting based on GOS allocating model structure by using a dynamic system approach by formulating the direction policy using focus group discussion (FGD) and analytical hierarchy process (AHP). The results of landuse change analysis showed that there was an increase in built land area from 5.5% (1,157.77 ha) in 1989 to 70.7% (14,879.85 ha) in 2009. The determinants of landuse changes in GOS were population, educational facilities, markets, supermarkets, settlements, industries, restaurants, hotels, and inns (R2 = 99.6%). The dynamic model was designed three scenarios of GOS allocating policy strategy (pessimism, moderate, and optimism) with an early simulation in 2010. The optimism scenario was considered as being capable of accommodating the fulfillment of city GOS need really on an assumption of considerable long multiyears budgeting so that in 2030 the target of 20% public GOS would be achieved. The results of analysis by AHP and FGD approaches showed that alternatives were on 2 main policies, namely: agriculture/GOS infrastructure development and GOS land acquirement. The priorities of policies emphasized the importance of commitment to green budgeting with tight control, particularly tax disincentive and tightening of building license.


(4)

RINGKASAN

SUWARLI, Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dan Strategi Pengalokasian Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Penganggaran Daerah Berbasis Lingkungan (Studi Kasus Kota Bekasi). Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS, WIDIATMAKA, EKA INTAN K.PUTRI dan KHOLIL.

Isu marjinalisasi ruang terbuka hijau (RTH) yang dikonversi secara tidak proporsional menjadi ruang terbangun (RTB) merupakan indikasi rendahnya komitmen politik penganggaran tata ruang. Terbatasnya ketersediaan jasa RTH di perkotaan merupakan isu lingkungan karena memiliki aspek-aspek the commons di dalamnya. Pemerintah bertanggungjawab melindungi Common-Pool Resources (CPRs) dari tindakan overuse. Solusi yang ditawarkan untuk menangani pengelolaan CPRs khususnya ketersediaan RTH publik kota, diantaranya adalah pengadaan lahan dan subsidi oleh pemerintah.

Berdasarkan ketentuan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, alokasi RTH suatu kawasan perkotaan adalah 30 persen dari luas kota, 20 persen diantaranya menjadi tanggungjawab pemerintah untuk mendanai RTH Publik. Tuntutan komitmen politik penganggaran merupakan amanat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Amanat tersebut antara lain adalah diperkenalkannya instrumen penganggaran berbasis lingkungan hidup (pasal 42-45). Penganggaran berbasis lingkungan (Green Budgeting) adalah aktivitas perencanaan penganggaran lingkungan yang menjadi kewajiban pemerintah dan parlemen mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.

Pilihan mengendalikan konversi RTH dengan pendekatan regulasi insentif dan disinsentif tidak mudah dilaksanakan, dan diperlukan dukungan stakeholders dalam mengawal penganggaran RTH dalam perspektif green budgeting RTH. Dalam konteks keterbatasan anggaran, metode pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) atau Medium Term Expenditure Framework (MTEF) dapat dijadikan teknik pendekatan penganggaran dalam APBD.

Kota Bekasi sampai dengan saat ini memiliki RTH publik seluas 771 ha (3,7%), sedangkan laju penurunan lahan RTH rata-rata 5-7% per tahun. Kondisi tersebut tidak didukung dan diimbangi kinerja kebijakan pengalokasian RTH yang optimal. Kinerja program pengelolaan RTH selama periode tahun 2005-2009 rata-rata hanya mendapatkan porsi 0,07% dari penerimaan APBD atau tidak lebih dari 1 milyar (Bappeda, 2008; Dinas LH, 2009). Esensi permasalahan yang terjadi di Kota Bekasi adalah alih fungsi lahan yang cepat tanpa diikuti kinerja penganggaran atas kewajiban daerah memenuhi 20 persen RTH publik kotanya. Dalam upaya memberikan arahan kebijakan, maka penelitian model strategi green budgeting RTH di Kota Bekasi penting dilakukan. Penelitian ini memiliki nilai strategis karena kebijakan pendanaan lingkungan saat ini merupakan salah satu indikator keberhasilan kinerja pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan (good environment governance). Tujuan penelitian ini adalah untuk

1)

Menganalisis dinamika dan pola perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi

,

2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan RTH

, 3)

Mendisain struktur model pengalokasian RTH berbasis penganggaran daerah (green budgeting RTH)

, dan 4)


(5)

Merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengalokasian RTH berbasis penganggaran daerah (green budgeting RTH).

Penelitian model strategi pengalokasian RTH berdasarkan penganggaran daerah, memanfaatkan pendekatan hard systems dan soft systems. Pendekatan pertama dilakukan melalui analisis spasial dan analisis regresi terhadap perubahan penggunaan lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, hal ini kemudian dilanjutkan dengan mendisain struktur model pengalokasian RTH berbasis penganggaran daerah (green budgeting RTH), dengan pendekatan sistem dinamik. Sementara pendekatan kedua dilakukan melalui survei preferensi stakeholders untuk merumuskan arahan prioritas kebijakan. Metode yang digunakan adalah analytical hierarchy process (AHP) dan teknik focus group discussion (FGD). Data pendukung diperoleh dari BPS, BPLH, Bappeda, DPPKAD, Dinas Kependudukan, Dinas Tata Ruang, dan Dinas Perekonomian Rakyat pada Pemerintah Kota Bekasi. Data spasial diperoleh dari Bakosurtanal, Bapeda Kota Bekasi dan analisis citra satelit. Survei preferensi stakeholders dilakukan terhadap 15 respoden dari instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan DPRD Kota Bekasi.

Hasil analisis Sistem Informasi Geografi (SIG) terhadap penggunaan lahan tahun 1989 menunjukkan permukiman/ruang terbangun (RTB) di Kota Bekasi hanya sebesar 5,5 persen (1.157,77 ha), dan sisanya adalah lahan RTH hampir 94 persen (19.785 ha). Pada perkembangan selanjutnya tahun 2000 pertumbuhan kelompok lahan terbangun naik hampir 10 kali lipat dari 5,5 persen menjadi 51,8 persen (10.894,64 ha), tahun 2005 menjadi sebesar 61 persen (12.884,19 ha) dan tahun 2009 bertambah menjadi 70,7 persen (14.879,85 ha).

Hasil analisis regresi berganda terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, menunjukkan bahwa model ini cukup mampu mengambarkan keragaman dari variable dependent, dengan R2 sebesar 99,6%. Hasil uji parsial terhadap variabel-variabel independent yang terpilih menunjukkan bahwa hanya variabel penduduk yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan pada selang kepercayaan 90%. Faktor penduduk dengan jumlah yang besar dan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) yang tinggi, merupakan faktor yang berpengaruh kuat terhadap perubahan penggunaan lahan bervegetasi.

Model dinamik merancang tiga skenario strategi kebijakan yaitu pesimis, moderat, dan optimis. Skenario pesimis pada fraksi Green Budgeting RTH diasumsikan sebesar 0.50% dari penerimaan APBD Kota Bekasi, skenario moderat 2% dan optimis 3% sedangkan kondisi eksisting/aktualnya adalah 0.07%. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) pada ketiga skenario adalah pesimis sebesar 3.75%, moderat sebesar 3.5% dan optimis sebesar 3%, sedangkan aktualnya 4%.

Hasil simulasi skenario optimis, menunjukkan terjadi peningkatan jumlah penduduk selama periode tahun simulasi yaitu dari 2,376,842 jiwa (2010) menjadi 3,889,540 jiwa (2030). Intervensi green budgeting RTH cukup signifikan dari Rp. 47.252.106.219 (2010) meningkat menjadi Rp. 498.277.894.342 (2030). Nilai kenyamanan yang diukur dengan THI yang dihasilkan dari 27,630C (2010) menjadi 27,600C (2030). Kondisi ini berbeda jika simulasi model tanpa intervensi kebijakan dimana THI sebesar 27,630C (2010) menjadi 28,400C. Sekenario optimis dengan kinerja green budgeting yang makin baik menambah luas RTH dari 3.627 ha menjadi 4.874 ha. Bertambahnya luasan lahan RTH menyebabkan


(6)

kelembaban udara (RH) naik dari semula 70,57 % (2010) menjadi 70,63 % (2030). Kenaikan kelembaban udara diikuti turunnya suhu yang semula 29,350C (2010) menjadi 29,320C (2030). Fakta turunnya suhu sebesar 0,030C akibat bertambahnya luasan lahan RTH dari 3.627 ha (2010) menjadi 4.874 ha (2030). Hasil simulasi terhadap kondisi aktual/eksisting diprediksi terjadi penurunan luas lahan RTH dari 4.998 ha (2005) menjadi 1.295 ha. Berkurangnya RTH lebih dari 50% tersebut diikuti peningkatan suhu udara sebesar 0,90C dari 29,24 °C menjadi 30,21°C.

Kesimpulan dari hasil simulasi yang diperoleh pada ketiga skenario, maka skenario optimis merupakan skenario yang tepat digunakan sebagai strategi pengalokasian RTH berdasarkan penganggaran daerah berbasis lingkungan. Skenario tersebut mampu mengakomodasi terpenuhinya kebutuhan 20% RTH publik pada tahun 2030, apabila skenario belanja RTH sudah dimulai tahun 2010. Target 20 tahun pembangunan lingkungan khususnya RTH seyogyanya menjadi acuan dalam RTRW Kota Bekasi 2010-2030.

Hasil analisis dengan pendekatan AHP dan FGD menunjukkan alternatif kebijakan diprioritaskan pada 2 kebijakan utama, yaitu: kebijakan pembangunan infrastruktur pertanian/RTH (bobot 0,192), dan kebijakan pengadaan lahan RTH (bobot 0,185). Prioritas kebijakan tersebut menekankan pentingnya komitmen penganggaran hijau (green budgeting) disertai pengendalian yang tinggi khususnya disinsentif pajak dan pengetatan ijin membangun.

Strategi kebijakan melalui tahapan refungsionalisasi kawasan sempadan situ, saluran irigasi, sempadan sungai, daerah kawasan lindung resapan air, revitalisasi taman-taman kota dan RTH di jalan protokoler serta lahan fasos-fasum. Pilihan strategi kebijakan kedua dan seterusnya yaitu pengadaan lahan sebagai kawasan lindung, pengadaan lapangan olah raga untuk kegiatan kreatif/prestasi dan rekreatif serta wahana interaksi sosial warga termasuk pencanangan program one village one play ground. Langkah berikutnya adalah arahan kebijakan penerapan mekanisme insentif dan disinsentif sepanjang pemerintah belum mampu melaksanakan pengadaan lahan RTH. Pendekatan penganggaran menggunakan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM/MTEF).


(7)

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

(STUDI KASUS KOTA BEKASI)

SUWARLI

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

DOKTOR

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

Penganggaran Daerah Berbasis Lingkungan (Studi Kasus Kota Bekasi)

Nama Mahasiswa : Suwarli

NRP : P 062074174

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Ketua

Dr Ir Widiatmaka, DEA

Anggota

Dr Ir Kholil, M.Kom

Anggota

Dr Ir Eka Intan K. Putri, M.Sc.

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr Ir Cecep Kusmana, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.


