Dampak pengembangan produksi bahan bakar nabati terhadap perekonomian indonesia

(1)

DISERTASI

DAMPAK PENGEMBANGAN PRODUKSI BAHAN BAKAR

NABATI TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

SUGIYONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul:

DAMPAK PENGEMBANGAN PRODUKSI BAHAN BAKAR

NABATI TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2012

Sugiyono


(4)

(5)

ABSTRACT

SUGIYONO. Impact of Biofuel Production in the Indonesian Economy (RINA OKTAVIANI as a Chairperson, DEDI BUDIMAN HAKIM, and BUSTANUL ARIFIN as Members of the Advisory Committee).

The biofuel development policy in Indonesia is intended to contribute to increasing economic growth and job creation, decreasiing poverty, mitigates climate change, and improve energy security. The policy is built through Presidential Decree Number 5 in 2006. The mandate for biofuel consumption more than 5 percent in 2025.

The objectives of the study were an analysis of implementation of biofuel development of production in Indonesian economy. This research applied the Recursive Dynamic General Equilibrium (RDGE) model by Indonesian Forecasting. Five simulations were used, namely, (1) increasing of biofuel demand, (2) to increase biofuel agriculture land expansion, deforestation, and capital, (3) to measure agricultural and biofuel productivity, (4) to rise international food price’s and biofuel substitute price’s, (5) to increase biofuel subsidy, and (6) to raise demand for land of palm oil and cassava.

The results showed that the policy of biofuel mandate implementation would increase economic growth, rise household income, and improve carbon emission, but threatens food security and feed, declines employment in non biofuel agriculture. An increase of demand for land of palm oil and cassava would eliminate trade-off energy development, food, and feed. The suggest to government, (1) used to palm oil for biosolar and cassava for bioetanol feedstocks to substitute oil import, (2), eliminate oil subsidy to biofuel subsidy for increase biofuel research and development, and (3) developt biofuel re-export potentially.


(6)

(7)

RINGKASAN

SUGIYONO. Dampak Pengembangan Produksi Bahan Bakar Nabati

terhadap Perekonomian Indonesia (RINA OKTAVIANI sebagai Ketua,

DEDI BUDIMAN HAKIM, dan BUSTANUL ARIFIN sebagai Anggota

Komisi Pembimbing).

Untuk mengurangi tekanan terhadap permintaan BBM bersubsidi bersumber dari impor dan tekanan dari harga minyak mentah dunia yang meningkat, maka pemerintah menerbitkan Inpres nomor 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai bahan bakar lain. Pemerintah juga menerbitkan kebijakan energi nasional berupa Perpres No. 5 Tahun 2006 yang bertujuan untuk mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri dan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Sasaran (mandat) konsumsi

BBN ditetapkan lebih besar dari 5 persen

pada tahun 2025.

T

Model yang digunakan untuk melakukan analisis adalah model INDOF (Indonesian Forecasting Model) yang dibangun oleh Oktaviani (2000). Model tersebut dikembangkan dari model ORANI-F oleh Horridge et al (1993) dan Oktaviani (2008). Sistem persamaan yang digunakan sebanyak 17 blok menggunakan keseimbangan umum recursive dynamic jangka panjang. Emisi karbon dihitung di luar model INDOF berdasarkan konversi besar output per sektor menggunakan metode Rodriguez (2009). Tabel I-O tahun 2008 dilakukan disagregasi dari 66 menjadi 68 sektor menggunakan metode matrik disagregasi. Sektor ubi kayu diperoleh dari disagregasi sektor tanaman umbi-umbian dengan pangsa sebesar 46.35 persen. Sektor BBN diperoleh dari disagregasi sektor pengilangan minyak bumi dengan pangsa sebesar 1.1 persen. BBN merupakan sebagian produksi yang berasal dari industri minyak dan lemak dengan pangsa sebesar 15 persen. Sektor industri minyak dan lemak antara lain berasal dari sektor-sektor kelapa sawit, ubi kayu, dan industri gula (tetes tebu) dengan pangsa sebesar 10 persen (biosolar), serta 5 persen dan 10 persen untuk bioetanol.

ujuan khusus penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak: (1) peningkatan konsumsi BBN dari industri minyak dan lemak, (2) perluasan lahan tanaman berbasis BBN, penurunan luas lahan kayu dan hasil hutan lain, dan peningkatan modal tetap industri minyak dan lemak dan BBN pada penduduk perkotaan Urban 3, (3) perubahan produktivitas tanaman BBN, industri minyak dan lemak, industri gula, dan BBN, (4) peningkatan harga pangan internasional yang berpotensi sebagai feedstock BBN dan peningkatan harga substitusi BBN tingkat internasional, (5) subsidi harga output BBN, dan (6) peningkatan permintaan lahan kelapa sawit dan ubi kayu Rural 4 terhadap pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, penerimaan pemerintah dari pajak-pajak dan bukan pajak, pengeluaran pemerintah, kenaikan harga ouput komoditi pangan lokal, “trade-off” antara output feedstock BBN dan pangan (pakan), permintaan tenaga kerja, jumlah konsumsi nominal, jumlah permintaan beras, penerimaan pendapatan rumah tangga, dan emisi karbon.

Simulasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah: (1) konsumsi BBN dari industri minyak dan lemak meningkat sebesar 5 persen, (2) perluasan lahan kelapa sawit meningkat sebesar 15 persen, tebu meningkat sebesar 10 persen,


(8)

hasil hutan lain menurun 25 persen dari rata-rata perubahan lahan tersebut di pedesaan selama tahun 2000-2009, serta modal tetap industri minyak dan lemak maupun BBN Urban 3 masing-masing meningkat sebesar 10 persen, (3) produktivitas tanaman ubikayu menurun sebesar 10 persen, tebu menurun sebesar 10 persen, kelapa sawit tetap, industri minyak dan lemak meningkat sebesar 10 persen, industri gula menurun sebesar 10 persen, dan BBN meningkat sebesar 15 persen, (4) harga ekspor CPO rata-rata per tahun meningkat sebesar 16.31 persen, harga ekspor dan impor jagung meningkat sebesar 12.8 persen, harga impor beras meningkat sebesar 8.6 persen, harga impor gula meningkat sebesar 12.8 persen, harga ekspor minyak kelapa meningkat sebesar 19.6 persen, harga impor gandum meningkat sebesar 9.8 persen, harga ekspor kayu bulat meningkat sebesar 4.7 persen, harga ekspor batubara meningkat sebesar 25 persen, harga ekspor dan impor BBM meningkat sebesar 18.1 persen, serta harga ekspor gas meningkat sebesar 9.5 persen selama tahun 2000-2011, (5) subsidi harga output BBN sebesar 57.68 persen tahun 2011, dan (6) peningkatan permintaan lahan kelapa sawit sebesar 15 persen dan ubi kayu sebesar 10 persen kelompok Rural 4.

Pengembangan produksi BBN berupa peningkatan konsumsi BBN, perubahan perluasan lahan dan peningkatan modal tetap, perubahan produktivitas, dan subsidi harga output dapat digunakan untuk meningkatkan output BBN, berfungsi untuk mensubstitusi output BBM, berdampak efektif untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan nominal agregat yang diterima semua kelompok rumah tangga, peningkatan permintaan tenaga kerja pada tanaman feedstock BBN, dan penurunan emisi karbon. Pengembangan produksi BBN tanpa subsidi menghasilkan penerimaan pajak yang lebih besar dibandingkan belanja. Tanaman feedstock BBN terdiri dari kelapa sawit, tebu, dan ubi kayu.

