dengan dua tahap yaitu evaluasi model antara konstruk first order dengan konstruk second order dan evaluasi model antar konstruk second order. Evaluasi
inner model antar konstruk second order adalah untuk mengevaluasi pengaruh antar konstruk laten dan pengujian hipotesis. Sedangkan evaluasi inner model
antara konstruk first order dengan konstruk second order bertujuan untuk melihat
seberapa besar tingkat reflektif konstruk first order dalam menggambarkan
konstruk second order.
5.4.2.1. Evaluasi Inner Model Antara First Order dengan Second Order
Analisis model inner – reflective dilakukan antara konstruk first order dengan konstruk second order. Pada penelitian ini, konstruk second order terdiri
dari sistem kepemimpinan transformasional, kualitas kehidupan kerja, dan perilaku ekstra peran yang direfleksikan melalui beberapa konstruk first order.
Berikut penjelasan mengenai tingkat reflektif konstruk first order terhadap konstruk second order:
a. Kepemimpinan transformasional direfleksikan melalui konstruk first order
yaitu kharisma, perhatian individu, memotivasi secara intelektual, dan memberi inspirasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kharisma memiliki tingkat
refleksi interelasi terbesar dalam menggambarkan kepemimpinan transformasional dengan nilai loading factor sebesar 0.888. Selanjutnya diikuti
oleh perhatian individu 0.884, memberi inspirasi 0.814, memotivasi secara
intelektual 0.784.
Data di atas menunjukkan bahwa karyawan merasakan adanya bentuk kepemimpinan transformasional dari pemimpin yang ditunjukkan oleh faktor-
faktor disebut di atas. b.
Kualitas kehidupan kerja direfleksikan melalui konstruk first order partisipasi karyawan, pengembangan karir, komunikasi, keselamatan kerja, kebanggaan,
kompensasi yang layak, keamanan kerja, kesehatan kerja, penyelesaian konflik. Hasil penelitian untuk konstruk second order ini menunjukkan bahwa
kebanggaan memiliki tingkat refleksi interelasi terbesar dengan nilai loading faktor 0.748. selanjutnya diikuti oleh pengembangan karir 0.672, keselamatan
kerja 0.668, kompensasi 0.649, komunikasi 0.645, penyelesaian konflik 0.615, partisipasi 0.608, keamanan kerja 0.580, dan kesehatan kerja
0.528. Hasil ini mengindikasikan bahwa organisasi sebenarnya telah melaksanakan hal-hal yang tercantum dalam dimensi kualitas kehidupan kerja.
Penyediaan kesempatan yang sama dalam pendidikan lanjut membuat karyawan merasakan adanya kebutuhan akan pengenbangan karir yang jelas di
dalam organisasi.
c.
Perilaku ekstra peran direfleksikan melalui konstruk first order Altruisme, Civic virtue, Conscientiousness, Courtesy, dan Sportmanship. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Conscientiousness memiliki tingkat refleksi interelasi terbesar dalam menggambarkan perilaku ekstra peran yang dibuktikan dengan
nilai loading factor sebesar 0.821 diikuti oleh Altruisme sebesar 0.819, Civic virtue sebesar 0.758, Courtesy sebesar 0.738 dan Sportmanship 0.564. Hasil
ini dapat diartikan bahwa karyawan mampu melaksanakan peran di luar peran pekerjaan wajibnya atau disebut sebagai perilaku ekstra peran. Perilaku
tersebut tidak saja dilakukan untuk kepentingan pribadi, melainkan juga demi kemajuan bersama unit kerja.
