83
Terkait dengan pengadilan in absensia, meskipun sampai saat ini belum ada perkembangan dan teori tentang pengadilan in absensia, namun pengadilan in absensia ini mungkin dapat
diterima dengan dilakukan kondisi-kondisi yang khusus. Telah jelas dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik berdasarkan Komentar Umum No. 13 dan 14 yang
menyatakan ketika pengadilan in absensi yang dilakukan sahatau beralasan, pengamatan yang ketat terhadap pembelaan adalah hal yang penting.
Konsekuensinya, meskipun pengadilan in absensia tidak melanggar Pasal 14 Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik, persyaratan dasar untuk adanya pengadilan yang adil harus djamin. Pengadilan in absensia hanya sesuai dengan Pasal 14 dalam hal terdakwa telah
dipanggil dalam waktu yang cukup dan diinformasikan adanya pengadilan terhadapnya, dan adanya pembuktian bahwa ada penghormatan atas prinsip-prinsip peradilan yang adil
dan tidak memihak.
Bahwa asumsi telah adanya pemanggilan dalam waktu yang cukup, Komite Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa dalam hal ini tidak cukup menjadi dasar untuk keabsahan dari
pengadilan in absensia bagi terdakwa. Pengadilan harus membuktikan adanya informasi
kepada terdakwa dan menunda persidangan sehingga tidak ada pelanggaran atas hak untuk hadir dipersidangan.
f. Hak untuk Tidak Dipaksa Bersaksi Melawan Dirinya Sendiri atau Mengakui
Perbuatan
Hak untuk tidak bersaksi atau memberikan keterangan yang melawan dirinya sama halnya dengan hak untuk tidak mengakui perbuatan, dimana seorang terdakwa mempunyai hak
ingkar. Hak ini djamin misalnya dalam Pasal 52 KUHAP yang menyatakan bahwa seorang terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada hakim. Dalam Pasal 166
KUHAP dinyatakan bahwa pertanyaan menjerat tidak boleh diajukan kepada terdakwa. Selain itu, hak ingkar ini memberikan hak terdakwa untuk menolak dakwaan meskipun
dengan memberikan keterangan yang tidak benar. Seorang terdakwa yang memberikan keterangan dimuka pengadilan dimana dia menjadi pihak yang diadili, atas keterangannya
yang tidak benar, tidak dapat dikenai sumpah palsu.
Dalam hukum Hak Asasi Manusia internasioal, sebagaimana dalam Pasal 14 ayat 3 huruf g Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang menyatakan bahwa “dalam penentuan setiap
dakwaan pidana terhadapnya setiap orang berhak untuk tidak dipaksa bersaksi terhadap dirinya sendiri atau mengakui bersalah”
. Berdasarkan Pasal 8 ayat 2 huruf g Konvensi Amerika “setiap orang berhak untuk tidak dipaksa menjadi saksi terhadap dirinya sendiri atau mengaku bersalah”
, dan Pasal 8 ayat 3 menyatakan “pengaduan bersalah oleh terdakwa hanya sah jika diberikan paksaan dalam
bentuk apapun” . Sementara piagam Afrika tidak mengatur tentang ini. Pasal 55 ayat 1 huruf a
Statuta ICC dan Pasal 20 ayat 4 huruf g dan 21 ayat 4 huruf g Statuta untuk ICTR dan ICTY melindungi hak untuk menjerat dirinya sendiri.
84
Dalam komentar umum No. 13 dalam menjamin hak tersebut terdapat dalam subparagraph 3 huruf g, Pasal 7 dan Pasal 10 ayat 1 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
Beberapa Pasal tersebut melarang perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat dan menyatakan semua orang yang dikurangi kebebasannya harus diperlakukan
manusiawi dan menghormati martabatnya sebagai manusia. Bahwa semua bukti-bukti yang dihadirkan dengan cara-cara yang tidak manusiawi untuk memaksa mengakui harus tidak
bisa diterima. Hakim harus mempunyai kewenangan untuk mempertimbangkan semua dugaan adanya pelanggaran terhadap hak-hak terdakwa dalam semua tahap pemeriksaan.