Pengembangan produksi BBN menunjukkan bahwa output BBN bukan hanya mampu mensubtitusi output BBM, melainkan juga bersifat berlawanan terhadap ouput pangan dan output pakan. Output pangan dan pakan menurun, serta permintaan tenaga kerja non BBN menurun. Ketika pemerintah berkepentingan menjadikan komoditi pangan dan BBM sebagai sasaran laju inflasi, maupun BBM dan pangan merupakan komoditi ekonomi politik di Indonesia, maka persoalan pengembangan produksi BBN tidaklah sesederhana ketika pencanangan pengembangan produksi BBN pertama kali dilakukan. Diantara keempat kebijakan di atas, maka kebijakan perubahan perluasan lahan dan peningkatan modal tetap menghasilkan dampak yang lebih baik dalam mengurangi “trade-off” antara pengembangan produksi BBN dengan peningkatan produksi pangan dan pakan. Meskipun demikian, peningkatan permintaan lahan pertanian untuk tanaman kelapa sawit dan ubi kayu, yang berorientasi ekspor dan dapat ditanam pada lahan marjinal berhasil meniadakan “trade-off” antara pengembangan energi, pangan, dan pakan di Indonesia.

Kenaikan harga pangan di tingkat konsumen mendorong pemerintah meningkatkan impor pangan. Impor pangan yang meskipun dalam volume sedikit mampu menurunkan kenaikan harga pangan. Akan tetapi kenaikan harga pangan sulit direspons melalui kenaikan output pangan, karena keterbatasan faktor-faktor produksi pada tanaman pangan dalam merespons kenaikan harga output tanaman pangan, misalnya karena petani kecil berlahan sempit sulit melipatgandakan produksi secara nyata, ketika harga output komoditi lokal meningkat.

Peningkatan harga pangan, harga kayu bulat, dan harga hasil tambang di pasar internasional pada level ekonomi makro berdampak positif terhadap peningkatan indeks harga ekspor, depresiasi nilai tukar mata uang rupiah per


(9)

dolar AS, apresiasi nilai tukar perdagangan, peningkatan sewa modal non pertanian nasional, dan peningkatan neraca perdagangan per PDB, namun peningkatan harga pangan, harga kayu bulat, dan harga hasil tambang tingkat internasional tidak berhasil menyebabkan peningkatan indeks harga konsumen dan berdampak negatif terhadap penurunan PDB riil sisi pengeluaran. Peningkatan harga pangan, harga kayu bulat, dan harga hasil tambang di pasar internasional pada level ekonomi sektoral berdampak positif terhadap peningkatan output BBN, industri minyak dan lemak, industri gula, jagung, dan BBM, namun hal itu berdampak negatif berupa penurunan output padi, ubi kayu, industri pengolahan dan pengawetan makanan, industri penggilingan padi, dan industri tepung. Peningkatan harga pangan, harga kayu bulat, dan harga hasil tambang di pasar internasional berdampak positif berupa peningkatan permintaan tenaga kerja sektor BBN, jagung, tebu, kelapa sawit, industri minyak dan lemak, industri penggilingan padi, industri tepung, industri gula, dan BBM, namun hal itu berdampak negatif berupa penurunan permintaan tenaga kerja sektor padi, ubi kayu, serta industri pengolahan dan pengawetan makanan. Penurunan permintaan tenaga kerja tersebut, karena penurunan output. Dampak negatif lainnya adalah berupa penurunan penerimaan pendapatan nominal agregat pada semua kelompok rumah tangga.

Untuk meminimalkan dampak negatif kebijakan pengembangan produksi BBN dalam melaksanakan mandat konsumsi BBN dan lebih menyehatkan APBN, pemerintah perlu mengembangkan BBN (biosolar, bioetanol, dan bio-oil) untuk mensubstitusi impor BBM, mengalihkan subsidi BBM ke subsidi BBN untuk meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan BBN, dan mengembangkan potensi re-ekspor BBN. Selain dapat mengurangi dampak negatif atas tekanan kenaikan harga BBM, maka substitusi impor BBM dapat dijadikan momentum mengubah ancaman kenaikan harga pangan dan kenaikan harga energi menjadi momentum kebangkitan penguatan perekonomian menggunakan kebijakan substitusi impor BBM, momentum melakukan re-ekspor BBN ke pasar internasional, dan pemenuhan kecukupan kebutuhan peningkatan konsumsi BBN di dalam negeri. Akan tetapi pengembangan feedstock bahan bakar nabati di atas untuk menumbuhkembangkan bahan bakar nabati jangan sampai menggunakan feedstock dari tanaman pangan yang berorientasi impor, seperti jagung, gula, kacang kedelai, sagu, beras, dan ubi jalar apabila tanaman tersebut dibudidayakan di lahan petani, melainkan dengan pengembangan

feedstock bahan bakar nabati yang berorientasi ekspor, seperti CPO di lahan perkebunan dan ubi kayu di lahan marjinal. Akan tetapi meskipun berisiko, namun impor tanaman pangan tersebut sebagian masih berpotensi sebagai pengencer BBM untuk diproduksi di dalam negeri untuk kegiatan reekspor BBN.


(10)

(11)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB


(12)

(13)

DAMPAK PENGEMBANGAN PRODUKSI BAHAN BAKAR

NABATI TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

SUGIYONO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(14)

(15)

Judul Penelitian : Dampak Pengembangan Produksi Bahan Bakar Nabati terhadap Perekonomian Indonesia

Nama Mahasiswa : Sugiyono Nomor Pokok : H 363070011

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS.

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc.

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr.Ir. Sri Hartoyo, MS. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.


(16)

(17)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. sebagai Ketua Komisi Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, dan Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, MSc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Setelah mata kuliah aplikasi model keseimbangan umum tidak terselenggara selama dua semester, penulis dibantu mengikuti dua kali kursus oleh Prof. Dr. Rina Oktaviani, MS. dan kuliah irreguler oleh Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc. Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, MSc. membantu penulis menjadikan disertasi sebagai bagian dari kegiatan penelitian di InterCAFE Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, MSc. juga adalah pemberi rekomendasi pendidikan.

Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. berperan memberikan masukan dalam membahas temuan empiris bahan bakar nabati yang menggunakan aplikasi model keseimbangan umum, membimbing kegiatan melakukan konstruksi data, pengolahan data, analisis data, dan penyusunan disertasi. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc. memberikan masukan tentang teori pertumbuhan ekonomi dan mekanisme transmisi. Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, MSc. memberikan masukan pada argumentasi besar guncangan pada simulasi, mengajarkan teknik melakukan analisis, melakukan sintesis, membuat kesimpulan, dan menyusun saran penelitian.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bonar Marulitua Sinaga, MA. dan Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc. sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup. Prof. Dr. Ir. Bonar Marulitua Sinaga, MA. adalah orang yang menganjurkan sejak awal, agar penulis dapat memahami aplikasi keseimbangan umum secara lebih baik. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc.


(18)

memberikan masukan perbandingan antara subsidi dan penerimaan pemerintah, pengembangan ubikayu berorientasi ekspor sebagai feedstock bahan bakar nabati, dan menghindarkan tetes tebu yang bersumber dari impor sebagai

feedstock bahan bakar nabati.

Penghargaan yang besar disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc. dan Dr. Wayan Reda Soesila sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc. memberikan masukan permintaan lahan pertanian sebagai peubah eksogen. Dr. Wayan Reda Soesila memberikan masukan tentang penggunaan analisis moneter di luar analisis sektor riil.

Apresiasi disampaikan kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS. sebagai Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor yang telah menjadi penguji pada ujian tertutup dan ujian terbuka disertasi. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS. memberikan masukan untuk menggunakan rujukan dari sumber pertama, perlunya mencantumkan sumber pustaka hanya untuk penggunaan rujukan untuk teori yang bersifat khusus dan tanpa mencantumkan sumber pustaka untuk penggunaan teori yang dipandang telah biasa digunakan oleh akademisi pada umumnya.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. sebagai Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor menjadi pimpinan pada waktu ujian terbuka. Dr. Ir. Muhammad Firdaus, MSc. sebagai Wakil Dekan Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor menjadi pimpinan ujian tertutup disertasi. Kepada keduanya, penulis mengucapkan terima kasih.

Beberapa orang berikut ini berperan memberikan motivasi untuk melanjutkan dan menyelesaikan sekolah doktor. Prof. Dr. Ir. Didik J. Rachbini sebagai pemberi rekomendasi pendidikan. Dr. Ir. Fadhil Hasan sebagai Direktur Utama INDEF sebagai pemberi rekomendasi pendidikan. Dr. Ir. Iman Sugema,


(19)

MEc. sebagai Direktur InterCAFE Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan beasiswa penelitian untuk disertasi, sebagai pemberi rekomendasi pendidikan, dan menyarankan penggunaan matriks untuk melakukan disintegrasi dalam membangun sektor bahan bakar nabati. InterCAFE bekerjasama dengan IFAD (the International Fund for Agricultural Development).

Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika sebagai Direktur Eksekutif INDEF berperan memberikan keluangan waktu bekerja selama penulis mengikuti kuliah di kelas. H. Nasril Bahar, SE. sebagai anggota DPR RI memberikan keluangan bekerja selama penulis menyelesaikan disertasi menjelang kelulusan sekolah doktor.

Terima kasih diucapkan kepada keluarga yang memberikan semangat untuk segera menyelesaikan disertasi ini, yaitu Muchtar Siregar, Hapsah Harahap, Tiomasari Siregar, Sridewi Nur Pasha, Sridevi Anisa, Djupri BA, Sri Rahayu (Almarhum), Paijan, Sayuto, SPd., Ramli, Poerwaningsih (Almarhum), Ir. H. Sugiharto, Dra. Sri Aryani Sugiharti, MPd., Sri Soegihastoeti, Sri Utami, SPt., Sri Setyowati, SE, MM., Bhakti Effendi, SE. dan Brigadir Dua Satul Bahri, SH.

Teman-teman Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian angkatan tahun 2007 berperan memberikan masukan pada waktu kolokium, seminar hasil, berdiskusi, dan berkomunikasi selama penelitian, terutama Gatoet Sroe Hardono, Dwi Rachmina, Rizal Taufikhurrahman, dan Netti Tinaprilla. Ahmad Heri Firdaus dan Syarifah Amaliah membantu penulis pada pengenalan awal piranti lunak Gempack. Terima kasih disampaikan untuk Rana Amirudin yang membantu donasi konsumsi dan penggandaan bahan ujian terbuka. Akhir kata, penulis ucapkan puji dan syukur kepada Alloh swt, karena hanya dengan limpahan barokah dan rahmat-Nya, yang membuat disertasi ini terselesaikan.


(20)

(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 19 Juli 1966 di Surabaya, sebagai anak ketiga dari enam bersaudara pasangan Madelan (almarhum) dan Sriyati (almarhum). Penulis beristrikan Tiomasari Siregar dengan putri bernama Sridewi Nur Pasha dan Sridevi Anisa. Tiomasari Siregar merupakan anak ketiga dari Muchtar Siregar dan Hapsah Harahap.

Penulis melanjutkan sekolah Sarjana di Institut Pertanian Bogor melalui program Penelusuran Minat dan Kemampuan sebagai finalis Lomba Karya Ilmiah Remaja tingkat nasional bidang Ilmu Sosial, yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1984. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1992. Penulis mendapat beasiswa penelitian untuk skripsi dari Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Ford Foundation, Departemen Kehutanan, Perum Perhutani, dan Inhutani tahun 1989-1992. Skripsi berjudul “Analisis Struktur Pasar dan Prospek Pemasaran Ekspor Kapulaga Indonesia” yang dibimbing oleh Ir. W.H. Limbong, MS.

Penulis melanjutkan sekolah magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2005. Penulis mendapat beasiswa penelitian untuk tesis dari Yayasan INDEF (Institute for Development of Economics & Finance) bekerjasama dengan PT Texmaco dan Drs. Said Umar pada tahun 2002-2003. Tesis berjudul “Model Ekonomi Politik Regulasi Beras Indonesia: suatu Analisis Kebijakan” yang dibimbing oleh Dr. Ir. Bonar Marulitua Sinaga, MA. dan Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc.


(22)

Penulis melanjutkan sekolah doktor ke Fakultas Ekonomi Manajemen, Major Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor sejak semester ganjil tahun 2007. Penulis mendapat beasiswa penelitian untuk disertasi dari InterCAFE Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan IFAD (International Fund for Agricultural Development) tahun 2009-2010.

Penulis mulai bekerja sebagai peneliti pada PT Insanselaras Konsultindotama di Jakarta tahun 1992-2009, sebagai peneliti PT Indefera Utama Era Madani (INDEF) tahun 2000-2008, sebagai tenaga ahli anggota DPR RI Prof. Dr. Ir. Didik J. Rachbini, MSc. tahun 2008-2009, dan sebagai tenaga ahli anggota DPR RI H. Nasril Bahar, SE tahun 2010-sekarang.

Di luar pekerjaan utama tersebut di atas, penulis bekerja sebagai asisten Dr. Ir. Syamsul Maarif, MEng. Dipl Ing, DEA. pada Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) Institut Pertanian Bogor tahun 1994-2000; sebagai asisten Dr. Ir. Didik J. Rachbini, MSc. di Ombudsmen Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta pada tahun 2000-2002, sebagai dosen tidak tetap pada Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana di Jakarta tahun 2000-2011, Universitas Paramadina di Jakarta tahun 2001-2005, dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila di Jakarta tahun 2007-2010; serta sebagai asisten Dr. Bustanul Arifin pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi-Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) di Bandung dan Cianjur tahun 2005-2007. Ketika mahasiswa S1, penulis magang pada PT Taru Pakarti di Sukadana, Way Jepara, Lampung Tengah tahun 1988. Penulis juga bekerja paruh waktu sebagai tenaga ahli di bidang kajian ekonomi politik setelah lulus S2 dan selama mahasiswa S3 di beberapa perusahaan konsultan swasta dan BUMN, sebagai tenaga ahli pada Kementerian Pertanian, dan Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan.


