Pusat Kesenian Jawa Tengah PKJT.

61 Akan tetapi, pada kenyataannya sesudah tiga tahun dibentuk, PKJT masih belum juga berfungsi sebagai pelaksana program kegiatan DKJT, juga belum dapat memberikan manfaat bagi komunitas seniman. Keberadaannya masih dalam batas legal – formal, aktifitasnya sangat tergantung pada DKJT, sehingga “adanya” PKJT sama saja dengan “tidak adanya” PKJT. Fenomena “organisasi dalam organisasi” tersebut dapat dilacak dari paparan perbandingan visi, misi, kegiatan dan berbagai aspek perbedaan pada analisis berikut, yang sesungguhnya hanya dalam batas-batas wacana. Pada kenyataannya, PKJT hanya merupakan bias dari cara berfikir struktural - fungsional, bukan kebutuhan berdasarkan realitas yang sesungguhnya. Tabel 1 Kerangka Dasar Pemikiran Eksistensi DKJT PKJT Aspek DKJT PKJT Status LSM Mitra kerja Pemprov Jateng, dikukuhkan dengan SK Gubernur Jawa Tengah UPT Unit Pelaksana Teknis dikukuhkan dengan SK Ketua Umum DKJT Visi Wadah para pakar, pengamat, peminat dan pejabat untuk merumuskan kebijakan pembangunan kesenian Wadah pekerja seni untuk mendina misasikan kehidupan kesenian dan apresiasi publik. Misi Menyerap aspirasi publik dan memadukannya dengan program pemerintah Menyediakan ruang gerak yang produktif bagi interaksi para pendukung kesenian Semangat Idealisme yang akomodatif untuk berbagai kepentingan publik kesenian Profesionalisme untuk kegiatan kreatif yang selaras dengan kode etik profesi Manajemen Semi profesional yang bertumpu pada peran musyawarah Profesional yang bertumpu pada distribusi peran dan tugas staf Hasil Kebijakan, konsep, wawasan program kerja Kegiatan, produksi, prestasi, apresiasi, jaringan, dokumen Evaluasi Kualitatif Komprehensif Diakronik Kuantitatif Objektif Sinkronik Sumber: Konsep Manajemen Pusat Kesenian Jawa Tengah 2006 – 2009 62 Meskipun secara logis substansi perbedaan itu dapat diterima,namun secara teknis hal itu sukar dilakukan karena beberapa alasan sbb : 1 Pembagian kewenangan dalam format “kebijakan” dan “teknis” sebenarnya sudah ada secara otomatis pada struktur organisasi DKJT yaitu aspek kebijakan terletak pada pengurus harian, sedangkan aspek teknis menjadi kewenangan komite-komite, sehingga status “unit pelaksana teknis” yang melekat pada PKJT sebenarnya tidak diperlukan karena merupakan duplikasi fungsi-fungsi komite. 2 Persepsi masyarakat terhadap eksistensi DKJT menjadi tidak utuh, sedangkan substansinya tidak lagi sama dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. 3 Pengalihan fungsi teknis kepada PKJT mengakibatkan komite-komite dalam DKJT kehilangan fungsinya, sedangkan selama ini komite-komite tersebut dapat melaksanakan sendiri program kerja pada bidang masing- masing, 4 Keberadaaan PKJT akan memperpanjang rantai manajemen dan birokrasi, menambah beban tugas dan anggaran, sehingga kehadirannya tidak efisien.

4.3 Landasan, Kelengkapan dan Perangkat Kerja Dewan Kesenian Jawa

Tengah Dewan Kesenian Jawa Tengah memiliki landasan organisasi, kelengkapan organisasi dan perangkat kerja sebagai pedoman dalam aktivitasnya. Landasan organisasinya adalah Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Ketetapan 63 Musyawarah Daerah, Ketetapan Rapat Kordinasi, Ketetapan Rapat Kerja dan Keputusan Rapat Pengurus Harian. Kelengkapan organisasinya terdiri dari Musyawarah Daerah, Rapat Koordinasi, Rapat Kerja dan Rapat Pengurus Harian, sementara perangkat kerjanya adalah Sekretariat dan Komite-komite, yaitu perwakilan dari berbagai kelompok seni seniman, antara lain komite sastra, komite teater, dsb. Dalam kegiatan sehari-hari, pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan diampu oleh Pengurus Dewan Kesenian Jawa Tengah yang terdiri dari Pengurus Harian, Ketua-ketua Komite dan Pengurus Pleno ps.11: 1. Komite mewakili keberadaan jalur seni tradisi dan modern, yaitu komite Seni Sastra, Teater, Musik, Tari, Rupa, dst. Meskipun Dewan Kesenian Jawa Tengah merupakan organisasi struktural, namun dalam sistem penugasan dan pendelegasian wewenang dilakukan secara langsung. Ketua Umum memiliki hak prerogatif untuk menunjuk anggota pengurus atau pimpinan komite mewakili organisasi, tidak dengan sistem “urut kacang”, melainkan dengan melihat kebutuhan secara kondisional. Mekanisme tersebut tentu memiliki implikasi manajemen, terutama pada aspek pengendalian dan pengawasan. Implementasi pola penugasan dan kewenangan secara langsung menunjukkan bahwa sistem manajemen dalam organisasinya Anggaran Dasar Dewan Kesenian Jawa Tengah. Bab IV Pasal 10 sudah dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen organisasi, yaitu “keteraturan sistem tanpa ketergantungan pada persona tertentu, melainkan pada sistem itu sendiri” Sondang, 2001;163.