197
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Selama periode 1989-2009 telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang sangat besar dari semula lahan RTH berubah menjadi ruang
terbangun. Dinamika perubahan penggunaan lahan pada setiap jenis penggunaan lahan berbeda-beda: permukiman terus meningkat, kebun
campuran dan padang rumput berfluktuasi, sedangkan sawah dan semak belukar terus menurun. Terdapat enam pola umum urutan perubahan dari
lahan RTH menjadi ruang terbangun. Perubahan penggunaan lahan RTH menjadi ruang terbangun RTB cenderung bersifat irreversible, sehingga
perlu biaya, tenaga dan resiko sosial untuk mengembalikan ke penggunaan semula.
Pertumbuhan kawasan perkotaan yang cepat telah memarjinalkan keberadaan RTH sebagai kawasan lindung kota secara nyata dan dalam
jangka panjang berimplikasi tidak berlanjutnya keberadaan RTH. Pola konversi RTH yang terjadi bersifat fluktuatif dan ekspansif mengorbankan
kawasan pertanian kota dan areal konservasi resapan air. Tidak dilindunginya lahan pertanian subur dan beririgasi teknis bertentangan
dengan amanat UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan. Terjadi pengorbanan sektor rural khususnya
pertanian untuk kepentingan sektor perkotaan. 2. Jumlah penduduk merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan
lahan RTH. Jumlah penduduk yang relatif besar yaitu 2.319.518 jiwa BPS Kota Bekasi, 2010 dengan laju pertumbuhan penduduk LPP tinggi
sebesar 4,1 pada periode 1997–2008 Bappeda Kota Bekasi, 2008, mengakibatkan tekanan konversi RTH juga tinggi. Peningkatan jumlah
penduduk secara langsung memberi efek berantai pada kebutuhan infrastruktur kota dan perkembangan ekonomi yang merupakan faktor
turunannya. Konsekuensi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah menuntut kebutuhan lahan terbangun RTB untuk permukiman, industri, infrastruktur
198
perdagangan dan jasa. 3. Analisis sistem dinamik menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antar
komponen-komponen penduduk, lahan RTH dengan kebijakan green budgeting RTH. Dengan tingkat laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan
kinerja green budgeting RTH yang rendah 0,07 persen APBD, diprediksi pada tahun 2030 lahan RTH hanya tersisa 1.340 ha atau 6 persen,
sehingga dapat mengurangi tingkat kenyamanan kota yang diukur dari naiknya THI sebesar 0,7
C. Oleh karena itu, kinerja skenario optimis dapat dijadikan masukan dan sebagai leverage sektor-sektor lain dalam
menyusun strategi kebijakan pengalokasian RTH dimasa yang akan datang.
4.
Hasil analisis dengan pendekatan AHP dan FGD menunjukkan bahwa arahan kebijakan pengalokasian RTH diprioritaskan pada 2 kebijakan
utama, yaitu kebijakan pembangunan infrastruktur pertanianRTH dan kebijakan pengadaan lahan RTH. Strategi kebijakan melalui tahapan
refungsionalisasi kawasan sempadan situ, saluran irigasi, sempadan sungai, daerah kawasan lindung resapan air, revitalisasi taman-taman kota dan RTH
di jalan protokoler serta lahan fasos-fasum. Pilihan strategi kebijakan kedua dan seterusnya yaitu pengadaan lahan sebagai kawasan lindung,
pengadaan lapangan olah raga untuk kegiatan kreatifprestasi dan rekreatif serta wahana interaksi sosial warga termasuk pencanangan program one
village one play ground. Langkah berikutnya adalah arahan kebijakan penerapan mekanisme insentif dan disinsentif sepanjang pemerintah belum
mampu melaksanakan pengadaan lahan RTH. Pendekatan penganggaran menggunakan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah KPJMMTEF.
8.2. Saran