(23)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...

xxvi

DAFTAR GAMBAR ...

xxviii

DAFTAR LAMPIRAN ...

xxx

I. PENDAHULUAN ...

1

1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 2 1.3. Tujuan Penelitian ... 21 1.4. Kegunaan Penelitian ... 22 1.5. Kebaruan dan Keterbatasan Penelitian ... 22

II. KERANGKA PEMIKIRAN ...

27

2.1.Tinjauan Teoritis ... 27 2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi ... 27 2.1.2. Model Ekonomi Keseimbangan Umum ... 35 2.1.2.1. Aplikasi Model Ekonomi Keseimbangan Umum .. 50 2.1.2.2. Model Ekonomi Keseimbangan Umum Nasional . 51 2.1.2.3. Model Ekonomi Keseimbangan Umum Dinamis

dan Statis... 52 2.1.3. Dampak Subsidi ... 55 2.2. Studi Empiris Bahan Bakar Nabati ... 57 2.3. Kerangka Pemikiran Teoritis Penelitian... 92 2.4. Mekanisme Transmisi ... 94 2.5. Hipotesis Penelitian ... 108 III. METODE PENELITIAN ... 111 3.1. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ... 111 3.2. Jenis dan Sumber Data ... 113 3.3. Metode Pengolahan Data... 117 3.4. Struktur Model ... 118 3.4.1. Set dan Indeks ... 120


(24)

Halaman 3.4.3. Koefisien dan Parameter ... 123 3.4.4. Sistem Persamaan... 125 3.4.5. Perhitungan Tambahan di Luar Model ... 157 3.5. Closure ... 158 3.6. Baseline ... 160 3.7. Simulasi ... 162

IV.

KONSTRUKSI DATA DASAR ...

165 4.1. Tabel Input Output Indonesia dan Klasifikasi Sektor ... 165

4.1.1. Struktur Tabel Input Output ... 180 4.1.2. Disagregasi Sektor... 181 4.2. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia ... 188 4.3. Konstruksi Matrik Pajak ... 189 4.4. Disagregasi Rumah Tangga ... 192 4.5. Disagregasi Tenaga Kerja ... 195 4.6. Penerimaan Modal dan Lahan ... 195 4.7. Investasi Setiap Industri ... 196 4.8. Stok Modal Setiap Industri ... 196 4.9. Tingkat Pengembalian Bruto ... 198 4.10. Koefisien Elastisitas dan Parameter Lain ... 199 4.10.1. Elastisitas Armington ... 199 4.10.2. Elastisitas Substitusi ... 200

4.10.3. Elastisitas Permintaan Ekspor ... 201 4.10.4. Elastisitas Pengeluaran ... 201

4.10.5. Parameter Investasi... 202 4.10.6. Elastisitas Upah dan Tenaga Kerja ... 202 4.10.7. Tingkat Depresiasi Faktor dan Nilai Depresiasi ... 202 4.10.8. Rasio Investasi Modal ... 203 4.10.9. Trend Investasi/Modal dan Rasio lnvestasil/Modal ... 203

4.11. Keseimbangan Database ... 204

V.

DAMPAK PENGEMBANGAN PRODUKSI BAHAN BAKAR

NABATI

... ... 205 5.1. Dampak Pengembangan Produksi BBN terhadap Keragaan


(25)

Halaman 5.2. Dampak Pengembangan Produksi BBN terhadap Keragaan

Sektoral ... 212 5.3. Dampak Pengembangan Produksi BBN terhadap Jumlah

Konsumsi Nominal dan Jumlah Permintaan Dasar

Industri Penggilingan Padi ... 238 5.4. Dampak Pengembangan Produksi BBN terhadap Penerimaan

Pendapatan Rumah Tangga ... .... 242 5.5. Dampak Pengembangan Produksi BBN terhadap Emisi Karbon 247 5.6. Sintesis Pembahasan ... 250 5.7. Implikasi Kebijakan ... 252

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... ...

255 6.1. Kesimpulan ... 255

6.2. Saran... ... 257 6.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 258

DAFTAR PUSTAKA

... 261 LAMPIRAN ... 277


(26)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Neraca Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 2004-2011... 2 2 Pendapatan dan Belanja Bahan Bakar Minyak dalam Anggaran

Pendapatan Belanja Negara Tahun 2004-2012 ... 3 3 Produksi BBN di Indonesia Tahun 2005-2010 ... 4 4 Laporan Laba Rugi Konsolidasian PT Pertamina (Persero) dan

Anak Perusahaan per 31 Desember 2005-31 Desember 2010 .... 15 5 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2004-2012 .... 18 6 Realisasi Penanaman Jarak Pagar di Indonesia Desember

Tahun 2007 ... 60 7 Produksi Biosolar dan Bioetanol di Indonesia Tahun 2008 ... 61 8 Perubahan Paradigma Kebijakan Energi di Indonesia ... 63 9 Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati ... 64 10 Kebijakan Nasional Penerapan Bahan Bakar Nabati ... 65 11 Regulasi untuk Membangun Bahan Bakar Nabati di Indonesia ... 68 12 Rencana Pengembangan Bahan Bakar Nabati Tahun 2006-

2010 ... 71 13 Roadmap Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati ... 72 14 Perbandingan Biaya Produksi Bioetanol ... 73 15 Konversi Biomassa Menjadi Etanol ... 73 16 Struktur Biaya Produksi Biosolar ... 75 17 Respons Penawaran Komoditi Pertanian di Indonesia ... 77 18 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 79 19 Peubah Eksogen yang Digunakan dalam Closure Penelitian ... 158 20 Menghitung Produktivitas BBN... ... 161 21 Perbandingan Data Aktual dan Estimasi pada Indikator Ekonomi

Makro di Indonesia Tahun 2008-2010 ... 162 22 Disagregasi Sektor dalam Penelitian Berdasarkan Tabel IO Updating

Tahun 2008 Klasifikasi 66 Sektor dan 68 Sektor Penelitian ... 182 23 Tabel SNSE Secara Sederhana ... 188 24 Pengelompokan Sektor Penelitian dari Tabel Input Output Updating

Tahun 2008 dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Tahun 2005 ... 190 25 Keseimbangan antara Data Pendapatan dan Pengeluaran... 204 26 Dampak Pengembangan Produksi BBN terhadap Keragaan


(27)

Halaman 27 Dampak Pengembangan Produksi BBN terhadap Keragaan

Output dan Harga Output Komoditi Lokal... ... 213 28 Dampak Pengembangan Produksi BBN terhadap Stok Modal

Aktual dan Permintaan Tenaga Kerja... ... 215 29 Dampak Pengembangan Produksi BBN terhadap Harga Faktor

Primer Pertanian... ... 223 30 Dampak Pengembangan Produksi BBN terhadap Permintaan

Ekspor dan Jumlah Penawaran Impor... ... 235 31 Dampak Pengembangan Produksi BBN terhadap Jumlah

Konsumsi Nominal dan Jumlah Permintaan Dasar Industri

Penggilingan Padi... ... 240 32 Dampak Pengembangan Produksi BBN terhadap Penerimaan

Pendapatan Rumah Tangga... ... 243 33

Dampak Pengembangan Produksi BBN terhadap Emisi


(28)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Efisiensi Produksi pada Diagram Kotak Edgeworth Kasus

Dua Komoditi dan Dua Faktor Produksi ... 42 2 Kurva Kemungkinan Produksi ... 45 3 Keseimbangan Sektor Produksi dan Konsumsi ... 46 4 Model Comparative Static ... 55 5 Dampak Subsidi ... 56 6 Kerangka Pemikiran Teoritis Penelitian ... 93 7 Mekanisme Transmisi Dampak Permintaan BBN dari

Industri Minyak dan Lemak terhadap Harga BBN dan

Jumlah BBN ... 95 8 Dampak Peningkatan Jumlah Tenaga Kerja BBN terhadap

Output BBN pada Kurva Produksi ... ... 96 9 Dampak Peningkatan Tenaga Kerja BBN terhadap Produk

