11
Sutjihati Somantri 2007: 94 menyatakan bahwa tunarungu mengalami kehilangan pendengaran baik sebagian hard of hearing
maupun seluruh deaf yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional di dalam kehidupan sehari-hari. Adapun
menurut Tin Suharmini 2009: 35 juga berpendapat, bahwa “tunarungu adalah anak yang mengalami kerusakan pada indera pendengaran,
sehingga tidak dapat menangkap dan menerima rangsang suara melalui pendengaran”.
Berdasarkan pendapat di atas dapat diartikan bahwa anak tunarungu adalah individu yang mengalami gangguan pada pendengaran
baik secara struktural maupun fungsional sehingga indra pendengaran tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu, anak
tunarungu mengalami hambatan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Klasifikasi Anak Tunarungu
Mohammad Efendi 2006: 63-64, mengemukakan klasifikasi anak tunarungu berdasarkan lokasi terjadinya ketunarunguan yaitu tunarungu
konduktif, tunarungu perseptif, dan tunarungu campuran. Berikut penjelasan ketiga klasifikasi anak tunarungu, yaitu
a. Tunarungu konduktif , klasifikasi ini disebabkan kerusakan atau
tidak berfungsinya alat-alat penghantar suara pada telinga bagian tengah. Ketunarunguan ini terjadi karena pengurangan intensitas
12
bunyi yang mencapai pada bagian dalam, dimana syaraf pendengaran tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
b. Tunarungu perseptif, klasifikasi ini disebabkan karena kerusakan
atau ketidakfungsian pada alat-alat pendengaran pada bagian dalam, sehingga tidak dapat meneruskan rangsangan ke pusat pendengaran.
c. Tunarungu campuran, klasifikasi ini terjadi campuran antara
ketunarunguan konduktif dan ketunarunguan perspektif. Kelainan pendengaran ini disebabkan atau ketidakfungsian pada penghantar
dan penerima rangsang suara. Andreas
Dwidjosumarto Sutjihati
Somantri 2006:
95 mengemukakan bahwa klasifikasi anak tunarungu menurut tarafnya dapat
diketahui dengan tes audiometris. Menurut tarafnya, tunarungu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Tingkat I, kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai
54 dB, penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus.
b. Tingkat II, kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai
69 dB, penderita kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus, dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan
latihan berbicara dan bantuan latihan berbicara dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.
c. Tingkat III, kehilangan kemampuan mendengar antar 70 sampai
89 dB. d.
Tingkat IV, kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas. Masing-masing anak tunarungu memiliki karakteristik yang
berbeda-beda karena masing-masing anak tunarungu mempunyai tingkat pendengaran yang berbeda pula. Oleh karena itu, dengan adanya
pengklasifikasian ini dapat ditentukan layanan pendidikan yang tepat
13
bagi anak tunarungu sesuai dengan tingkat ketunarunguan sehingga potensi yang dimiliki anak tunarungu dapat dimaksimalkan. Klasifikasi
tersebut akan berpengaruh terhadap kemampuan anak tunarungu dalam menerima dan memahami materi yang disampaikan kepada anak. Materi
dalam penelitian ini adalah menulis deskripsi.
3. Karakteristik Anak Tunarungu
Setiap anak tunarungu mempunyai karakteristik masing-masing dan berbeda-beda. Permanarian Somad dan Tatik Hernawati 1995: 35-
39 mengemukakan bahwa ada tiga macam karakteristik anak tunarungu yaitu karakteristik dalam segi inteligensi, bahasa dan bicara, serta emosi
dan sosial. a.
Karakteristik dalam segi inteligensi Kemampuan intelektual anak tunarungu sama seperti anak
normal. Anak tunarungu yang memiliki inteligensi normal atau rata- rata, akan tetapi karena perkembangan inteligensi sangat dipengaruhi
perkembangan bahasa, maka anak tunarungu akan menampakkan inteligensi rendah disebabkan karena kesulitan memahami bahasa.
Aspek intelegensi anak tunarungu yang bersumber verbal seringkali rendah, namun aspek intelegensi yang bersumber pada penglihatan
dan berupa motorik dapat berkembang dengan cepat.