Kesultanan Serdang Kesultanan-kesultanan Sumatera Timur .1 Kesultanan Deli

66 Mengenai adat dan kebudayaan yang di pakai di negri Deli adalah adat dan budaya Melayu, yang menapis dan memasukkan juga unsur-unsur kebudayaan lainnya yang positif ke dalam kebudayaan Melayu guna mencapai perpaduan masyarakat yang kompak dan harmonis. Dalam konteks seni zapin, beberapa insan dari Kesultanan Deli ada juga yang aktif sebagai seniman dan pencipta tari dan lagu-lagu zapin. Yang paling cukup menonjol adalah Tengku Sitta Saritsyah. Ia adalah seorang penari dan sekali gus juga pencipta tari zapin. Di antara ciptaan tari zapin beliau yang terkenal adalah Zapin Deli. Musik iringan tarian ini dibawakan oleh para pemusik Sri Indra ratu SIR. Zapin yang mereka bawakan biasanya dipertunjukkan di kawasan Medan dan sekitarnya. Adakalanya juga dipertunjukkan di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Afrika Selatan, Belanda, Jerman, dan lainnya. Bagaimanapun karya-karya tari dan lagu zapin di istana Kesultanan Deli ini cukup memebrikan inspirasi musikal bagi Zul Alinur yang memang bertempat tinggal di Kota Medan. Selanjutnya kita liuhat bagaimana eksistensi Keslutanan Serdang, yaitu kesultanan yang sangat aktif membina dan mengembangkan kesenian-kesenian Melayu, termasuklah di antaranya zapin.