Bahwa dalam Panduan 16 atas Panduan untuk Peranan Penuntut Umum menyatakan bahwa penuntut umum harus menolak semua bukti yang dibuat dengan metode
cara yang melanggar hukum. Komite Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa jaminan bahwa tidak ada seorang pun dipaksa bersaksi melawan dirinya sendiri atau mengakui
bersalah, harus dipahami dalam hal ketiadaan tekanan isik dan psikologis baik langsung atau tidak langsung dari pihak berwenang yang melakukan penyelidikan terhadap
tersangkaterdakwa, untuk mendapatkan pengakuan bersalah. Komite Hak Asasi Manusia menemukan adanya pelanggaran terhadap Pasal 14 ayat 3 huruf g dalam kasus bahwa
tersangka dipaksa menandatangani pernyataan yang menyatakan dirinya bersalah, atau usaha-usaha yang telah dilakukan, termasuk melalui penyiksaan atau ancaman , untuk
memaksa tersangka melakukan pengakuan.
Terkait dengan hak ini terdapat larangan untuk mengunakan bukti-bukti yang didapatkan melalui cara atau perlakuan yang melanggar hukum. Berdasarkan panduan 16 panduan
peranan penuntut umum, jaksa penuntut harus menolak penggunaan bukti yang mereka ketahui atau percayai dengan bukti kuat diperoleh melalui metode yang melanggar hukum
yang merupakan pelanggaran berat atas hak asasi tersangka, khususnya ketika metode tersebut mencakup penyiksaan atau pelaggaran Hak Asasi Manusia lainnya.
Peraturan lain yang sangat terkait terdapat dalam Pasal 15 Konvensi Anti Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat
dan Pasal 10 Konvensi Hak Asasi Manusia Amerika untuk mencegah dan menghukum penyiksaan. Yang pertama menyatakan bahwa setiap Negara harus memastikan bahwa
setiap pernyataan yang dibuat dari hasil penyiksaan harus tidak masukkan sebagai bukti dalam setiap tahap, kecuali terhadap orang yang dituduh melakukan tindak penyiksaan,
sebagai bukti bahwa pernyataan itu telah dibuat. Kedua, menyatakan ketidakberlakuan sebagai bukti dalam suatu proses hukum.
Komisi Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa sangat penting untuk adanya penjeraan atas pelanggaran Pasal 4 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik bahwa hukum
harus melarang penggunaan ketidakberlakuan dalam proses peradilan pernyataan atau pengakuan yang dibuat melalui penyiksaan atau perlakuan lain yang dilarang.
85
Hak terdakwa untuk tidak dipaksa bersaksi melawan dirinya sendiri sah dalam proses persidangan. Hal ini berarti bahwa tidak boleh ada tekanan baik langsung atau tidak
langsung dari pemeriksa yang berwenang untuk tujuan mendapatkan pengakuan. Terdakwa yang mengakui bersalah setelah adanya tekanan yang tidak sah tersebut harus
dihadapkan pada pihak berwenang, termasuk para hakim, kegagalan dimana tersangka menghadapi resiko untuk tidak mendapatkan paksaan yang tidak sah dipertimbangkan
dalam kaitananya dengan penentuan dakwaan pidana. Hakim dan penuntut umum harus perhatian terhadap setiap indikasi paksaan yang tidak sah terkait dengan pengakuan dan
tidak diperbolehkan menggunakan pengakuan tersebut terhadap terdakwa. Penggunaan bukti dan pengakuan yang diperoleh melalui penyiksaan adalah melanggar hukum dan
harus dilarang oleh hukum secara jelas.
g. Hak untuk Meminta, Memeriksa dan Diperiksanya, para Saksi