Hasil analisis bivariat menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan efek neurobehavioral p-value=1.000. Ampulembang
2004 yang meneliti efek neurotoksik juga tidak menemukan hubungan status gizi dengan kejadian efek neurotoksik p-value= 1.000. Alasan
rasional mengapa status gizi tidak berhubungan dengan efek neurobehavioral
adalah sebanyak 55 responden berstatus gizi normal, 60 diantaranya justru mengalami efek neurobehavioral. Selain itu, dari
55 responden tersebut ternyata 60 juga menggunakan pestisida organofosfat. Jadi, meskipun status gizi normal namun penggunaa
pestisida dari golongan yang sangat beracun tetap dapat menyebabkan gangguan fungsional saraf U.S EPA, 1998.
Gambar 6.5 Diagram Performa Neurobehavioral Berdasarkan
Status Gizi pada Petani Penyemprot Tanaman Sayur di Desa Perbawati Tahun 2013
Sumber: Analisis performa neurobehavioral berdasarkan status gizi
44.38 51.13
52.8
49.43
45.8 50.84
52.44
49.51
40 42
44 46
48 50
52 54
Status Gizi-Tdk Normal Status Gizi-Normal
M e
a n
S k
o r
P e
rf o
rm a
N e
u ro
b e
h a
v io
ra l
Digit Span Digit Symbol
Pursuit Aiming Trial Making
Gambar 6.5 menunjukan bahwa responden dengan status gizi tidak normal rata-rata cenderung memiliki performa neurobehavioral yang
lebih rendah dibandingkan responden dengan status gizi normal yaitu pada uji digit span dan pursuit aiming. Artinya, rata-rata responden
tersebut mengalami gangguan memori jangka pendek dan kemampuan kontrol motorik. Selanjutnya, hasil ini sejalan dengan Starks 2010 yang
menjelaskan bahwa petani dengan status gizi buruk memiliki kecenderungan untuk mendapatkan risiko gangguan neurologis lebih
besar bila bekerja dengan pestisida organofosfat dan karbamat. Status gizi yang buruk biasanya dapat berakibat menurunnya daya
tahan dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Pada kondisi seperti ini, protein dalam tubuh terbatas sementara beberapa enzim aktifator
neurotransmitter terbentuk dari protein. Jika ketersediaan protein
terganggu maka pembentukan enzim aktifator juga terganggu. Terganggunya enzim atau bahkan inaktif dapat menghambat hantaran
impuls sehingga terganggulah sistem saraf otak Starks, 2010. Disamping itu status gizi berlebih juga beresiko terhadap absorpsi zat
toksikan seperti organofosfat karena beberapa dari golongan ini bersifat lipofilik atau dapat larut dalam lemak Williams et al, 2000.
6.3.5 Stres kerja
Sistem respons fisiologik pada kondisi stress akut dan kronik, terdapat respon fight dan flight dimana berperan beberapa hormon. Tubuh
akan bereaksi terhadap stres. Stres akan mengaktifkan sistem saraf simpatis dan sistem hormon tubuh seperti kotekolamin, epinefrin,
norepinefrine, glukokortikoid, kortisol, dan kortison. Khusus untuk hormon kortisol yang dikeluarkan oleh korteks adrenal secara berlebih
menyebabkan kerja saraf pusat otak menjadi sedikit terganggu. Sehingga respon tubuh menjadi waspada dan menjadi sulit tidur
Ross, 2011. Berdasarkan tabel 5.14 diketahui 50 responden 75.8 tidak
mengalami stres dan 60 diantaranya mengalami efek neurobehavioral. Diketahui juga tidak ada hubungan yang bermakna dai hasil analisis
bivariat antara stres dan efek neurobehavioral p-value=1.000. Ross 2011 menyebutkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara kondisi stres dengan hasil performa neurobehavioral pada petani pengguna organofosfat. Namun demikian, mayoritas responden yang
sedang mengalami sakit dan stres cenderung memiliki performa neurobehavioral
yang buruk khususnya pada uji profile of moods state POMS dan pursuit aiming.
Anoraga 1998 menyebutkan stres yang dialami oleh seseorang dapat mengganggu situasi kerja serta konsentrasi dalam menyelesaikan tugas-
tugas. Selain itu, stres juga erat kaitannya dengan kondisi kesehatan seseorang. Kedaan stres dapat menurunkan daya imunitas tubuh sehingga
tubuh akan lebih mudah terinfeksi agen toksik. Stres juga membuat daya konsentrasi menurun hingga gangguan neuropsikologikal.
Gambar 6.6 Diagram Performa Neurobehavioral Berdasarkan
Stres Kerja pada Petani Penyemprot Tanaman Sayur di Desa Perbawati Tahun 2013
Gambar 6.6 menegaskan bahwa responden yang mengalami stres rata- rata cenderung memiliki performa buruk yaitu pada performa pursuit
aming . WHO 1986 menyebutkan responden dengan hasil buruk pada
pursuit aiming merepresentasikan gangguan pada fine motor control atau
kecakapan dalam mengendalikan saraf motorik. Hasil ini selaras dengan Ross 2011 yang menyebutkan bahwa 53.7 responden dengan skor
stres di atas 100 mengalami gangguan fine motor skill.
52.13
49.32 50.81
49.73
47.9 50.67
53.47
48.89
45 46
47 48
49 50
51 52
53 54
Stres Tidak Stres
M e
a n
S k
or P
e rf
or m
a N
e ur
obe ha
v ior
a l
Digit Span Digit Symbol
Pursuit Aiming Trial Making
Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan skor stres antara pengguna organofosfat mean=17.88
dan pengguna non organofosfat mean=20.42. Hasil ini sesuai dengan Ross 2011 yang menyebutkan pada penelitianya tidak terdapat
perbedaan yang signifikan rata-rata skor stres antara petani pengguna organofosfat dan tidak. Namun demikian kejadian depresi tercatat lebih
banyak terjadi pada petani yang didiagnosis mengalami keracunan pestisida.
6.3.6 Merokok
Proses pembakaran tembakau dan nikotina tabacum terjadi pada saat merokok yang kemudian mengeluarkan senyawa-senyawa toksik.
Diantaranya yang membahayakan kesehatan baik bagi perokok maupun orang disekitarnya adalah tar balangkin, nikotin, nitrogen sianida,
benzopirin, dimetil nitrosamine, N-nitroson nikotin, katekol, akrolein, karbon monoksida
CO, hydrogen sianida HCN, formaldehida, benzene, arsen, fenol
, dll. Pada dasarnya, tubuh manusia merespon bahan berbahaya yang ada pada rokok, seperti nikotin.
Tabel 5.7 menunjukan 28,8 responden merupakan perokok tingkat sedang dan dari hasil penelitian juga sebanyak 84.8 responden
merupakan perokok aktif. Fakta ini wajar mengingat Indonesia berada di peringkat ketiga setelah Cina dan India, di atas Rusia dan Amerika dalam