(10)

Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan Dan Strategi Pengalokasian Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Penganggaran Daerah Berbasis Lingkungan (Studi Kasus di Kota Bekasi) dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi berupa arahan kebijakan strategi pengalokasian RTH dalam penganggaran daerah berbasis lingkungan (green budgeting).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus., sebagai ketua komisi pembimbing, Dr Ir Widiatmaka, DEA., Dr Ir Eka Intan K.P, MSc. dan Dr Ir Kholil, M.Kom, masing-masing sebagai anggota komisi, atas bimbingannya dalam penyusunan disertasi ini. Demikian juga kepada Dr Ir Dahrul Syah, MSc., selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Prof.Dr Ir Cecep Kusmana MS., selaku Ketua Program Studi PSL . Ucapan terima kasih yang sama juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr Ir Surjono H. Sutjahjo, MS., Prof. Dr Ir I Made Nengah Suradjaya dan Dr Ir Nurisjah, sebagai penguji pada sidang luar komisi pada ujian prelim, serta Prof. Dr Marimin, MSc., Dr Ir Ernan Rustiadi, MSc., Dr Ir Nurisjah dan Dr Ir Syaiful Anwar sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kota Bekasi yang telah memberi kesempatan studi program S3 SPs IPB. Hal yang sama diucapkan terima kasih kepada para kepala dinas, anggota Komisi C dan unsur pimpinan DPRD Kota Bekasi serta LSM/stakeholders pemerhati lingkungan yang berpartisipasi selama proses penelitian ini. Selanjutnya, ucapan terima kasih ditujukan kepada keluarga penulis sendiri atas motivasi dan sarannya dalam proses penulisan yang cukup melelahkan tetapi membuahkan karya yang monumental bagi penulis.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangannya, untuk itu kritik dan saran, penulis harapkan dari semua pihak guna penyempurnaan disertasi ini.

Bogor, Juli 2011


(11)

Penulis dilahirkan di Bekasi Jawa barat pada tanggal 10 Mei 1965, sebagai putra ke empat dari sembilan bersaudara pasangan H.D. Saidi dan Alm. Hj. Sukarni. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pada SMA Negeri 1 Bekasi pada tahun 1984, kemudian menyelesaikan pendidikan S1 pada Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung tahun 1990 dan meraih gelar Magister Ilmu Pemerintahan di Universitas Setyagama Jakarta tahun 2000. Sejak Februari 2008 penulis memulai pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Saat ini penulis adalah pegawai negeri dan menjabat sebagai Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Bekasi.


(12)

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Kerangka Pemikiran ... 8

1.6. Kebaruan (Novelty) ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Penggunaan Lahan dan Tutupan Lahan ... 14

2.2. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan ... 16

2.3. Fungsi dan Peran Ruang Terbuka Hijau Dalam Penataan Ruang ... 19

2.4. Penganggaran Berbasis Lingkungan Sebagai Perangkat Manajemen Lingkungan ... 35

2.5. Penganggaran Daerah Berbasis Lingkungan (Green Budgeting) ... 42

2.6. Pendekatan Sistem ... 53

2.7. Proses Hirarki Analisis ... 59

2.8. Tinjauan Studi-Studi Terdahulu Tentang Kajian Lahan dan RTH ... 62

III. METODE PENELITIAN ... 65

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 65

3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 65

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 66

3.4. Rancangan Penelitian ... 67

3.4.1. Terminologi ... 70

3.4.2. Kajian Pola Perubahan Penggunaan Lahan ... 71

3.4.3. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan RTH (RTH) ... 73

3.4.4. Penyusunan Disain Model Pengalokasian RTH Berbasis Penganggaran Daerah (green budgeting RTH). ... 78

3.4.4.1.1 Analisis Kebutuhan (Need Analysis) ... 79

3.4.4.1.2 Formulasi Permasalahan ... 80


(13)

3.4.4.1.3 Identifikasi ... 80

3.4.4.1.4 Konseptualisasi Sistem ... 81

3.4.4.1.5 Perumusan Model ... 86

3.4.4.1.6 Analisis Perilaku Model ... 86

3.4.4.1.7 Pengujian Model ... 86

3.4.5. Prioritas Kebijakan Strategi Green Budgeting RTH ... 88

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN ... 92

4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Ruang Makro ... 92

4.2. Administrasi Pemerintahan ... 95

4.3. Kondisi Fisik Dasar ... 96

4.4. Kependudukan ... 97

4.5. Rencana Tata Ruang Wilayah dan Penggunaan Lahan/Land Use ... 99

4.5.1. Kawasan Lindung ... 99

4.5.2. Kawasan Budidaya ... 103

4.6. Perekonomian Daerah ... 105

4.7. Perizinan ... 108

4.8. Keuangan Daerah ... 109

V. ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN ... 113

5.1. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan ... 113

5.2. Pola Perubahan Penggunaan Lahan... 122

5.3. Arahan Pengembangan RTH Kota Bekasi ... 124

5.4. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan ... 131

VI. DISAIN MODEL STRATEGI PENGALOKASIAN RTH BERBASIS PENGANGGARAN DAERAH... 135

6.1. Identifikasi Sistem Kawasan Perkotaan ... 135

6.2. Simulasi Model Strategi Pengalokasian RTH Berbasis Green Budgeting ... 137

6.3. Pengujian Model ... 152

6.4. Skenario intervensi model ... 155

6.5. Analisis Model Strategi Green Budgeting RTH ... 164

3.4.4.2 Analisis Kebijakan Pengalokasian RTH Berbasis Green Budgeting ... 87

6.4.1. Skenario Pesimis ... 160

6.4.2. Skenario Moderat ... 162


(14)

VII.ARAHAN KEBIJAKAN GREEN BUDGETING RTH ... 168

7.1. Prioritas Kebijakan Berdasarkan Pendapat Stakeholders ... 168

7.2. Analisis Prioritas Kebijakan Strategi Pengalokasian RTH ... 173

7.3. Arahan Rekomendasi Kebijakan ... 176

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 197

8.1. Kesimpulan ... 197

8.2. Saran ... 198

DAFTAR PUSTAKA... 200


(15)

Tabel Halaman

1.

Luas rencana pemanfaatan ruang Kota Bekasi tahun 2000-2010……… 8

2.

Dinamika luasan RTH Kawasan Jabotabek……….. 17

3.

Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk………. 24

4.

Skala banding secara berpasangan……… 60

5.

Skala perbandingan dalam mengekspresikan pendapat………. 61

6.

Rangkuman hasil penelitian terdahulu (review jurnal)……….. 63

7.

Peubah dan sumber data……….. 66

8.

Kriteria stakeholders, instansi, dan jumlah responden………. 67

9.

Matriks rangkuman tujuan, jenis data, parameter, teknik analisis data dan output……….. 69

10.

Matriks variabel regresi dan definisinya……….. 77

11.

Pertimbangan kebijakan makro terhadap RTRW Kota Bekasi……… 93

12.

Perkembangan jumlah penduduk Kota Bekasi (2005-2008)………... 98

13.

Rencana kawasan lindung Kota Bekasi 2000-2010………. 99

14.

Identifikasi ketersediaan RTH Publik di Kota Bekasi……….. 101

15.

Rencana pengembangan RTH di Kota Bekasi……… 102

16.

Penggunaan lahan terbangun dan lahan RTH menurut kecamatan tahun 2001-2009……….. 103

17.

Pembagian BWK dan arahan pengembangan tiap Sub BWK……….. 104

18.

Angka agregatif PDRB per kapita Kota Bekasi tahun 2005-2008………… 107

19.

Distribusi PDRB Kota Bekasi Tahun 2005-2008 (%) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000………... 107

20.

Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam unit rumah………. 108

21.

Banyaknya perusahaan yang mendapatkan SIUP tahun 2004-2008…….. 109

22.

Realisasi penerimaan APBD Kota Bekasi tahun 2004-2008……… 109

23.

Anggaran pengelolaan lingkungan hidup………. 110

24.

Produk hukum terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup……….. 111

25.

Kelompok lahan RTH tahun 1989………. 114

26.

Luas jenis penggunaan lahan Kota Bekasi tahun 1989-2009……….. 120

27.

Jenis dan luas lahan RTH per kecamatan di Kota Bekasi tahun 2009………. 126

28.

Lahan terbangun dan lahan lainnya berdasarkan kecamatan tahun 2009………. 127


(16)

30.

Data analisis regresi………. 131

31.

Dependent Variable: lahan RTH……… 132

32.

Variabel penduduk yang digunakan dalam pemodelan strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting……… 138

33.

Jumlah penduduk (jiwa) Kota Bekasi selama periode tahun simulasi……. 141

34.

Formulasi sub sistem lahan RTH………... 143

35.

Data simulasi Lahan RTH, kelembaban (RH), suhu terhadap RTH dan THI………. 143

36.

Variabel ekonomi (Green Budgeting RTH) yang digunakan dalam pemodelan strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting………. 147

37.

Prediksi penerimaan APBD dan kinerja green budgeting RTH (Rp)…….. 148

38.

Rasio angaran pengelolaan LH, sampah dan RTH……… 150

39.

Data validasi model berdasarkan perkembangan jumlah penduduk……… 153

40.

Data validasi model berdasarkan perubahan lahan RTH……….. 153

41.

Data validasi model green budgeting RTH aktual di Kota Bekasi………... 154

42.

Skenario intervensi parameter model……….. 156

43.

Asumsi dukungan anggaran kebijakan pengendalian penduduk…………. 157

44.

Harga terendah dan tertinggi NJOP per kecamatan……….. 159

45.

Prediksi simulasi target pendapatan APBD antar skenario………... 160

46.

Hasil simulasi dengan menggunakan skenario pesimis……… 161

47.

Hasil simulasi dengan menggunakan skenario moderat……… 162

48.

Hasil simulasi dengan menggunakan skenario optimis………. 164

49.

Perbandingan prediksi penduduk antar skenario……… 166

50.

Perbandingan prediksi lahan permukiman terbangun antar skenario……. 166

51.

Skala prioritas aspek tujuan……… 170

52.

Skala prioritas kriteria untuk aspek pendapatan pajak……….. 170

53.

Skala prioritas kriteria untuk aspek belanja RTH dengan MTEF………….. 171

54.

Skala prioritas stakeholders untuk peningkatan pajak………... 171

55.

Skala prioritas stakeholders untuk pengurangan pajak………. 172

56.

Skala prioritas stakeholders untuk program mempertahankan RTH eksisting………... 172

57.

Skala prioritas stakeholders untuk penambahan luas RTH……….. 173

58.

Perbandingan fakta kondisi aktual lahan bervegetasi RTH dengan arahan draft RTRW 2010-2030 ……….………….179


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.

Kerangka pemikiran penelitian ... 11

2.

Klasifikasi fungsi Ruang Terbuka Hijau ... 22

3.

Perbandingan luas RTH perkapita pada beberapa kota besar dunia ... 29

4.

Spektrum biaya lingkungan ... 39

5.

Kerangka cakupan akuntansi lingkungan... 39

6.

Klasifikasi instrumen ekonomi lingkungan... 41

7.

Tahapan pemodelan pendekatan sistem ... 54

8.

Jenis-jenis model ... 56

9.

Tahap-tahap pembuatan simulasi model ... 58

10.

Bagan alir penelitian ... 68

11.

Tahapan pengelolaan RTH kota dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik ... 78

12.

Rancangan integratif dari diagram sebab-akibat sistem green budgeting RTH ... 81

13.

Flow diagram sub model penduduk, green budgeting RTH dan lahan RTH ... 82

14.

Diagram input-output strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting... 85

15.

Bagan alir tahapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah ... 90

16.

Struktur hierarki strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan (green budgeting) dalam pengalokasian RTH. ... 91

17.

Luas wilayah menurut kecamatan ... 96

18.

Kawasan lindung (resapan air) Karang Kitri dan area tangkapan air di sekitar Mall Metropolitan/Pintu Toll Bekasi Barat... 100

19.

Kondisi RTH pada area sempadan situ dan sungai di Kota Bekasi yang terpenetrasi oleh kegiatan terbangun ... 101

20.

Kondisi lahan RTH pada area kawasan pertanian di Kota Bekasi yang terpenetrasi oleh kegiatan terbangun ... 105

21.

LPE Kota Bekasi Tahun 2005-2006 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 ... 106

22.

Peta penggunaan lahan Kota Bekasi tahun 1989 ... 115

23.

Peta penggunaan lahan Kota Bekasi tahun 2000 ... 116

24.

Peta penggunaan lahan Kota Bekasi tahun 2005 ... 117


(18)

26.

Persentase tutupan lahan Kota Bekasi tahun 2000 ... 119

27.

Persentase tutupan lahan Kota Bekasi tahun 2005 ... 119

28.

Persentase tutupan lahan Kota Bekasi tahun 2009 ... 120

29.

Dinamika perubahan penggunaan lahan Kota Bekasi... 121

30.

Peta penggunaan lahan Kota Bekasi tahun 2009 ... 125

31.

Peta arahan pengembangan RTH Kota Bekasi ... 128

32.

Flow diagram sub model penduduk ... 139

33.

Grafik hasil simulasi jumlah penduduk periode 2005-2030 ... 140

34.

Grafik Lahan RTH di Kota Bekasi ... 144

35.

Flow diagram submodel lahan RTH ... 144

36.

Grafik hasil simulasi Green Budgeting RTH periode 2005-2030 ... 148

37.

Flow diagram submodel green budgeting RTH ... 149

38.

Grafik perbandingan penduduk aktual dan penduduk hasil simulasi ... 153

39.

Grafik perbandingan RTH aktual dan RTH hasil simulasi ... 154

40.

Grafik perbandingan green budgeting RTH aktual dan simulasi ... 154

41.

Grafik hasil simulasi skenario pesimis ... 161

42.

Grafik hasil simulasi green budgeting RTH dengan lahan RTH ... 162

43.

Grafik hasil simulasi skenario optimis ... 163

44.

Grafik perbandingan hasil simulasi gabungan ... 165

45.

Rincian alternatif kebijakan ... 174

46.

Struktur hirarki strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting... 175

47.

Diagram alir model konseptual kebijakan strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting ... 176

48.

Skema arahan strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting... 178

49.

Bagan alir tahapan MTEF dalamgreen budgeting RTH ... 188


(19)

Lampiran Halaman

1.

Glossary dan Definisi ... 208

2.

Simpangan pemanfaatan kawasan Ruang Terbuka Hijau ... 212

3.

Perubahan penggunaan lahan 1989-2000 Kota Bekasi ... 212

4.

Perubahan penggunaan lahan 2000-2005 Kota Bekasi ... 213

5.

Perubahan penggunaan lahan 2005-2009 Kota Bekasi ... 213

6.

Lahan RTH tahun 1989 ... 213

7.

Lahan RTH tahun 2000 ... 214

8.

Lahan RTH tahun 2005 ... 214

9.

Lahan RTH tahun 2009 ... 214

10.

Lahan terbangun dan lainnya tahun 1989 ... 215

11.

Lahan terbangun dan lainnya tahun 2000 ... 215

12.

Lahan lahan terbangun dan lainnya tahun 2005 ... 215

13.

Lahan lahan terbangun dan lainnya tahun 2009 ... 216

14.

Hasil perhitungan regresi berganda ... 216

15.

Hierarki AHP ... 217

16.

Standar kebutuhan lahan terbangun m2 per jiwa ... 218

17.

Tabel luas lahan sawah menurut frekuensi penanaman dan hasil produksi (ton/tahun) tahun 2008 ... 219

18.

Tabel luas pemanfaatan lahan untuk taman/jalur hijau kota per- kecamatan di Kota Bekasi tahun 2009 ... 220

19.

Tabel realisasi kegiatan penghijauan tahun 2009 ... 221

20.

Tabel luas lahan sawah menurut kecamatan dan jenis pengairan (ha) tahun 2008 ... 222

21.

Inventarisasi situ di Kota Bekasi tahun 2009 ... 222

22.

Alternatif Simulasi Kebijakan Model ... 223

23.

Jumlah Penduduk menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin 2009 ... 223

24.

Penambahan lahan RTH pada skenario aktual, pesismis dan moderat ... 224

25.

Potensi definitif penerimaan PBB dan BPHTB se Jabotabek ... 224

26.

Format formulir MTEF pada Rencana Kerja dan Anggaran SKPD ... 225

27.

Kerangka acuan kerja good governance (Yunus, 2005) ... 225


(20)

29.

Selang Kenyamanan beberapa negara ... 226

30.

Anggaran Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) dan RTH ... 227

31.

Matrik RPJMD Kota Bekasi ... 228

32.

Equations Sistem Dinamik ... 229


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Membangun kawasan perkotaan seringkali berhadapan dengan cepat tumbuhnya penduduk tanpa diimbangi oleh kesiapan dan konsistensi dalam penataan ruang. Pemerintah kota senantiasa berhadapan dengan manajemen tambal sulam dalam membangun struktur dan pola ruang kotanya. Manajemen tersebut dipengaruhi tidak saja oleh karena persoalan tekanan pertumbuhan penduduk yang tinggi, tetapi juga keinginan memaksimalkan angka laju pertumbuhan ekonomi (LPE) daerah dengan memarjinalisasi lahan RTH sebagai fungsi kawasan lindung kota. Akibatnya timbul inkonsistensi tata kelola ruang berdimensi jangka panjang. Mengabaikan tingginya konversi lahan pertanian/lahan RTH lainnya menjadi ruang terbangun (RTB) dan cenderung mengancam keberlanjutan pembangunan itu sendiri.

Pembangunan yang pesat di Kota Bekasi baik pada sektor perumahan, industri padat teknologi, pusat perbelanjaan mewah, dan sentra perkantoran merupakan instrumen yang mewadahi kepentingan sektor ekonomi. Permasalahannya, hal ini dikerjakan dengan mengkonversi lahan pertanian secara besar-besaran. Fenomena ini menunjukkan cara-cara yang salah dalam mengelola ekosistem sumber daya lingkungan kota.

Kerusakan lingkungan hidup sering menjadi taruhan dari pesatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara. Paradigma ini berorientasi atau prioritas utamanya menciptakan pertumbuhan dan mekanisme pasar menjadi pijakan pembangunan (Sitorus, 2009). Orientasi pembangunan ekonomi dengan alasan memfasilitasi tingginya pertumbuhan penduduk juga menjadi pemicu dan alat penekan terjadinya deviasi atau simpangan pemanfaatan ruang yang tidak menguntungkan secara ekologis.

Penyimpangan struktur dan pemanfaatan ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) umumnya terjadi karena tekanan tingginya pertumbuhan penduduk, terutama akibat arus urbanisasi (Dardak, 2006a). Perkembangan spasial yang tidak terkendali tersebut bukan berarti kota tidak mempunyai konsep tata ruang/tata spasialnya. Formulasi tata spasial dan aplikasinya kalah cepat berpacu dengan proses perubahan spasial yang ada di


(22)

lapangan, karena permasalahan yang berkaitan dengan aplikasi peraturan tidak dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen (Yunus, 2005).

Fakta penyimpangan tata spasial terjadi pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bekasi. Hasil evaluasi yang dilakukan pada tahun 2005 terhadap Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2000 tentang RTRW Kota Bekasi menyimpulkan bahwa telah terjadi simpangan besar dalam hal struktur dan pola pemanfaatan ruang kota. Diketahui bahwa penyimpangan struktur dan pola pemanfaatan ruang tersebut termasuk ke dalam Tipologi III yaitu kondisi RTRW absah, simpangan besar, dan faktor eksternal berubah. Tipologi hasil peninjauan tersebut didasarkan pada ketentuan Kepmenkimpraswil No. 327/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Peninjauan Kembali RTRW Kota (Bappeda Kota Bekasi, 2008).

Konsekuensi terjadinya simpangan besar khususnya terhadap pola pemanfaatan ruang, umumnya berakibat kepada sub optimalisasi RTH atau memarjinalkan lahan bervegetasi. Menurunnya kuantitas RTH, dari aspek ekologi, dapat mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan seperti banjir, tingginya polusi udara, rendahnya kualitas air tanah, dan kebisingan. Kondisi tersebut, dari aspek ekonomi dan sosial juga dapat menurunkan tingkat produktivitas atau kontra produktif masyarakat akibat stres. Biaya kesehatan berkorelasi positif terhadap peningkatan environmental stress, sehingga biaya ini dapat dijadikan proxy terjadinya penurunan kualitas lingkungan (Putri, 2009). Polusi udara yang berlebihan menyebabkan kelainan genetik, menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak dan tingkat harapan hidup masyarakat dan fenomena perilaku sosial yang destruktif seperti vandalisme dan kriminalitas (Dardak, 2006a). Hal ini terjadi karena terbatasnya akses ruang publik sebagai sarana interaksi sosial dan pelepas ketegangan psikis.

Perencanaan tata ruang dalam konteks pengalokasian RTH dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi budidaya dan fungsi lindung sebagaimana amanat UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Ketidakmampuan menyeimbangkan kedua fungsi tersebut menunjukan lemahnya komitmen politik tata ruang. Kegagalan politik tata ruang dapat diukur dari kurangnya keinginan untuk membiayai program RTH (green budgeting RTH), lemahnya kekuasaan menindak, melarang, dan menghentikan kegiatan yang melanggar ketentuan atau terjadinya inkonsistensi


(23)

perijinan. RTRW sering hanya dilihat pemerintah sebatas formalitas yang didokumentasikan sebagai peraturan daerah guna memenuhi ketentuan atau aturan di atasnya.

Konsep pemanfaatan ruang dalam undang-undang tersebut adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Menurut Djakapermana (2008) belum sepenuhnya rencana tata ruang dijadikan usaha preventif dalam proses pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Euphoria Otonomi Daerah yang lebih berorientasi pada peningkatan PAD yg bersifat jangka pendek (dibanding peningkatan PDRB dalam jangka panjang), serta keinginan mengembangkan infrastruktur regional secara sendiri-sendiri yang menjadi tidak efisien.

