Konseptualisasi Konstruksi Realitas Sosial
Manusia sebagai individu sosial pun tidak pernah stagnan selama ia hidup ditengah masyarakatnya.
Asal mula konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme, yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut von Glasersfeld, pengertian
konstruktif kognitif muncul pada abad ini.
4
Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme:
5
1. Konstruktivisme radikal; konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui
apa yang dapat dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk ini tidak selalu representasi
dunia nyata.
Kaum konstruktivisme
radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai
suatu kriteria kebenaran. Pengetahaun bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologis obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh
pengalaman seseorang. Bentuk ini biasanya hanya mengakui apa yang dihasilkan oleh pikiran
kita. Mereka tidak menganggap pengetahuan sebagai sebuah realitas. Karena realitas adalah sesuatu yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.
Misalnya adalah, orang Barat akan menilai Islam sebagai sebuah agama yang mengajarkan kekerasan. Ini karena mereka melihat realitas yang
terjadi selama ini dalam sisi islam begitu banyaknya aksi-aksi kekerasan yang melibatkan umat islam dalam menegakan
amar ma’ruf nahi mungkar.
4
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana 2006, h. 193
5
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 14
2. Realisme hipotesis; dalam pandangan realisme hipotesis, pengetahuan
adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.
Dalam bentuk ini mereka mengakui pengetahuan sebagai sebuah hipotesis, lalu mereka membandingkannya dengan segala hipotesis yang
melibatkan sebuah relaitas sehingga meneguhkan diri mereka menuju pengetahuan yang hakiki. Misalnya islam belum tentu benar walaupun Al-
Qur‟an menuliskan keagungang kebenarannya, selama realitas dari umat islam itu sendiri tidak menunjukkan kebenaran dalam Al-
Qur‟an. Bentuk ini akan terus melakukan dugaan-dugaan terkait kebenaran pengetahuan
dan juga realitas yang terjadi dalam lingkungan social. 3.
Konstruktivisme biasa; konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai sebuah
gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya
sendiri. Antara pengetahuan dan pengalaman seseorang mampu menjadi sebuah
realitas dari seseorang. Lebih tepatnya pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh pengalaman seseorang dalam realitas tersebut yang mamou
membentuk dirinya dalam sebuah lingkungan. Menurut Mufid 2007, Berger dan Luckmann menilai proses mengkonstruksi
melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas, yakni symbolic reality, objective reality, dan subjective reality yang berlangsung dalam suatu proses dalam
tiga momen simultan: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
6
Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas termasuk ideologi dan keyakinan
serta rutinitas tindakan dan tingkahlaku yang telah mapan terpola tercakup di dalamnya adalah berbagai institusi sosial dalam pasar, yang kesemuanya dihayati
oleh individu secara umum sebagai fakta. Symbolic reality, merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai „objectiver reality‟, termasuk di
dalamnya teks industry media, representasi pasar, kapitalisme dan sebagainya dalam media. Sedangkan objective reality merupakan konstruksi definisi realitas dalam hal
ini misalnya media, pasar, dan seterusnya yang dimiliki individu dan di konstruksi melalui proses internalisasi.
Adapun dalam pandangan Peter L. Berger tiga tahapan yang dimaksud di sini adalah
7
: 1.
Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi
sifat dasar manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana dia berada.
Proses ini berawal dari latar belakang seseorang dalam melakukan pencurahan dirinya kedalam sebuah realitas. Proses ini dapat dilihat dari
latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Latar belakang akan mempengaruhi seseorang dalam melihat realitas.
6
Muhammad Mufid, Komunikasi dan Regulasi penyiaran, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, h. 92
7
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media Yogyakarta: LKiS, 2002, h. 16
2. Objektivikasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari
kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai
suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya.
