Konsepsi Dasar Pengertian dan Fungsi Kecerdasan Emosional

Masyarakat pendidikan mendukung banyak organisasi untuk menanamkan filsafat intelektual sebagai kekuatan pendorong dibalik keberhasilan dalam hidup. Antonio R. Damasio, Kepala Bidang Neurologi di University of Iowa College of Medicine, mengatakan : “Kenyataannya, pembuatan keputusanpenalaran dan emosiperasaan memiliki titik potong di dalam bekerjanya fungsi-fungsi otak. Ada sekumpulan sistem didalam fungsi otak yang ditujukan untuk proses pemikiran yang berorientasi membuat tujuan yang kita sebut penalaran, dan untuk menyeleksi respon yang kita sebut pembuatan keputusan”. Sekumpulan sistem anatomi dan fisiologi otak yang sama ini juga terlibat dalam emosi atau perasaan yang menjadi fokus utama dari modul pelatihan ini. Perasaan memiliki keunggulan yang meliputi kehidupan mental kita. Perasaan ikut memutuskan bagaimana bagian otak lainnya dan kognisi melangsungkan fungsinya. Perasaan memiliki pengaruh yang sangat luas”. Robert Frost penyair Amerika menulis. “Sesuatu yang kita sembunyikan membuat kita lemah, sampai kita menemukan bahwa sesuatu itu adalah diri kita sendiri.” Setiap hari tak terbilang jumlahnya manajer dan profesional yang cemerlang dan efisien menunjukkan kebolehan mereka sebelum diterima bekerja dan ini memerlukan pengorbanan manusiawi dan finansial secara langsung maupun tak langsung dari kita semua. Apa yang mereka tinggalkan dibelakang adalah “sesuatu” yang Frost katakan: Hati. Mungkin lebih sedikit puitis, psikolog dari Unersitas Yale Robert Stemberg, ahli dalam bidang Succesful Intelligence, menyatakan, “Bila IQ yang berkuasa, ini karena kita yang membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk.” Kecerdasan emosional bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih, tetapi dari pekerjaan hati nurani manusia. KEEQ bukanlah tentang trik-trik penjualan atau cara menata ruangan. KEEQ bukanlah tentang memakai topeng kemunafikan atau penggunaan psikologi untuk mengendalikan, mengeksploitasi, atau memanipulasi seseorang. Kata “emosi” bisa secara sederhana didefinisikan sebagai menerapkan “gerakan,” baik secara metafora maupun harafiah, untuk mengeluarkan perasaan. Kecerdasan emosionallah yang memotivasi kita untuk mencari manfaat dan potensi unik yang kita miliki, dan mengaktifkan aspirasi dan nilai-nilai kita yang paling dalam, mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita jalani dalam hidup seperti sekarang ini. Emosi sudah sejak lama dianggap memiliki kedalaman dan kekuatan sehingga dalam bahasa Latin, misalnya, “emosi” dijelaskan sebagai motus anima yang arti harfiahnya “jiwa yang menggerakkan kita.” Berlawanan dengan kebanyakan pemikiran konvensional kita semua, emosi bukanlah sesuatu constructkonstruksi pemikiran yang bersifat positif atau negatif; tetapi emosi berlaku sebagai sumber energi, autentisitas, dan semangat manusia yang paling kuat, dan bilamana dikelola dengan tepat dapat memberikan kita sumber kebijakan intuitif. Pada kenyataannya, perasaan memberi kita informasi penting dan berpotensi menguntungkan setiap saat bilamana dipergunakan secara arif. Umpan balikfeedback inilah yang berasal dari hati, bukan kepala yang menyalakan kreatifitas membuat kita jujur terhadap diri kita, menjalin hubungan yang saling mempercayai, mem- berikan panduan nurani bagi hidup dan karir, menuntun kita kemungkinan yang tak terduga, dan malah bisa menyelamat- kan diri kita atau organisasi dari kehancuran. Sehingga dalam berbagai kajian pardigma pembelajaran terutama disiplin “Personal Mastery” dihubungkan dengan kemampuan spiritual dan ilahiah seseorang. Tentu saja tidak cukup hanya memiliki perasaan. Kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual sekalipun menuntut kita untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan pada diri kita dan perasaan orang lain dan untuk menanggapinya dengan cepat tepat, menerapkan prinsip-prinsip dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari yang semakin kompleks. Definisi lengkapnya secara opersional sebagai berikut: “Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi.” Selama satu dekade sekarang, beberapa dari pemikir kepemim- pinan kita yang paling baik telah menyarankan kita untuk mengikutsertakan emosi pada diri kita sendiri dan dalam memahami orang lain. Pakar-pakar ilmu bisnis ini, terutama mereka yang telah membentuk pengertian kita mengenai kepemimpinan dan manajemen seperti yang kita praktekkan sekarang ini, termasuk Russel Ackkof, Chris Argyis, Peter Senge Abraham Zaleznik, dan Henry Mintzberg, yang pertama kali menyarankan dalam artikel di Harvard Bussines Review 1976 bahwa pada intuisilah, bukan analisis, kita mencari mata rantai manajemen yang hilang. Pikirkan juga tulisan Gary Hamel dan Michael Hammer, dari antara banyak yang lain. Peter Senge, direktur “Organizational Learning Center” di MIT, mengingatkan mereka yang hanya bergantung pada intelek: “Orang dengan penguasaan diri yang sangat tinggi tidak mampu lagi memilih antara nalar dan intuisi, atau antara pikiran dan hati, sebagaimana halnya mereka tidak akan mampu memilih berjalan dengan sebelah kaki atau melihat dengan sebelah mata.” Ketika kita menggunakan bukan hanya otak analitis yang terletak dibagian otak sebelah kiri kita tapi juga emosi dan intuisi, indra dan kecerdasan emosional yang berlokasi dalam otak sebelah kanan yang fungsinya lebih integratif. Kita akan mampu melirik dalam seketika ratusan pilihan atau skenario yang mungkin untuk menghasilkan pemecahan terbaik dalam waktu hanya beberapa detik, bukan berjam-jam. Dan berbagai penelitian mengindikasikan bukan hanya kecepatan proses ini tetapi kemungkinan jawaban yang baik atau lebih baik yang akan ditemukan oleh orang yang menggunakannya daripada mereka yang semata-mata bergantung pada intelek semata-mata. Berbagai penelitian inipun masih harus kita rangkaian secara sistemik dengan pandangan yang sistemik dan holistik seperti yang telah diletakkan oleh pandangan Psikologi Gestalt seperti dirintis oleh penelitian Kohler sebelumnya.