Rata-Rata BBN ... 96 10 Dampak Perubahan Harga Relatif Faktor Produksi terhadap

Jumlah Tenaga Kerja dan Modal BBN ... ... 97 11 Dampak Peningkatan Output BBN terhadap Biaya Total

dan Biaya Variabel pada Struktur Biaya Produksi BBN ... 98 12 Dampak Peningkatan Output BBN terhadap Biaya Total

Rata-Rata BBN dan Biaya Variabel Rata-Rata BBN pada

Struktur Biaya Produksi Rata-Rata BBN ... 98 13 Dampak Pergeseran Kurva Permintaan Tenaga Kerja BBN

terhadap Jumlah Tenaga Kerja BBN dan Upah Riil Tenaga

Kerja BBN ... 99 14 Dampak Perubahan Harga Relatif BBN terhadap Ekspor

BBN dan Impor BBM pada Kurva Kemungkinan Produksi

dan Kurva Indiferen ... 100 15 Dampak Peningkatan Ekspor BBN terhadap Jumlah Ekspor

BBN dan Nilai Tukar Rupiah Riil ... 101


(29)

Halaman 16 Dampak Pergeseran Kurva Permintaan Agregat dan

Pergeseran Kurva Penawaran Agregat terhadap Tingkat

Harga dan Pendapatan ... 102 17 Dampak Pergeseran Ekspor Neto dan Pergeseran PMA

terhadap PMA dan Nilai Tukar Rupiah Riil ... 103 18 Dampak Peningkatan PMA terhadap Suku Bunga Riil ... ... 103 19 Dampak Peningkatan Pendapatan terhadap Tabungan

dan Suku Bunga Riil ... 104 20 Dampak Pergeseran Kurva IS dan Pergeseran Kurva LM

terhadap Suku Bunga Riil dan Pendapatan ... 105 21 Dampak Pergeseran Kurva Permintaan Uang dan Kurva

Penawaran Uang terhadap Kecepatan Perputaran Uang ... 106 22 Dampak Pergeseran Kurva Konsumsi terhadap Pendapatan 107 23 Dampak Peningkatan Output per Komoditi terhadap Emisi

Karbon ... 107 24 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ... 112 25 Kerangka Makroekonomi yang Digunakan pada Penelitian... 119 26 Database Input Output pada Model INDOF ... 124 27 Struktur Produksi pada Model INDOF ... 128 28 Struktur Permintaan Investasi ... 137 29 Spesifikasi Konsumsi Rumah Tangga ... 138 30 Metode Agregasi Matriks... 181 31 Metoda Disagregasi ... 184 32 Pangsa untuk Membangun Sektor BBN ... 186 33 Perhitungan Nilai Stok Modal ... 197


(30)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Cadangan Minyak Bumi Indonesia Tahun 2004-2011 ... 279

2 Produksi Minyak Bumi dan Kondensat Indonesia Tahun 2004-2011 ...

280 3 Neraca Ekspor Minyak Bumi Indonesia Tahun 2004-2011 281 4 Neraca Minyak Bumi dan Surplus Ekspor Minyak Bumi di

Indonesia Tahun 2004-2011 ...

282 5 Produksi Bahan Bakar Minyak Indonesia Tahun 2004-2010 284 6 Impor Bahan Bakar Minyak Indonesia Tahun 2005-2011 285 7 Konsumsi Bahan Bakar Minyak dan Non Bahan Bakar

Minyak Indonesia Tahun 2005-2010 ...

286 8 Neraca Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 2004-2011 287 9 Mekanisme Transmisi ... 289 10 Peubah yang Digunakan pada Penelitian... 304 11 Koefisien dan Parameter yang Digunakan pada Database.. 307 12 Persamaan yang Digunakan dalam Model INDOF ... 309 13 Konsumsi BBN Dalam Negeri Tahun 2008 ... 321 14 Elastisitas Armington, Elastisitas Substitusi Tenaga Kerja,

Elastisitas Substitusi Faktor Primer, Elastisitas

Transformasi, dan Elastisitas Permintaan Ekspor ... 322 15 Elastisitas Upah, Elastisitas Harga Permintaan, Elastisitas

Harga Penawaran, dan Elastisitas Harga Substitusi per

Komoditi ... 324 16 Elastisitas Pengeluaran Rumah Tangga per Sektor ... 328 17 Pangsa Realisasi Penerimaan Pajak Tahun 2007-2012 ... 332 18 Penerimaan Pajak ... 333 19 Upah Tenaga Kerja Setiap Industri (Rp Miliar) ... 334


(31)

Halaman 20 Penerimaan Lahan dan Modal per Industri (Rp Miliar) ... 336 21 Penerimaan Lahan per Rumah Tangga (Rp Miliar) ... 338 22 Penerimaan Modal per Rumah Tangga (Rp Miliar) ... 340 23 Parameter Frisch dan Pendapatan Perorangan ... 343 24 Aliran Investasi Langsung di Indonesia Tahun 2005-2010 344 25 Jumlah Penjualan Domestik dan Impor Database ... 345 26 Jumlah Biaya Lain dan Pajak Tidak Langsung dalam

Database ... 353 27 Biaya dalam Database ... 357 28 Pertumbuhan Permintaan Tenaga Kerja di Indonesia Tahun

2005-2010 ...

359 29 Pertumbuhan PDB Sektoral dan Total Faktor Produktivitas 360 30 Total Faktor Produktivitas per Sektor dalam Penelitian ... 363 31 Closure Jangka Pendek dan Jangka Panjang ... 364 32 Luas Tanaman Perkebunan Besar Menurut Jenis Tanaman,

Indonesia (000 Ha) Tahun 1995 - 2009 ... 365 33 Luas Lahan di Indonesia Tahun 2000-2009 ... 366 34 Luas Panen Tanaman Pangan di Indonesia Tahun 1995-

2009... 367 35 Harga Komoditi Konstan Tahun 2000 (Dollar AS) Tahun

2000-2011 ... 368 36 Daftar Harga Pertamax, Pertamax Plus dan Pertamina Dex

untuk Periode 01 Mei 2011 ... 369 37 Pangsa PDB Permintaan Agregat Harga Berlaku dan PDB

Database IO Tahun 2008 ... 371 38 Indikator Ekonomi Makro Harga Berlaku Tahun 2008 dan


(32)

(33)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bahan Bakar Minyak (BBM) mempunyai pangsa sebesar 35 persen dari energi tingkat dunia (IEA, 2007; FAO, 2008). Produksi minyak bumi Indonesia rata-rata sebesar 50.22 juta kilo liter per tahun dan pertumbuhan produksinya rata-rata menurun sebesar minus 2.80 persen per tahun pada tahun 2004-2011 (Lampiran 2). Minyak bumi merupakan bahan baku Bahan Bakar Minyak (BBM). Produksi BBM Indonesia terdiri dari jenis premium, pertamax, pertamax plus, solar, minyak tanah, dan pelumas dasar. Produksi solar untuk sektor transportasi (automotive diesel oil) rata-rata sebesar 15.27 juta kilo liter per tahun (37.5 persen) dan untuk sektor industri (industrial diesel oil) rata-rata sebesar 0.65 juta kilo liter per tahun (1.59 persen) dari rata-rata produksi BBM di Indonesia yang sebesar 40.72 juta kilo liter per tahun pada tahun 2004-2011 (Lampiran 5). Rata-rata laju produksi solar untuk sektor transportasi meningkat sebesar 2.43 persen per tahun dan untuk sektor industri menurun sebesar 33.54 persen per tahun pada tahun 2004-2011 (Lampiran 5).