2.3.2 Kesultanan Serdang

Di kawasan lain Sumatera Timur, berjarak lebih kurang 39 kilometer dari Kota Medan menuju ke arah timur, terdapat kesultanan Serdang. Kesultanan ini berbatasan dengan sebelah utara kesultanan Langkat dan Selat Melaka, sebelah Universitas Sumatera Utara 67 selatan dengan Simalungun dan Kesultanan Deli, sebelah timur dengan kesultanan Asahan dan Selat Melaka, sebelah barat dengan Tanah Karo dan Tapanuli. Serdang adalah salah satu dari empat kesultanan besar di Sumatera Timur. Di masa Sultan Basyaruddin 1850-1880 istana berada di Rantau Panjang. Digantikan oleh Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, istana dipindahkan ke Perbaungan. Pengangkatan dan pemberhentian orang besar Landsgrooten kesultanan harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda. Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman 1881-1946 Kesultanan Serdang memasuki kejayaan karena konsesi-konsesi tanah yang dibagi-bagikan kepada pengusaha swasta Eropa yang menanamkan sahamnya dalam industri perkebunan. Pada masa Sultan Thafsinar Basyarsah yang lebih dikenal sebagai Sultan Besar 1790-1850, ibu negeri Serdang berada di Rantau Panjang. Karena letaknya dekat dengan pantai, kerajaan ini cepat berkembang dan menjadi salah satu bandar terkenal di Sumatera Timur. Serdang di kala itu menghasilkan lada dan diekspor ke bandar perdagangan internasional, seperti Melaka. Di masa pemerintahan Sultan Besar, Serdang banyak dilalui kapal-kapal dengan tujuan perdagangan. Sebelum belayar ke negeri Sumatera Timur, biasanya kapal lebih dahulu singgeh di Rantau Panjang. Jika kapal akan ke Pulau Pinang sering belayar melalui Deli, Langkat, dan Serdang untuk mengambil lada Broersma 1919:16. Menurut Anderson yang melawat ke Serdang pada tahun 1823, di Rantau Panjang dijumpai tempat pembuatan kapal, dan jumlah penduduknya tiga ribu orang Universitas Sumatera Utara 68 Melayu dan delapan ribu orang Batak, yang gemar menghibur diri dengan melaga burung puyuh Anderson 1971:302-305. Unsur magis dalam kerajaan acapkali dihidup-hidupkan untuk memberi legitimasi sultan. Istana beserta perangkatnya memiliki daya magis yang luar biasa. Ibu kota kerajaan bukan saja sebagai pusat politik dan kebudayaan, tetapi juga pusat magis Geldern, 1972:6. Sultan dianggap sebagai peribadi sempurna. Namun dalam kebudayaan Melayu, boleh saja rakyat berontak, dengan mengikuti konsep: raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah. Sumber kekuasaan Sultan lain yang dapat mengukuhkan legitimasinya adalah alat-alat kebesaran, di antaranya: 1 alat-alat musik seperti gendang nobat, serunai, seruling, dan terompet; 2 beberapa mohor jawatan seperti kayu gamit, puan naya, taru, kumala, surat ciri, cap halilintar, ubor- ubor, bantal, dan langsir; 3 senjata-senjata seperti pedang, tombak, dan keris. Yang terakhir ini dipercayai mampu menjelma sendiri dan dipenuhi kuasa sakti sehingga dapat memusnahkan siapa saja yang memegangnya tanpa izin Gullick 1972:73-74. Pada tahun 1891 Sultan Sulaiman menikah dengan Tengku Darwisyah. Perkawinannya ini merupakan perkawinan politik. Tengku Darwisyah adalah saudara tiri Sultan Deli, yang ketika itu sering berselisih dengan Kesultanan Serdang karena soal batas kerajaan. Untuk menyelesaikan masalah wilayah ini pemerintah Belanda campur tangan melalui perkawinan antara Sultan Sulaiman dengan Tengku Darwisyah Mohammad Said t.t.: 67. Universitas Sumatera Utara 69 Kehidupan istana Serdang tidak ketat dengan adat upacara yang rumit. Upacara besar dalam istana adalah penabalan sultan. Sultan Serdang lebih senang berpergian ke tempat tertentu untuk menonton seni peryunjukan. Putra Mahkota Tengku Rajih Anwar adalah seorang pemusik yang sangat berbakat. Baginda pandai memainkan piano, gendang, serunai, dan terutama gesekan biolanya yang khas. Baginda juga pernah sekolah musik ke Jerman. Bentuk penyelenggaraan birokrasi kesultanan Melayu Sumatera Timur bercorak patrimonial, dan mengutamakan status sosial dalam hirarki jabatan. Sultan Melayu yang beragama Islam dalam kekuasaannya tetap didukung oleh bermacam-macam atribut suci dan sakti, walau pada kenyatannya bukan merupakan jaminan kesetiaan abadi para bawahannya Ratna 1990:xi. Dalam rangka memperluaskan apresiasi budaya, Kesultanan Serdang mengadakan hubungan dengan Kesultanan Yogyakarta, yang pada tahun 1922 menerima seperangkat gamelan Jawa lengkap dengan para pemainnya dari Sultan Yogyakarta. Dalam perkembangan sosial dan politik setelah Indonesia merdeka, para keturunan Sultan Serdang sangat dikenal di Sumatera Utara sebagai ahli-ahli intelektual, budayawan, dan tentara. Generasi Sinar ini menduduki beberapa jabatan strategis dalam tata pemerintahan di Sumatera Utara. Bahkan kesenian-kesenian dikembangkan oleh mereka, seperti: makyong, mendu, ronggeng, dan bangsawan. Para sultan yang memerintah Negeri Serdang adalah: 1 Raja Osman atau Teuku Umar; 2 Sultan Pahlawan Alamsyah; 3 Sultan Thaf Sinar Basyarah 1790-1850; 4 Sultan Basyarudin 1809-1850; 5 Sultan Sulaiman 1862- Universitas Sumatera Utara 70 1946, Sultan Sulaiman ini ditetapkan oleh Belanda menjadi Sultan Serdang pada tanggal 29 Januari 1887; 6 Sultan Abunawar Sinar, 7 Sultan pemangku budaya Melayu Serdang berikutnya adalah Tengku Luckman Sinar Basharshah II, S.H., Al- Haj. Kemudian setelah beliau meninggal, yaitu tepatnya pada tanggal 8 Januari 2011 yang baru lalu, ia digantikan oleh Drs. Ahmad Thala’a putra dari Almarhum Tengku Abunawar Sinar, Al-Haj, melalui kerapatan adat Negeri Serdang. Kini sebagian Pengurus Besar Majelis Adat dan Budaya Melayu Indonesia PB MABMI Sumatera Utara terdiri dari para warga Serdang ini. Dalam konteks zapin, maka di antara kesultanan-kesultanan Melayu di Sumatera Timur, peranan Kesultanan Serdang dalam membina dan mengembangkan seni zapin sangatlah begitu meononjol. Terutama di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah. Zapin yang terdapat di Negeri Serdang ini, menurut pendapat masyarakat dan beberapa pakar Melayu datang langsung dari Tanah Arab, khususnya Negeri Yaman. Menurut penjelasan Chairul Bahri bin Singah Zakaria wawancara 16 Mei 2011 zapin yang ada di Kesultanan Serdang datang langsung dari Tanah Arab. Seperti yang diceritakan para informan dari kawasan ini, seorang Melayu keturunan Jawa pergi ke Tanah Suci Mekah di abad ke-19 belajar ilmu agama dan seni termasuk zapin dari sana dan kemudian mengembangkannya di Serdang. Tokoh itu bernama Haji Razali. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Singah bin Zakaria, seorang penari, juga polisi dan kepala Desa di Pasar Bengkel Perbaungan Serdang. Universitas Sumatera Utara 71 Bahkan pendapat Singah bin Zakaria tentang seni zapin ini dikutip oleh Mohd Anis Md Noor 1995:90 sebagaai berikut. Kami menari untuk Tuanku sekurang-kurangnya dua kali sebulan. Tuanku suka sekali sama Gambus. Ada tempat seperti kotak di hadapan singgasana, dari Kepala Gajah. Tuaku mau melihat semua pemain: Wak Pian, Alang, Ja’apar Buta, Noh, Mail semuanya peningkah. Tengku Tobo, pemusik semua duduk di muka. Kami harus di samping, tidak dibenarkan seorang pun memberi belakang kepada penonton. Kotak tempat kami bernain itu dipagar keliling dan diikat sama kain kuning. Itu satu penghormatan menari di muka Tuanku, tapi kami ngeri. Tuaku kuat disiplin. Kami terpaksa kerja keras. Kalau saja kami juara satu dalam pertandingan, Tuanku mengadakan perayaan selama dua hari dua malam. Kami makan roti jala, kari, dan meronggeng. Hebat waktu itu. Demikian penjelasan Singah Zakaria mengenai sedikit memorinya sebagai penari zapin yang menari di muka Sultan Serdang saat itu. Tampak dari penjelasannya bahwa Sultan Serdang sangat gemar dengan kesenian. Selain zapin juga dipertunjukkan ronggeng, yang memang menjadi seni rakyat dan istana sekali gus. Fungsi seni ronggeng ini adalah untuk integrasi sosial, yang sesuai dengan kerajaan Serdang yang terdiri dari etnik Melayu, Simalungun, Karo, dan pendatang. Sultan juga menurut penjelaasan Singah Zakaria suka mengajak makan bersama, khas Melayu, yaitu roti jala dan kari kambing, sebagai kuliner tradisional Melayu.

2.3.3 Kesultanan Langkat