Setelah manusia mencurahkan dirinya ke dalam sebuah realitas, maka mereka akan menghasilkan sebuah pemaknaan pada dirinya terkait dengan
realitas sekitarnya. Seorang yang berlatar belakang Muslim radikal misalnya akan melihat perjuangan Front Pembela Islam FPI sebagai
tindakan yang wajar dalam melakukan kekerasan untuk menegekan amar ma’ruf nahi mungkar. Sedangkan bagi seorang Muslim Moderat
perbuatan tersebut dinilai sebagai sebuah tindakan yang melanggar hukum. Karena akan mengganggu kerukunan umat beragama, selain itu
mereka juga akan menganggap FPI sebagai sebuah organisasi liar yang melakukan penertiban iman. Latar belakang seseorang akan menghasilkan
realitas yang berbeda dalam melihat kondisi social. 3.
Internalisasi, proses ini lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu
dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di
luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Malalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.
Dalam tahap ini adalah bagaimana manusia kembali merefleksikan apa yang telah ia hasilkan melalui pencurahan dirinya ke dalam sebuah realitas
dan melihat apa yang dipersepsikan oleh lingkungan sekitar terhadap realitas yang sama. Misalnya, sebagai pekerja media, seorang wartawan
tidak akan mungkin menuliskan hasil pencurahan dirinya dalam sebuah realitas untuk dijadikan sebuah berita. Biasanya mereka dibatasi oleh
pengertian-pengertian yang dihasilkan oleh rapat redaksi dalam membuat realitas dalam sebuah pemberitaan. Dan ini terjadi pada tubuh media
manapun. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang
diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi.
8
Dari pernyataan seperti itu, berarti realitas tidak pernah memiliki wajah aslinya, akan
selalu ada perbedaan. Setiap orang akan memiliki tafsiran sendiri dalam menghadapi realitas. Pengalaman, preferensi, pendidikan, dan lingkungan pergaulan akan
menafsirkan sebuah realitas sosial dengan konstruksinya masing-masing. Ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial yaitu:
9
1. Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui
saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki oleh kapitalis. Dengan demikian, media massa tidak bedanya dengan super
market. Semua elemen media massa, termasuk orang-orang media massa
8
Ibid, h. 18
9
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 209-210
berpikir untuk melayani kapitalisnya, ideologi mereka adalah membuat media massa yang laku di masyarakat.
2. Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini
adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya ad
alah untuk “menjual berita” dan menaikan rating untuk kepentingan kapitalis.
3. Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada
kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tidak pernah
menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar.
Jadi, dalam menyiapkan materi konstruksi, media massa memosisikan diri pada tiga hal tersebut di atas, namun pada umumnya keberpihakan kepada
kepentingan kapitalis menjadi sangat dominan mengingat media massa adalah mesin produksi kapitalis yang mau apaupun tidak harus menghasilkan keuntungan.
Tidak jarang dalam menyiapkan sebuah materi pemberitaan, terjadi pertukaran kepentingan di antara pihak-pihak yang berkepentingan, seperti pihak-
pihak yang berkepentingan dengan sebuah kepentingan pemberitaan, membeli halaman-halaman tertentu atau jam-jam siaran tertentu dengan imbalan pertukaran,
bukan saja uang dan materi lain, akan tetapi bisa menjadi blow up terhadap pencitraan terhadap pihak-pihak yang membeli pemberitaan itu.
a. Media dan Berita dilihat Dari Paradigma Konstruksionis
Pendekatan konstruksionis memiliki penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum
konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif.
10
Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta atas konstruksi, sudut pandang
tertentu dari pandangan wartawan. Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu.
Pertanyaan utama dalam pandangan konstruksionis adalah fakta berupa kenyataan itu sendiri bukan suatu yang terberi melainkan ada dalam benak kita yang
melihat fakta tersebut. Kitalah yang memberi definisi dan menentukan fakta tersebut sebagai kenyataan. Fakta ada dalam konsepsi pemikiran orang. Kitalah yang secara
aktif mendefinisikan peristiwa tersebut sebagai peristiwa kriminalitas politik.