2. Manfaat Mempelajari Emosi

Sebelum berbincang tentang kecerdasan emosi tentunya. pertu dibahas lebih dulu apa yang disebut dengan emosi. Emosi berasal dari bahasa latin movere yang berarti menggerakan, 9 bergerak, ditambah awalan-e untuk memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Sedangkan menurut Oxford English Dictionary yang dimaksud dengan emosi adalah “setiap kegiatan atau pengolahan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap. Beberapa ahli mengelompokan emosi kedalam beberapa golongan yaitu: a. Amarah : Beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak kekerasan, kebencian. b. Kesedihan : Pedih, sedih, muran, suram, melan-kolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, depresi berat. c. Rasa takut : Ngeri, gugup, takut, cemas, khawatir, was-was, waspada, tidak tenang, kecut dan panik. d. Kenikmatan : Senang, gembira, bahagia, ringan, puas, senang, terhibur, Bangga, kenikmatan indrawi. e. Cinta : Penerimaan, persahabatan, keper-cayaan, kebaikan hati, rasa dekat, hormat, kasmaran, mabuk kepayang. f. Terkejut : Terkesiap, takjub, terpana. g. Jengkel : Hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah. h. Malu : Rasa malu, malu hati, kesal hati, sesak, hina, aib, hancur lebur dan sebagainya. Emotional Intellegence, Daniel Goleman, halaman 411-412 Salah seorang pakar dalam llmu Psikiatri Prof. dr. Sumantri Hardjoprakosa almarhum dalam salah satu desertasinya di- bidang Psikiatri yang mempertahankan desertasi tersebut di negeri Belanda pada tahun 1955 beliau menyebutnya dengan istilah “roso-pangroso” yang dibedakannya secara tegas dengan konsep “Angen-angen” yang sifatnya kognitif dan nafsu-nafsu yang sifatnya konatif Mutmainah, Amarah, Sufiah, Laumawah. Aspek struktural kejiwaan manusia yang digolongkan sebagai perasaan,kecerdasan dan nafsu-nafsu masing-masing berjuang dan bekerja sendiri tersebut merupakan aspek materiil yang berbeda dengan aspek yang immateriil. Bila tidak disadari bagaiamana berfungsinya aspek-aspek emosi tersebut secara holistik dalam kehidupan manusia akan menimbulkan suatu konflik kejiwaan yang dalam Psikitari atau Psikologi Abnormal disebut sebagai gangguan neurosa. Dan bentuk bentuk neurosa ini banyak menimbulkan gangguan dalam aspek perilaku manusia didalam kerja sehingga menjadi tema dari hari Kesehatan Jiwa Nasional tahun 2001 ini. Dan disamping itu dalam struktur jiwa manusia dikonstruksikan ada aspek immateriil dan aspek spriritual llahiah. Saudara dengan menggunakan bahan jurnal belajar selama mengikuti Kepemimpinan dialam Terbukapelatihan Outbond dapat menambahkan lagi daftar emosi yang berkecamuk di hati Saudara sebagai bahan latihan untuk menghubungkan dengan pelatihan yang lalu. Namun demikian kata emosi mengalami perspektif perubahan sebagai berikut: