Studi Empiris Bahan Bakar Nabati

Lahan untuk pengembangan BBN diperoleh dan lahan perkebunan, pelepasan kawasan hutan, dan lahan pertanian. Regulasi ini akan meningkatkan lahan perkebunan untuk pengembangan BBN, mendeforestasi kawasan hutan, dan mengurangi lahan untuk tanaman pertanian tanaman pangan. Regulasi infrastruktur diarahkan untuk memperkuat pengembangan industri dan infrastruktur penyediaan jalan. Regulasi pabrikasi diarahkan untuk pengendalian kualitas BBN guna menghasilkan bioetanol dan biosolar yang maksimum 10 persen dan volume blending. Pabrikasi diperluas hingga ke industri hilir. Pasar BBN diatur melalul pedoman dari hulu sampai hilir. Pendanaan didukung melalui kelembagaan Green Energy Fund dan PKBL sebesar Rp 300 miliar, serta pemberian fasilitas pajak penghasilan. Pendanaan lainnya bersumber dari APBN untuk pemberian subsidi bunga sebesar Rp 1 triliun, prasarana sebesar Rp 10 triliun, perbankan sebesar Rp 15 triliun sampai Rp 20 trliun, melalui pasar modal sebesar Rp 1 triliun, dan melalui PMA sebesar Rp 200 miliar Tabel 11. Total dana yang tersedia selama tahun 2007 untuk mengembangkan BBN sebesar Rp 32.5 triliun. Pengembangan BBN mempunyai rencana tertentu Tabel 12. Tenaga kerja langsung yang terlibat diperkirakan sebanyak 3.5 juta orang dan 87137 orang tenaga kerja tidak langsung. Pendapatan usahatani per orang yang bertanam tebu seluas 0.5 hektar, ubi kayu dan kelapa sawit seluas 2 hektar, dan jarak pagar seluas 3 hektar adalah Rp 54.64 juta per tahun. Produksi yang dihasilkan bioetanol atau biosolar sebanyak 16.62 juta ton minyak, atau setara dengan 127.5 juta ton biji, barang, danatau umbi. Produksi tersebut akan dapat memenuhi industri sebanyak 23 307 unit. Lahan yang digunakan untuk mengembangkan BBN seluas 5.25 juta hektar dan memerlukan bibit sebanyak 224.25 juta ton batang. Dengan demikian diperlukan investasi usahatani sebesar Rp 66 juta dan off farm sebesar Rp 99.29 juta. Tabel 12. Rencana Pengembangan Bahan Bakar Nabati Tahun 2006-2010 Parameter Unit Sawit Jarak Pagar Tebu Ubi kayu Total Tenaga kerja Iangsung Juta Orang 0.75 0.5 1.5 0.75 3.5 Pendapatan per orang Rp Juta tahun orang 20 13.5 9.14 12 54.64 Bioetanol atau biosolar Juta Ton minyak 6 2.25 3.75 4.62 16.62 Produksi Juta Ton biji, barang, umbi 30 7.5 60 30 127.5 Industri Unit 167 22.727 125 288 23 307 Lahan Juta Hektar 1.5 1.5 0.75 1.5 5.25 Tenaga kerja tidak Iangsung Orang 1 167 68 182 6 250 11 538 87 137 Bibit Juta batang 202.5 3.75 6 12 224.25 Investasi on farm Juta rupiah 45 4.5 11.25 5.25 66 Investasi off farm Juta rupiah 10 2.27 43.75 43.27 99.29 Sumber: Kementerian ESDM, 2006b Keterangan: Tebu 0.5 ha, ubi kayu dan sawit 2 ha, jarak pagar 3 ha. Departemen ESDM mempunyai roadmap yang berlaku tahun 2005 sampai tahun 2025 Tabel 13. Konsumsi solar pada tahun 2008 sebesar 10 persen atau 2.41 juta kilo liter. Tahun 2008 dipilih karena data terbaru pada Tabel IO yang digunakan pada penelitian ini adalah tahun 2008. Konsumsi bioetanol pada tahun yang sama sebesar 5 persen atau 1.48 juta kilo liter. Biokerosen sebanyak I juta kilo liter dan konsumsi PPO untuk pembangkit listrik sebanyak 0.4 juta kilo liter. Dengan demikian konsumsi BBN diperkirakan sebesar 2 persen dari energy mix atau 5.29 juta kilo liter. Dewasa ini kebijakan pembangunan BBN merupakan kebijakan yang telah banyak dilakukan di negara-negara maju secara lebih awal untuk mengantisipasi kelangkaan energi fosil. Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat termasuk negara-negara maju yang mengembangkan biosolar Reuters News Service, 2006. Pembangunan BBN di negara-negara maju bukan hanya melibatkan penggunaan minyak sawit saja, melainkan dapat pula dilakukan pada minyak jarak, minyak ubi kayu, minyak tebu, minyak jagung, dan minyak kedelai. Di Washington DC, Liga Balap Indy telah menggunakan bahan bakar 90 persen metanol dan 10 persen etanol pada tahun 2006 Associated Press, 2006. Tabel 13. Roadmap Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Bahan Bakar Periode 2005-2010 2011-2015 2016-2025 Biosolar Konsumsi solar 10 2.41 juta kilo liter Konsumsi solar 15 4.62juta kilo liter Konsumsi solar 20 10.22 juta kilo liter Bioetanol Konsumsi premium 5 1.48 juta kilo liter Konsumsi premium 10 2.78 juta kilo liter Konsumsi premium 15 6.28 juta kilo liter Biooil Biokerosen 1 juta kilo liter 1.8 juta kilo liter 4.07 juta kilo liter PPO untuk pembangkit listrik 0.4 juta kilo liter 0.74 juta kilo liter 1.69 juta kilo liter Bahan Bakar Nabati Konsumsi energy mix sebesar 2 5.29 juta kilo liter Konsumsi energy mix 3 9.84 juta kilo liter Konsumsi energy mix 5 22.26 juta kilo liter Sumber: Kementerian ESDM, 2007 Negara-negara lain memproduksi BBN. Brazil telah menggunakan campuran biosolar lebih dari 50 persen PT Kreatif Indonesia, 2009. Brazil mengkonversi 50 persen produksi tebu untuk menghasilkan etanol keperluan domestik dan ekspor. Amerika Serikat memproduksi besar-besaran etanol sekitar 23 persen dari produksi jagung sesuai dengan Undang-Undang Kebijakan Energi tahun 2005. Eropa mensubsidi minyak nabati untuk menghasilkan biosolar dengan target 5.75 persen pangsa pasar BBN dalam bensin dan solar tahun 2010. Diproyeksikan 1.5 juta ton biji-bijian dan 10 juta ton biji-bijian mengandung minyak akan menghasilkan BBN tahun 2012. Biaya produksi bioetanol dari tetes dan nira di Brazil 15 sen dollar AS per liter lebih efisien dibandingkan di China Tabel 14. Bioetanol dari ubi kayu di Thailand 23.9 sen dollar AS per liter lebih efisien dibandingkan di China 37.4 sen dollar AS per liter. Bioetanol dari jagung di Amerika Serikat 25.5 sen dollar AS per liter lebih efisien dibandingkan di China 44.2 sen dollar AS per liter. Tabel 14. Perbandingan Biaya Produksi Bioetanol Negara Bahan Baku Biaya Produksi Senlt Brazil Tebu tetes + nira 15.0 Rp 1 400 Thailand Ubi kayu 23.9 Thailand Tetes 17.9 Thailand Nira Tebu 25.1 Rp 2 310 China Nira + tetes 24.9 China Ubi kayu 37.4 China Jagung 44.2 Amerika Serikat Jagung 25.5 Eropa Gandum 42.0 Eropa Beet 45.0 Rp 4 140 Sumber: Prihandana et al, 2008 Catatan: Biaya belum termasuk overhead cost dan penyusutan mesin Produktivitas tanaman untuk biosolar dan biokerosen pada minyak sawit tertentu. Produktivitas tersebut sebesar 3500 liter per hektar, minyak jarak pagar sebesar 3400 liter per hektar, minyak kelapa sebesar 2200 liter per hektar, minyak lobak sebesar 1000 liter per hektar, kacang tanah sebesar 900 liter per hektar, minyak biji matahari sebesar 800 liter per hektar dan minyak kacang kedelai sebesar 550 liter per hektar Priyanto, 2007. Tabel 15. Konversi Biomassa Menjadi Etanol Biomasa Etanol literton literhektartahun 1 2 Ubi kayu 166.6 2 000-7 000 Ubi jalar 125.0 1 200-5 000 Jagung 400.0 400-2 500 Sagu 90.0 Na Tetes 250.0 Na Tebu 67.0 3 000-8 500 Sorgum Na 1 500-5 000 Sorgum manis Na 2 000-6 000 Kentang Na 1 000-4 500 Beet Na 3 000-8 000 Nira aren Na 40 000 Sumber: Prihandana et al, 2008. Potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku etanol adalah sebagai berikut: jagung sebesar 400-2500 liter per hektar per tahun, ubi kayu sebesar 2000-7000 liter per hektar per tahun, tebu sebesar 3000-8500 liter per hektar per tahun, ubi jalar sebesar 1200-5000 liter per hektar per tahun, dan kentang sebesar 1000-4500 liter per hektar per tahun Tabel 15. Tabel 15 juga menunjukkan bahwa jagung lebih efisien untuk menghasilkan bioetanol 400 literton dibandingkan tetes 250 literton, ubi kayu 166.6 literton, ubi jalar 125 literton, sagu 90 literton dan tebu 67 literton. Bioetanol dapat dibuat dari limbah pabrik gula molasses. Sebanyak 1500 liter molasses per hari dapat menghasilkan 500 liter bioetanol per hari. Dengan laba sebesar Rp 2500 per liter atau Rp 1.25 juta per hari, maka dengan produksi bioetanol 15 ribu liter per bulan seorang petani bioetanol di Bekonang Sukohardjo dapat menghasilkan laba sebesar Rp 37.5 juta per bulan Di Indonesia, seorang petani di Nyangkowek Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi dapat mengolah ubi kayu skala rumah tangga dengan kapasitas 2100 liter bioetanol per bulan Duryatmo, 2007. Sebanyak itu 300 liter bioetanol dijual ke pengecer bensin dan 800 liter bioetanol dijual ke pedagang pengumpul industri kimia. Harga jual bioetanol sebesar Rp10 ribu per liter pada tahun 2007, sehingga penerimaan petani pengolah bioetanol sebesar Rp 21 juta per bulan. Biaya produksi bioetanol yang terbuat dari ubi kayu sebesar Rp 3400 sampai Rp 4000 per liter atau setara dengan 6.5 kg ubi kayu, sehingga laba memproduksi bioetanol sebesar Rp 12 juta per bulan. Satu liter bensin dicampur dengan 0.1 liter bioetanol Duryatmo, 2007. Duryatmo, 2007 Biaya produksi per liter biosolar dirinci menjadi biaya bahan baku dan biaya proses Mursanti, 2007; Santoso, 2009. Biaya proses biosolar dari minyak jarak dengan asumsi biji jarak seharga Rp 500 per kg dan diperlukan 3.56 kg . untuk membuat 1 liter biosolar Tabel 16. Selain bahan baku diperlukan biaya proses berupa biaya alat, aditif, katalis, minyak, air, tenaga kerja, dan listrik. Biaya produksi biosolar sebesar Rp 2948.49 per liter, dimana biaya proses produksi sebesar Rp 1168.49 per liter Mursanti, 2007; Santoso, 2009. Dengan menggunakan asumsi biaya proses produksi tetap sebesar Rp 1168.49 per liter dan jika CPO dijadikan sebagai bahan baku biosolar, dimana harga CPO dapat mencapai sebesar Rp 5500 per kg, maka biaya produksi biosolar dari CPO adalah sebesar Rp 6168 per liter Mursanti, 2007; Santoso, 2009. Pada saat harga CPO tinggi, maka harga biosolar berbahan baku CPO lebih mahal dibandingkan harga solar bersubsidi, sehingga usaha biosolar seolah-olah tidak ekonomis. Tabel 16. Struktur Biaya Produksi Biosolar Jenis Jumlah Unit Harga per Unit Rp Total Rp Bahan baku biji jarak kg 3.56 500.00 1 780.00 Biaya proses Biaya alat 1.00 115.38 115.38 Biaya aditif metanol liter 0.20 4 200.00 840.00 Biaya katalisator NaOH liter 0.00035 2 600.00 0.91 Biaya minyak tanah liter 0.04 2 500.00 100.00 Biaya air pencuci liter 1.00 10.00 10.40 Biaya tenaga kerja 2.00 37.00 73.00 Biaya energi listrik 28.80 Jumlah biaya proses 1 168.49 Jumlah biaya produksi biosolarliter 2 948.49 Sumber Mursanti, 2007; Santoso, 2009. Apriana 1995 menganalisis investasi finansial pendirian industri aseton- butanol-etanol pada pabrik kelapa sawit Bekri PT Perkebunan X di Lampung. Investasi tersebut dinyatakan layak. Nilai NPV sebesar Rp 1.05 miliar pada suku bunga pinjaman 18 persen, IRR sebesar 24.72 persen, Net BC sebesar 1.3, titik impas sebesar Rp 1.6 miliar atau 37 persen dari nilai penjualan total pada tahun yang bersangkutan, dan Payback period selama 4 tahun 2 bulan 28 hari. Nursari 2006 menyatakan bahwa kegiatan pengembangan pabrik biosolar kelapa sawit dengan kapasitas olah satu ton per jam dinyatakan layak pada semua kriteria investasi dari sisi analisis finansial. Hasil perhitungan NPV sebesar Rp 358.94 juta, IRR sebesar 30 persen, Net BC sebesar 1.57 dan Payback period sebesar 3.4 tahun. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa penurunan harga output sebesar 2.2 persen dinyatakan Iayak. Harga pokok terendah yang harus diperoleh sebesar Rp 5380 per liter biosolar kelapa sawit ceteris paribus dan kenaikan harga bahan baku CPO+KOH+Metanol tertinggi yang masih dapat ditanggung sebesar Rp 28.38 juta ceteris paribus. Maryanto 2006 menyatakan bahwa investasi pengembangan pabrik biosolar berbahan baku GPO di Desa Pangkalan Baru dinyatakan layak secara finansial untuk bahan baku GPO murni dan tidak layak untuk bahan baku CPO murni yang menggunakan harga jual Pertamina. Untuk pengembangan biosolar berbahan baku GPO parit, diperoleh NPV sebesar Rp 34.45 juta, IRR sebesar 110 persen, Net BC sebesar 5.98, dan Payback period selama 1 tahun 1 bulan, walaupun biaya untuk pembuatan pabrik sebesar 94.6 persen dari total investasi. Untuk pengembangan biosolar berbahan baku GPO mumi, diperoteh NPV sebesar negatif Rp 6.43 juta, Net BC sebesar 0.07, dan Payback period selama 10 tahun. Berdasarkan analisis switching value menunjukkan bahwa investasi tersebut tidak layak pada penurunan harga output sebesar 38.26 persen pada bahan baku GPO part dan kenaikan biaya operasional sebesar 70.77 persen untuk GPO parit. Damayanti 2008 meneliti kelayakan usaha bioetanol ubi kayu dan molasses tetes tebu di Kecamatan Cicurug Sukabumi. Kedua jenis usaha tersebut dinyatakan layak secara finansial. Usaha bioetanol ubi kayu menghasilkan NPV sebesar Rp 1.14 miliar, IRR sebesar 29 persen, Net BC sebesar 1.89, dan Payback period sebesar 3.22 tahun. Hasil analisis switching value pada usaha bioetanol ubi kayu menghasilkan kenaikan harga bahan baku maksimum 53.54 persen dan penurunan volume produksi bioetanol maksimum sebesar 20.88 persen. Usaha bioetanol molasses menghasilkan NPV sebesar Rp 2.79 miliar, IRR sebesar 79 persen, Net BC sebesar 4.46, dan Payback period selama 1.26 tahun. Hasil analisis switching value pada usaha bioetanol tetes tebu menghasilkan kenaikan harga bahan baku maksimum 64.54 persen dan penurunan volume produksi bloetanol maksimum sebesar 33.56 persen. Tabel 17. Respons Penawaran Komoditi Pertanian di Indonesia Komoditi Respons Elastisitas Sumber Jangka Pendek Jangka Panjang Kelapa sawit Luas areal 0.0261 2 0.2496 Oktavianto, 2009 Produktivitas 0.0281 2 0.0880 Oktavianto, 2009 Penawaran 0.0542 2 0.3377 Oktavianto, 2009 Ubi kayu Luas areal 0.1411 0.1897 Puteri, 2009 Produksi 0.0863 0.0528 Puteri, 2009 Tebu Produktivitas 0.2700 0.3800 Sanjaya, 2009 Penawaran 0.2700 0.3800 Sanjaya, 2009 Jagung Areal panen 0.2916 0.2916 Siregar, 2009 Produktivitas 0.0987 0.7622 Siregar, 2009 Penawaran 0.3903 1.0538 Siregar, 2009 Kedele Areal 0.6600 2.1800 Al-Mudatsir, 2009 Penawaran 0.6600 2.1800 Al-Mudatsir, 2009 Ubi jalar Areal panen 0.3600 1.4600 Purba, 2009 Penawaran 0.2800 1.3200 Purba, 2009 Kacang tanah Areal panen 0.0807 0.0813 Nariswari, 2009 Produktivitas 0.0813 0.1363 Nariswari, 2009 Penawaran 0.1620 0.3013 Nariswari, 2009 Kelapa Produktivitas 0.0284 1 0.0491 Sianipar, 2009 Penawaran 0.0284 1 0.0491 Sianipar, 2009 Kopi Luas areal 0.0624 0.2588 Lukiawan, 2009 Produktivitas 0.1091 0.1091 Lukiawan, 2009 Penawaran 0.1715 0.3679 Lukiawan, 2009 Padi Penawaran 0.4371 Na Sari, 2009 Keterangan: 1 harga kopra, 2 Respon penawaran pada beberapa komoditi pertanian di Indonesia Tabel 17 dalam periode jangka pendek menunjukkan inelastis, demikian pula dalam periode jangka panjang juga inelastis, kecuali pada komoditi jagung, kedele dan ubi jalar yang dalam periode jangka panjang menunjukkan elastis. harga CPO Respons penawaran jagung terhadap harga jagung dalam periode jangka panjang bersifat elastis sebesar 1.05 Siregar, 2009. Respon areal kedele dan penawaran kedele terhadap harga kedele dalam periode jangka panjang bersifat elastis sebesar 2.18 Al-Mudatsir, 2009. Respons areal panen ubi jalar terhadap harga ubi jalar dalam periode jangka panjang bersifat elastis sebesar 1.46 dan respons penawaran ubi jalar terhadap harga ubi jalar dalam periode jangka panjang bersifat elastis sebesar 1.32 Purba, 2009. Penelitian BBN dengan menggunakan model keseimbangan umum dan keseimbangan parsial relatif banyak dilakukan di beberapa negara Tabel 18. BBN yang berbasis biji-bijian telah diteliti, sedangkan BBN yang berbasis bukan biji-bijian Jianping dan Tokunaga, 2009 dan limbah BBN belum diteliti Birur et al, 2008; Taheripour et al, 2008. Daya saing BBN menjadi masalah untuk pengembangan di Uni Eropa Banse et al, 2009 sebagaimana kendala pengembangan BBN, karena harga BBN dapat lebih tinggi dibandingkan harga BBM bersubsidi ketika harga bahan baku BBN meningkat. Ketika harga BBM non subsidi dibandingkan dengan harga BBN tanpa subsidi, maka harga BBN yang berbasis usahatani dapat lebih tinggi dibandingkan BBM yang merupakan produk eksploratif. Akan tetapi BBN merupakan pilihan alternatif dibandingkan pemanfaatan BBG Bahan Bakar Gas ketika ketersediaan BBM berbasis fosil berakhir. Ketersediaan bahan baku BBN bukan hanya menjadi kendala di Indonesia, yang antara lain dibatasi oleh ketersediaan lahan Chakravorty et al, 2009; Stillman et al, 2009, melainkan juga menjadi kendala di Uni Eropa, sehingga Uni Eropa mengimpor etanol dari Brazil untuk menjalankan mandat 10 persen Binfield, 2009. Karena itu faktor keunggulan komparatif berperan dalam pengembangan BBN. Penggunaan BBN meningkatkan harga produk pertanian Chakravorty et al, 2009; Sorda et al, 2009 dan harga pakan Birur et al, 2008. Penggunaan BBN mempengaruhi lingkungan hidup Chakravorty et al, 2009; Filho dan Horridge, 2009. Penggunaan BBN menimbulkan krisis keuangan dan memperdalam resesi ekonomi Keeney, 2009. Dukungan yang lemah untuk pengembangan BBN berdampak serius terhadap ekonomi terutama pada awal perkembangan Meyer et al, 2008. Dampak BBN terhadap perekonomian ini sama dengan minat pada penelitian ini dan juga diteliti oleh Filho dan Horridge 2009, Sorda et al 2009, Neuwahl et al 2008, dan Virginie 2009. Pengembangan BBN berhasil menurunkan kemiskinan di Brazil Filho dan Horridge, 2009. Jianping GE. dan S. Tokunaga 2009 menyusun kesimpulan bahwa: 1 ekspansi bioetanol berbasis biji-bijian meningkatkan harga produk-produk pertanian dan makanan, serta meningkatkan PDB dan utilitas sosial, dan 2 industri bioetanol menaikturunkan industri-industri, serta impor dan ekspor China mempengaruhi harga-harga internasional. Meyer et al, 2008 meneliti tentang dukungan pemerintah yang lemah pada industri BBN lokal berdampak serius terhadap ekonomi terutama pada awal perkembangan industri. Neuwahl et al 2008 meneliti tentang mandat kebijakan efektif mempromosikan penggunaan BBN di Uni Eropa dan mensubstitusi 15 persen, namun kebijakan tersebut tidak berdampak terhadap tenaga kerja. Disertasi ini juga meneliti tentang dampak pengembangan BBN terhadap perekonomian, termasuk terhadap penyerapan tenaga kerja maupun dilengkapi dengan dampak perubahan harga di pasar internasional terhadap perekonomian dan BBN. Banse et al 2009 meneliti tentang peningkatan permintaan BBN tanaman pangan berdampak kuat terhadap pertanian dunia dan Eropa. Binfield 2009 menyusun kesimpulan bahwa pemberlakuan target 10 persen BBN berdampak terhadap pasar minyak nabati dan bergantung kepada penggunaan teknologi alternatif. Keeney 2009 meneliti tentang mandat menggunakan etanol meningkatkan konsumsi BBN 15 miliar gallon tahun 2015. Birur et al 2008 meneliti tentang harga BBN semakin tinggi mensubstitusi produk bahan bakar dan BBN mendorong peningkatan permintaan pakan di Amerika Serikat, Brazil dan Uni Eropa. Hertel et al 2008 menyatakan bahwa: 1 terjadi persaingan di pasar pakan dan keterbatasan pasokan lahan global, 2 pangsa produk pertanian meningkat dua kali tahun 2006 di Amerika Serikat, dan 3 biodiesel minyak biji-bijian meningkat tiga kali lipat di Uni Eropa. Filho dan Horridge 2009 menyatakan bahwa peningkatan permintaan etanol dunia menimbulkan dilema antara pangan dan energi. Sorda et al 2009 meneliti tentang: 1 kebijakan BBN berdampak secara signifikan pada produksi pertanian dan makanan, dan 2 mandat BBN meningkatkan permintaan komoditi tenaga kerja sebagai input antara, yang kemudian meningkatkan output. Disertasi ini meneliti dampak pengembangan BBN sebagai komoditi energi untuk ketahanan energi terhadap tanaman pangan, pakan, dan industri makanan untuk ketahanan pangan dan pakan, perkebunan, dan sektor transportasi sebagai indikator ketahanan energi. Pengembangan BBN dinyatakan dalam bentuk peningkatan teknologi BBN dan mandat konsumsi BBN. Chakravorty et al 2009 menyatakan bahwa: 1 permintaan transportasi diproyeksikan meningkat pada tahun 2030, 2 produksi BBN dibatasi oleh kemampuan lahan yang juga digunakan untuk memproduksi makanan, dan 3 ketiadaan kebijakan produksi BBN, maka pasokan BBN berdampak positif terhadap harga pangan. Stillman et al 2009 meneliti tentang: 1 peningkatan permintaan etanol menekan harga-harga komoditi pertanian ke atas, khususnya jagung dan pakan ternak di Amerika Serikat, dan 2 produksi biodiesel di Uni Eropa akan bersumber dari sumberdaya lain. Disertasi ini juga meneliti dampak perluasan tanaman energi terhadap BBN maupun terhadap harga output. Berdasarkan studi pustaka tersebut di atas, maka di bawah ini disusun beberapa sintesis untuk dapat digunakan membangun kerangka teoritis. Pertama, BBN merupakan pensubstitusi tidak sempurna terhadap BBM, yang dikembangkan secara lebih awal di negara-negara maju. Kedua, produk pertanian untuk BBN dapat digunakan sebagai bahan pangan, pakan, dan energi, yang ketiganya dapat saling mensubstitusi dan menimbulkan konflik kepentingan. Ketiga, terdapat pilihan beberapa tanaman pertanian yang lebih efisien untuk dapat digunakan sebagai BBN, sebagaimana kondisi produktivitas dan elastisitas dari masing-masing tanaman tersebut. Pada kondisi aktual di Indonesia, tanaman yang relatif lebih siap dikembangkan sebagai tanaman BBN adalah kelapa sawit, ubi kayu, dan tebu. Keempat, penelitian BBN menggunakan model keseimbangan umum yang di dalamnya memasukkan peubah harga produk pertanian sebagai bahan baku BBN, harga BBM bersubsidi, jumlah penawaran bahan baku BBN, jumlah penawaran lahan, impor BBN, dan harga pakan. Beberapa penelitian lainnya menggunakan peubah lingkungan hidup, hutang krisis keuangan, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan atas penggunaan BBN.

2.3. Kerangka Pemikiran Teoritis Penelitian

Pengembangan produksi BBN untuk memenuhi sasaran konsumsi BBN pada tahun 2020 dianalisis dengan menggunakan teori pertumbuhan ekonomi dan teori subsidi Gambar 6. Teori pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu bagian dari teori ekonomi pembangunan Todaro, 2000. Pembicaraan tentang pertumbuhan ekonomi, yang membicarakan kemakmuran mempunyai anti tesis berupa kemiskinan. Salah satu implikasi dari kemiskinan adalah diperlukannya subsidi Norton, 2004. Teori subsidi dapat digunakan sebagai landasan untuk menjelaskan persoalan subsidi BBN Pindyck dan Rubinfield, 2005. Salah satu proxy dari kemiskinan antara lain dengan mengetahui penerimaan pendapatan rumah tangga. Kajian Ekonomi Makro: Produk Domestik Bruto sisi pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Riil Rasio konsumsi terhadap pendapatan Rasio antara f5tot dan x3tot Pengeluaran Investasi Riil Agregat Pengeluaran Pemerintah Riil Agregat Penerimaan pemerintah agregat Pengeluaran pemerintah agregat Indeks Volume Ekspor Nilai tukar perdagangan Keseimbangan PerdaganganPDB Indeks Volume Impor Inventaris Riil Agregat Produk Domestik Bruto sisi pendapatan Penerimaan Semua Pajak Tidak Langsung Agregat Pembayaran Modal Agregat Sewa modal rata-rata Sewa modal pertanian Sewa modal non pertanian Pembayaran Tenaga Kerja Agregat Upah riil rata-rata Pembayaran Lahan Agregat Pembayaran Biaya Lainnya Agregat Laju Inflasi Indeks Harga Konsumen Indeks Harga Investasi Agregat Indeks Harga Pemerintah Indeks Harga Ekspor Indeks Harga Inventaris Kajian Ekonomi Sektoral: Output Harga Output Komoditi Lokal Stok Modal Aktual Permintaan Tenaga Kerja Harga Faktor Primer Pertanian Permintaan Ekspor Jumlah Penawaran Impor Emisi Karbon Kajian Ekonomi Rumah Tangga: Jumlah Konsumsi Nasional Jumlah Permintaan Dasar Industri Penggilingan Padi Penerimaan Pendapatan Rumah Tangga Teori Pertumbuhan Ekonomi Teori Subsidi Gambar 6. Kerangka Pemikiran Teoritis Penelitian Analisis pertumbuhan ekonomi pada penelitian ini menggunakan teori pertumbuhan ekonomi Solow Romer, 2006. Pertumbuhan ekonomi diturunkan dari output. Output berasal dari penggunaan modal, tenaga kerja, dan akumulasi pengetahuan atau teknologi. Perkembangan teknologi dapat dianalisis dengan menggunakan indikator produktivitas Varian, 1992, dimana produktivitas merupakan salah satu masalah yang dijadikan dalam perumusan masalah penelitian. Akses modal dan keberadaan tenaga kerja selain mempengaruhi ouput, yang kemudian berlanjut dalam perkembangan produksi mempunyai peranan menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Tenaga kerja dan upah tenaga kerja merupakan peubah yang turut menentukan penerimaan pendapatan rumah tangga Varian, 1992. Salah satu aspek lingkungan yang dapat dikaitkan dengan isu pengembangan produksi BBN adalah isu pencemaran lingkungan, yaitu emisi karbon dan deforestasi. Emisi karbon yang meningkat menimbulkan persoalan pada keberlanjutan pembangunan. Masalah BBN adalah pengembangan produksi dan konsumsi BBN diikuti oleh peningkatan output pada feedstock BBN, disamping pengembangan BBN menimbulkan peningkatan harga output pada feedstock BBN. Peningkatan output feedstock BBN berdampak menimbulkan “trade-off” terhadap penurunan output pangan dan pakan. Peningkatan harga output feedstock BBN berdampak menurunkan pengeluaran konsumsi pangan beras rumah tangga. Rumah tangga yang mempunyai pendapatan lebih rendah dibandingkan pengeluarannya akan terancam terjadi masalah kemiskinan. Pemerintah melakukan impor ketika output lokal lebih kecil dibandingkan konsumsi dan harga impor lebih rendah dibandingkan harga output lokal. Pemerintah mengizinkan ekspor ketika output lokal lebih besar dibandingkan konsumsi dan harga output di pasar internasional lebih tinggi dibandingkan harga output di pasar lokal.

