122
Dinamika perubahan tahun 2005-2009 pada Lampiran 5 umumnya terjadi pada kebun campuran berubah menjadi: permukiman 145,29 ha, lahan terbuka
8,21 ha dan tegalanladang 202,09 ha, selanjutnya lahan terbuka berubah menjadi permukiman 19,31 ha. Kondisi padang rumput berubah menjadi: kebun
campuran 3,13 ha, lahan terbuka 74,55 ha, permukiman 1.381,42 ha dan tegalladang 29,46 ha. Sawah irigasi pada tahun 2009 tidak ada perubahan
tetap tersisa 457,54 ha tetapi pada sawah tadah hujan berubah menjadi: kebun campuran 2,63 ha, padang rumput 86,34 ha, permukiman 32,39 ha dan
tegalladang 26,14 ha, sehingga sawah tadah hujan hanya tersisa 532,31 ha.
5.2. Pola Perubahan Penggunaan Lahan
Fenomena dinamika perubahan penggunaan lahan multiwaktu dan antar- periode dari tahun 1989 sampai dengan 2009 tersebut menunjukkan bahwa arah
perubahan penggunaan lahan dari sawah irigasi maupun sawah tadah hujan ada yang langsung menjadi permukiman, tetapi pada umumnya, sawah yang akan
dikonversi menjadi lahan terbuka terlebih dahulu dan dibiarkan saja sehingga menjadi padang rumput, selanjutnya menjadi lahan permukiman.
Semak belukar dikonversi menjadi lahan permukiman Lampiran 3 menduduki peringkat yang paling tinggi, sebesar 7.854,33 ha 1989-2000
kemudian sawah irigasi menjadi pemukiman sebesar 1.88,97 ha 1989-2000. Pada tahun 2000-2005 hingga tahun 2009 konversi sawah irigasi menjadi
permukinan terus menyusut hanya tersisa 457,54 ha tetapi tidak langsung menjadi permukiman. Lahan sawah irigasi teknis khususnya yang berada di tiga
kecamatan yaitu Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Medan Satria dan Kecamatan Bekasi Timur tersebut fakta di lapangan pada tahun 2011 sudah
mulai dirubah menjadi lahan terbuka dan direncanakan oleh pengembang besar akan menjadi permukiman teratur.
Lahan permukiman pada ketiga lampiran tersebut merupakan penggunaan lahan yang diduga relatif permanen. Hal ini menunjukkan bahwa lahan
permukiman tidak berubah menjadi penggunaan lahan lain secara besar- besaran kecuali sedikit terjadi pada tahun 2005-2009 menjadi lahan terbuka
sebesar 33,82 ha. Fenomena ini menunjukkan tidak terjadi kebijakan penggusuran terhadap lahan permukiman yang signifikan. Berdasarkan bukti
123
empirik, arah perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada Lampiran 3, 4 dan 5 dapat disimpulkan memiliki 6 pola urutan perubahan penggunaan lahan yaitu:
a kebun campuran permukiman b pertanian sawah irigasi dan tadah hujan permukiman
c pertanian sawah irigasi kebun campuran lahan terbuka padang rumput semak belukar tegalanladang permukiman.
d kebun campuran lahan terbuka tegalanladang permukiman e lahan terbuka permukiman
f padang rumput kebun campuran lahan terbuka tegal ladang permukiman.
Keterangan: simbol tanda panah = berubah menjadi Fenomena perubahan penggunaan lahan, khususnya menyusutnya lahan
RTH menjadi RTB menjadi persoalan tersendiri dalam kasus di Kota Bekasi. Dampak negatif yang dapat muncul dari upaya menciptakan pembangunan kota
yang berkelanjutan berkisar pada empat hal, yaitu munculnya 1 Nimby syndrome; 2 Deplesi sumberdaya; 3 Quasi sustainable development dan 4
Unsustainable development Yunus, 2005. Sindrom yang dikenal Not in my back yard Nimby, adalah kecemasan munculnya gejala negatif di Kota Bekasi
akibat program pembangunan yang dilaksanakan di wilayah lain DKI. Sindroma ini diakibatkan tidak tersirat adanya keterlibatan Kota Bekasi dalam
pembangunan Kota Metropolitan Jakarta. Hasil evaluasi yang dilakukan pada tahun 2005 terhadap Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2000 tentang RTRW Kota Bekasi menyimpulkan bahwa telah terjadi penyimpangan besar dalam hal struktur dan pola pemanfaatan ruang
kota. Penyimpangan struktur dan pola pemanfaatan ruang tersebut termasuk ke dalam
Tipologi III yaitu kondisi RTRW absah, simpangan besar, dan faktor
eksternal berubah. Penyimpangan RTRW akibat faktor eksternal yang cepat berubah tidak lepas dari kebijakan makro sebagai berikut :
1. Perda No. 2 tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi RTRWP Jawa Barat 2001-2011 mempunyai kekuatan hukum sebagai
acuan penataan ruang kabkota. Kota Bekasi merupakan bagian dari salah satu Pusat Kegiatan Nasional PKN yang ditetapkan dalam struktur ruang
wilayah Provinsi Jawa Barat, yaitu Metropolitan Bodebek. Kota Bekasi
memiliki peran yang cukup berpengaruh terhadap wilayah eksternalnya
124
sebagai pusat pertumbuhan dan pemacu kegiatan ekonomi. Kawasan ini diarahkan sebagai kawasan dengan sektor unggulan industri, pariwisata,
perdagangan dan jasa, pendidikan dan pengetahuan. 2. Kebijakan RTRWN, RTRW Provinsi, maupun RTRW Kawasan Tertentu
Jabotabek, serta posisi wilayah Kota Bekasi yang berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta dan memiliki peran sebagai penyeimbang counter magnet
ibukota negara, menyebabkan berbagai kebijakan pembangunan yang digariskan di Kota Bekasi berorientasi untuk kepentingan nasional. Tumbuh
dan berkembangnya kota-kota satelit dengan pola masyarakat komuter merupakan fenomena yang muncul sebagai indikasi dari penetrasi kebutuhan
hunian yang cukup tinggi seiring pesatnya pertumbuhan wilayah DKI sebagai ibu kota negara.
Kebijakan tersebut menjadi daya tarik investasiekonomi dan migrasi yang cukup besar ke Kota Bekasi. Pertumbuhan penduduk dan fenomena urbanisasi
yang terjadi kemudian dimanfaatkan secara ekonomi oleh pemilik modal dengan proyek industrialisasi sektor perumahan, industri besar dan menengah, pusat
perbelanjaan mewah dan sentra perkantoran dengan memarjinalkan lahan RTH kota.
5.3. Arahan Pengembangan RTH Kota Bekasi