Dasar Hukum dan Proses Pembentukan

53 Dewan Kesenian dipandang sebagai salah satu lembaga yang mampu melakukan fungsi-fungsi pelestarian, pembinaan dan pengembangan kesenian dari berbagai ancaman modernisasi tersebut. Rencana pembentukan DKJT ternyata mendapat sambutan yang meluas dari masyarakat maupun seniman. Pada tanggal 1 Mei 1993, Ir. Suyamto, Wakil Gubernur Jateng mengundang beberapa orang seniman untuk merumuskan konsep dasar, sementara beberapa seniman lain yang tidak dilibatkan dalam pertemuan tersebut membentuk Tim-7 pada tanggal 21 Mei dan menyampaikan gagasannya pada Ir. Suyamto. Sayang sehari sebelum itu Pemerintah Propinsi Jawa Tengah telah mengadakan pertemuan di hall B lantai V gedung Setda Jateng, yang dihadiri al. oleh Prof Ir Eko Budihardjo, MSc, Jaya Suprana, Djawahir Muhammad, Prof Drs Sardanto, NH Dini, Dullah, Mashoeri, Drs Soetrisman MSc, Triyanto Triwikromo, Koesnan Hoesi, dsb. Dalam pertemuan tersebut dirumuskan beberapa persoalan, diantaranya bahwa pembentukan DKJT tidak semata-mata karena adanya instruksi Mendagri, DKJT dapat dibentuk dalam waktu yang sesingkat mungkin, dan berfungsi untuk mendorong dan meningkatkan kehidupan kesenian di Jawa Tengah yang ditopang tiga pilar yaitu seniman, pemerintah dan masyarakat. Disarankan juga konsep statuta dan kesetaraan perlakuan seni tradisi dan modern. Forum tersebut akhirnya menghasilkan formatur pembentukan Dewan Kesenian Jawa Tengah yang terdiri dari Prof Ir Eko Budihardjo, Bambang Sadono SY, SH, Djawahir Muhammad, Prof Drs Sardanto Tjokrowinoto, Prof Drs Suwadji Bastomi, Drs Soetrisman, MSc, Drs. Setyadi Pancawijaya, Sugiarto, 54 Skar, Marco Marnadi, Drs Yudiono KS, dan Ir. Suyamto. Menjelang pembentukan pengurus DKJT bermunculan berbagai komentar dari pakar, seniman dan budayawan. Darmanto Jt misalnya mengemukakan pendapatnya bahwa sebaiknya Dewan Kesenian adalah lembaga manajemen seni, bukan lembaga kreativitas yang berfungsi “memproduksi seni”. Sutanto, networker seni dari Studio Mendut, Magelang berkomentar bahwa kesenian tidak dilahirkan oleh lembaga seni, dan oleh karena itu pembentukannya lebih ideal jika melalui sebuah proses inner-dynamic. Sementara budayawan Arief Budiman berpendapat perlunya independensi lembaga kesenian sebab keberadaan dewan kesenian diharapkan dapat menstimulir aktivitas dan kreativitas kesenian. “Jika dewan kesenian tetap diatur dan tidak memiliki otonomi, maka dewan tersebut tidak ada artinya” Setelah melalui polemik yang panjang, pada akhirnya Dewan Kesenian Jawa Tengah terbentuk dan diresmikan oleh Gubernur Jawa Tengah Ismail, pada tanggal 4 Agustus 1993, bersama pembentukan Badan Pertimbangan Kesenian Jawa Tengah BPKJT dan Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Jawa Tengah BPPKDJT. Selanjutnya, setiap tiga tahun terjadi pergantian pengurus harian DKJT dan Komite-komite disertai penyusunan program kerja.

4.1.4.2 Visi Dewan Kesenian Jawa Tengah

Visi Dewan Kesenian JawaTengah tidak tertulis secara formal dalam Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah Tangganya. Berdasarkan tujuan dan 55 fungsinya, visi DKJT dapat diformulasikan sebagai “ organisasi kesenian mitra kerja Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dalam melestarikan, mengembangkan, dan memelihara kehidupan kesenian masyarakat Jawa Tengah.” 4.1.4.2Misi 4.1.4.2.1 Misi Pengembangan Seni dan Kebudayaan Dari analisis program kegiatan yang dilaksanakan pada Dewan Kesenian Jawa Tengah, tampaknya misi organisasi ini tidak berorientasi pada struktur kelembagaan seni, tetapi pada kultur pemberdayaan kesenian. Misi kultural itu dapat dilihat misalnya dari keberpihakan DKJT pada program pelestarian lingkungan Candi Borobudur, melalui penyelenggaraan seminar Jagad Jawa pada bulan Mei 2003. Rekomendasi seminar ternyata dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk meninjau kembali perluasan kawasan komersial di sekeliling Candi Borobudur, yang terkenal dengan program “Jagad Jawa”. 2 Indikasi lainnya diperoleh dari penyelenggaraan acara “Dialog Budaya Islam dengan Budaya Jawa” yang diselenggarakan DKJT pada pertengahan tahun 2003. Tema ini merupakan tema yang cukup krusial karena locus DKJT yang berada dalam wilayah pengaruh kedua kebudayaan itu, maupun dilihat dari implikasi perbenturan dua arus kebudayaan tersebut yang dapat melibatkan sebagian besar masyarakat Jawa yang penganut sinkretisme. Selanjutnya dapat dilihat juga dari kegiatan “Festival Dunia Bambu” Agustus 2005 yang berusaha memberdayakan potensi bambu dari aspek sosial 2 Program ini semula bernama “Java Care”, sebuah rencana perluasan taman-taman di sekitar Candi Borobudur untuk kawasan bisnis yang diintrodusir oleh Pemerintah provinsi Jawa Tengah pada awal tahun 2002, namun ditolak masyarakat setempat sehingga dibatalkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada penghujung 2003 Kompas, 24 Maret 2004