2.4. Mekanisme Transmisi

Untuk memudahkan dalam melakukan analisis pada model keseimbangan umum, maka dibangun mekanisme transmisi. Mekanisme transmisi pada ekonomi mikro dibangun mengikuti ilmu ekonomi mikro Pindyck dan Rubinfleld 2005 dan Varian 1992 maupun ilmu ekonomi makro Mankiw 2003. Mekanisme transmisi dampak peningkatan jumlah permintaan BBN dari industri minyak dan lemak disajikan pada Gambar 7. Titik keseimbangan awal berada di e , yaitu pada perpotongan kurva permintaan D BBN dengan kurva penawaran S BBN . Harga keseimbangan awal berada di p dan jumlah keseimbangan awal di q . Peningkatan jumlah permintaan BBN membuat kurva permintaan BBN bergeser ke kanan. Pergeseran kurva permintaan BBN ke kanan menimbulkan peningkatan jumlah BBN dari q ke q 1 dan peningkatan harga BBN dari p ke p 1 D BBN D’ BBN S BBN Harga BBN Jumlah BBN q q 1 p 1 p e e 1 . Gambar 7. Mekanisme Transmisi Dampak Permintaan BBN dari Industri Minyak dan Lemak terhadap Harga BBN dan Jumlah BBN Peningkatan jumlah BBN pada kurva produksi ditunjukkan oleh peningkatan output BBN Gambar 8. Output yang meningkat antara lain disebabkan oleh peningkatan jumlah tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja pada awalnya berada pada titik L . Pada posisi jumlah tenaga kerja di L , maka jumlah produksi BBN berada pada Y . Pertemuan antara jumlah tenaga kerja L dan output Y berada di titik PT . Dengan adanya peningkatan jumlah tenaga kerja, maka jumlah tenaga kerja yang semula di L bergerak menjadi L 1 . Akibat Jumlah produksi bergerak dari PT ke PT 1 , dimana output meningkat dari Y ke Y 1 . Jumlah Produk BBN Output BBN Jumlah Tenaga Kerja BBN Y Y 1 L L 1 PT PT 1 Gambar 8. Dampak Peningkatan Jumlah Tenaga Kerja BBN terhadap Output BBN pada Kurva Produksi Jumlah tenaga kerja BBN semula berada di L , produk rata-rata BBN di AP , dan produktivitas tenaga kerja di YL Gambar 9. Peningkatan jumlah tenaga kerja dari L ke L 1 menimbulkan peningkatan produk rata-rata dari AP ke AP 1 . Output tenaga kerja dari YL bergerak ke atas menjadi YL 1 . Peningkatan produk rata-rata dari AP ke AP 1 diikuti oleh penurunan produk marjinal dari PM ke PM 1 Produk Rata-Rata BBN Produk Marjinal BBN Jumlah Tenaga Kerja BBN Output per Tenaga Kerja BBN L L 1 YL 1 YL AP AP 1 PM PM 1 sebagai akibat dari peningkatan output per tenaga kerja. Gambar 9. Dampak Peningkatan Tenaga Kerja BBN terhadap Produk Rata- Rata BBN Keseimbangan awal berada di titik A, dimana modal BBN berada di titik K dan jumlah tenaga kerja berada di titik L Gambar 10. Titik A merupakan persinggungan antara kurva biaya BBN dengan kurva ouput BBN 1 . Karena terjadi perubahan rasio harga relatif modal terhadap tenaga kerja, yang dapat menimbulkan perubahan kemiringan kurva biaya. Semula kurva biaya di biaya BBN bergeser ke kurva biaya BBN 1 , dimana harga tenaga kerja lebih murah dibandingkan sewa modal. Akibatnya, penggunaan jumlah tenaga kerja meningkat dari L ke L 1 dan penggunaan modal menurun dari K ke K 1 L L 1 Biaya BBN Biaya BBN 1 Output BBN 1 K K 1 Modal BBN Tenaga Kerja BBN A B . Gambar 10. Dampak Perubahan Harga Relatif Faktor Produksi terhadap Jumlah Tenaga Kerja dan Modal BBN Peningkatan output pada kurva biaya total dan kurva biaya variabel pada kurva biaya total dan kurva biaya variabel menunjukkan bahwa biaya total dan biaya variabel mengalami peningkatan Gambar 11. Output BBN semula berada di Y dengan biaya total di TC dan biaya variabel di VC . Ouput BBN mengalami peningkatan ditunjukkan oleh pergerakan dari Y ke Y 1 , dimana biaya total meningkat dari TC ke TC 1 dan biaya variabel juga meningkat dari VC ke VC 1 Biaya Total BBN Biaya Variabel BBN Biaya BBN Output BBN TC 1 TC Y Y 1 VC 1 VC T T 1 V V 1 . Gambar 11. Dampak Peningkatan Output BBN terhadap Biaya Total dan Biaya Variabel pada Struktur Biaya Produksi BBN Peningkatan output diikuti oleh penurunan biaya total rata-rata dan penurunan biaya variabel rata-rata Gambar 12. Output BBN semula di Y , dimana biaya variabel rata-rata di AVC pada titik V dan biaya total rata-rata di ATC pada titik T . Peningkatan output membuat biaya variabel rata-rata menurun dari V0 ke V1 dan biaya total rata-rata menurun dari T0 ke T1, sebagaimana ditunjukkan oleh penurunan dari AVC ke AVC 1 dan penurunan ATC ke ATC 1 Output BBN Biaya BBN Biaya Marjinal BBN Biaya Total Rata- Rata BBN Biaya Variabel Rata-Rata BBN Y Y 1 ATC ATC 1 AVC AVC 1 T T 1 V V 1 . Gambar 12. Dampak Peningkatan Output BBN terhadap Biaya Total Rata-Rata BBN dan Biaya Variabel Rata-Rata BBN pada Struktur Biaya Produksi Rata-Rata BBN Keseimbangan pada pasar tenaga kerja pada titik awal berada di e , yang merupakan perpotongan antara kurva penawaran tenaga kerja S L dengan kurva permintaan tenaga kerja D L . Pada keseimbangan awal pasar tenaga kerja, jumlah tenaga kerja BBN di L dan upah riil tenaga kerja di W . Jumlah tenaga kerja meningkat dari L ke L 1 , sebagai akibat dari pergeseran kurva permintaan tenaga kerja ke kanan di pasar tenaga kerja dari D L ke D’ L Gambar 13. Disamping itu, pergeseran kurva permintaan tenaga kerja ke kanan menimbulkan peningkatan upah riil dari W ke W 1 S L D L D’ L Upah Tenaga Kerja BBN Jumlah Tenaga Kerja BBN L L 1 W 1 W e e 1 . Gambar 13. Dampak Pergeseran Kurva Permintaan Tenaga Kerja BBN terhadap Jumlah Tenaga Kerja BBN dan Upah Riil Tenaga Kerja BBN Pada kurva kemungkinan produksi, perubahan harga relatif dari sebelum perdagangan menjadi adanya perdagangan telah membuat jumlah impor pakan dan pangan sebesar BD dan ekspor BBN sebesar BD Gambar 14. Pada keseimbangan awal terjadi di titik A, dimana kurva kemungkinan produksi bersinggungan dengan kurva indiferen U B A Sebelum Perdagangan Harga Dunia D Perdagangan bebas U U 1 Ekspor BBN Impor Pangan Pakan Output Pangan Pakan Output BBN BBN B BBN D IPP B IPP D dan harga relatif sebelum perdagangan. Dengan adanya perdagangan internasional, dimana harga pangan dan pakan di pasar lebih murah dibandingkan harga BBN, maka kemiringan kurva rasio harga bergeser dari sebelum perdagangan menjadi kurva perdagangan bebas, dimana titik keseimbangan terbaru berada di titik B. Karena perubahan rasio harga relatif tadi, maka terjadi perubahan perlaku dimana produksi di titik B, namun konsumsi pangan dan pakan di titik D, sehingga terjadi impor pangan dan pakan sebesar BD. Pada produksi pangan dan pakan di titik B, maka konsumsi di titik D, sehingga terjadi ekspor BBN sebesar BD. Gambar 14. Dampak Perubahan Harga Relatif BBN terhadap Ekspor BBN dan Impor Pangan dan Pakan pada Kurva Kemungkinan Produksi dan Kurva Indiferen Pada pasar ekspor dan impor, kurva ekspor BBN bergeser ke kanan, sehingga terjadi peningkatan ekspor BBN dan diikuti oleh depresiasi nilai tukar rupiah riil terhadap dollar Amerika Serikat Gambar 15. Titik awal keseimbangan ekspor dan impor BBN berada di A, dimana ekspor BBN di X dan nilai tukar rupiah riil di e . Dengan adanya pergeseran kurva ekspor X BBN0 ke kanan menjadi X BBN1 , maka ekspor BBN bergeser dari X ke X 1 dan nilai tukar rupiah riil mengalami depresiasi dari e ke e 1 Pada pasar barang dan jasa, kurva penawaran agregat bergeser ke kanan sebagai akibat dari peningkatan produksi BBN Gambar 16. Disamping itu kurva permintaan juga bergeser ke kanan sebagai akibat dari peningkatan ekspor BBN. Perubahan keseimbangan dari perpotongan kurva penawaran agregat dan permintaan agregat dari keseimbangan awal ke keseimbangan akhir berdampak menimbulkan peningkatan tingkat harga dan peningkatan pendapatan. . Nilai tukar riil X BBN 0 X BBN 1 M BBN e e 1 X X 1 Ekspor dan Impor BBN A B Gambar 15. Dampak Peningkatan Ekspor BBN terhadap Jumlah Ekspor BBN dan Nilai Tukar Rupiah Riil Titik awal keseimbangan di A, dimana kurva permintaan agregat AD berpotongan dengan kurva penawaran agregat AS , dimana pendapatan nasional Produk Domestik Bruto berada di Y dan tingkat harga di P . Peningkatan permintaan BBN dan komoditi lainnya menimbulkan pergeseran kurva permintaan ke kanan dari AD ke AD 1 , yang berdampak titik keseimbangan berubah dari A ke B, dimana pendapatan meningkat dari Y ke Y 1 dan tingkat harga meningkat dari P ke P 1 . Penawaran agregat juga bergeser ke kanan dari AS ke AS 1 karena peningkatan output per komoditi, sehingga titik keseimbangan di B bergerak ke C, dimana pendapatan meningkat dari Y 1 ke Y 2 dan tingkat harga meningkat dari P 2 ke P 3 . AD AD 1 AS Tingkat Harga Pendapatan AS 1 Y P Y 1 Y2 P 1 P 2 A B C Gambar 16. Dampak Pergeseran Kurva Permintaan Agregat dan Pergeseran Kurva Penawaran Agregat terhadap Tingkat Harga dan Pendapatan Pada pasar yang menghubungkan antara investasi asing neto, ekspor neto, dan nilai tukar riil, maka peningkatan produksi BBN diikuti oleh peningkatan investasi asing neto Gambar 17. Kurva investasi asing neto bergeser ke kanan. Peningkatan ekspor BBN membuat kurva ekspor neto bergeser ke kanan. Perubahan dari keseimbangan awal menjadi titik keseimbangan yang baru, membuat investasi asing neto meningkat diikuti oleh depresiasi nilai tukar rupiah riil terhadap dollar Amerika Serikat. e e 1 e 2 NX NX 1 Nilai Tukar Riil NFI NFI 1 Ekspor Netto, Investasi Asing Netto NFI NFI 1 A B C Gambar 17. Dampak Pergeseran Ekspor Neto dan Pergeseran PMA terhadap PMA dan Nilai Tukar Rupiah Riil Titik awal keseimbangan berada di A, dimana investasi asing di NFI dan nilai tukar rupiah riil di e o . Pergeseran kurva investasi asing ke kanan menimbulkan titik keseimbangan awal di A bergerak ke titik B, dimana investasi asing di NFI 1 dan nilai tukar rupiah terdepresiasi ke e 2 . Pergeseran kurva ekspor neto ke kanan sebagai akibat dari adanya ekspor BBN, membuat titik keseimbangan di B bergeser ke C, dimana investasi asing tetap di NFI 1 dan nilai tukar riil terdepresiasi kembali dari e 2 ke e 3 NFIr Investasi Asing Netto NFI NFI 1 r r 1 Suku bunga riil A B . Gambar 18. Dampak Peningkatan PMA terhadap Suku Bunga Riil Peningkatan pendapatan asing neto berdampak terhadap penurunan tingkat suku bunga riil Gambar 18. Titik awal keseimbangan berada di A, dimana investasi asing di NFI dan suku bunga riil di r . Peningkatan investasi asing membuat investasi asing bergerak dari NFI ke NFI 1 dan suku bunga riil menurun dari r ke r 1 Peningkatan pendapatan membuat kurva tabungan bergeser ke kanan dan bersamaan dengan itu pada kondisi kurva investasi dan investasi asing neto yang tetap, maka tingkat suku bunga riil menjadi lebih rendah Gambar 19. Kurva tabungan semula di SY . dengan keseimbangan awal di A, dimana tabungan di S dan suku bunga riil di r . Peningkatan pendapatan membuat kurva SY bergeser ke kanan menjadi SY 1 dan titik keseimbangan awal di A bergerak ke titik B, dengan tabungan meningkat dari S ke S 1 dan suku bunga riil menurun dari r ke r 1 I + NFI Tabungan, Investasi, Investasi Asing Netto r r 1 Suku bunga riil SY SY 1 S S 1 A B . Gambar 19. Dampak Peningkatan Pendapatan terhadap Tabungan dan Suku Bunga Riil Tingkat suku bunga riil yang lebih rendah juga terjadi sebagai akibat dari kurva LM bergeser ke kanan dan kurva IS juga bergeser ke kanan Gambar 20. Titik awal keseimbangan pada perpotongan kurva IS dan kurva LM berada di titik A, dimana pendapatan di Y dan suku bunga riil di r . Peningkatan investasi membuat kurva IS bergeser ke kanan dari IS ke IS 1 , sehingga pendapatan Y bergerak ke Y 1 , suku bunga riil turun dari r ke r 1 , dan titik keseimbangan bergerak dari A ke B. Peningkatan tabungan membuat kurva LM bergeser ke kanan dari LM ke LM 1 , sehingga titik keseimbangan bergeser dari B ke C, dimana pendapatan meningkat dari Y 2 ke Y 3 dan suku bunga riil meningkat dari r 2 ke r 3 , namun secara keseluruhan suku bunga riil turun dari r 1 ke r 3 IS Pendapatan r r 2 r 1 Suku bunga riil Y Y 1 Y 2 LM LM 1 IS 1 A B C . Gambar 20. Dampak Pergeseran Kurva IS dan Pergeseran Kurva LM terhadap Suku Bunga Riil dan Pendapatan Penurunan tingkat suku bunga juga terjadi sebagai akibat dari pergeseran kurva penawaran uang ke kanan dan pergeseran kurva permintaan uang ke kanan Gambar 21. Titik awal keseimbangan di A, yang merupakan perpotongan kurva permintaan uang Lr, Y dan kurva penawaran uang M P, dimana suku bunga riil di r dan penawaran uang di M P. Peningkatan pendapatan membuat kurva permintaan uang bergeser ke kanan dari Lr, Y ke Lr, Y 1 , sehingga titik keseimbangan bergerak dari A ke B, dimana kecepatan perputaran uang meningkat dari M P ke M 1 P dan suku bunga riil menurun dari r ke r 1 . Pergeseran kurva LM ke kanan diikuti oleh pergeseran kurva penawaran uang ke kanan dari M P ke M 1 P, sehingga titik keseimbangan bergeser dari B ke C, dimana kecepatan perputaran uang bergeser ke kanan dari M 1 P ke M 2 P dan suku bunga riil meningkat dari r 2 ke r 3 , namun secara keseluruhan suku bunga riil turun dari r ke r 3 Lr,Y MP r r 2 r 1 Suku bunga riil M P M 1 P M 2 P M P M 2 P Lr,Y 1 A B C . Gambar 21. Dampak Pergeseran Kurva Permintaan Uang dan Kurva Penawaran Uang terhadap Kecepatan Perputaran Uang Peningkatan pendapatan pada kurva keseimbangan antara pengeluaran agregat dan perencanaan agregat ditunjukkan oleh pergeseran kurva pengeluaran konsumsi rumah tangga ke atas Gambar 22. Pergeseran kurva pengeluaran konsumsi rumah tangga ke atas sebagai akibat dari peningkatan pendapatan tersebut, telah berdampak kepada peningkatan pengeluaran konsumsi rumah tangga. Titik awal keseimbangan berada di e , dimana pendapatan di Y dan pengeluaran konsumsi rumah tangga di C . Peningkatan pendapatan membuat kurva pengeluaran konsumsi rumah tangga bergeser ke atas dari CY ke CY 1 , dimana pendapatan meningkat dari Y ke Y 1 dan pengeluaran konsumsi rumah tangga meningkat dari C ke C 1 Y Y 1 CY CY 1 AE=AP Pengeluaran Agregat Pendapatan C 1 C e e 1 . Gambar 22. Dampak Pergeseran Kurva Konsumsi terhadap Pendapatan Pada kurva penghubung antara output dan emisi karbon menunjukkan bahwa peningkatan output BBN diikuti oleh peningkatan emisi karbon Gambar 23. Titik awal keseimbanagn berada di A, dimana output per komoditi di Y dan emisi karbon di Emisi . Peningkatan output per komoditi membuat output meningkat dari Y ke Y 1 , emisi karbon meningkat dari Emisi ke Emisi 1 Emisi Emisi 1 Emisi Karbon Y 1 Y Output per komoditi Output = Emisi A B , dan titik keseimbangan bergerak dari A ke B. Mekanisme transmisi lainnya disajikan pada Lampiran 10. Gambar 23. Dampak Peningkatan Output per Komoditi terhadap Emisi Karbon

2.5. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Peningkatan konsumsi BBN dari industri minyak dan lemak berdampak negatif terhadap output tanaman pangan dan pakan, permintaan tenaga kerja tanaman pangan dan pakan, penerimaan pendapatan rumah tangga, dan emisi karbon. 2. Perluasan lahan kelapa sawit, tebu, dan ubikayu maupun penurunan luas lahan sektor kayu dan hasil hutan lain, serta peningkatan modal tetap industri minyak dan lemak maupun BBN Urban 3 berdampak negatif terhadap output tanaman pangan dan pakan, permintaan tenaga kerja tanaman pangan dan pakan, penerimaan pendapatan rumah tangga, dan emisi karbon. 3. Penurunan produktivitas tanaman ubikayu, tebu, dan gula, produktivitas kelapa sawit tetap, maupun peningkatan produktivitas industri minyak dan lemak BBN berdampak negatif terhadap output tanaman pangan dan pakan, permintaan tenaga kerja tanaman pangan dan pakan, penerimaan pendapatan rumah tangga, dan emisi karbon. 4. Peningkatan harga ekspor CPO, harga ekspor jagung, harga impor jagung, harga impor beras, harga impor gula, harga ekspor minyak kelapa, harga impor gandum, harga ekspor kayu bulat, harga ekspor batubara, harga ekspor BBM, harga impor BBM, dan harga ekspor gas berdampak negatif terhadap output tanaman pangan dan pakan, permintaan tenaga kerja tanaman pangan dan pakan, penerimaan pendapatan rumah tangga, dan emisi karbon. 5. Subsidi harga output BBN berdampak negatif terhadap output tanaman pangan dan pakan, permintaan tenaga kerja tanaman pangan dan pakan, penerimaan pendapatan rumah tangga, dan emisi karbon. 6. Peningkatan permintaan lahan kelapa sawit dan ubi kayu Rural 4 berdampak negatif terhadap output tanaman pangan dan pakan, permintaan tenaga kerja tanaman pangan dan pakan, penerimaan pendapatan rumah tangga, dan emisi karbon.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian

Kerangka pemikiran operasional penelitian disajikan pada Gambar 24. Inpres Nomor 1 tahun 2006, Perpres Nomor 5 tahun 2006, dan Roadmap pemanfaatan BBN menjadi rujukan kebijakan pengembangan produksi untuk mengimplementasikan mandat konsumsi BBN. Mandat konsumsi BBN tersebut didekati dengan menggunakan perumusan masalah penelitian, yaitu bagaimana dampak dari peningkatan konsumsi BBN, perubahan luas lahan dan peningkatan modal tetap, serta perubahan produktivitas, peningkatan harga pangan, harga kayu bulat, dan harga hasil tambang di tingkat internasional, subsidi harga output BBN, dan peningkatan permintaan lahan kelapa sawit dan ubi kayu Rural 4. Perumusan masalah di atas dianalisis dengan menggunakan teori utama, yaitu teori pertumbuhan ekonomi dan subsidi Gambar 6. Untuk dapat memecahkan masalah hubungan keterkaitan antara peubah ekonomi makro dan peubah ekonomi mikro pada banyak komoditi dengan sedikit ketersediaan data urutan waktu pada BBN tahun 2005-2011, sementara itu terdapat aksi reaksi diantara jumlah permintaan, jumlah penawaran, harga di suatu pasar komoditi terhadap pasar komoditi lain, maka digunakan model keseimbangan umum. Model keseimbangan umum recursive dynamic jangka panjang dipilih untuk dapat melakukan estimasi pada pencapaian sasaran konsumsi BBN pada tahun 2015. Analisis dilakukan pada peubah ekonomi makro secara comparative static berdasarkan perbandingan pada kondisi baseline tahun 2010, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, penerimaan pajak dan bukan pajak pemerintah, belanja pemerintah. Disamping itu dilakukan analisis pada ekonomi sektoral, seperti harga ouput komoditi lokal, output, permintaan ekspor, jumlah penawaran impor, stok modal aktual, permintaan tenaga kerja, harga faktor primer pertanian, maupun analisis jumlah konsumsi nominal dan jumlah permintaan industri penggilingan padi beras. Begitu pula analisis tentang penerimaan pendapatan rumah tangga, maupun analisis pencemaran lingkungan dengan menggunakan indikator emisi karbon. Emisi karbon dihitung di luar model. Pengembangan Produksi BBN: 1 Peningkatan konsumsi BBN dari industri minyak dan lemak. 2 Perluasan lahan tanaman BBN, penurunan luas lahan kayu hasil hutan lain, serta peningkatan modal tetap industri minyak dan lemak serta BBN Urban 3. 3 Perubahan produktivitas tanaman BBN dan BBN. 4 Peningkatan harga pangan, harga kayu bulat, dan harga hasil tambang di pasar internasional. 5 Subsidi BBN. 6 Peningkatan permintaan lahan kelapa sawit dan ubi kayu Rural 4. Inpres no 1 Tahun 2006 Perpres no 5 Tahun 2006 Roadmap BBN 2005-2025 Kerangka Pemikiran Teoritis: Pertumbuhan Ekonomi Subsidi Model Keseimbangan Umum Recursive Dynamic INDOF Pengolahan Data Analisis Interpretasi data Hasil Pembahasan Kesimpulan Saran Tujuan Penelitian Gambar 24. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian Apabila terdapat kekurangjelasan pada hasil dan pembahasan, maka dilakukan penelusuran ulang secara iteratif pada tahapan analisis dan interpretasi data, pengolahan data, dan model. Apabila telah diperoleh hasil dan pembahasan yang lebih jelas, maka disusun kesimpulan dan saran. Kesimpulan dan saran dicocokkan kembali dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan untuk membangun data dasar adalah Tabel IO tahun 2008 BPS, 2009, Tabel Sistem Neraca Sosial Ekonomi SNSE tahun 2005, dan emisi karbon IEA, 2009; Rodriguez, 2009. Tabel IO tahun 2008 menyajikan tabel-tabel transaksi untuk klasifikasi 66 sektor, yang merupakan updating terhadap Tabel IO tahun 2005. Tabel IO tahun 2008 disusun dengan menggunakan metode RAS. Metode RAS merupakan suatu metode untuk memperkirakan matriks koefisien input yang baru pada tahun t “At” dengan menggunakan informasi koefisien input tahun dasar “A0, total permintaan antara tahun t dan total input antara tahun t BPS, 2009. Koefisien teknis dalam label IO tahun 2008 yang dihasilkan dan estimasi dengan menggunakan metode RAS diperkirakan tidak banyak berubah sampai tahun 2013 BPS, 2009. Tabel IO tahun 2008 menggunakan asumsi bahwa level dan nominal current price sektor-sektor ekonomi untuk proses produksi barang dan jasa, mengalami perubahan cukup berarti, meskipun secara struktur ekonomi tidak berubah secara nyata BPS, 2009. Data utama dalam Tabel IO tahun 2008 adalah data dasar yang digunakan dalam penghitungan Produk Domestik Bruto PDB Indonesia. Data tabel IO menggunakan metode non survei BPS, 2009. Data pendukung lain dalam menyusun Tabel IO updating tahun 2008 adalah data tentang rasio struktur input yang diperoleh melalui data perekonomian yang berkaitan dengan produksi, serta distribusi dan output yang dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi dan Tabel IO 2005 sebagai basis penyusunannya BPS, 2009. Asumsi yang digunakan dalam penyusunan Tabel IO adalah keseragaman homogenity, kesebandingan proportionality, dan penjumlahan additivity BPS, 2009. Keseragaman, yaitu asumsi bahwa setiap sektor hanya memproduksi satu jenis output barang dan jasa dengan struktur input tunggal seragam dan tidak ada substitusi otomatis antar output dan sektor yang berbeda. Kesebandingan, yaitu asumsi bahwa kenaikan penggunaan input oleh suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan output yang dihasilkan. Penjumlahan, yaitu asumsi bahwa jumlah pengaruh kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan dan pengaruh pada masing-masing sektor tersebut. Tabel transaksi dalam Tabel IO terdiri dari: 1 transaksi total atas dasar harga pembeli, 2 transaksi total atas dasar harga produsen, 3 transaksi domestik atas dasar harga pembeli, 4 transaksi domestik atas dasar harga produsen, 5 koefisien input domestik atas dasar harga produsen, dan 6 matrik pengganda domestik atas dasar harga produsen. Tabel transaksi total adalah tabel transaksi yang menggambarkan besar nilai transaksi barang dan jasa, yang berasal dari produksi domestik dan impor, antar sektor ekonomi. Pada tabel transaksi ini, nilai transaksi input antara kuadran I antar sektor ekonomi mencakup transaksi barang dan jasa produksi domestik dan impor. Pada tabel transaksi total tergambar informasi mengenai nilai impor menurut sektor ekonomi yang ditujukan pada vektor kolom di kuadran II sisi penggunaan. Tabel transaksi atas dasar harga pembeli adalah tabel transaksi yang menggambarkan nilai transaksi barang dan jasa antar sektor ekonomi yang dinyatakan atas dasar harga pembeli. Dalam tabel transaksi atas dasar harga pembeli ini unsur margin perdagangan dan biaya pengangkutan masih tergabung dalam nilai input bagi sektor yang membelinya. Jadi, tabel transaksi total atas dasar harga pembeli adalah tabel transaksi yang mencakup barang dan jasa yang berasal dari produksi domestik dan impor yang dinyatakan dalam harga pembeli, yang mencakup biaya margin perdagangan dan pengangkutan. Tabel transaksi atas dasar harga produsen adalah tabel transaksi yang menggambarkan nilai transaksi barang dan jasa antar sektor ekonomi yang dinyatakan atas dasar harga produsen. Dalam tabel transaksi atas dasar harga produsen ini unsur margin perdagangan dan biaya pengangkutan telah dipisahkan sebagai input yang dibeli dari sektor perdagangan dan angkutan. Dengan mengeluarkan unsur margin perdagangan dan biaya pengangkutan dari tabel transaksi atas dasar harga pembeli diperoleh tabel transaksi atas dasar harga produsen. Jadi, tabel transaksi total atas dasar harga produsen adalah tabel transaksi yang mencakup barang dan jasa yang berasal dari domestik dan impor, dan dinyatakan dalam harga produsen. Dalam hal ini unsur margin perdagangan dan biaya pengangkutan telah dikeluarkan dari tabel transaksi. Tabel transaksi domestik adalah tabel transaksi yang menggambarkan besar nilai transaksi barang dan jasa antar sektor ekonomi yang hanya berasal dari produksi domestik. Tabel transaksi domestik diperoleh dengan memisahkan nilai transaksi barang dan jasa yang berasal dari impor, baik transaksi antara maupun permintaan akhir dari tabel transaksi total. Jumlah impor masing-masing kolom disajikan sebagai vektor baris tersendiri. Data pada vektor baris menunjukkan rincian barang dan jasa menurut sektor yang menggunakan barang dan jasa tersebut. Dengan demikian, tabel transaksi domestik atas dasar harga pembeli adalah tabel transaksi yang hanya mencakup nilai transaksi barang dan jasa antar sektor ekonomi yang berasal dari domestik dan unsur margin perdagangan dan biaya pengangkutan masih tergabung dalam nilai input bagi sektor yang membelinya, atau dinyatakan sebagai harga pembeli. Tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen hanya mencakup nilai transaksi barang dan jasa antar sektor ekonomi domestik, dan unsur margin perdagangan dan biaya pengangkutan telah dipisahkan sebagai input yang dibeli dari sektor perdagangan dan pengangkutan. Koefisien input domestik atas dasar harga produsen merupakan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: j ij X x a ij d 210 = ; j = 1, 2, …, 175, 180 …..…………………………………………….3 dan j d ij X x a ij 190 = ; j = 301, 302, …, 700 ……………………………………………4 dimana: a ij x = koefisien input sektor ke-i oleh sektor ke-j. ij X = penggunaan input sektor ke-i oleh sektor ke-j dalam nilai rupiah. 210j X = total input sektor kode 210 ke-j. 190j = total permintaan akhir dan penyediaan kode 190 ke-j. Koefisien input sektor ke-i oleh sektor ke-j dan keberadaan elastisitas pada model, akan menjadi informasi yang dapat menjelaskan tentang bagaimana dampak pengembangan produksi BBN dan bagaimana dampak substitusi BBN terhadap BBM fossil, yang feedstock BBN berasal dari komoditi yang berorientasi ekspor. Matrik pengganda domestik atas dasar harga produsen berguna dalam perhitungan analisis dampak. Matrik pengganda ukuran matrik 175 sektor dihitung menggunakan komputer, misalnya dengan menggunakan paket program SAS Statistical for Analysis System. Matrik pengganda dalam Tabel IO menyajikan matrik pengganda untuk transaksi domestik atas dasar harga produsen BPS, 2008a. Data yang diperoleh dari Tabel SNSE tahun 2005 adalah: 1 data nilai pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk total barang domestik dan impor per sektor, 2 jumlah tenaga kerja terampil skill labor dan tidak terampil unskill labor per sektor dan rumah tangga, 3 nilai lahan dan modal per sektor, 3 nilai transfer antar rumah tangga, dan 6 nilai pajak pendapatan personal. Perangkat SNSE dibangun untuk dapat memperlihatkan keterkaitan antara ketidakmerataan pendapatan dan pengangguran, atau kelangkaan kesempatan kerja sebagaimana masalah utama di negara-negara berkembang Todaro, 1987; Nafsiger, 1990 dalam BPS, 2008b. SNSE dibangun sebagai bagian dari sistem neraca nasional. SNSE mempunyai keterkaitan dengan perangkat data lain, seperti PDB, Tabel IO, dan neraca arus dana BPS, 2008b. Data PDB menurut lapangan usaha menunjukkan nilai tambah atau pendapatan yang diciptakan oleh berbagai sektor ekonomi produksi, yang pada akhirnya menjadi sumber pendapatan masyarakat, sedangkan PDB menurut pengeluaran menjelaskan tentang pembagian PDB menjadi konsumsi akhir rumah tangga, konsumsi akhir pemerintah, dan konsumsi akhir lainnya. Tabel IO lebih memperjelas tentang struktur proses produksi, nilai tambah yang diturunkan, maupun struktur konsumsi. Pada akhirnya SNSE merekam sebagian besar dari transaksi tersebut dan memperluasnya menjadi gambaran struktur distribusi dan redistribusi pendapatan maupun konsumsi antar kelompok rumah tangga BPS, 2008b.

3.3. Metode Pengolahan Data

Proses pengolahan data diawali dari penentuan dan pengklasifikasian jenis komoditi, industri, jumlah rumah tangga, sumber komoditi dari domestik ataukah impor, jenis tenaga kerja, dan input lainnya. Pengolahan data menggunakan software program Excel dan GEMPACK General Equilibrium Modelling Package. GEMPACK menggunakan bentuk perubahan persentase, karena semua persamaan dilakukan linieralisasi dengan cara menyatakan semua peubah dalam bentuk perubahan persentase. Pengembangan GEMPACK dipelopori oleh ahli-ahli model keseimbangan umum dari Australia Oktaviani, 2008. Konstruksi data dilakukan dengan menggunakan program Excel dalam bentuk file.xls dan file.csv. Data dalam bentuk Excel diolah dengan menggunakan program GEMPACK dalam bentuk file.har yang dilengkapi dengan file Tablo. Konversi dilakukan menggunakan program Modhar dan file Modraw.inp, file Dgscale.inp, dan file Rawdata.bat. File Tablo dikonversi ke dalam file.axs dan file.axt menggunakan file doconv.bat.