Meskipun ekspor minyak bumi Indonesia rata-rata surplus sebesar Rp 15.1 triliun dan tumbuh sebesar 30.48 persen per tahun pada tahun 2004-2011, namun konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang rata-rata sebesar 61.25 juta kilo liter per tahun dipasok oleh BBM bersumber dari impor rata-rata sebesar 23.95 juta kilo liter per tahun pada tahun 2004-2011 (Tabel 1; Susila dan Munadi, 2008).

P

roduksi BBM berbasis fosil diestimasi akan habis pada 20-25 tahun mendatang, namun dengan tingkat konsumsi yang tidak berubah dan tanpa ditemukan sumber eksplorasi baru, maka BBM berbasis fosil di Indonesia akan habis dalam 10-15 tahun mendatang (Ruhyat dan Firdaus, 2009).


(34)

2

Tabel 1. Neraca Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 2004-2011

Tahun Surplus Ekspor Minyak Bumi (Juta KL) Nilai Surplus Ekspor Minyak Bumi (Rp Triliun) Jumlah Produksi BBM (Juta KL) Jumlah Impor BBM (Juta KL) Jumlah Konsumsi BBM (Juta KL) Stok BBM (Juta KL)

a b c d e c+d-e

2004

4.83 10.27 45.06 n.a. n.a. n.a. 2005

6.58 20.64 42.69 26.50 63.25 5.95 2006

2.98 11.18 40.99 21.18 59.57 2.60 2007

3.09 13.07 38.86 24.03 60.97 1.92 2008

6.02 33.82 39.99 24.62 61.71 2.90 2009

2.09 7.53 39.16 22.16 60.28 1.03 2010

3.17 14.68 40.45 23.82 61.73 2.54 2011

1.47 9.59 n.a. 25.35 n.a. n.a. Rata-rata

3.78 15.10 41.03 23.95 61.25 2.83 Pertumbuhan

2004-2011

(%) 1.79 30.48 -1.72 -0.04 -0.43 10.02

Sumber: Ditjen Migas, 2012 (Diolah)

BBM merupakan komoditi berdimensi politik dan pemerintah memberikan subsidi BBM yang besar. Pangsa subsidi BBM terhadap belanja negara meningkat dari 2.84 persen tahun 2004 menjadi 8.61 persen tahun 2012 (Tabel 2).

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan Inpres nomor 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan BBN sebagai bahan bakar lain, maka pemerintah mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan BBN. Inpres tersebut ditujukan kepada Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Perhubungan, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah, Menteri Negara BUMN, Menteri Keuangan, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Gubernur, dan Bupati/Walikota.


(35)

(36)

4

Pemerintah mempercepat pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta pengurangan tekanan permintaan BBM dengan menetapkan Keputusan Presiden Nomor 10 tahun 2006 dan pemerintah membentuk Timnas BBN (Martono, 2008). BBN dikembangkan oleh pemerintah untuk memenuhi konsep

Triple Track Strategy, yaitu: pro-growth, pro-job, dan pro-poor (Departemen ESDM, 2008b). Pro-job dimaksudkan untuk membuka lapangan pekerjaan melalui pengembangan BBN, pro-poor dengan cara mensubsitusi minyak tanah dengan BBN, dan dengan konsep pro-growth dimaksudkan sebagai

Tabel 3. Produksi BBN di Indonesia Tahun 2005-2010

kegiatan ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Departemen ESDM, 2008b). Minyak tanah kemudian disubstitusi dengan LPG (Liquid Petroleum Gas) isi 3 Kg. Perkembangan produksi BBN di Indonesia disajikan pada Tabel 3.

Tahun Biosolar (Ribu KL)

Bioetanol (Ribu KL)

Bio-oil (Ribu KL)

Jumlah (Ribu KL)

2005 120.00 2.50 n.a. 122 500

2006 456.60 12.50 2.4 471 500

2007 1 550.00 135.00 37.2 1 722 200

2008 2 329.10 192.40 37.2 2 558 700

2009 2 521.50 212.50 40.0 2 774 000

2010*) 2 647.57 223.12 42.0 2 912 690

Sumber: Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, 2011 Keterangan: *) Estimasi.

Kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2005 telah menyebabkan inflasi sebesar 16 persen (Tampubolon, 2008). Ketika itu harga bensin meningkat sebesar 87.5 persen, harga solar meningkat sebesar 104.76 persen, dan harga minyak tanah meningkat sebesar 185.71 persen (Dillon et al, 2008). Perubahan harga BBM mempengaruhi perubahan harga BBN, karena pangsa BBN yang dicampurkan ke dalam BBM sebesar 10 persen.

Peningkatan harga produk pertanian terkait BBN berdampak meningkatkan harga produk hasil pengolahan pertanian, seperti harga minyak


(37)

5

goreng kelapa sawit. Peningkatan harga-harga tersebut mengurangi kesejahteraan konsumen. Ernawati et al (2008) menyatakan bahwa setiap kenaikan garis kemiskinan sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 1 persen.

Pada sisi yang lain, pembangunan pertanian berdampak menurunkan jumlah penduduk miskin. Kenaikan output sebesar 10 persen di bidang pertanian berdampak mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 7 persen (ADB, 2004; Susila dan Munadi, 2008). Kenaikan output minyak kelapa sawit sebesar 10 persen berdampak mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 0.4 persen (Susila dan Setiawan, 2007). Pengembangan biosolar mengurangi jumlah penduduk miskin di perkebunan sebesar 0.059 persen hingga 0.16 persen (23 ribu hingga 60 ribu orang). Akan tetapi pengembangan biosolar meningkatkan jumlah penduduk miskin di luar perkebunan kelapa sawit sebesar 0.004 persen hingga 0.01 persen (2 ribu hingga 4 ribu orang), sehingga pengembangan biosolar secara keseluruhan mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 0.005 persen hingga 0.15 persen (21 ribu hingga 55 ribu) (Susila dan Munadi, 2008).

Dalam perjalanan pengembangan BBN lebih lanjut, Ziegler (2008) mengatakan bahwa produksi besar-besaran BBN adalah "kejahatan terhadap kemanusiaan", karena produksi besar-besaran BBN berdampak negatif terhadap persediaan makanan global. Dengan mengalih-gunakan lahan, dimana lahan yang semula ditanami untuk bahan makanan, yang kemudian lahan tersebut diubah menjadi lahan tanaman BBN, maka jumlah lahan untuk menanam bahan pangan akan berkurang. Tregarthen (1976) menyatakan bahwa terdapat trade-off

dalam penggunaan lahan. Lahan pada waktu yang sama tidak dapat difungsikan menjadi rumah, tambang batu bara, memproduksi gandum, atau dapat digunakan untuk menghasilkan sumber energi (Tregarthen, 1976). Boswell


(38)

6

diestimasi meningkat sebesar 71 persen tahun 2030. Permintaan tersebut menggerakkan penanaman tanaman BBN secara massal untuk menambah sumberdaya energi fosil, akan tetapi dunia dikejutkan oleh kerusakan lingkungan dan sosial pada tahun 2007, yang disebabkan oleh masalah BBN tersebut (Boswell, 2007).

