40
a. Penyadapan
Di Indonesia hukum penyadapan diatur dalam sejumlah regulasi diantaranya UU Psikotropika membolehkan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dengan izin
Kepala Polri. UU Narkotika membolehkan Badan Narkotika Nasional BNN melakukan penyadapan dengan jin ketua pengadilan negeri, namun dalam kondisi yang mendesak
dapat pula dilakukan penyadapan tanpa jin. UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga membolehkan penyidik menyadap telepon dan perekaman pembicaraan hanya atas
izin ketua pengadilan negeri. UU KPK memperbolehkan melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi berdasarkan
keputusan KPK. UU Informasi dan Transaksi Elektronik mengjinkan penyadapan atas permintaan penyelidikan aparat hukum yang didasarkan UU, demikian pula UU
Telekomunikasi.
Berdasarkan pada berbagai UU terkait dengan penyadapan tersebut, sejumlah otoritas yudisial diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan yang rentan disalahgunakan
atau berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia. Penyadapan yang sewenang-wenang, tanpa dasar hukum dan dilakukan bukan untuk tujuan pengungkapan kejahatan adalah melanggar
hukum dan Hak Asasi Manusia. Oleh karenanya seharusnya penyadapan diatur secara ketat dan dirumuskan agar tidak berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia individu.
Larangan penyadapan juga sebetulnya dinyatakan dalam Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, menyatakan, “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan
atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun” . Di dalam
penjelasan Pasal 40 UU tersebut juga telah ditegaskan “yang dimaksud dengan penyadapan dalam Pasal ini adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi
untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang”
. Dalam hukum Hak Asasi Manusia internasional, berdasarkan komentar umum, pada
prinsipnya terdapat larangan atas pengamatan surveillance, baik secara elektronik maupun lainnya, penyadapan telepon, telegraf, dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya,
serta perekaman pembicaraan. Pengadilan Eropa secara konsisten telah menyatakan bahwa sejumlah penyadapan telephon tersebut sebagai “suatu campur tangan oleh otoritas
publik” terhadap hak pemohon yang mengajukan gugatan untuk dihormati hak atas korespondensi dan kehidupan pribadinya yang djamin dalam Pasal 8 Konvensi Eropa.
Suatu campur tangan yang agar sah, sebagaimana disebutkan diatas, harus “sesuai dengan hukum”, sesuai dengan satu atau dua dari tujuan-tujuan yang sah berdasarkan Pasal 8 ayat
2, dan terakhir, harus juga “diperlukan dalam masyarakat yang demokratis” untuk satu atau lebih dari tujuan-tujuan yang sah.
41
Tanpa menguji secara detail yurisprudensi Pengadilan terkait dengan “berdasarkan hukum”, adalah cukup dalam konteks ini untuk menunjukkan bahwa permintaan
penyadapan telephon harus mempunyai dasar dalam hukum domestik, suatu hukum yang tidak hanya harus “dapat diakses” tetapi juga “dapat diduga” seperti “maksud dan
sifat dari tindakan-tindakan yang dapat diterapkan”. Dengan kata lain, Pasal 8 ayat 2 Konvensi Eropa manyatakan “tidak hanya merujuk kembali pada hukum domestik tetapi
juga berhubungan dengan kualitas hukum, mensyaratkan adanya kesesuaian dengan rule of law
. Artinya, secara khusus, “bahwa harus ada suatu tindakan perlindungan hukum dalam hukum domestik atas campur tangan yang sewenang-wenang dari otoritas publik dengan
hak-hak yang djamin oleh “ Pasal 8 ayat 1, karena, khususnya “ketika suatu kekuasaan eksekutif berlangsung secara rahasia, resiko kesewenang-wenangan adalah jelas.”
Meskipun syarat atas dapat diduga tidak berarti bahwa seorang individu harus mampu untuk menduga ketika otoritas mungkin menyadap komunikasinya maka dia dapat
menyesuaikan tingkah lakunya yang sesuai. Akan tetapi hukum harus “cukup jelas dalam hal memberikan warga negara suatu indikasi yang layak seperti kondisi yang bagaimana
dan kondisi yang dimana otoritas publik berdaya untuk menggunakan kerahasiaan ini dan secara potensial campur tangan yang berbahaya terhadap hak untuk menghormati
kehidupan pribadi dan korespondensi. Syarat perlindungan hukum menyiratkan, dalam kata lain, bahwa hukum domestik harus menyediakan kecukupan perlindungan hukum
atas terjadinya pelanggaran, contohnya, dimana hukum mempertimbangkan suatu diskresi kekuasan atas kepentingan otoritas, hukum harus juga “menjelaskan cakupan diskresi
tersebut”.
b. Penggeledahan