88
Pada skenario moderat, diasumsikan pertumbuhan penduduk mengalami
penurunan 3,5 persen. Disisi lain dukungan penganggaran daerah terhadap belanja RTH yaitu 2 persen diikuti laju penurunan RTH sebesar 5 persen
sehingga tingkat kenyamanan masih tetap mengalami penurunan pada akhir tahun simulasi
Pada skenario optimis, diasumsikan terjadi peningkatan jumlah penduduk
yang relatif terkendali dengan laju pertumbuhan penduduk 3 persen, diikuti laju penurunan RTH sebesar 2 persen. Demikian juga tingkat pemanfaatan lahan
terbangun untuk permukiman mengalami peningkatan namun diupayakan untuk dapat dimbangi dengan penyediaan RTH kawasan perkotaan yang optimal
melalui green budgeting RTH sebesar 3 persen.
3.4.5. Prioritas Kebijakan Strategi Green Budgeting RTH
Anggaran berbasis lingkungan merupakan amanat UU No 32 Tahun 2009 untuk menjamin terlaksananya dukungan pendanaan dari APBD dalam rangka
pembangunan berkelanjutan. Dukungan pendanaan untuk mencapai
ketersediaan ruang hijau kota dapat melalui arahan belanja RTH atau arahan pengenaan insentif dan disinsentif, meliputi jenis insentif berupa subsidi
prasarana, kemudahan izin dan keringanan pajak dari pemerintah bagi pengadaan ruang hijau kota oleh swasta. Mekanisme disinsentif dilakukan untuk
penataan dan pengendalian kegiatan perdagangan dan jasa yang belum memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan, seperti kewajiban penyediaan parkir
dan fasilitas lainnya, dapat dikenakan disinsentif berupa parking deficiency charge dan pengenaan pajak kemacetan development impact fees bahkan
pencabutan izin operasional industri yang tidak memenuhi kewajiban penyediaan RTH atau penyediaan limbah.
Bagi masyarakat yang membangun dengan KDB lebih rendah dalam rangka menyediakan ruang terbuka hijau yang lebih luas diberikan insentif atau
mengusahakan bentang lahannya untuk kegiatan yang mendukung ketersediaan RTH. Jenis insentif diantaranya pengurangan besar PBB, kemudahan perizinan,
serta pengurangan biaya perizinan. Bagi masyarakat yang membangun rumah pada jalan-jalan arteri dan kolektor di pusat kota dapat dikenai disinsentif berupa
nilai PBB yang lebih tinggi, setara dengan PBB bagi kegiatan perdagangan dan jasa.
89
Pendekatan penganggaran belanja RTH Kota merupakan rencana tindakan pada masa yang akan datang dalam konteks mekanisme belanja tahunan APBD.
Mekanisme tersebut melalui tahapan MUSRENBANG Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang dikenal dengan penganggaran partisipatif.
Usulan partisipatif tersebut disintesa dengan pendekatan MTEF Medium Term Expenditure Framework, menjadi dokumen perencanaan yang disebut RKPD
Rencana Kerja Pembangunan Daerah. Pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran.
Kebutuhan biaya untuk pelaksanaan programkegiatan yang melebihi waktu satu tahun harus diestimasi sejak awal bersifat indikatif. Hal ini secara
implisit telah diprediksi ketika target kinerja outcome yang hendak dicapai pada akhir priode jangka menengah multi-year telah dapat ditentukan, baik untuk
akhir periode program maupun untuk masing-masing tahun pelaksanaan. Memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui. Hakikat
dari penganggaran berbasis kinerja bukanlah periode pelaksanaan anggaran, tetapi hasil yang hendak dicapai.
Berdasarkan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah KPJM atau dikenal dengan MTEF tersebut, Program belanja RTH dapat diprediksi
kebutuhan dan ketersediaan dananya melalui kesepakatan bersama, kemudian dituangkan dalam belanja tahunan daerah APBD. Kebijakan program dibuat
untuk memecahkan masalah atau memenuhi suatu kebutuhan yang teridentifikasi dan disepakati oleh pelaksana eksekutif dan lembaga perwakilan
legislatif. Dalam pengelolaan keuangan daerah di Indonesia, kebijakan ini disebut Kebijakan Umum APBD KUA, yang dilengkapi dengan Prioritas dan
Plafon Anggaran Sementara PPAS, dan harus disepakati dulu dalam bentuk penandatanganan Nota Kesepakatan antara kepala daerah dan pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah DPRD. Dalam persepktif lebih luas, klausul kebijakan tentang pelaksanaan suatu programkegiatan yang melebihi satu tahun
anggaran dicantumkan dalam Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Abdullah, 2010.
Bagan Alir Tahapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah disajikan pada Gambar 15.
90
Sumber: hasil modifikasi dari PMK No. 80PMK.052007 untuk MTEF kementrian. Ket : RKPD= Rencana Kegiatan Pemerintah daerah, Renstra= Rencana Strategis dan RKA= Rencana Kegiatan Anggaran.
Gambar 15 Bagan alir tahapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah Konsep pendekatan ini seyogyanya diawali dari kesepakatan dibuatnya
produk perda peraturan daerah tentang RTH kota yang kemudian ditindaklanjuti oleh RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah,
sehingga implementasi RKPD dalam konteks penganggaran partisipatif serarah dengan pendekatan pengeluaran belanja jangka menengah
KPJMMTEF.Sekalipun RPJM sudah dibuat lebih awal oleh pemerintah daerah tetapi pendekatan MTEF dapat dilaksanakan dengan kesepakatan belanja yang
ditetapkan melalui Kebijakan Umum Anggaran KUA dalam penetapan APBD dengan payung hukum perda pengelolaan keuangan daerah dimana MTEF
sudah diintegrasikan di dalamnya. Langkah-langkah berikut menjadi arahan prioritas kebijakan dan strategi
pengalokasian RTH, yaitu : 1. Penetapan alokasi lahan RTH dalam RTRW.
2. Penyusunan kebutuhan belanja RTH berdasarkan nilai NJOP Nilai Jual Objek Pajak lahan. Jumlah kebutuhan dana dialokasikan dalam Kerangka
Pengeluaran Jangka Menengah KPJMMTEF. 3. Disain belanja KPJMMTEF menjadi arahan dalam Kebijakan Umum
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH RPJM
RKPD RENSTRA
KOTA MTEF
KPJM
RENSTRA DINAS RKA APBD
PROGRAM VISI
PENGELOLAAN RTH KOTA
GREEN CITY
KEGIATAN OUTPUT
OUTCOME
1 Thn
1 Thn
5 Thn
1 2
1 2
3
4 3
6
1 5
5 1
Ket: 1. Dijabarkan, 2. Dirangkum, 3. Indikasi Pendanaan, 4. Kepastian Pendanaan, 5. Menghasilkan, 6. Proyeksi ke depan
3-5 Thn
91
Anggaran KUA dalam APBD. Untuk merumuskan skala prioritas arahan dan strategi pengalokasian RTH
digunakan AHP dengan menata dalam suatu hierarki Gambar 16. Prinsip kerja Proses Hierarki Analitik atau Analytical Hierarchy Process AHP adalah
penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategis dan dinamik menjadi bagian-bagiannya secara berjenjang. Setelah itu, tingkat
kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti penting variabel tersebut kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel
yang memiliki prioritas tinggi dan berperan dalam mempengaruhi hasil dari sistem tersebut Marimin, 2004.
Gambar 16 Struktur hierarki strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan green budgeting dalam pengalokasian RTH.
92
IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN
4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Ruang Makro
Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi saat ini, terutama berkaitan
dengan ketersediaan ruang terbuka hijau kota. Kota Bekasi merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Bekasi yang dibentuk Tahun 1997 dan awalnya
memiliki potensi perekonomian di sektor primer yaitu pertanian. Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kota Bekasi tahun 2000-2010 ditetapkan berdasarkan
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2000. RTRW tersebut disusun berdasarkan kondisi Kota Bekasi pada tahun 1998 dan perkembangannya sampai tahun
2000. Dalam implementasinya, sampai tahun 2005, RTRW Kota Bekasi
diidentifikasi memiliki berbagai simpangan. Berdasarkan pekerjaan revisi RTRW Kota Bekasi tahun 2005 diketahui bahwa simpangan yang terjadi termasuk ke
dalam Tipologi III, yaitu kondisi RTRW absah, simpangan besar, dan faktor
eksternal berubah Bapeda Kota Bekasi, 2007. Tipologi hasil peninjauan tersebut didasarkan pada ketentuan Kepmenkimpraswil No. 327KPTSM2002
tentang Pedoman Peninjauan Kembali RTRW Kota. Tindak lanjut yang dilakukan adalah perubahan atas tujuan, sasaran, strategi pengembangan
wilayah, serta struktur dan pola pemanfaatan ruang Kota Bekasi. Penyusunan RTRW baru hasil revisi dengan berpedoman pada ketentuan Undang-undang No
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sudah dilakukan sejak tahun 2008, tetapi sampai saat ini masih dalam proses evaluasi legislasi Provinsi Jawa Barat
dan belum ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah. Dalam perkembangannya, wilayah Kota Bekasi sangat dipengaruhi oleh
kebijakan eksternal tata ruang makro, baik pusat maupun provinsi. Kebijakan tersebut antara lain menjadikan Kota Bekasi sebagai bagian dari Pusat Kegiatan
Nasional PKN dan salah satu kawasan andalan Provinsi Jawa Barat dengan unggulan pada sektor industri, pendidikan, pemukiman, perdagangan dan jasa.
Posisi wilayah Kota Bekasi juga berperan sebagai pengimbang counter magnet ibukota negara, mengakibatkan berbagai kebijakan pembangunan diorientasikan
untuk kepentingan nasional, sebagaimana tertera pada Tabel 11.