serangga dan pada umumnya toksisitasnya terhadap mamalia lebih rendah dibandingkan dengan pestisida lainnya. Mekanisme kerjanya
secara kontak dan tidak sistemik. Pestisida golongan organofosfat dan karbamat merupakan jenis
yang paling banyak digunakan. Di dunia, penggunaan pestisida sudah melebihi satu juta ton tiap tahunnya dimana 28 penggunaaannya
adalah jenis organofosfat dan karbamat FAO, 2010 dalam Perveen, 2011. Bahan ini bukan hanya menimbulkan dampak pada lingkungan
namun juga pada kesehatan manusia. Beberapa pestisida yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia antara lain: Coroxon LD
50
: 12mgKg, Parathion LD
50
: 12mgKg, dan Ethion LD
50
: 12mgKg Gupta, 2006.
c. Mekanisme Toksisitas Pestisida masuk kedalam tubuh melalui beberapa cara. Pertama
melalui kulit, absorsi melalui kulit berlangsung terus selama bahan ini masih berada dikulit. Kedua melalui mulut tertelan karena
kecalakaan, kecerobohan
atau sengaja
bunuh diri
akan mengakibatkan keracunan berat hingga mengakibatkan kematian.
Ketiga melalui pernapasan dapat berupa bubuk, droplet ataupun uap yang dapat menyebabkan kerusakan serius pada hidung, dan
tenggorokan jika terhisap cukup banyak. Pestisida meracuni tubuh manusia dengan mekanisme kerja
sebagai berikut Ginting, 2011:
a Mempengaruhi kerja enzim hormon. Enzim dan hormon terdiri dari protein komplek yang dalam proses kerjanya perlu adanya
aktivator atau kofaktor yang biasanya berupa vitamin. Bahan racun yang masuk ke dalam tubuh dapat menonaktifkan aktivator
sehingga enzim atau hormon tidak dapat bekerja bahkan langsung non aktif. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh dan berinteraksi
dengan sel akan menghambat atau mempengaruhi kerja sel, contohnya menghambat hemoglobin dalam mengikat atau
membawa oksigen. b Merusak jaringan sehingga timbul histamine dan serotin. Ini akan
menimbulkan reaksi alergi, seperti gatal-gatal dan mual. c Fungsi detoksikasi hati hepar. Pestisida yang masuk ke tubuh
akan mengalami proses detoksikasi dinetralisasi di dalam hati oleh fungsi hati. Senyawa racun ini akan diubah menjadi senyawa
lain yang sifatnya tidak lagi beracun terhadap tubuh.
2. Pelarut Organik
Efek keracunan pelarut organik dapat bersifat akut dan kronik. Keracunan akut dapat mengganggu tingkat konsentrasi dan dapat bersifat
depresi susunan saraf. Beberapa golongan seperti keton dapat berakibat pada gangguan sistem saraf. Beberapa pelarut organik yang dapat
menyebabkan gangguan neurologi adalah acetone, benzene, carbon tetrachloride, carbon disulfide, methanol, tetrachloroethylene, toluene, n-
hexane,
dan trichloroethylene Ampulembang, 2004.
3. Logam Berat
Logam berat merupakan suatu bahan yang bersifat padatan yang dapat menimbulkan efek gangguan terhadap kesehatan manusia Widowati
dkk., 2008. Efek toksik dari logam berat mampu menghalangi kerja enzim sehingga dapat mengganggu metabolisme tubuh. Selain itu, efek
lainnya juga dapat berupa gangguan saraf, pencernaan, alergi, serta
bersifat teratogenik, mutagen, dan karsinogenik. Beberapa logam berat
yang digunakan manusia dengan tingkat toksisitas cukup berat seperti Hg,
Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, As, dan Zn Widowati dkk., 2008. 2.1.6
Efek bahan-bahan toksik pada sistem saraf 1.