Dengan demikian ada dua kekuatan yang memarjinalisasi program keberlanjutan RTH kota. Pertama, faktor teknis yaitu keseriusan pemerintah menjaga konsistensi manajemen pengelolaan RTH. Kedua, faktor nonteknis, kepedulian stakeholders mengendalikan arahan pemanfaatan RTH dan tekanan permintaan ekonomi pasar terhadap politik tata ruang, termasuk dukungan politik penganggaran RTH (green budgeting RTH). Pilihan mengendalikan konversi RTH dengan pendekatan regulasi insentif dan disinsentif bagi kawasan perkotaan tidaklah mudah bagi pemerintah kota, tetapi persoalan penatagunaan lahan juga tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu melakukan regulasi termasuk dalam hal belanja program tata ruangnya.

Sebagai gambaran, lahan pertanian dan perkebunan tentunya tidak akan dapat dipertahankan masyarakat karena nilai pajak tanah perkotaan yang tinggi dan tidak sebanding dengan hasil panen mereka. Masyarakat pemilik lahan seringkali memilih menjual lahan karena harga tanah yang tinggi dapat dijadikan sebagai modal usaha lain. Dengan kondisi seperti ini, tidak ada pilihan lain, pemerintah berkewajiban membeli lahan tersebut sebagai upaya mempertahankan ruang terbuka hijau. Dalam teori penatagunaan lahan (Widiatmaka dan Hardjowigeno, 2007), sekurang-kurangnya tanah atau lahan mempunyai tiga jenis nilai (rent) yaitu Ricardian Rent (mencakup sifat kualitas tanah), Locational Rent (aksesibilitas lokasi tanah) dan Environment Rent (tanah sebagai komponen utama ekosistem). Land rent ini muncul karena lahan telah


(24)

menjadi barang langka sebagai akibat dari tingginya permintaan lahan dan hak-hak akses atas lahan, yang menjadi kendala dalam pemanfaatannya (Rustiadi, et al. 2007).

Idealnya, pengendalian lahan oleh pemerintah harus mampu mengoptimalkan pemanfaatan ketiga jenis rent tersebut sekalipun pada kawasan perkotaan. Dalam kondisi lahan RTHyang semakin menyusut, diupayakan agar pemerintah menguasai/mengalokasikan dana untuk pengadaan lahan bagi kebutuhan RTH publik. Program-program penganggaran RTH saat ini belum secara optimal dimasukkan dalam penganggaran tahunan daerah (APBD) dan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bekasi.

Dalam konteks keterbatasan anggaran, pemerintah daerah dapat melakukan pendekatan Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) atau Medium Term Expenditure Framework (MTEF) yang secara partisipatif disepakati bersama antara eksekutif dan legislatif daerah (DPRD) Kota Bekasi. Undang-undang tentang Pemerintah Daerah mengamanatkan bahwa peran daerah menjadi sangat penting sebagai ujung tombak pelaksanaan pembangunan, dimana pendanaan lingkungan hidup menjadi salah satu kewenangan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah demi mendukung upaya penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (UU No. 32 tahun 2004a).

Kota Bekasi baru memiliki RTH publik seluas 778 ha (3,7%), sedangkan laju penurunan lahan RTH rata-rata 5-7% pertahun tidak diimbangi kinerja pengelolaan RTH yang optimal. Kinerja program pengelolaan RTH selama periode tahun 2005-2009 rata-rata hanya mendapatkan porsi 0,07% dari penerimaan APBD atau tidak lebih dari 1 milyar (Bappeda, 2010; Dinas LH, 2009). Esensi permasalahan yang terjadi di Kota Bekasi adalah alih fungsi lahan yang cepat tanpa diikuti kinerja dukungan penganggaran atas kewajiban daerah memenuhi 20 persen RTH publik kotanya.

Dalam upaya memberikan arahan kebijakan, maka penelitian dinamika perubahan penggunaan lahan dan strategi pengalokasian RTH berdasarkan penganggaran daerah berbasis lingkungan di Kota Bekasi penting dilakukan. Diharapkan, hasil penelitian ini bernilai strategis, karena kebijakan pendanaan lingkungan saat ini merupakan salah satu indikator keberhasilan kinerja


(25)

pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan (Good Environment Governance).

1.2. Perumusan Masalah

Disadari bahwa penduduk Kota Bekasi memiliki kebutuhan yang sangat mendasar untuk lingkungan udara yang sehat, ketersediaan air tanah, dan ruang sebagai sarana berinteraksi sosial. Oleh karena itu, diperlukan ruang untuk mewadahinya yang sering disebut RTH yang juga berperan sebagai ruang publik kota (public space). Perubahan penggunaan lahan yang cepat di Kota Bekasi telah menggusur RTH menjadi ruang terbangun (RTB) tanpa pengendalian yang maksimal sehingga memarjinalkan konsep kota hijau (green city) sebagai suatu sistem ekologi kota yang utuh. Dampak marjinalisasi pengelolaan RTH kota secara luas dapat dikategorikan dalam dua hal, yaitu dampak ekologi dan dampak sosial-ekonomi (Briassoulis 1999). Fenomena konversi lahan yang cepat dengan memarjinalisasi RTH, menyebabkan secara ekologis sulit bagi Kota Bekasi untuk dapat mewujudkan atau mempertahankan kawasan lindung sebagai area untuk kelestarian hidrologis, pengembangan keanekaragaman hayati, area penciptaan iklim mikro dan reduktor polutan kota.

Sebagai gambaran, pada Lampiran 2 disajikan simpangan pemanfaatan ruang kawasan terbuka hijau yang terjadi pada tahun 2005 dibandingkan dengan apa yang direncanakan berdasarkan RTRW tahun 2000–2010. Berdasarkan arahan RTRW tersebut, beberapa jenis RTH seperti rencana kawasan pertamanan dan penyediaan lapangan olah raga pada setiap wilayah kecamatan tetapi faktanya tidak dapat direalisasikan bahkan lahan yang ada dikonversi menjadi ruang terbangun (RTB). Demikian pula dengan lahan pertanian yang seyogyanya dipertahankan pada dua kecamatan yaitu Bantargebang dan Jatisampurna, sebagian telah terpenetrasi oleh kegiatan terbangun terutama oleh permukiman skala besar.

Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Kota Bekasi belum memiliki rencana target luasan 20 persen RTH publik yang ditetapkan secara jelas baik lokasi maupun mekanisme pencapaiannya, sehingga diduga sulit merealisasikan kewajiban pemerintah tersebut tanpa tahapan yang jelas.


(26)

2. Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang berupa regulasi penerbitan izin diduga tidak konsisten dengan arahan RTRW, disamping lemahnya dukungan penganggaran daerah (green budgeting RTH) sehingga sulit memproteksi kepemilikan RTH privat untuk kepentingan publik di kawasan perkotaan.

3. Program-program penganggaran daerah berbasis lingkungan, khususnya pengelolaan RTH kota saat ini belum secara optimal dimasukkan dalam penganggaran tahunan daerah (APBD) melalui pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM/MTEF). Jika tidak dilakukan pengendalian bersama seluruh stakeholders, maka simpangan besar ini menjadi ancaman terhadap ekologi kota.

Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian terhadap dukungan sumber pembiayaan dari APBD hijau (green budgeting). Pentingnya APBD hijau/penganggaran hijau (green budgeting), merupakan amanat Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) dalam hal ini upaya untuk mempertahankan dan memenuhi kawasan RTH sebagai bagian dari ekosistem kota.

Dari uraian pokok permasalahan di atas, maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana dinamika dan pola perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kota Bekasi selama 20 tahun terakhir (1989 sampai dengan 2009)?

2. Faktor-faktor penting apa yang mempengaruhi dinamika perubahan penggunaan lahan dari yang tadinya lahan terbuka menjadi lahan/ruang terbangun (RTB)?

3. Bagaimana mendisain model untuk memprediksi pola interaksi antara pertumbuhan penduduk (aspek sosial), perubahan pengunaan lahan RTH (aspek ekologi) dan penganggaran RTH pada APBD/Green Budgeting RTH (aspek ekonomi) dalam rangka mewujudkan keberlanjutan pengelolaan RTH Kota Bekasi?

4. Bagaimana arahan prioritas strategi kebijakan pengalokasian RTH berdasarkan penganggaran daerah berbasis lingkungan/APBD hijau (Green Budgeting RTH)?

Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut diperlukan kajian ilmiah dengan menggunakan pendekatan sesuai dengan permasalahan yang akan


(27)

dipecahkan. Setiap kajian yang dilakukan terkait satu sama lain sebagai satu kesatuan.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui dinamika dan pola perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan bervegetasi.

3. Mendisain struktur model pengalokasian RTH berbasis penganggaran daerah (green budgeting RTH).

4. Merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengalokasian RTH berbasis penganggaran daerah (green budgeting RTH).

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memiliki kontribusi dalam pengembangan ilmu lingkungan berupa konsep model penataan ruang terbuka hijau kota untuk mendukung pembangunan kota yang berkelanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial. Hasil akhir penelitian merupakan sebuah pengkayaan dan formula yang optimal bagi penataan ruang yang bersifat partisipatif di Kota Bekasi baik masa kini dan yang akan datang. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan sumbangsih bagi praktisi kebijakan. Secara rinci manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Bagi stakeholders, sebagai pedoman keterlibatan peran aktif masyarakat dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian RTH kota serta komitmen politik penganggaran daerah berbasis lingkungan (green budgeting).

b. Bagi pemerintah Kota Bekasi, sebagai masukan dalam menyusun kebijakan manajemen penataan RTH dan mencegah marjinalisasi pengelolaan RTH yang berakibat terjadinya degradasi lingkungan kota.

c. Memberi sumbangan pada ilmu pengetahuan di bidang manajemen pengelolaan RTH berkelanjutan, khususnya strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan.


(28)

1.5. Kerangka Pemikiran

Rencana tata ruang kota bukan sekedar kumpulan prosedur dan peta yang hanya disimpan dalam file dokumen daerah (Miller, 1986) melainkan bersifat dinamis dan memiliki skema program tata ruang yang hendak dicapai. Inkonsistensi kebijakan pemerintah dan lemahnya dukungan politik tata ruang dicerminkan dari program penganggaran tata ruang dalam APBD. Tekanan penduduk yang tinggi membutuhkan utilitas kota yang cepat, tepat dan proporsional, sehingga fungsi kawasan lindung kota tetap menjamin kualitas kota (livable city) . Masalah tersebut timbul salah satunya karena belum adanya disain kebijakan partisipatif sebagai mekanisme atau alat kontrol masyarakat terhadap belanja daerah (APBD) yang mendukung arahan program RTH Kota. Strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan (green budgeting) dalam pemanfaatan pengendalian ruang terbuka hijau kota merupakan salah satu alat kebijakan yang perlu dikembangkan. Berdasarkan RTRW Kota Bekasi tahun 2000-2010, Kota Bekasi mempunyai luas lahan 21.049 hektar, seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Luas rencana pemanfaatan ruang Kota Bekasi tahun 2000-2010

Jenis Pemanfaatan Luas

ha %

Kawasan Terbangun 16.228,78 77,10

1. Perdagangan dan Jasa 736,73 3,50

2. Pemerintahan dan Bangunan Umum 195,11 0,93

3. Perumahan 11.299,00 53,68

4. Industri 631,47 3,00

5. Pendidikan 210.49 1,00

6. Jaringan Prasarana Perkotaan 3.157,35 15,00

Kawasan Tidak Terbangun 4.820,22 22,90

1. Pertamanan 1.052,45 5,00

2. Lapangan Olah Raga 210,49 1,00

3. Jalur Hijau 2.643,75 12,56

4. Pemakaman 282,06 1,34

5. Pertanian 631,47 3,00

Kota Bekasi 21.049,00 100,00


(29)

Arahan penggunaan lahan dalam RTRW dimaksudkan agar terjadi pemanfaatan ruang yang efektif sesuai dengan arah pembangunan secara keseluruhan, Dari luasan tersebut, 16.228,78 hektar (77%) diantaranya direncanakan akan digunakan untuk berbagai kegiatan sektor pembangunan perkotaan seperti perdagangan dan jasa, industri, permukiman dan sarana umum kota, sementara sisanya seluas 4.820,22 hektar (23%) akan digunakan sebagai lahan RTH (Bapeda Kota Bekasi, 2008). Faktanya, rencana pemanfaatan kawasan tidak terbangun atau penggunaan lahan RTH tersebut menjadi tidak konsisten dalam pengelolaan pembangunan. Luasan RTH pertamanan yang direncanakan 1.052 ha (5%), dalam kenyataanya (Lampiran 19), hanya memiliki luas hutan kota dan taman kota sekitar 56.380 m2 atau 5,6 ha (0,28%). Hal tersebut belum sejalan dengan ketentuan PP No. 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota yang menetapkan bahwa paling sedikit persentase luas hutan kota sekitar 10 persen dari wilayah perkotaan.

Kawasan hijau berupa jalur hijau di sepanjang jalur sungai/situ, jalan utama kota dan jalur kereta api kondisinya sebagian besar sudah terpenetrasi oleh kegiatan terbangun. Konversi lahan akan terus meningkat manakala pemerintah tidak segera menganggarkan belanja daerahnya bagi kepentingan RTH publik. Hal ini karena dari 22,9 atau 23 persen lahan tidak terbangun tersebut sebagian besar masih berupa kebun campuran yang dimiliki oleh warga masyarakat (Private Property).

Pemerintah Kota Bekasi belum terlambat menata sumberdaya lahannya. Oleh karena itu, perlu didisain bentuk wajah kota dengan konsep kota ramah lingkungan yang memilki minimal RTH Publik 20 persen. Kondisi wajah kota yang perencanaannya berbasis kecenderungan (trend driven) yakni meniru kota lain yang dianggap lebih baik hampir terjadi di semua kota yang sedang tumbuh berkembang. Konsep pendekatan perencanaan ini terjadi akibat ketidakmampuan membaca potensi dan visi kota. Menurut Rustiadi (2010b) pendekatan yang demikian bukan pendekatan yang ideal untuk jangka panjang. Idealnya, model pendekatan adalah yang berbasis tujuan (goal driven) dan berbasis visi (vision driven planning). Faktanya, saat ini setiap kota didandani dengan tampilan serba megah seperti gedung pencakar langit, pabrik yang terus berderap setiap detik, dan pusat perbelanjaan yang tidak peka lingkungan (Yustika, 2006). Akibatnya, timbul persoalan kualitas lingkungan udara perkotaan yang buruk dan suhu udara yang tinggi (Urban Heat Island).


(30)

Pemerintah daerah seakan tidak memiliki kekuasaan mempola kotanya sendiri dan pemerintah juga tidak lagi sebagai penentu tunggal untuk mendisain wajah kotanya. Kekuatan pasar (market mechanism) biasanya mengatur operasi bisnisnya berdasarkan aspek keuntungan ekonomi. Semakin besar penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, semakin akan terus diintroduksi. Pada saat ini pembangunan kota-kota di Indonesia seluruhnya berwatak profitopolis yakni wajah kota dikendalikan motif laba dan yang menjadi sutradara adalah pemilik modal, penulis skenarionya adalah pejabat daerah yang rela didikte atau dibayar murah pemilik modal (Yustika, 2004). Watak profitopolis inilah yang menjadi sumber terbesar proses peminggiran petani, khususnya tercermin dalam proses penyempitan lahan.

Kota Bekasi ditetapkan sebagai salah satu kawasan andalan Provinsi Jawa Barat yaitu kawasan dengan sektor unggulan industri, pariwisata, perdagangan dan jasa, pendidikan dan pengetahuan (Bapeda Kota Bekasi, 2008). Posisi Kota Bekasi tentunya memiliki pengaruh terhadap wilayah eksternalnya sebagai pusat pertumbuhan dan pemacu kegiatan ekonomi di sekitarnya. Bila ditinjau dari kebijakan tata ruang wilayah makro yang tertuang baik dalam RTRWN, RTRW Provinsi, maupun RTRW Kawasan Tertentu Jabotabek dan kedudukannya sebagai penyeimbang (counter magnet) ibukota negara, maka berbagai kebijakan, rencana dan program pembangunan di Kota Bekasi mengikuti arahan rencana besar tersebut.

Pada akhirnya karakteristik bagian wilayah kota-kota kecamatan di Kota Bekasi akan menampilkan diri sebagai kota metropolitan dengan intensitas interaksi dan mobilitas yang cukup tinggi. Kuatnya fenomena urbanisasi menyebabkan pertumbuhan penduduk sulit dikendalikan pada wilayah tersebut. Perkembangan penduduk terjadi karena faktor-faktor alamiah dalam demografi yaitu meningkatnya natalitas atau tingkat kelahiran dan makin menurunnya mortalitas atau tingkat kematian, dan juga terjadi karena aliran urbanisasi yang luar biasa. Lonjakan Laju Pertambahan Penduduk (LPP) yang terjadi di Kota Bekasi hanya 30 persen saja yang disebabkan oleh LPP alaminya, sedangkan

70 persen sisanya berasal dari migrasi (BPS Kota Bekasi, 2008).

Selama kurun waktu 11 tahun terakhir (periode tahun 1997 – 2008) tercatat rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 4,14 persen, artinya mengalami tingkat kenaikan sebesar 1,43 persen. Jumlah penduduk Kota Bekasi tahun


(31)

2008 tercatat sebesar 2.238.717 jiwa (Bappeda Kota Bekasi, 2009), data terakhir penduduk Kota Bekasi tahun 2009 berjumlah 2.319.518 jiwa (BPS, 2010). Pada tahun 2000 tercatat kepadatan penduduk Kota Bekasi sebesar 7.904 jiwa/km2, sedangkan pada tahun 2007 kepadatan penduduknya sebesar 10.184 jiwa/km2. Dengan demikian pertumbuhan kepadatan penduduk Kota Bekasi rata-rata adalah sebesar 3,85 persen.

Pengamatan kepadatan yang bervariasi menunjukkan bahwa lokasi yang mempunyai kepadatan yang tinggi berada di bagian pusat Kota Bekasi karena memiliki aksesibilitas yang baik. Peningkatan jumlah populasi secara langsung akan memberi efek berantai pada peningkatan kebutuhan terhadap infrastruktur pada masing-masing wilayah kecamatan baik transportasi, pemukiman, ketersediaan air bersih, sumber energi, maupun kebutuhan terhadap layanan dasar (pendidikan dan kesehatan) dan lain-lain. Konseptualisasi kerangka pemikiran ini disajikan pada Gambar 1

.


(32)

Upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan yang demikian besar cenderung mengabaikan aspek-aspek keberlanjutan pembangunan, terkait dengan keberadaan RTH kota sebagai penyangga masa depan kehidupan. Pertumbuhan penduduk menimbulkan permasalahan yang sangat kompleks dan dinamis. Bertambahnya jumlah penduduk di suatu wilayah mengandung konsekuensi terhadap fungsi-fungsi utilitas kota. Kebutuhan yang tinggi atas utilitas kota tersebut berdampak atau menekan fungsi kawasan lindung dan bertambahnya kawasan budidaya. Persoalan ini menjadi semakin kompleks bila arahan fungsi kawasan lindung dan kawasan budidaya tidak direncanakan secara proporsional dalam RTRW dan didukung dengan komitmen politik penganggaran. Oleh karena itu pendekatan model sistem dinamik untuk mengidentifikasi keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan kebutuhan lahan bervegetasi, penganggaran hijau RTH, perumahan dan sarana lainnya sebagai ruang terbangun (RTB) menjadi penting.

Kualitas hidup masyarakat kota, meliputi aspek fisik (ecology) seperti terjaminnya kualitas udara, air, dan tanah. Terpenuhinya aspek sosial budaya dan ekonomi seperti tersedianya wahana atau tempat untuk menyalurkan kebutuhan sosial budaya, termasuk keberlanjutan sumberdaya alam untuk investasi. Kearifan atas kebijakan RTH menjadi penting untuk menjaga kualitas lahan kota yang semakin terdesak dengan tingginya konversi lahan RTH menjadi RTB.

Sejak RTRW Kota Bekasi 2000-2010 disahkan sebagai Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2000, belum ada strategi kebijakan penganggaran daerah berbasis lingkungan multiwaktu terkait arahan pencapaian target RTH kota, baik berkenaan dengan program pengadaan lahan, dukungan anggaran melalui pendekatan insentif atau pengendalian dari sisi pendekatan disinsentif serta peraturan lainnya yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan RTRW. Deviasi tata ruang Kota Bekasi merupakan masalah hilir dari persoalan pokok (hulu) inkonsistensi perijinan dan dukungan penganggaran APBD berbasis lingkungan dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Penelitian ini dimaksudkan memberikan kontribusi dalam pengembangan kawasan perkotaan secara berkelanjutan (urban sustainability) melalui instrumen strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan (green budgeting).


(33)

1.6. Kebaruan (Novelty)

Dalam penelitian ini unsur kebaruan (novelty) mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Memadukan model kebijakan strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting secara terintegrasi antara pendekatan sistem model dinamik (hard system) dengan soft system (AHP) serta pendekatan analisis spasial yang dapat merancang future scenario kebutuhan RTH kota.

2. Konsep pemikiran baru bahwa alokasi dan arahan pengelolaan RTH kota diikuti dengan disain strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan (green budgeting RTH) melalui pendekatan MTEF (Medium Term Expenditure Framework).


(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penggunaan Lahan dan Tutupan Lahan

Lahan (land) merupakan lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan (Sitorus, 2009). Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang atau tempat. Pemaknaan kalimat ruang terbuka hijau (RTH) dimaksudkan sebagai tempat atau lahan bervegetasi. Pengertian lahan tidak dapat terlepas dari pengertian tanah, terutama dari bentuk tanah yang dipandang sebagai ruang di muka bumi. Oleh karena itu pengertian lahan ada yang sepadan dengan pengertian ruang terbuka (land), dan ada yang sepadan dengan pengertian tanah (soil).

Lahan mempunyai fungsi baik secara ekologis sebagai muka bumi (biophere), tempat di mana ada kehidupan, namun lahan juga memiliki fungsi sosial ekonomi yang dipandang sebagai sarana produksi, benda kekayaan/bernilai ekonomi, maupun mempunyai fungsi sosial untuk kepentingan masyarakat umum. Penjelasan secara rinci penggunaan lahan (land use) melibatkan fungsi dan kegunaan pengelolaan suatu lahan oleh populasi manusia lokal yang secara langsung berhubungan dengan lahan, memanfaatkan sumberdayanya atau melakukan penggarapan atas lahan tersebut (FAO, 1996). Penggunaan lahan diartikan sebagai perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan dan terkait dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan (Lillesand dan Kiefer 1994).

Definisi yang lebih lugas makna penggunaan lahan adalah setiap bentuk campur tangan intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Sitorus, 2004a). Dalam konteks pembangunan kawasan perkotaan, tutupan lahan dapat berbeda maknanya dengan konsep penggunaan lahan. Intervensi manusia terhadap lahan bukan secara langsung dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup tetapi difungsikan sebagai aktivitas investasi, usaha perdagangan dan jasa atau sebagai kawasan pemukiman/tempat tinggal.

Upaya perencanaan penggunaan lahan (land use planning) sangat penting (Sitorus, 1989) untuk mengetahui optimasi daya dukung dan manfaat lahan setelah melalui proses inventarisasi potensi lahan dan penilaian kondisi lahan.


(35)

Analisis ini menghasilkan tingkat optimasi pemanfaatan lahan dan sebagai masukan untuk proses kebijakan pelaksanaan pemanfaatan ruang. Manfaat mendasar evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai tingkat kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi nilai ekonominya (Sitorus, 2004b).

Penggunaan lahan merupakan cermin dari intensitas manipulasi terhadap atribut biofisik suatu lahan (tutupan lahan), sedangkan manipulasi lahan diterjemahkan sebagai “untuk apa suatu lahan dikelola” (Turner lI, et al., 1995). Sementara land cover adalah wujud fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa ada kaitannya dengan kegiatan manusia (Lillesand dan Kiefer 1987). Perubahan tutupan lahan diartikan sebagai ukuran kuantitatif atas bertambah atau berkurangnya perubahan besaran suatu jenis penggunaan lahan atau tutupan lahan.

Pengukuran perubahan tutupan lahan tergantung pada level ruang (spatial) yakni semakin detil level spasialnya semakin besar luas perubahan penggunaan lahan yang dapat dicatat dan direkam (Briassoulis, 1999). Analisis perubahan tutupan lahan didasarkan atas pertanyaan faktor apa saja yang mendorong perubahan penggunaan lahan dan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan atau ekologi, ekonomi, dan sosial. Demikan halnya dengan analisis perubahan penggunaan lahan didasari atas pertanyaan seberapa besar luasan yang berubah, lokasi peruntukan, dan kesesuaian lahan.

Umumnya ada 2 kelompok besar sistem penggunaan lahan yaitu, penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non-pertanian (Arsyad, 2006). Penggunaan lahan pertanian yang sifatnya bervegetasi (RTH) misalnya adalah hutan kota, taman kota, tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, dan sebagainya. Penggunaan lahan non pertanian antara lain adalah penggunaan lahan perkantoran, perdagangan, kawasan industri, perumahan, pertambangan, dan sebagainya. Perubahan penggunaan lahan pada kawasan perkotaan merupakan persoalan yang kompleks dan rumit, khususnya terkait dengan konsep ruang terbuka publik. Tanpa kemauan politik tata ruang maka kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) kota akan termarjinalkan. Kondisi tersebut secara ekologi membuat keberlanjutan daya dukung lingkungan kawasan perkotaaan akan terganggu.


(36)

2.2. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan

Dalam menganalisis perubahan lahan, terminologi perubahan penggunaan lahan diartikan (secara kuantitatif) sebagai perubahan besaran (bertambah atau berkurangnya) suatu jenis penggunaan atau tutupan lahan menjadi penggunaan lahan atau tutupan lahan lain. Perlu dicatat bahwa pendeteksian dan pengukuran perubahan tergantung pada level ruang yakni semakin tinggi detil level spasialnya, semakin besar luas perubahan penggunaan lahan yang dapat dicatat dan direkam (Briassoulis, 1999). Aktivitas perubahan penggunaan lahan umumnya digolongkan ke dalam kategori: (a) konversi, yaitu perubahan dari satu jenis penggunaan/tutupan ke jenis penggunaan/tutupan lainnya, dan (b) modifikasi, yaitu penggunaan atau perubahan pada lahan tertentu tanpa mengubah secara keseluruhan fungsi atau jenis lahan tersebut, seperti mempertinggi intensitas pemanfaatan atau perubahan dari hutan alami menjadi tempat rekreasi (tanpa mengubah kondisi tutupan). Pendapat lain menyatakan bahwa terdapat 4 tipologi kualitatif dari perubahan penggunaan lahan, yaitu : intensifikasi, ekstensifikasi, marjinalisasi, dan pengabaian (Jones dan Clark, 1997). RTH Kota umumnya berada dalam tipologi termarjinalisasi dan hal ini merupakan kenyataan rendahnya politik penganggaran tata ruang dalam membangun lingkungan kota nyaman.

Fokus analisis perubahan penggunaan lahan terletak pada 2 pertanyaan yang saling berkaitan yaitu: (1) Faktor apa yang mendorong atau menyebabkan perubahan penggunaan lahan? dan (2) Bagaimana atau apa dampak dari perubahan penggunaan lahan tersebut baik secara ekologi maupun sosial-ekonomi? Faktor-faktor pendorong perubahan penggunaan lahan biasanya terbagi dalam 2 kategori, yaitu kondisi bio-fisik dan kondisi sosial-ekonomi.

Faktor bio-fisik melibatkan karakteristik dan proses ekologi alamiah seperti cuaca dan variasi iklim, bentukan lahan, topografi, proses geomorfik, erupsi vulkanik, suksesi tumbuhan, jenis tanah, pola aliran, dan ketersediaan sumber daya alam. Faktor sosial-ekonomi melibatkan persoalan demografi, sosial, ekonomi, politik, dan kelembagaan, serta proses-proses yang terjadi di dalamnya seperti perubahan penduduk, perubahan struktur industri, perubahan teknologi, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Faktor bio-fisik biasanya tidak mempengaruhi perubahan penggunaan lahan secara langsung, kebanyakan hanya menyebabkan terjadinya perubahan pada tutupan lahan, atau


(37)

mempengaruhi keputusan pengelolaan terhadap lahan tersebut. Keputusan pengelola terhadap suatu tutupan lahan menjadi faktor yang mendorong perubahan yang berkaitan dengan aktifitas manusia.

Dalam kajian analisis perubahan penggunaan lahan RTH Kota, pemanfaatan teknologi penginderaan jauh merupakan sarana yang tepat (Jaya, 2002). Teknologi ini mampu memberikan informasi secara lengkap, cepat, dan akurat dengan cakupan wilayah yang luas. Analisis spasial merupakan proses ekstraksi atau membuat informasi mengenai feature geografi melalui peramalan dan pendugaan serta penyelesaian masalah. Perhitungan klasifikasi perubahan penggunaan lahan hasil analisis dimaksudkan untuk mengetahui proporsi jumlah ruang terbuka hijau (RTH) yang tersedia dan areal ruang terbangun (RTB) serta penyebarannya.

Hasil interpretasi citra landsat digolongkan menjadi beberapa kelas penggunaan lahan yaitu lahan RTH (kebun campuran, sawah, padang rumput/semak), badan air, jalan, dan lahan terbangun. Sebagai perbandingan, analisis data sekunder yang disajikan pada Tabel 2 merupakan hasil penelitian analisis citra landsat terhadap dinamika luasan RTH kawasan Jabotabek.

Tabel 2 Dinamika luasan RTH Kawasan Jabotabek

Kabupaten / Kota

Luas Ruang Terbuka Hijau (ha) Luas Wilayah

(ha)

1972 1983 1992 2000 2004

Kab. Bogor 269.145 264.479 260.178 230.324 234.945 279.382

Bogor 10.401 9.885 8.06 5.587 4.912 11.342

Kab. Bekasi 66.843 62.53 83.28 71.892 77.904 126.736

Bekasi 16.414 15.836 14.618 8.977 7.24 22.683

Depok 16.78 18.09 17.533 12.935 9.78 19.991

Kab. Tengerang 62.427 77.551 82.739 60.687 66.601 112.612

Tangerang 9.997 8.219 8.468 5.053 3,82 18.538

DKI Jakarta 32.709 20.012 17.956 10.19 7.166 63.533

Sumber : Agrissantika, et al. (2007)

Tabel 2 tersebut menggambarkan bahwa di wilayah Kota Bekasi, luasan RTH pada tahun 2004 adalah 7.240 ha. Lahan RTH tersebut berkisar kurang lebih 34 persen dari luas wilayah yang seluas 21.049 ha. Berdasarkan kajian pendugaan kebutuhan luas hutan kota dengan pendekatan kebutuhan oksigen menggunakan metode Gerakis yang telah dimodifikasi dengan kondisi dan karakteristik Kota Bekasi, pada tahun 2009 luas lahan kota yang diperlukan adalah seluas 10.367 ha berarti masih kekurangan seluas 3000 ha sedangkan


(38)

berdasarkan pendekatan ketersedian air pada tahun 2009 luas lahan kota yang diperlukan adalah seluas 11.550 ha (Panie, 2009). Dari kedua pendekatan tersebut sekurang-kurangnya lahan RTHpaling tidak memiliki proporsi 50 persen dari total luas Kota Bekasi.

Dalam kajian analisis perubahan penggunaan lahan Kota Bekasi pada penelitian ini akan dijelaskan interaksi dan pendugaan antar sub sistem dengan pendekatan sistem dinamis. Sub sistem tersebut antara lain sub komponen sistem ekonomi (dalam hal ini kebijakan penganggaran dari pendapatan dan belanja daerah terhadap RTH/green budgeting RTH), aspek ekologi (Lahan bervegetasi) dan aspek sosial (kependudukan). Bertambahnya luasan fisik kota membawa konsekuensi berkurangnya luasan RTH. Sementara itu, pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi, pada gilirannya akan memacu perubahan penggunaan lahan terbangun dan menekan lahan bervegetasi. Bekerjanya mekanisme pasar akan menyebabkan sebidang lahan yang memiliki kualitas bagus atau jarak relatif dekat dengan pusat pertumbuhan akan dapat berubah penggunaannya sesuai dengan nilai sewa lahan yang lebih tinggi.

Dampak perubahan penggunaan lahan secara luas dikategorikan dalam dua hal, yaitu dampak ekologi dan dampak sosial-ekonomi (Briassoulis, 1999). Dampak perubahan ekologi dan sosial-ekonomi tersebut memiliki hubungan yang sangat dekat dan saling mempengaruhi (feedback). Dampak ekologi mempengaruhi dampak sosial-ekonomi dan begitu pula sebaliknya, yang kedua kembali mempengaruhi dampak ekologi. Dalam penelitian ini, faktor-faktor sosial ekonomi dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab campur tangan manusia yang berdampak kepada perubahan penggunaan lahan seperti perubahan penggunaan lahan untuk permukiman, perindustrian, perdagangan, dan bentuk intervensi kawasan budidaya yang berakibat memarginalkan fungsi kawasan lindung, khususnya terkait pengalokasian RTH publik kota sebagai suatu sistem ekologi yang utuh.

