Keuntungan Kepemimpinan Transformasional Tinjauan Teoritis

36 Range of Leadership FRL. Berikut ini beberapa keuntungan dari praktek kepemimpinan transformasional. 1 KomitmenLoyalitas serta Kepuasan Pengikut. Pemimpin transformasional mampu membangun komitmen dan loyalitas pengikut yang kuat dengan membangun kepercayaan dan mempromosikan diri mereka dan efektifitas diri. 2 Efektivitas. Penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional mengarah pada kinerja yang melebihi harapan dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional dan membantu mengembangkan pengikutnya untuk menjadi kontributor yang lebih baik untuk kelompok usaha dengan menjadi lebih kreatif, lebih tahan terhadap stres, lebih fleksibel, lebih terbuka terhadap merubah dan lebih kemungkinan untuk menjadi pemimpin transformasional sendiri. 3 Stres. Kepemimpinan yang efektif berhubungan dengan stres adalah kepemimpinan yang menghasilkan keputusan kualitas rasional; penggunaan informasi yang tersedia dengan tepat, keterampilan dan sumber daya, dan kinerja yang tinggi dari pengikut dalam mencapai tujuan meskipun ancaman dan rintangan. Stimulasi Intelektual dapat menghentikan krisis dengan mempertanyakan asumsi dan mengungkapkan peluang, pembinaan tidak terdidik, dan menghilangkan fiksasi pada cara lama dalam melakukan sesuatu. Pemimpin yang inspirasional menginspirasi keberanian dan merangsang minat. 4 Perencanaan Strategis. Kepemimpinan transformasional dapat berkontribusi untuk perbaikan dalam perencanaan strategis, citra perusahaan, seleksi perekrutan dan transfer karyawan. Hal ini juga memiliki implikasi untuk pekerjaan dan desain organisasi serta untuk pengambilan keputusan dan pengembangan organisasi Pemimpin Transformasional tahu bahwa mereka harus terlebih dahulu mengubah diri jika mereka berharap untuk sukses pada mentransformasi orang lain. Sebuah unsur dasar dalam pengembangan kepemimpinan transformasional terdiri dalam mengidentifikasi kualitas kepemimpinan melalui distribusi kuesioner kepemimpinan multifaktor MLQ kepada pengikut dari pemimpin. Sangat penting bahwa MLQ menghasilkan penilaian yang akurat dan tidak bias dari para pemimpin 37 di berbagai dimensi kepemimpinan. Seringkali terjadi dua bias dalam menilai kepemimpinan transformasional, sebagaimana diungkapkan oleh Lievens 1997. Pertama, ketika pengikut menilai kekuatan dan kelemahan dari para pemimpin mereka, mereka mungkin memiliki kesulitan dalam membedakan antara berbagai perilaku kepemimpinan transformasional dan transaksional. Hal ini ditemukan dan ini hanya berlaku untuk atribut kepemimpinan transformasional karena keempat dimensi kepemimpinan transformasional diukur dengan MLQ berkorelasi tinggi dan dikelompokkan dalam satu faktor. Peringkat MLQ pada tiga dimensi kepemimpinan transaksional yang ternyata tidak saling berhubungan dan menunjukkan bukti untuk tiga faktor yang berbeda: contingency reward, manajemen - aktif by exception, dan kepemimpinan pasif. Kedua, keinginan sosial nampaknya tidak menjadi faktor bias yang kuat, walaupun skala kepemimpinan transformasional secara sosial lebih diinginkan. Beberapa penelitian mengenai kepemimpinan transformasional juga dikaitkan dengan variabel lain, yaitu kualitas kehidupan kerja quality of work life, seperti penelitian Riady 2009, serta Kaihatu dan Rini 2007. Penelitian pertama menyoroti pengaruh kepemimpinan transformasional dan QWL pada Bank BUMN. Di dalam hasil tulisannya diungkapkan adanya kepemimpinan yang berorientasi pada QWL. Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk memengaruhi, memotivasi, dan memungkinkan orang lain memberikan sumbangsih bagi keefektifan organisasi. Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada penciptaan QWL. Penelitian kedua menyoroti pengaruh kepemimpinan transformasional pada bidang pendidikan, yaitu studi pada guru-guru SMU di Surabaya. Secara signifikan, ditemukan bahwa penerapan kepemimpinan transformasional dari kepala sekolah akan meningkatkan kepuasan kualitas kehidupan kerja dan perilaku ekstra peran dari para guru. Senada dengan penelitian di atas, Tesis yang ditulis oleh Karim 2009 mengkaji empat dimensi kepemimpinan transformasional di UIN Malang. penelitian ini dilaksanakan dengan fokus untuk menemukan tipe kepemimpinan transformasional yang diterapkan oleh pemimpin rektor di UIN MALIKI Malang 38 dengan didasarkan pada empat komponen pengukuran perilaku kepemimpinan transformasional perspektif Bass yaitu Idealized Influence, Inspirational Motivation, Intellectual Stimulation, Individual Consideration. Penelitian kualitatif ini menghasilkan satu kesimpulan yaitu berdasarkan temuan-temuan pada masing- masing empat komponen perilaku kepemimpinan transformasional, perilaku kepemimpinan di UIN MALIKI merupakan tipe kepemimpinan transformasional. Perilaku transformasional tersebut telah terbukti berkontribusi besar terhadap pengembangan UIN MALIKI. Dengan metode eksploratori, Davis 2007 dan Mills 2007, meneliti kepemimpinan transformasional. Disertasi pertama meneliti tentang karakteristik kepemimpinan transformasional dari enam pemimpin wanita di Amerika Serikat. Karakteristik kepemimpinan yang paling penting dari pemimpin transformasional yaitu kepercayaan diri, visioner, memiliki kemampuan untuk menginspirasi para pengikut, fokus pada misi, menjadi pembangun tim, pengikut yang tumbuh dan bernilai, memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi potensi kepemimpinan di pengikut, serta memiliki kemampuan dan kemauan untuk mendengarkan, mendengar dan menerima masukan dari pengikut. Hal lain yang dapat menjadi pengetahuan mengenai karakteristik pemimpin adalah adanya hambatan yaitu sedikit peluang bagi wanita untuk menduduki posisi tertinggi di suatu perusahaan. Sedangkan penelitian Mills 2007 mencoba menggali dari keempat faktor kepemimpinan transformasional yang paling berhubunganbertanggung jawab terhadap retensi karyawan dalam organisasi. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada salah satu dari empat faktor kepemimpinan transformasional secara statistik lebih signifikan dari yang lain, mereka secara statistik sama dalam mempromosikan retensi. Persepsi kepemimpinan transformasional kedua penelitian tersebut diukur dengan menggunakan Multifactor Leadership Questionnaire MLQ. Dari hasil-hasil penelitian di atas terlihat bahwa kepemimpinan transformasional dapat diterapkan pada berbagai bidang. Dalam dunia bisnis maupun pada institusi pendidikan tinggi, terbukti bahwa kepemimpinan transformasional 39 menunjang dan berkontribusi pada kemajuan organisasi. Dimensi-dimensi yang dijabarkan memiliki kesamaan karena mengacu pada Multifactor Leadership Questionnaire MLQ yang dikembangkan oleh Bernard Bass.

