pengumpulan data yang mana akan lebih bermakna apabila siswa ikut secara langsung dalam proses penggalian tersebut.
2.1.4 Teori Belajar yang Mendukung
2.1.4.1 Teori Belajar Bruner
Bruner mengemukakan dalil-dalil berdasarkan hasil dari pengamatan yang diadakan di sekolah-sekolah Suherman, 2003: 44-47. Dalil-dalil tersebut adalah
dalil penyusunan construction theorem, dalil notasi notation theorem, dalil kekontrasan dan dalil keanekaragaman contras and variation theorem, serta dalil
pengaitan connectivity theorem. Dalil penyusunan construction theorem menyatakan bahwa apabila anak
ingin mempunyai kemampuan dalam hal penguasaan konsep, teorema, definisi, dan
semacamnya, anak
harus dilatih
untuk melakukan
penyusunan representasinya. Anak-anak harus menguasai konsep dengan mencoba
melakukannya sendiri. Apabila anak aktif dan terlibat dalam kegiatan mempelajari konsep yang dilakukan dengan jalan memperlihatkan representasi konsep
tersebut, maka anak akan lebih memahaminya. Dalil notasi notation theorem mengungkapkan bahwa dalam penyajian
konsep, notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan suatu konsep harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mental
anak. Dalam pembelajaran matematika, notasi sering digunakan. Misalnya dalam menyatakan simbol-simbol yang mewakili suatu konsep, rumus, model
matematika dari penyelesaian soal, dan sebagainya. Notasi yang digunakan hendaknya mudah dimengerti oleh anak, tidak rumit, dan dapat dipahami.
Dalil kekontrasan dan dalil keanekaragaman contras and variation theorem menyatakan bahwa pengontrasan dan keanekaragaman sangat penting
dalam memahamkan konsep pada siswa. Konsep yang diterangkan dengan contoh dan bukan contoh merupakan salah satu cara pengontrasan yang memahamkan
anak dalam memahami karakteristik dari suatu konsep. Keanekaragaman contoh juga membantu anak memahami konsep karena contoh yang beragam dapat
memberikan pelajaran bermakna untuk siswa. Dalil pengaitan connectivity theorem menyatakan bahwa dalam
matematika antara satu konsep dengan konsep lain terdapat hubungan yang erat. Materi yang satu seringkali menjadi prasyarat bagi materi lain, atau suatu konsep
terrtentu diperlukan untuk menjelaskan konsep yang lainnya. Dengan demikian, siswa dapat memahami bahwa setiap konsep yang dipelajari penting untuk
dikuasai sebelum mempelajari konsep selanjutnya. Perkembangan intelektual siswa tergantung pada perkembangan kognitif.
Peningkatan perkembangan kognitif ditandai dengan semakin meningkatnya kemampuan menyelesaikan berbagai permasalahan yang tidak rutin. Untuk
mendukung kegiatan belajar siswa, guru hendaknya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif. Usia tidak menjadi dasar bagi Bruner dalam memahani
karakteristik perkembangan kognitif. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, sesuai yang dikutip Rifa
’i et al. 2009: 32-33, Bruner memiliki keyakinan bahwa ada tiga tahap perkembangan kognitif, antara lain sebagai berikut.
1 Tahap Enaktif
Pada tahap ini anak memahami lingkungannya. Misalnya, tidak ada kata yang membantu orang dewasa ketika mengajar anak berlatih naik sepeda. Belajar
naik sepeda berarti lebih mengutamakan kecakapan motorik. Pada tahap ini anak memahami objek sepeda berdasarkan apa yang dilakukannya, misalnya dengan
memegang, menggerakkan, memukul, menyentuh, dan sebagainya. 2
Tahap Ikonik Pada tahap ini informasi dibawa anak melalui imageri. Anak menjadi
tahanan atas dunia perseptualnya. Anak dipengaruhi oleh cahaya tajam, gangguan suara, dan gerakan. Karakteristik tunggal pada objek yang diamati dijadikan
sebagai pegangan, dan pada akhirnya anak mengembangkan memori visual. 3
Tahap Simbolik Pada tahap ini tindakan tanpa pemikiran terlebih dahulu dan pemahaman
perseptual sudah berkembang. Bahasa, logika, dan matematika memegang peran penting. Tahap simbolik ini memberikan peluang anak untuk menyusun gagasan
secara padat, misalnya menggunakan gambar yang saling berhubungan ataupun menggunakan bentuk-bentuk rumus tertentu.
Teori Bruner, dalam pembelajaran matematika, memiliki arti penting dalam upaya memahamkan siswa terhadap materi yang diajarkan. Tahapan
perkembangan kognitif tidak dibatasi oleh usia. Siswa pada sekolah menengah atas pun ada yang masih pada tahap Ikonik atau bahkan enaktif. Sehingga dalam
memahami materi ajar yang disampaikan secara simbolik, siswa mengalami kesulitan belajar. Dalam laporan hasil ujian nasional tahun pelajaran 2010-2011
yang disusun oleh Pusat Penilaian Pendidikan, dituliskan bahwa kemampuan penyelesaian soal aplikasi turunan fungsi dibandingkan kemampuan lain yang
diuji meraih persentase terendah dalam tingkat nasional, yaitu 47.70. Sedangkan Propinsi Jawa Tengah, meraih persentase 37.52 untuk kemampuan siswa
menyelesaikan soal aplikasi turunan fungsi. Jelas hal tersebut menggambarkan bahwa tidak semua siswa SMA mencapai tahap perkembangan simbolik. Oleh
karena itu, pembelajaran yang memahamkan siswa dengan pendekatan ikonik dan enaktif disarankan untuk diterapkan.
Materi geometri yang notabene memiliki objek abstrak, pun sama, memiliki kondisi yang mengkhawatirkan. Nurhasanah 2010: 4 mengutip bahwa
Rizal menyatakan dari seluruh cabang matematika, geometri menempati posisi paling memprihatinkan. Pembelajaran geometri yang terlalu simbolik dirasa tidak
cocok untuk dilakukan. Objek-objek abstrak geometri dapat di-ikonik-kan atau bahkan di-enaktif-kan agar dapat membantu siswa dalam menguasai materi
geometri.
2.1.4.2 Teori Belajar Piaget