Gambar 15. Faktor kondisi ikan kuniran Upeneus sulphureus betina di Teluk Jakarta
Gambar 16. Faktor kondisi ikan kuniran Upeneus sulphureus jantan di Teluk Jakarta
Tabel 11. Faktor kondisi ikan kuniran Upeneus sulphureus untuk setiap pengambilan contoh di Teluk Jakarta
Pengambilan contoh
Waktu betina jantan total
n Faktor Kondisi
n Faktor Kondisi
n Faktor Kondisi
1
23 Oktober 2010
87 0,7286-0,9162 2
06 Nopember 2010
25 0,8559-1,1301 55 0,8178-1,0237 80 0,7354-0,9688 3
20 Nopember 2010
62 0,9291-1,1085 71 0,8185-1,1777 133 0,7610-1,0998 4
4 Desember 2010
63 0,6793-1,0827 47 0,8197-1,1325 110 0,6641-1,0297 5
18 Desember 2010
56 0,9103-1,1544 74 0,8942-1,0259 130 1,0548-1,2456
Faktor kondisi tertinggi ikan betina terdapat pada pengambilan contoh kelima 18 Desember 2010 sebesar 0,9103-1,1544 dan faktor kondisi tertinggi ikan
jantan terdapat pada pengambilan contoh ketiga 20 Nopember 2010 sebesar 0,8185-1,1777. Faktor kondisi rata-rata jantan lebih kecil daripada betina, sehingga
dapat diduga ikan betina agak gemuk daripada ikan jantan. Effendie 1979 menyatakan faktor yang mempengaruhi fluktuasi faktor kondisi adalah perbedaan
umur, TKG, kondisi lingkungan, dan ketersediaan makanan.
4.2.5. Nisbah Kelamin
Komposisi ikan kuniran betina dan jantan berdasarkan 453 ekor ikan contoh adalah 206 ekor ikan betina dan 247 ekor ikan jantan. Hasil analisis nisbah kelamin
ikan kuniran tiap pengambilan contoh terdapat pada Tabel 12. Tabel 12. Nisbah kelamin ikan kuniran Upeneus sulphureus untuk setiap
pengambilan contoh di Teluk Jakarta
Pengambilan contoh
Waktu Proporsi Selang
Kepercayaan 95
Betina Jantan Betina
Jantan 2
6 Nopember 2010 0,3125
0,6875 0,1308p0,4942
0,5650p0,8100 3
20 Nopember 2010 0,4701 0,5299
0,3469p0,5934 0,4138p0,6459
4 4 Desember
2010 0,5727
0,4273 0,4506p0,6949 0,2858p0,5687
5 18
Desember 2010 0,4394 0,5606 0,3117p0,5671 0,4475p0,6737
Komposisi jumlah ikan jantan dan ikan betina menunjukkan rasio kelamin yang tidak seimbang yaitu 1 :1,2. Hal ini menyatakan bahwa populasi ikan jantan
sedikit lebih banyak dari pada ikan betina, karena pola adaptasi pertumbuhan ikan jantan lebih kuat dibandingkan ikan betina.
4.2.6. Mortalitas dan laju eksploitasi
Pada stok yang telah dieksploitasi perlu dianalisis untuk membedakan mortalitas akibat penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas total Z diduga
dengan kurva hasil tangkapan kumulatif berdasarkan data komposisi panjang yang dianalisis dengan laju kematian alami M menggunakan rumus empiris Pauly
dengan suhu rata-rata permukaan 28,95 C. Hasil analisis dugaan laju mortalitas dan
laju eksploitasi ikan kuniran dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Laju mortalitas dan laju eksploitasi
Laju Nilai per tahun
Betina Jantan Mortalitas Total Z
0,7915 0,8655
Mortalitas Alami M 0,3879
0,3820 Mortalitas Penangkapan F
0,4036 0,4835
Eksploitasi E 0,5099
0,5586 Menurut Pauly 1980 in Sparre dan Venema 1999, faktor yang
mempengaruhi nilai mortalitas alami M adalah panjang maksimum L ∞ dan laju
pertumbuhan serta faktor lingkungan yaitu suhu rata-rata perairan. Laju mortalitas total Z ikan kuniran Upeneus suplhureus betina dan jantan di perairan Teluk
Jakarta masing-masing adalah 0,7915 per tahun dan 0,8655 per tahun dengan laju mortalitas alami M masing-masing sebesar 0,3879 per tahun dan 0,3822 per tahun.
Hasil analisis data membuktikan mortalitas penangkapan ikan kuniran Upeneus sulphureus
betina dan jantan masing-masing sebesar 0,4036 per tahun dan 0,4835 per tahun. Laju mortalitas penangkapan ini lebih besar dibandingkan laju mortalitas
alaminya. Hal ini menunjukkan faktor kematian ikan kuniran lebih dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan.