Apresiasi Publik pada Dewan Kesenian Jawa Tengah

82 Arus pemikiran ke dua mempersepsi kehadiran Dewan Kesenian sebagai lembaga mediasi kepentingan seniman dan dunia seni dengan lembaga birokrasi, sehingga sedikit banyak memiliki akses dalam proses kreatif, perumusan kebijakan pemerintah di bidang kesenian dan fungsi-fungsi kordinatif sesama lembaga kesenian. Pemikiran ini disampaikan antara lain oleh Retmono dan Eko Budihardjo Dewasa ini, sesudah lebih dari sepuluh tahun Dewan Kesenian Jawa Tengah aktif dalam kegiatan kesenian, persepsi di sekitar penolakan lembaga ini sudah tidak pernah diintrodusir, termasuk oleh mereka yang semula beranggapan bahwa lembaga ini hanya akan menjadi alat birokrasi dalam bidang kesenian. Meskipun demikian masih ada sejumlah seniman yang memiliki persepsi subyektif mengenai Dewan Kesenian Jawa Tengah, terutama pada aspek kinerja dan sistem manajemen DKJT. Persepsi tersebut antara lain menganggap kegiatannya tidak terukur, hasilnya tidak kelihatan, kegiatannya berorientasi pada proyek mencari keuntungan material, di samping masih ada yang beranggapan bahwa kehadirannya tidak relevan dengan kepentingan seniman. Persepsi terakhir sesungguhnya lebih merupakan refleksi pengurus DKJT dalam “melihat diri sendiri”. Dari analisis terhadap datadokumen organisasi, program kegiatan dan hasil kerja pengurus DKJT selama sepuluh tahun terakhir, sesungguhnya persepsi terhadap Dewan Kesenian Jawa Tengah yang berkonotasi miring itu sama sekali tidak benar. Disadari bahwa terdapat kekurangan keahlian atau profesi dalam menjalankan tugas-tugas keorganisasian, tetapi secara eksternal harus diakui 83 bahwa dalam sepuluh tahun terakhir kegiatannya, Dewan Kesenian Jawa Tengah telah berhasil meyakinkan publik seniman dan pemerintah bahwa eksistensinya sangat relevan dengan kebutuhan berekspresi seni dan perumusan kebijakan pemerintah daerah dalam pembinaan dan pengembangan kesenian. Adalah kenyataan bahwa Dewan Kesenian Jawa Tengah telah berhasil mendorong pembentukan Dewan-dewan Kesenian di seluruh KotaKabupaten se Jawa Tengah, maupun dalam mendorong wakil-wakil rakyat mengalokasikan dana kegiatan kesenian secara terstruktur dalam APBD di tingkat provinsi, kota dan kabupaten se Jawa Tengah, yang mungkin belum dilakukan oleh pemerintah provinsi, kota dan kabupaten lainnya di Indonesia. Dengan demikian, analisis tersebut telah menjawab hipotesis yang dikemukakan pada awal tesis bahwa penyelenggaraan sistem manajemen Dewan Kesenian Jawa Tengah telah mampu menjadi parameter atau tolok ukur prestasi kegiatan organisasi Dewan Kesenian Jawa Tengah, sekaligus menolak persepsi tidak adanya relevansi keberadaan Dewan Kesenian dengan kepentingan seniman atau lembaga organisasi kesenian.

4.6 Hasil Penelitian

Dari pembacaan dan pengolahan data yang tersedia, observasi lapangan dan simpulan hasil wawancara dengan sejumlah sumber, diperoleh gambaran mengenai objek penelitian sebagai berikut: 84

4.6.1 Tahap Perencanaan : Pola Hubungan Manajemen Organisasi

Mengacu pendapat Murdick dan Ross 1982 tentang fungsi-fungsi komunikasi manajemen, maka pengelolaan manajemen pada Dewan Kesenian Jawa Tengah secara kualitatif dapat dikategorikan pada tahap perencanaan manajemen dengan pola hubungan interrelasi. Namun secara teknis pola interrelasi tersebut lebih menyerupai pola hubungan yang naturalalamiah yaitu hubungan kekerabatan yang informal; semisal tata hubungan dalam keluarga yang paternalistik. Secara ekstrim, sistem manajemen pada DKJT bukannya berusaha mendekati bentuk pola komunikasi manajemen yang standard yaitu adanya interaksi, interrelasi dan interdependensi vertikal atau horizontal, namun cenderung menjurus pada pola hubungan informal yang “tidak lazim” dalam mekanisme manajemen organisasi secara proporsional. Oleh sebab itu meskipun Dewan Kesenian Jawa Tengah mengelola kegiatan administrasi dan kegiatan organisasi dengan prinsip-prinsip manajemen modern planning, organising, directing, controlling, terdapat kendala psikologis dalam pelaksanaan tertib manajemen, misalnya tidak adanya punishment hukuman, sanksi atas keterlambatan penyelesaian beban tugas masing-masing, maupun penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi. Sebagai contoh terdapat tiga kasus penggunaan anggaran kegiatan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan hasilnya, namun tidak ada penyidikan maupun sanksi yang diberikan pada yang bersangkutan.