Perubahan Struktural
Efek neurotoksik struktural merupakan perubahan neuroanatomi yang terjadi pada sistem saraf Amplumbang, 2004. Perubahan struktural
membuat perubahan pada morfologi sel dan struktur subselular. Perubahan selular seperti akumulasi, proliferasi, dan penyusunan ulang struktur elemen
filament intermediate dan mikrotubulus atau organelle mitokondria.
2. Perubahan Fungsional Neurobehavioral
Bahan-bahan toksik dapat menyebabkan perubahan fungsional sel saraf yang meliputi modifikasi motorik dan mengganggu aktifitas sensorik.
Perubahan fungsi saraf dapat mengakibatkan terganggunya sistem organ yang lain. Banyak sistem yang akan mengalami gangguan misalnya sistem
endokrin dimana beberapa hormon dan enzim akan mengalami gangguan dalam proses sekresi Williams, 2000.
Efek neurobehavioral didefinisikan sebagai gangguan fungsional saraf baik sistem saraf pusat maupun saraf tepi yang diakibatkan oleh paparan
suatu bahan kimia, agent fisik, maupun biologis yang lebih dikenal dengan zat neurotoksik. Sementara menurut
NAS 2003 bahwa efek neurobehavioral
diartikan sebagai perubahan pada kognisi, keadaan jiwa, dan perilaku yang dimediasi oleh sistem saraf pusat. Efek ini dapat diukur
dengan melalui pengamatan timbulnya gejala yaitu dengan kuesioner maupun tes yang tervalidasi.
Perubahan perilaku mungkin menjadi indikasi pertama terjadinya kerusakan sistem saraf. Seseorang yang terpajan zat toksik biasanya akan
mengalami perasaan yang tidak menentu, penurunan daya ingat, konsentrasi, dan kemampuan belajar NAS, 2003.
2.1.7 Diagnosis Efek Neurobehavioral
1. Evaluasi Neurologi Klinis Penilaian kemungkinan efek neurobehavioral pada individu dimulai
dengan evaluasi klinik untuk menyingkirkan penyebab lain. Evaluasi klinis pada kasus yang dicurigai termasuk rincian riwayat medis serta
pemeriksaan neurologis standar. Dimulai dengan wawancara dan pengumpulan riwayat medis, pasien ditanyakan mengenai kondisi medis
saat ini dan sebelumnya, obat-obatan yang sedang digunakan, serta kegemaran. Rincian informasi mengenai pekerjaan seperti tugas maupun
pajanan, rute dan durasi dari pajanan serta juga apakah ada rekan kerja
yang mengalami hal yang sama. Informasi-informasi tersebut sangatlah penting untuk mengarahkan kemungkinan penyebab.
Pemeriksaan neurologis diawali dengan penilaian status mental secara singkat, termasuk tingkat kesadaran, orientasi, gangguan bicara,
konsentrasi, memori, mood, dan affect. Kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap 12 saraf kranialis untuk membuktikan hubungan keluhan dengan
pajanan bahan neurotoksik Ampulembang, 2004. Selanjutnya, dilakukan evaluasi sistem motorik termasuk inspeksi
untuk melihat adanya atrofi, gerakan yang tidak biasa, dan tremor. Analisis dilakukan terhadap koordinasi, tonus otot, tahanan terhadap
regangan pasif, serta kekuatan otot. Penilaian terhadap fungsi sensorik termasuk rasa sakit, posisi, vibrasi, sentuhan ringan, dan temperatur juga
dilakukan. Terakhir, dilakukan pemeriksaan reflex tendon dan plantar Ampulembang, 2004.
2. Kuesioner Deteksi Dini Banyak kuesioner telah dibuat untuk dapat mendeteksi secara dini
efek bahan neurotoksik pada populasi pekerja atau populasi yang beresiko seperti Self Reporting Questionnaire SRQ 16 Swedish. Kuesioner ini
bertujuan menggambarkan gejala efek neurotoksik yang diakibatkan oleh pelarut organik Ampulembang, 2004. Selain itu, terdapat juga SRQ 20
WHO yang bertujuan untuk menggambarakan gejala neurotik WHO, 1994.