Ziegler (2008) juga mengatakan bahwa dunia menghadapi masalah sosial dan sejumlah sengketa lain, yang dipicu oleh masalah kekurangan pangan dan kenaikan harga-harga. Dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan harga bahan pangan telah memicu unjukrasa diikuti oleh tindakan kekerasan di sejumlah negara, seperti di Kamerun, Mesir, Etiopia, Haiti, Indonesia, Pantai Gading, Madagaskar, Mauritania, dan Pilipina (Ziegler, 2008; FAO, 2008). Di Pakistan dan Thailand, tentara ditempatkan untuk mencegah penjarahan makanan dari ladang dan gudang pangan, ketika harga bahan pangan meningkat tinggi dan diikuti oleh pemogokan di Burkina Faso (Ziegler, 2008).

Fenomena tersebut di atas merupakan koreksi terhadap ekspektasi yang tinggi tentang manfaat BBN sebelum tahun 2006. Ketika itu BBN berpotensi memperbaiki perubahan iklim global yang bersifat ekstrim, BBN berperan terhadap keamanan energi dan membantu produsen pertanian di dunia (FAO, 2008). Ernsting (2007) mengatakan bahwa terjadi pembukaan lahan yang sangat besar untuk Mega Proyek Beras di Kalimantan Tengah oleh Suharto tahun 1996 dan dilanjutkan oleh perluasan perkebunan kelapa sawit dan kayu. Perkebunan kelapa sawit tersebut dapat digunakan untuk memproduksi minyak sawit kasar, minyak goreng kelapa sawit, dan biosolar. Koh dan Wilcove (2007) dan Dillon et al (2008) menemukan bahwa luas hutan Indonesia antara tahun 1990 dan 2005 menurun sebesar 28 juta hektar, dimana 1.7 juta hektar lahan dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit (6 persen dari deforestasi). Boswell (2007) mengatakan bahwa lebih dari 20 juta hektar lahan dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit


(39)

7

selama 20 tahun mendatang di Indonesia. Lebih dari 9 juta hektar hutan di Papua dan Papua Barat diidentifikasi oleh Kementerian Kehutanan Indonesia dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit (Boswell, 2007). Ernsting (2007) mengatakan bahwa Indonesia melebihi Malaysia dalam memperluas lahan untuk meningkatkan produksi minyak kelapa sawit seluas 6.4 juta hektar tahun 2006 ke 26 juta hektar tahun 2025. Untuk pengembangan BBN, Indonesia pada periode waktu yang sama tersebut juga meningkatkan perluasan perkebunan besar untuk tanaman tebu dan tanaman jarak (Ernsting, 2007). Lebih dari 12 juta hektar terjadi deforestasi yang seharusnya digunakan untuk tanaman kelapa sawit, namun penanaman kelapa sawit itu tidak dilakukan (Ernsting, 2007). Investor yang mengembangkan BBN di Indonesia dalam skala besar, misalnya PT Smart (Sinar Mas Group) bekerjasama dengan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dan Hongkong Energy, Raja Garuda Mas, Salim Group, Bakrie Group seperti Wilmar International, Archer Daniels Midland (ADM), Cargill, Shell, Neste Oil, Greenenergy International, BioX Group, Carlyle Group, dan Riverside Holding (Ernsting, 2007). Investor-investor tersebut mendapat dukungan dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (Ernsting, 2007).

Kula (1994) mengatakan bahwa regenerasi sektor kehutanan memerlukan usaha yang keras dan berlangsung lama. Masalah reboisasi kemudian bukan hanya merupakan masalah discounting factor, melainkan merupakan kegiatan penggundulan hutan yang mempunyai konsekuensi bersifat khusus, seperti persiapan lahan, penanaman kembali, pemagaran, pembenihan, seleksi tanaman hutan, pemangkasan dan pembersihan, konstruksi, pemeliharaan, pemanenan, dan penyelesaian reboisasi. Beberapa reboisasi merupakan peristiwa hibah, pembangunan hutan komersial, pemberlakuan pajak dan insentif hasil hutan, dan penanaman ulang tanaman hutan. Disamping itu


(40)

8

memproduksi limbah. Beeman (2007) dan Dillon et al (20008) mengatakan bahwa produksi etanol dan biosolar antara tahun 2001 dan 2007 di Amerika Serikat terkena ketentuan Undang-Undang perlindungan kesehatan atau lingkungan.

Pada sisi yang lain, produksi BBN juga memerlukan subsidi. Ketika harga solar sebesar 67 dollar AS per barrel pada 29 Desember 2006 dan harga BBN sebesar 83 dollar AS per barrel (Kapanlagi.com, 2006), maka untuk memproduksi biosolar ketika itu memerlukan subsidi sebesar 16 dollar AS per barrel. Produksi BBN di Indonesia dapat diproduksi mencapai 200 ribu barrel per hari pada tahun 2010 (Kapanlagi.com, 2006), sehingga diperlukan subsidi sebesar 3.2 juta dollar AS per hari selama harga solar lebih rendah dibandingkan harga biosolar. Selama periode tahun 2006-Juni 2008, Pertamina menjual biosolar sebesar 1057 juta liter dan Pertamina kehilangan penjualan sebesar Rp 359 miliar (40 juta dollar AS), serta Pertamina dalam menjual etanol sebesar 7.2 juta liter telah kehilangan penjualan sebesar Rp 2.25 miliar (0,25 juta dollar AS) (Dillon et al, 2008).

Kenaikan harga minyak mentah juga mendorong kenaikan bahan baku BBN (TI, 2007). Jika harga bahan baku BBN meningkat, maka pemerintah mengizinkan BBN diekspor. Jika harga bahan baku BBN menurun, maka BBN digunakan untuk kepentingan domestik (TI, 2007). Ekspor biosolar menjadi menarik, karena penjualan biosolar di dalam negeri dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen dan biosolar harus bersaing dengan harga BBM bersubsidi, sedangkan ekspor biosolar hanya dikenakan pajak ekspor sebesar 1.5 persen (BWI, 2007).

Pemerintah juga memberikan subsidi BBN dalam bentuk lain. PPN penyerahan BBN dalam negeri ditanggung pemerintah untuk periode 5 Oktober-31 Desember 2009 sebesar Rp 180 miliar berdasarkan Peraturan Menteri


(41)

9

Keuangan Nomor 156/PMK.011/2009 (Depkeu, 2009). BBN tersebut adalah biosolar murni (B100), bioetanol murni (E100), dan minyak nabati murni (O100). Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan mendukung sasaran kebijakan energi nasional guna mewujudkan energi (primer) campuran yang optimal (Depkeu, 2009). Untuk mendukung keberhasilan BBN, pemerintah memberikan insentif sebagaimana telah dikemukakan di atas, yaitu pemberian keringanan pajak, tax holiday, tax allowance, dan penghapusan PPN untuk komoditi bahan baku BBN dari kelapa sawit, jarak pagar, tebu, dan ubi kayu (MBI, 2006).