Beragam disiplin ilmu menjelaskan hubungan antara manusia dan sistem ekologinya, terutama tentang keseimbangan penggunaan lahan dan manusia. Teori keseimbangan ekologi (ecological equilibrium), memfokuskan perhatian atas suatu lahan atau wilayah pada empat faktor, yaitu: penduduk, sumberdaya, teknologi, dan kelembagaan yang secara konstan berada dalam keadaan keseimbangan dinamik. Pada konsep ini, perubahan penggunaan lahan


(39)

merupakan hasil dari perubahan dan distribusi penduduk, inovasi teknologi dan restrukturisasi ekonomi, kebijakan dan organisasi sosial. Secara matematis, elemen dasar teori keseimbangan ekologi ini dapat ditulis sebagai I=PAT (Cocosis, 1991). Teori yang menghubungkan antara dampak ekologi (I = Impact) dengan penduduk (P = Population), kesejahteraan/kemakmuran (A = Affluence), dan teknologi (T = Technology).

2.3. Fungsi dan Peran Ruang Terbuka Hijau Dalam Penataan Ruang

Penduduk kota memiliki kebutuhan yang sangat mendasar untuk berinteraksi sosial dan memerlukan ruang untuk mewadahinya yang sering disebut sebagai public space (ruang publik). Salah satu kebutuhan mendasar dari ruang publik bagi masyarakat khususnya di kawasan perkotaan adalah ruang terbuka hijau (Green Open Space). Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya (Dardak, 2006b). Sementara itu, ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai wadah titik genangan air.

Pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi (a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan (b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, pemakaman, berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasifikasi menjadi (a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan (b) bentuk RTH jalur (koridor, linear), berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi (a) RTH kawasan perdagangan, (b) RTH kawasan perindustrian, (c) RTH kawasan permukiman, (d) RTH kawasan


(40)

pertanian, dan (e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah (Lab. Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian – IPB, 2005).

Pengertian RTH secara detil adalah (1) suatu lapangan yang ditumbuhi berbagai tumbuhan pada berbagai strata dari mulai semak sampai pohon berkayu; (2) lahan terbuka tanpa bangunan yang memiliki bentuk, ukuran dan batas geografis di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai penciri utama dan tumbuhan penutup lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan (Purnomohadi, 1995).

Secara umum ruang terbuka (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau (Dardak, 2006b). Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga. Sementara itu dari segi fungsi, RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi.

Fungsi bio-ekologis (fisik) memberi jaminan tersedianya sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), produsen oksigen, penyerap air hujan, dan pengatur iklim mikro. Hasil penelitian keterkaitan RTH dengan Urban Heat Island (UHI) kawasan Jabotabek, membuktikan arti pentingnya mempertahankan RTH. Pengurangan atau penambahan RTH menyebabkan peningkatan atau penurunan suhu udara dengan besaran berbeda, di mana setiap pengurangan 50 persen RTH menyebabkan peningkatan suhu udara hingga 0,4 hingga 1,8 derajat celcius (Effendy, 2007). Hasil penelitian di Jakarta juga membuktikan perbedaan suhu 2-4 derajat celcius di sekitar kawasan teduh RTH dengan yang tidak ada RTH (Purnomohadi, 1995).

Manfaat RTH baik langsung maupun tidak langsung sebagian besar dihasilkan dari fungsi bio-ekologis RTH. Manfaat tanaman bagi kehidupan (biotik), penghasil O2 dan penyerap CO2 serta polutan lainnya menjadikan udara bersih bagi kenyamanan dan kesehatan. Manfaat lain adalah sebagai ameliorasi iklim sehingga menjadi sejuk karena dapat mempengaruhi suhu dan kelembaban udara serta pergerakan angin.


(41)

Dari sudut pandang ekologi, fenomena perubahan suatu lingkungan dapat menyebabkan perubahan ekosistem secara kompleks. Sub-sub sistem pembentuk mata rantai ekosistem seperti flora dan fauna dalam suatu lingkungan akan berkurang bahkan punah bila habitat aslinya dirubah bentuk. Ruang terbuka hijau sebagai salah satu dari elemen-elemen pembentuk kota disamping sebagai paru-paru kota juga memiliki peran yang sangat penting sebagai pusat interaksi dan komunikasi masyarakat baik formal maupun informal, individu atau kelompok.

Fungsi sosial, ekonomi dan budaya tercermin sebagai media komunikasi warga, ekspresi budaya lokal, tempat rekreasi, pendidikan dan penelitian (Purnomohadi, 2006). Dari sudut pandang ekonomi, ruang terbuka hijau sering kali tidak direncanakan secara optimal, karena hanya berupa ruang yang tersisa (left over space) atau lahan yang belum digunakan (idle land). Ruang Terbuka Hijau yang menjanjikan keuntungan ekonomis seperti tempat rekreasi atau ekowisata dapat dikelola dengan berbagai area permainan yang dapat mengundang keinginan masyarakat menikmati bentang alam.

Fungsi estetis RTH bisa menjadi terapi kesehatan jiwa dari aktivitas dan rutinitas warga kota yang dinamis, karena RTH dapat meningkatkan kenyamanan dan memperindah lingkungan. RTH publik kota pada hakekatnya adalah ruang yang dapat dimasuki dan digunakan oleh siapa saja tanpa ada syarat untuk memasukinya. Sebagai wilayah milik publik, ruang terbuka hijau kota akan digunakan oleh seluruh warga kota secara “bebas” dan “adil” tanpa membedakan satu warga dengan warga yang lainnya.

Dalam konteks kebebasan memanfaatkan aktivitas bersama dapat dikatakan bahwa RTH sebagai bagian dari ruang publik adalah ruang nirsekat. Keberadaannya harus memperlihatkan keberpihakan bagi warga kota. Oleh karena itu, pengadaan RTH publik merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan.

Walaupun secara ekologis penting untuk mempertahankan ekosistem lingkungan kotanya, hak untuk mendapatkan ruang terbuka hijau bagi warga kota seringkali berbenturan dengan kepentingan pemodal dan penguasa. Kepentingan ini diperlihatkan antara lain melalui perubahan taman taman kota, lapangan olahraga, atau alun-alun pemerintahan di setiap wilayah


(42)

desa/kecamatan menjadi pusat belanja, perkantoran, sarana pendidikan, kesehatan dan sebagainya.

Alasan pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan daerah (ekonomi), menjadi alat penekan atas keberadaan RTH yang semakin dimarjinalisasikan. Inilah yang dimaksud dengan kegagalan politik tata ruang. Berhubung daya tampung ruang yang digunakan tidak mencukupi lagi, maka kebijakan yang terjadi adalah ruang yang semestinya digunakan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem lingkungan mulai dimanfaatkan menjadi tempat aktifitas perekonomian dan permukiman. Intervensi kebijakan dengan segala peraturannya mengakibatkan RTH yang juga berfungsi sosial sebagai tempat warga masyarakat berinteraksi menjadi hilang bahkan berubah fungsinya.

Fungsi RTH baik publik maupun privat dapat dikelompokkan kedalam fungsi utama (intrinsik), yaitu fungsi ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik), yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi (Nurisjah, et al., 2005), sebagaimana tertera pada Gambar 2.

Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006).

Gambar 2 Klasifikasi fungsi Ruang Terbuka Hijau

Wilayah Perkotaan

Ruang Terbangun

Ruang Terbuka

Ruang Terbuka

Hijau (RTH)

Ruang Terbuka

Non-Hijau

Fungsi

Intrinsik

Fungsi

Ekstrinsik

Fungsi

Ekologis

Fungsi

Ekonomi

Fungsi

Arsitektural

Fungsi

Sosial


(1)

ALTERNATIF terhadap AKTOR DPRD Kota

14 kenaikan PBB 1 1 1 1/3 1 4 1 1/3 2 1/3 pengetatan IMB 12.0 1 1/5 1 0.3 0.9 1 1

15 kenaikan PBB 2 1 1 3 2 3 3 1/3 2 3 subsidi terhadap lahan RTH privat 20.3 2 2 216.0 1.7 2 1

16 kenaikan PBB 2 1 3 3 2 3 3 1 2 3 sewa lahan RTH oleh pemerintah 23.0 2 2/7 2 1944.0 2.1 2 0

17 kenaikan PBB 1 1 1/3 1/3 1 1/8 1/3 1/7 3 1/5 pengadaan lahan RTH 7.5 3/4 1 0.0 0.5 0 2

18 kenaikan PBB 1 1 1/3 1/3 1 1/7 1/3 1/3 3 1/3 pembangunan infrastruktur RTH 7.8 7/9 1 0.0 0.5 1 2

19 pengetatan IMB 2 1/7 3 3 2 3 3 3 2 3 subsidi terhadap lahan RTH privat 24.1 2 2/5 2 833.1 2.0 2 1

20 pengetatan IMB 2 1/7 3 3 2 3 3 3 2 3 sewa lahan RTH oleh pemerintah 24.1 2 2/5 2 833.1 2.0 2 1

21 pengetatan IMB 1 1/7 1 1/5 1 1/8 1/3 1/5 2 1/3 pengadaan lahan RTH 6.3 5/8 1 0.0 0.4 0 2

22 pengetatan IMB 1 1/7 1 1/3 1 1/7 1/3 3 2 1/3 pembangunan infrastruktur RTH 9.3 1 1 0.0 0.6 1 2

23 subsidi terhadap lahan RTH privat 1 1 1 1 1 1 1 1 2 3 sewa lahan RTH oleh pemerintah 13.0 1 1/3 1 6.0 1.2 1 1

24 subsidi terhadap lahan RTH privat 1/2 1 1/7 1/7 1/2 1/8 1/3 1/5 3 1/5 pengadaan lahan RTH 6.1 3/5 1 0.0 0.3 0 3

25 subsidi terhadap lahan RTH privat 1/2 1 1/7 1/7 1/2 1/7 1/5 1/3 3 1/3 pembangunan infrastruktur RTH 6.3 5/8 1 0.0 0.4 0 3


(2)

No Kolom Kiri Kolom Kanan Ju m la h R at a -r at a P em b u lat an J u m la h K a li R at a -r a ta G eo me tr ik P em b u lat an R G P em b u lat an 1/ R G AS DA I K o ta Be k a s i S ek d a K o ta B e ka si Di n a s T at a R u an g Ko m

. C An

g . D P RD Ka . BAP P E DA Ka . Di n a s DP P KAD K a. B P L H K o ta B e ka si LS M O ne C e nt re FK TR K W a ki l K et u a D P R D

ALTERNATIF terhadap AKTOR DPRD Kota

27 sewa lahan RTH oleh pemerintah 1/2 1 1/7 1/5 1/2 1/7 1/5 1/3 1 1/3 pembangunan infrastruktur RTH 4.4 3/7 0 0.0 0.3 0 3

28 pengadaan lahan RTH 1 1 1 3 1 4 1 1/3 1 3 pembangunan infrastruktur RTH 16.3 1 5/8 2 12.0 1.3 1 1

ALTERNATIF terhadap AKTOR Pihak Swasta

1 penetapan sanksi (policy power) 1 1 1/3 3 1 1 1 3 3 1/3 pengenaan pajak tinggi 14.7 1 1/2 1 3.0 1.1 1 1