2.1.6 Kualitas Kehidupan kerja Quality of Work Life

Sejarahnya dimulai di Arden house pada tahun 1972 di AS. Pertemuan tersebut untuk mendiskusikan dua gerakan, yang pertama adalah gerakan politik di Eropa barat yang disebut “demokrasi industrial”. Gerakan ini bertujuan agar negara- negara di Eropa Barat mensahkan aturan partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan korporat. Gerakan kedua, dilandasi oleh teori sosial tentang “humanizing the workplace”. Semakin tinggi qwl, maka akan semakin tinggi tingkat kepuasan dan produktifitas kerja karyawan Idris et al 2006. Para manajer dan pimpinan organisasi menghadapi tantangan besar saat ini. Hal ini disebabkan karena angkatan kerja dewasa ini lebih terdidik daripada masa sebelumnya. Namun pengamat ekonomi meyakini bahwa mutu pekerjaan akan menurun senantiasa, sementara posisi-posisi yang lebih baru memberikan kepada karyawan lebih sedikit tantangan dan kepuasan ego, yang terdapat dalam pekerjaan- pekerjaan yang dihapuskan secara bertahap. Ada asumsi bahwa tingkat pekerjaan yang lebih tinggi secara khusus disertai oleh tingkat harapan yang meningkat. Bila pimpinan tidak mampu memenuhi harapan-harapan karyawan akan menyebabkan ketidakpuasan kerja dan melemahnya etika kerja Kossen, 1993. Pimpinan organisasi berusaha menemukan cara mengatasi kebosanan karyawan yang disebabkan oleh ketidakpuasan kerja tersebut, terutama menyangkut masalah kemerosotan mutu kehidupan kerja. Produktivitas organisasi dipengaruhi oleh mutu perlengkapan, alat-alat, dan faktor-faktor teknis dan material lain. Organisasi yang mengenal peranan sumber daya manusia dan perbaikan produktivitas dan menghargai kekuatan tenaga kerja yang mempunyai komitmen, terutama diarahkan pada sumber daya dan manajemen, terhadap pengembangan lingkungan dimana pekerja dapat memberikan kontribusi pada perbaikan kinerja pada kapasitas maksumum. Usaha seperti ini dinamakan sebagai quality of work life atau strategi 40 pelibatan pekerja Wibowo, 2009. Mutu kehidupan kerja quality of work life juga mempengaruhi produktivitas Kossen, 1993. Hal ini dapat dilihat dari efektif atau tidaknya lingkungan pekerjaan memenuhi keperluan-keperluan pribadi dan nilai-nilai para karyawan. Menurut Stan kossen suatu faktor yang meningkatkan QWL seorang karyawan belum tentu berpengaruh atau memiliki sedikit pengaruhnya pada QWL pekerja lain. Wibowo 2009, mengungkapkan bahwa lingkungan dengan quality of work life tinggi ditandai oleh karakteristik berikut: a. Pekerja berpeluang mempengaruhi keputusan. b. Pekerja berpartisipasi dalam pemecahan masalah. c. Pekerja mendapatkan informasi lengkap tentang pengembangan dalam organisasi d. Pekerja mendapatkan umpan balik bersifat konstruktif e. Pekerja senang menjadi bagian dari tim dan meningkatkan kolaborasi f. Pekerja merasa bahwa pekerjaannya bermakna dan menantang g. Pekerja merasakan adanya keamanan kesempatan kerja Sedangkan Kossen 1993 mengemukakan delapan kategori utama yang bersama-sama merupakan QWL, yaitu: 1. Kompensasi yang memadai dan wajar. Karyawan dapat mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri berkaitan dengan hal ini, seperti adakah upah atau gaji sebanding dengan jumlah yang diterima orang-orang lain dalam posisi yang sama? Artinya imbalan yang diterima oleh karyawan harus sepadan dengan imbalan yang diterima oleh orang lain yang melakukan pekerjaan yang sejenis. 2. Kondisi-kondisi lingkungan kerja yang aman dan sehat. Dapat dilihat lingkungan kerja yang relatif bebas dari risiko berlebihan yang dapat mengakibatkan cedera atau penyakit pada karyawan. Segi penting dari kondisi ini misalnya jam kerja yang memperhitungkan daya tahan manusia yang terbatas dalam melakukan pekerjaan. 3. Kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitas manusia. Bagaimanakah hubungan pekerjaan tersebut dengan harga diri karyawan, serta apakah mereka merasa terlibat dan tertantang dalam pekerjaan itu?