Kampung Joglo merupakan masyarakat yang bergerak di dua sektor pekerjaan sekaligus yaitu sebagai petani dan pekerja perusahaan atau berdagang, sehingga
memiliki kemampuan keuangan yang lebih tinggi dalam menopang kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup utama ditopang dari hasil berdagang atau bekerja di
perusahaan pertambangan, sedangkan hasil pertanian hanya digunakan untuk konsumsi keluarga saja atau subsisten.
Di Kampung Gunung Cabe, jumlah masyarakat lapisan bawah yang memiliki luas lahan pertanian tinggi, lebih banyak dibandingkan dengan lapisan
atas. Sebesar 13 persen pada lapisan atas memiliki lahan dengan luas antara 1000 hingga 5000 meter persegi. Terdapat 24 persen atau sebanyak dua rumahtangga
yang memiliki luas lahan pertanian antara 100 hingga 1000 meter persegi, sedangkan hanya sebesar 25 persen atau sebanyak satu rumahtangga saja pada
lapisan atas yang memiliki luas lahan antara 100 hingga 1000 meter persegi. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat pada lapisan bawah di Kampung Gunung
Cabe hanya bergerak di sektor pertanian. Pemenuhan kebutuhan hidup sangat bergantung pada sektor pertanian sehingga rumahtangga tersebut lebih memilih
untuk tidak menjual lahan yang dimiliki. Namun secara agregat, mayoritas masyarakat di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe berstatus tidak
memiliki lahan pertanian. Hal ini akan menimbulkan dampak pada semakin sempitnya kesempatan kerja sektor pertanian.
5.5 Rumahtangga yang Menjual Lahan Pertanian
Proses transformasi sektor pertanian menuju sektor non pertanian atau sektor pertambangan di Desa Cipinang terlihat dengan semakin rendahnya jumlah
luas lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini kemudian akan berdampak terhadap semakin menurunnya kesempatan kerja sektor pertanian.
Kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Desa Cipinang. Mayoritas masyarakat yang pada awalnya bermatapencaharian
sebagai petani saat ini dituntut untuk melakukan strategi bertahan hidup yaitu dengan bekerja di sektor non pertanian. Namun rendahnya pendidikan dan
keterampilan yang dimiliki, menjadikan masyarakat lokal tidak mampu bersaing untuk menduduki posisi layak di sektor pertambangan. Tingginya tingkat
persaingan antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang untuk dapat
bekerja di sektor pertambangan menjadi pemicu terjadinya konflik antara kedua pihak tersebut. Hal ini dikarenakan sektor pertanian yang pada awalnya menjadi
sumber matapencaharian utama masyarakat lokal mengalami penurunan seiring dengan adanya keputusan dari masyarakat lokal untuk menjual lahan pertanian
yang dimiliki kepada pihak industri pertambangan.
Keterangan:
n
Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n
Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 15. Jumlah Rumahtangga yang Menjual Lahan Pertanian Berdasarkan Lapisan Sosial
Berdasarkan Gambar 15 di atas terlihat bahwa sebesar 50 persen atau sebanyak tiga rumahtangga pada lapisan atas di Kampung Joglo pernah menjual
lahan pertaniannya kepada perusahaan pertambangan. Jumlah total luas lahan yang dijual oleh ketiga rumahtangga tersebut adalah seluas 0,41 hektar. Pada
umumnya mayoritas lahan pertanian di Kampung Joglo dimiliki oleh lapisan atas, sehingga hanya lapisan atas di kampung tersebut saja yang dapat menjual lahan
pertaniannya kepada pihak perusahaan pertambangan. Sementara itu di Kampung Gunung terdapat sebesar 33 persen pada lapisan atas, enam persen lapisan
menengah dan 14 persen lapisan bawah menyatakan pernah menjual lahan pertanian kepada pihak perusahaan pertambangan dengan jumlah total lahan yang
dijual adalah seluas 2,35 hektar. Pada umumnya hasil penjualan lahan pertanian tersebut digunakan masyarakat untuk membiayai pengobatan anggota keluarga
yang sakit, renovasi rumah dan membeli sawah di tempat yang berbeda.
Kampung Joglo Jumlah pertambangan banyak
Kampung Gunung Cabe Jumlah pertambangan sedikit
Persentase responden
5.6 Persepsi Kesempatan Kerja