2 penetapan sanksi (policy power) 1 1 1/3 1/3 1 1 3 1 3 1/2 kenaikan PBB 12.2 1 2/9 1 0.5 0.9 1 1

3 penetapan sanksi (policy power) 1 7 3 1/3 1 1 3 1 3 1/2 pengetatan IMB 20.8 2 2 31.5 1.4 1 1

4 penetapan sanksi (policy power) 2 7 1/5 1/3 2 1/8 3 3 3 1/3 subsidi terhadap lahan RTH privat 21.0 2 2 2.1 1.1 1 1

5 penetapan sanksi (policy power) 2 7 1/3 1/3 2 1/5 3 3 3 1/3 sewa lahan RTH oleh pemerintah 21.2 2 1/8 2 5.6 1.2 1 1

6 penetapan sanksi (policy power) 1 1 1/3 3 1 1/7 1 1/7 3 1/3 pengadaan lahan RTH 11.0 1 1 0.0 0.7 1 1

7 penetapan sanksi (policy power) 1 1 1/3 3 1 1/6 1 1/3 3 1/3 pembangunan infrastruktur RTH 11.2 1 1/9 1 0.1 0.7 1 1

8 pengenaan pajak tinggi 1 1 3 3 1 1 3 1 2 3 kenaikan PBB 19.0 1 8/9 2 162.0 1.7 2 1

9 pengenaan pajak tinggi 1 7 5 3 1 1 1 1/3 3 3 pengetatan IMB 25.3 2 1/2 3 315.0 1.8 2 1


(3)

ALTERNATIF terhadap AKTOR Pihak Swasta

11 pengenaan pajak tinggi 2 7 3 3 2 1/5 1/3 1 2 1/3 sewa lahan RTH oleh pemerintah 20.9 2 2 11.2 1.3 1 1

12 pengenaan pajak tinggi 1 1 1/3 3 1 1/8 1/3 1/5 5 3 pengadaan lahan RTH 15.0 1 1/2 1 0.1 0.8 1 1

13 pengenaan pajak tinggi 1 1 1/3 3 1 1/7 1/3 1/3 5 1/3 pembangunan infrastruktur RTH 12.5 1 1/4 1 0.0 0.7 1 1

14 kenaikan PBB 1 7 3 3 1 1 1/3 1/3 5 3 pengetatan IMB 24.7 2 1/2 2 105.0 1.6 2 1

15 kenaikan PBB 2 7 1/3 3 2 1/8 1/5 3 1/2 3 subsidi terhadap lahan RTH privat 21.2 2 1/9 2 3.2 1.1 1 1

16 kenaikan PBB 2 7 1/3 3 2 1/5 1/5 1 1/2 1/3 sewa lahan RTH oleh pemerintah 16.6 1 2/3 2 0.2 0.8 1 1

17 kenaikan PBB 1 1 1/3 5 1 1/8 1/5 1/9 5 1/2 pengadaan lahan RTH 14.3 1 3/7 1 0.0 0.6 1 2

18 kenaikan PBB 1 1 1 7 1 1/7 1/5 1/3 5 1/3 pembangunan infrastruktur RTH 17.0 1 5/7 2 0.1 0.8 1 1

19 pengetatan IMB 2 1 1/5 1/3 2 1/8 1/3 1 2 1/2 subsidi terhadap lahan RTH privat 9.5 1 1 0.0 0.6 1 2

20 pengetatan IMB 2 1 1/5 3 2 1/6 1/3 2 3 1/7 sewa lahan RTH oleh pemerintah 13.8 1 3/8 1 0.1 0.8 1 1

21 pengetatan IMB 1 1/7 1/5 3 1 1/8 1/3 1/3 3 1/2 pengadaan lahan RTH 9.6 1 1 0.0 0.5 1 2

22 pengetatan IMB 1 1/7 1/5 3 1 1/7 1/3 1/3 3 1/3 pembangunan infrastruktur RTH 9.5 1 1 0.0 0.5 1 2


(4)

No Kolom Kiri Kolom Kanan Ju m la h R at a -r at a P em b u lat an J u m la h K a li R at a -r a ta G eo me tr ik P em b u lat an R G P em b u lat an 1/ R G AS DA I K o ta Be k a s i S ek d a K o ta B e ka si D in a s T at a R u an g Ko m

. C An

g . D P RD Ka . BAP P E DA Ka . Di n a s DP P KAD K a. B P L H K o ta B e ka si LS M O ne C e nt re FK TR K W a ki l K et u a D P R D

ALTERNATIF terhadap AKTOR Pihak Swasta

24 subsidi terhadap lahan RTH privat 1/2 1/7 3 3 1/2 1/3 3 1/9 3 1 pengadaan lahan RTH 14.6 1 1/2 1 0.1 0.8 1 1

25 subsidi terhadap lahan RTH privat 1/2 1/7 3 3 1/2 1/3 1/3 1/7 3 1 pembangunan infrastruktur RTH 12.0 1 1/5 1 0.0 0.7 1 2

26 sewa lahan RTH oleh pemerintah 1/2 1/7 1 3 1/2 1/7 1/3 1/8 3 5 pengadaan lahan RTH 13.7 1 3/8 1 0.0 0.6 1 2

27 sewa lahan RTH oleh pemerintah 1/2 1/7 1 3 1/2 1/6 1/3 1/2 3 3 pembangunan infrastruktur RTH 12.1 1 1/5 1 0.0 0.7 1 1

28 pengadaan lahan RTH 1 1 1 1 1 1 1 1/3 1 1/3 pembangunan infrastruktur RTH 8.7 6/7 1 0.1 0.8 1 1

ALTERNATIF terhadap AKTOR Masyarakat

1 penetapan sanksi (policy power) 1 1 1/3 1 1 1 1/3 5 3 1/3 pengenaan pajak tinggi 14.0 1 2/5 1 0.6 0.9 1 1

2 penetapan sanksi (policy power) 1 1 3 1 1 1 3 3 3 1 kenaikan PBB 18.0 1 4/5 2 81.0 1.6 2 1

3 penetapan sanksi (policy power) 1 1 1/3 1/3 1 1 1/3 1/3 1/3 3 pengetatan IMB 8.7 6/7 1 0.0 0.6 1 2

4 penetapan sanksi (policy power) 2 1 1/5 3 2 1/2 1/3 1/3 3 1/3 subsidi terhadap lahan RTH privat 12.7 1 1/4 1 0.1 0.8 1 1

5 penetapan sanksi (policy power) 2 1 1/5 1/3 2 1/5 1/4 1/3 3 3 sewa lahan RTH oleh pemerintah 12.3 1 1/4 1 0.0 0.7 1 1

6 penetapan sanksi (policy power) 1 3 1/5 3 1 1/7 1/3 1/7 3 1/3 pengadaan lahan RTH 12.2 1 2/9 1 0.0 0.6 1 2


(5)

ALTERNATIF terhadap AKTOR Masyarakat

8 pengenaan pajak

tinggi 1 1 1/3 1/3 1 1 1/3 1 2 2 kenaikan PBB 10.0 1 1 0.1 0.8 1 1

9 pengenaan pajak

tinggi 1 1 1/3 1/3 1 1 1/6 1/3 1/3 2 pengetatan IMB 7.5 3/4 1 0.0 0.6 1 2

10 pengenaan pajak

tinggi 2 1 1/3 3 2 1/2 1/3 1/3 1 2 subsidi terhadap lahan RTH privat 12.5 1 1/4 1 0.4 0.9 1 1

11 pengenaan pajak

tinggi 2 1 1/3 3 2 1/8 1/3 1/5 2 2 sewa lahan RTH oleh pemerintah 13.0 1 2/7 1 0.1 0.8 1 1

12 pengenaan pajak

tinggi 1 3 1/3 3 1 1/7 1/3 1/7 3 2 pengadaan lahan RTH 14.0 1 2/5 1 0.1 0.8 1 1

13 pengenaan pajak

tinggi 1 3 1/3 3 1 1/7 1/3 1/5 3 3 pembangunan infrastruktur RTH 15.0 1 1/2 2 0.3 0.9 1 1

14 kenaikan PBB 1 1 1/5 1 1 1 1/3 1/3 3 1 pengetatan IMB 9.9 1 1 0.1 0.8 1 1

15 kenaikan PBB 2 1 1/3 3 2 1/3 1/3 1/3 2 1/3 subsidi terhadap lahan RTH privat 11.7 1 1/6 1 0.1 0.8 1 1

16 kenaikan PBB 2 1 1/3 3 2 1/8 1/3 1/3 2 2 sewa lahan RTH oleh pemerintah 13.1 1 1/3 1 0.2 0.9 1 1

17 kenaikan PBB 1 3 1/3 5 1 1/7 1/3 1/9 2 1/2 pengadaan lahan RTH 13.4 1 1/3 1 0.0 0.7 1 1

18 kenaikan PBB 1 3 1/3 5 1 1/7 1/3 1/5 3 1 pembangunan infrastruktur RTH 15.0 1 1/2 2 0.1 0.8 1 1

19 pengetatan IMB 2 1 1/3 5 2 1/2 1/3 1 3 1/3 subsidi terhadap lahan RTH privat 15.5 1 5/9 2 1.1 1.0 1 1


(6)

No Kolom Kiri Kolom Kanan Ju m la h R at a -r at a P em b u lat an J u m la h K al i R at a -r a ta G eo me tr ik P em b u lat an R G P em b u lat an 1/ R G AS DA I K o ta Be k a s i S ek d a K o ta B e ka si D in a s T at a R u an g Ko m

. C An

g . D P RD Ka . BAP P E DA Ka . Di n a s DP P KAD K a. B P L H K o ta B e ka si LS M O ne C e nt re FK TR K W a ki l K et u a D P R D

ALTERNATIF terhadap AKTOR Masyarakat

21 pengetatan IMB 1 3 1/2 5 1 1/7 1/2 1/7 3 1/3 pengadaan lahan RTH 14.6 1 1/2 1 0.1 0.8 1 1

22 pengetatan IMB 1 3 1 5 1 1/7 1 1/3 3 1/3 pembangunan infrastruktur RTH 15.8 1 4/7 2 0.7 1.0 1 1

23 subsidi terhadap lahan RTH privat 2 1 3 3 2 1/6 1 1 2 3 sewa lahan RTH oleh pemerintah 18.2 1 4/5 2 36.0 1.4 1 1

24 subsidi terhadap lahan RTH privat 1 3 3 3 1 1/7 3 1/7 2 1/3 pengadaan lahan RTH 16.6 1 2/3 2 1.1 1.0 1 1

25 subsidi terhadap lahan RTH privat 1 3 3 3 1 1/7 1 1/3 3 1/3 pembangunan infrastruktur RTH 15.8 1 4/7 2 1.3 1.0 1 1

26 sewa lahan RTH oleh pemerintah 1/2 3 1 3 1/2 1/3 1 1/7 1 1/3 pengadaan lahan RTH 10.8 1 1 0.0 0.7 1 1

27 sewa lahan RTH oleh pemerintah 1/2 3 1 3 1/2 1/3 1 1/3 1 1/3 pembangunan infrastruktur RTH 11.0 1 1/9 1 0.1 0.8 1 1