JAMINAN KESEHATAN BAGI PEKERJA SWASTA MASIH RENDAH
53
BAB 4 ASPEK KEPESERTAAN
Saat ini proporsi penduduk lansia 60 tahun ke atas di Indonesia mencapai 7,9 persen
14
. Studi yang dilakukan Mundiharno
15
menunjukkan bahwa di beberapa provinsi seperti Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY proporsi lansia lebih besar dibanding
proporsi penduduk lansia nasional. Dengan demikian di beberapa provinsi persoalan kependudukan sudah mengarah pada problematika penduduk tua. Di Jepang dan
Jerman, sekitar seperlima penduduknya adalah penduduk lansia 65 tahun keatas
16
sehingga negara tersebut menghadapi problem serius dalam pendanaan kesehatan dan penyediaan dana pensiun.
Pengalaman di berbagai negara maju menunjukkan bahwa semakin besar porsi lansia di suatu negara, semakin besar biaya kesehatan yang dibutuhkan. Sebab
pola penyakit untuk penduduk lansia adalah diwarnai penyakit-penyakit kronik katastropik yang berbiaya mahal dan dapat memiskinkan rumah tangga. Jika sistem
jaminan kesehatan belum terbangun ketika proporsi penduduk lansia sudah besar maka kebanyakan penduduk lansia tidak mampu mengobati dirinya. Sesuai dengan hak
hidup sehat setiap penduduk sebagaimana diamanatkan UUD dan negara diwajibkan melindungi segenap warganya, maka perlindungan dari risiko sakit dan jatuh miskin
akibat sakit, maka negara harus mengembangkan sebuah sistem jaminan sosial yang memungkinkan terwujudnya gotong-royong antara penduduk muda dan penduduk tua.
Tingginya Angka Pengangguran dan Besarnya Pekerja Informal .
U
paya pencapaian kepeser taan menyeluruh jaminan kesehatan melalui mekanisme asuransi
menghadapi tantangan yang tidak ringan jika dikaitkan dengan kondisi angkatan kerja yang ada. Angka pengangguran terbuka
open unemployment rate memang relatif rendah, hanya 7,4 persen;namun angka setengah penganggur under employment
rate sangat besar 28,3 persen. Dari 107, 41 juta pekerja, terdapat sekitar 32,8 juta pekerja yang masuk kategori sebagai setengah penganggur
17
. Mereka bekerja tetapi jam kerjanya dibawah 35 jam per minggu. Selain itu, mereka yang bekerja menerima
rata-rata upah rendah karena pendidikan yang rendah. Seperlima lebih 22,28 persen pekerja Indonesia tidak pernah sekolah dan hampir sepertiganya 29,22 persen hanya
14 Badan Pusat Statistik BPS, Op. Cit., Tabel 2.5 diolah p.15
15 Mundiharno, “Determinan Sosial Ekonomi Intergenerational Transfer: Analisis Data IFLS I”, thesis, Jakarta, 1999, p. 2
16 Population Reference Bureau, 2010 World Population Data Sheet, Population Reference Bureau, 2010, p.2
17 Badan Pusat Statistik BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia, Agustus 2010, BPS,
Jakarta, Tabel 2.9 diolah p.19
54
PETA JALAN MENUJU JAMINAN KESEHATAN NASIONAL 2012 - 2019
tamat sekolah dasar SD
18
. Sebagian besar pekerja di Indonesia adalah pekerja di usaha kecil dan mikro. Sebagian besar mereka sekitar 43,03 persen berusaha pada lokasi yang
tidak permanen
19
.
Dengan karakteristik angkatan kerja seperti itu maka upaya pengumpulan iuran untuk penyelenggaraan jaminan kesehatan menghadapi tantangan besar.
Mengandalkan iuran yang dibayar rutin dari pekerja di usaha kecil dan mikro umumnya tidak berkesinambungan, kecuali Pemerintah membayar iuran untuk mereka. Pasal 20
ayat 1 UU SJSN menyatakan “Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah”.
Pekerja yang bekerja di usaha kecil dan mikro sulit diidentifikasi apakah mereka dalam kondisi PHK pemutusan hubungan kerja atau tidak. Sementara dalam UU
SJSN mengharuskan mereka yang di PHK tetap dijamin selama kurun waktu 6 bulan.
Pasal 21 ayat 1 UU SJSN menyatakan “Kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama 6 enam bulan sejak seorang peserta mengalami pemutusan hubungan kerja”.
Jika setelah enam bulan yang bersangkutan belum memperoleh pekerjaan dan tidak mampu maka iurannya dibayar oleh Pemerintah Pasal 21 ayat 2. Demikian pula peserta
yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah Pasal 21 ayat 3. Dengan klausul seperti itu maka Pemerintah perlu membayar iuran
jaminan kesehatan yang tidak saja ditujukan sebagai bantuan iuran kepada penduduk miskin dan tidak mampu, tetapi juga bantuan iuran kepada korban PHK dan pekerja yang
cacat total tetap yang tidak mampu. Jaminan kesehatan tersebut harus juga disediakan kepada anggota keluarga peserta sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 20 ayat 2
“Anggota keluarga peserta berhak menerima manfaat jaminan kesehatan”.
Dengan karakteristik pekerjaan dan penerimaan upah seperti di atas, maka cakupan universal yang berkesinambungan membutuhkan bantuan iuran dari Pemerintah
bagi sebagian besar penduduk miskin dan yang tidak mampu membayar iuran secara rutin dan berkesinambungan. Namun dipandang dari kewajiban Pemerintah
mendanai kesehatan, model ini masih ringan dibandingkan menyediakan layanan kesehatan gratis bagi semua penduduk seperti yang dilaksanakan oleh Malaysia dan Sri
Lanka.
18 BPS, Ibid., p. 20
19 Badan Pusat Statistik, Hasil Pendaftaran Listing PerusahaanUsaha Sensus Ekonomi 2006, Berita Resmi Statistik No.
0501Th. X, 2 Januari 2007, p. 3
55
BAB 4 ASPEK KEPESERTAAN