5.4.2.2. Evaluasi Inner Model Antar Second Order
Lampiran overview lengkap Lampiran 8 menunjukkan bahwa R-Square kepemimpinan transformasional dan kualitas kehidupan kerja terhadap perilaku
ekstra peran OCB sebesar 0.3707. Artinya variabilitas konstruk OCB yang dapat dijelaskan oleh variabilitas kepemimpinan transformasional, kualitas kehidupan
kerja sebesar 37, sedangkan 63 dijelaskan oleh variabel lain di luar yang
diteliti. R-Square dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. R-Square kepemimpinan transformasional, kualitas kehidupan kerja
dan perilaku ekstra peran
AVE
Composite Reliability R Square
KEPEMIMPINAN 0.2445 0.8699 OCB
0.21 0.8518
0.3707 QWL
0.1537 0.8805
0.55
Sumber : pengolahan data primer – Algoritma smartPLS, 2011
Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa kualitas kehidupan kerja dipengaruhi secara positif oleh kepemimpinan transformasional. R-Square pada
kualitas kehidupan kerja sebesar 0.55. Artinya, kontribusi penerapan kepemimpinan transformasional terhadap kualitas kehidupan kerja karyawan
sebesar 55 dan sisanya sebesar 45 dipengaruhi oleh faktor lain antara lain
Menurut Ghozali 2006 bahwa Hasil R-Square sebesar 0.67, 0.33 dan 0.19 untuk konstruk laten endogen dalam model struktural, masing-masing
mengindikasikan bahwa model “baik”, ”moderat”, dan “lemah”. Berdasarkan teori tersebut dan nilai R-Square pada konstruk laten menunjukkan bahwa
kategori model yang diterangkan termasuk ke dalam model yang moderat. Pengujian hipotesis dilakukan dengan melihat analisis bootstraping pada
path coefficients, yaitu dengan membandingkan nilai t
hitung
dengan t
Tabel
. Jika nilai T hitung lebih besar dibandingkan dengan t Tabel sebesar 1.96 maka perumusan
hipotesis diterima. Hasil analisis path coefficients dapat dilihat pada Lampiran 10.
Hipotesis 1: Terdapat Pengaruh Signifikan Kepemimpinan Transformasional
terhadap Perilaku Ekstra Peran OCB
Pada Lampiran 10 dan Gambar 11 pada halaman sebelumnya diperoleh bahwa koefisien parameter antara Kepemimpinan Transformasional dengan OCB
sebesar 0.2261menunjukkan bahwa penerapan kepemimpinan transformasional berpengaruh secara positif terhadap perilaku ekstra peran OCB. Artinya
penerapan kepemimpinan transformasional tidak diikuti peningkatan perilaku ekstra peran yang berarti.
Hasil analisis path coefficients menunjukkan bahwa penerapan kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
perilaku ekstra peran. Hal ini dapat dilihat dari nilai T Statistik T hitung sebesar
1.2022 lebih kecil dari t
Tabel
1.96 pada selang kepecayaan 95 . Maka pengujian hipotesis ditolak.
Hipotesis 2: Terdapat Pengaruh Signifikan Kepemimpinan Transformasional
terhadap Kualitas Kehidupan Kerja QWL
Pada Lampiran 10 dan Gambar 11 pada halaman sebelumnya diperoleh bahwa koefisien parameter antara Kepemimpinan Transformasional dengan QWL
sebesar 0.7416, menunjukkan bahwa penerapan kepemimpinan transformasional
berpengaruh secara positif terhadap kualitas kehidupan kerja QWL. Pengujian hipotesis kedua diterima karena pada hasil analisis diperoleh
bahwa t
hitung
= 11.0152 lebih besar dibanding t
Tabel =
1.96 Lampiran 8. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan kepemimpinan transformasional di UT
berpengaruh positif secara signifikan terhadap kualitas kehidupan kerja karyawan.
Hipotesis 3: Terdapat Pengaruh Signifikan Kualitas Kehidupan Kerja QWL terhadap Perilaku Ekstra Peran OCB.
Pada Lampiran 10 dan Gambar 11 pada halaman sebelumnya diperoleh bahwa koefisien parameter antara QWL terhadap OCB sebesar 0.4219
yang berarti bahwa Kualitas Kehidupan Kerja berpengaruh positif terhadap Perilaku
Ekstra Peran OCB. Hal ini berarti semakin baik kulitas kehidupan kerja atau QWL di dalam organisasi, perilaku ekstra peran karyawan akan meningkat.
Pengujian hipotesis satu diterima karena pada hasil analisis diperoleh bahwa t
hitung
= 2.2617 lebih besar dibanding t
Tabel =
1.96 Tabel Lampiran 8. Hal ini menunjukkan bahwa Kualitas Kehidupan kerja berpengaruh positif secara
signifikan terhadap Perilaku Ekstra Peran.
5.5. Pembahasan Hasil Penelitian
Secara keseluruhan
kepemimpinan transformasional yang diterapkan oleh pimpinan mampu mendorong karyawan bekerja lebih efektif. Hal lain yang
ditemukan adalah karyawan merasa telah berperilaku di luar kewajiban atau tugas semata yang disebut dengan perilaku ekstra peran. Namun dalam penelitian ini
diperoleh temuan bahwa kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku ekstra peran.
Penelitian ini mendukung hasil temuan penelitian dari Pareke 2004, bahwa OCB tidak saja dipengaruhi oleh kepemimpinan transformasional, tetapi
ada konstruk lain yang juga mempengaruhinya. Motivasi kerja, kepuasan kerja, komitmen organisasional adalah konstruk yang mendorong seseorang
memperlihatkan OCB di dalam pekerjaannya. Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Kaihatu dan Rini 2007, yang menghasilkan kesimpulan bahwa
kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh signifikan terhadap OCB dengan dimediasi oleh kualitas kehidupan kerja.
Selain kepemimpinan transformasional, OCB sendiri merupakan variabel yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya budaya lokal dimana praktek
OCB itu dilakukan. Dalam penelitian ini, yang dimaksud adalah konteks global dan lokal. Budaya kolektif dan individualis menjadi faktor penting yang tidak
dapat dipisahkan dari OCB. Budaya timur yang menganut kolektif tentu akan berbeda hasilnya bila diukur dengan konstruk budaya individual. Penelitian
mengenai OCB dalam konteks barat lebih banyak daripada budaya lokal, sehingga konstruk pertanyaan masih mengadopsi budaya individual.
Pada konteks penelitian yaitu di UT, perilaku keanggotaan organisasi tidak dapat dipaksakan, tetapi mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan
produktifitas. Jika staf administrasi memiliki OCB di UT, maka pimpinan akan menurunkan perilaku untuk mengendalikan stafnya. Sebaliknya, jika karyawan
tidak atau kurang menunjukkan perilaku ekstra peran, maka pekerjaan pimpinan akan bertambah salah satunya adalah memperbaiki perilaku stafnya untuk
berperilaku lebih baik. Perilaku ekstra peran tersebut tidak akan mempengaruhi karyawan dari segi financial secara langsung, dan tidak mendapat sanksi jika tidak
melakukan, namun pimpinan akan melihat sikap yang baik dari mereka melalui OCB sehingga hal itu akan memberikan nilai positif dari pimpinan terhadap
karyawan. Hal tersebut bisa saja memberi dampak pada penambahan tugas dan tanggung jawab yang secara tidak langsung akan berhubungan dengan financial
karyawan. Dalam penelitian ini, faktor ketidaktahuan karyawan atas perilaku ekstra
peran dapat menjadi sebab mengapa kepemimpinan transformasional tidak terlalu berpengaruh secara signifikan terhadap OCB. Bila dikaitkan antara gaya
kepemimpinan transformasional dan perilaku karyawan, berikut ini pendapat dari Podsakoff et al
2000, Bahwa gaya kepemimpinan transformasional merupakan faktor penentu yang mempengaruhi sikap, persepsi, dan perilaku karyawan di
mana terjadi peningkatan kepercayaan kepada pemimpin, motivasi, kepuasan kerja dan mampu mengurangi sejumlah konflik di dalam organisasi.
Dari hasil
penelitian terungkap bahwa karyawan akan bekerja dengan baik karena telah memahami tanggung jawab yang diembannya. Dari hasil analisis
kuesioner juga diperoleh gambaran bahwa pimpinan mampu menunjukkan