Pemerintah Indonesia telah mencanangkan sasaran (mandat) konsumsi biosolar sebesar 10 persen, 15 persen, dan 20 persen dari konsumsi total minyak solar pada tahun 2010, tahun 2015, dan tahun 2020 (Humas UGM, 2009). Nilai tersebut setara dengan 2.41 juta kilo liter biosolar tahun 2010, sebanyak 4.52 juta kilo liter biosolar tahun 2015, dan sebanyak 10.22 juta kilo liter biosolar tahun 2020 (Humas UGM, 2009). Kebijakan energi nasional dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 bertujuan untuk mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri dan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Sasaran pertama kebijakan tersebut adalah menurunkan elastisitas energi dari 1.84 pada tahun 2006 menjadi lebih kecil dari 1 pada tahun 2025. Sasaran kedua adalah terwujudnya energi campuran pada tahun 2025, yaitu konsumsi minyak bumi lebih kecil dari 20 persen, gas bumi lebih besar dari 30 persen, batu bara lebih dari 33 persen, BBN lebih besar dari 5 persen, panas bumi lebih besar dari 5 persen, energi baru dan terbarukan (biomasa, nuklir, tenaga air skala kecil, tenaga surya, dan tenaga angin) lebih besar dari 5 persen, dan batu bara cair lebih besar dari 2 persen (Setkab, 2006).


(42)

10

biosolar sebagai bahan bakar lain yang dijual di pasar dalam negeri dengan mengacu kepada SNI 04-7182-2006 (Departemen ESDM, 2006a; Departemen ESDM, 2008a). Dalam revisi Peraturan Menteri Ekonomi Sumberdaya Mineral (ESDM) Nomor 51 tahun 2006 tentang penyediaan pemanfaatan dan tataniaga BBN sebagai bahan bakar lain, maka diatur mandat yang mewajibkan industri dan komersial, transportasi PSO (Public Service Obligation) dan non PSO, serta pembangkit listrik menggunakan BBN secara bertahap (MI, 22 Agustus 2008). Biosolar wajib digunakan secara bertahap dari 0.1-20 persen, bioetanol sebesar 1-15 persen, dan minyak nabati murni sebesar 0.25-10 persen dari total kebutuhan mulai September 2008-2025 (MI, 22 Agustus 2008).

Meskipun Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 tahun 2008 telah mengatur penyediaan, pemanfaatan, dan tataniaga BBN sebagai bahan bakar lain (Kementerian ESDM, 2008), akan tetapi implementasi mandat konsumsi BBN menghadapi kendala. Penjualan BBN yang dilakukan Pertamina berubah dari 5 persen menjadi 2.5 persen dan terus menurun menjadi 1 persen, karena harga CPO dunia yang lebih tinggi (Yasin dan Febyanti, 2008; Investor Daily, 2009). Harga CPO dunia telah melampaui 772 dollar AS per ton per Juni 2007 berdasarkan data Commodity Market Review Bank Dunia. Kenaikan harga CPO tersebut menjadi rekor tertinggi dalam 23 tahun terakhir. Produsen BBN yang semula sebanyak 21 perusahaan kemudian menurun menjadi 3 perusahaan pada awal tahun 2008, yaitu: PT Indo Biofuels Energy, PT Eterindo, dan PT Ganesha (Yasin dan Febyanti, 2008). Harga BBN akan bagus, jika setara dengan harga premium Rp 6000 per liter (MI, 2008), sehingga harga BBN sulit bersaing dengan harga BBM yang bersubsidi apabila harga bahan baku BBN sangat tinggi. Kendala pengembangan produksi BBN lainnya adalah produksi metanol yang rendah (Humas UGM, 2009). Perusahaan metanol di Indonesia ada 2, yakni Medco yang mempunyai kapasitas 1000 ton per hari dan


(43)

11

memproduksi 50 persen, serta PT Kaltim Metanol Industri yang memproduksi metanol 5000 ton per hari (Humas UGM, 2009). Disamping itu berdasarkan Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011 tentang perubahan atas Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar,maka pemerintah bermaksud mengembangkan industri hilir kelapa sawit di dalam negeri dengan memungut bea keluar secara progresif bukan saja pada minyak kelapa sawit dan produk turunannya, termasuk pada BBN apabila harga ekspor produk tersebut telah mencapai harga tertentu.

Pengembangan produksi BBN tersebut di atas terkendala oleh persyaratan ekonomis, sebagaimana pengembangan BBN di banyak negara yang mensyaratkan dukungan subsidi. Akan tetapi, perkecualian persyaratan kelayakan ekonomi tersebut berhasil dipenuhi di Brazil. Brazil memproduksi bioetanol menggunakan feedstock dari tetes tebu (molasses) dengan biaya produksi Rp 1400 per liter tahun 2007. Brazil merupakan negara produsen utama gula. Brazil mengekspor gula dalam volume yang besar ke berbagai negara tujuan ekspor di tingkat dunia.

Meskipun terdapat masalah kekurangsiapan pembangunan infrastruktur bahan bakar gas (BBG) sebagai pengkonversi BBM, sedangkan konversi minyak tanah ke LPG 3 Kg telah berhasil, namun pemerintah Indonesia dihadapkan pada pilihan pengalihan subsidi BBM kepada subsidi BBN. Sifat pragmatisme kemudian muncul atas realitas pemenuhan kebutuhan aktual BBM berbasis energi fosil, yang langsung dapat ditambang dari dasar bumi. Sementara itu konsumsi BBM dan perspektif pengembangan produksi BBN ke depan sebagai industri pensubstitusi impor BBM, mensyaratkan keberhasilan pengembangan budidaya pertanian dan pembangunan pabrik pengolahan BBN. Disamping itu


(44)

12

ekstraktif BBM di Indonesia. Hal itu terjadi ketika pemerintah menggunakan harga rujukan BBM di New York untuk menetapkan harga BBM bersubsidi dan harga BBN yang diproduksi di Indonesia.

Akan tetapi apabila BBM dan BBN yang diproduksi di dalam negeri dijual dengan menggunakan perhitungan biaya produksi di dalam negeri dan harga BBM dijual dengan menggunakan harga rujukan di dalam negeri, maka neraca perdagangan BBM dalam APBN menunjukkan surplus anggaran (Tabel 2). Penelitian ini selanjutnya akan menganalisis tentang apakah subsidi BBM akan dapat dialihkan menjadi subsidi BBN, supaya BBM bersumber impor dapat disubstitusi oleh pengembangan industri BBN. Substitusi BBM akan membuka peluang untuk melakukan pengembangan produk reekspor BBN. BBN tersebut berbasis impor BBM, yang dikemas dengan BBN bersumber dari feedstock yang berorientasi ekspor, seperti minyak kelapa sawit dan ubi kayu. Berorientasi ekspor diartikan sebagai kegiatan ekspor yang bernilai lebih besar dibandingkan kegiatan impor pada komoditi yang sama. Gagasan membangun industri pensubstitusi impor BBM dan industri reekspor BBN bersumber dari feedstock

yang berorientasi ekspor tersebut, akan mengubah ancaman kenaikan harga komoditi pangan dan harga komoditi di pasar internasional menjadi kekuatan perekonomian Indonesia di masa depan.

Sebagian konsumsi BBM yang bersumber impor di atas hendak dijual oleh pemerintah dengan harga BBM setinggi harga BBM di New York. Hal itu menimbulkan persoalan “property right” terhadap BBM, karena minyak bumi untuk memproduksi BBM tergolong sebagai hasil sumberdaya alam di Indonesia yang pemanfaatannya diatur berdasarkan ketentuan hasil Amandemen UUD 1945 perubahan pertama hingga keempat. Pada sisi lain, keberadaan surplus perdagangan ekspor minyak bumi (Lampiran 3 dan Lampiran 4) mengalami kegagalan untuk menghasilkan produksi BBM yang surplus (Lampiran 5).


(45)

13

Akibatnya, jumlah produksi BBM di Indonesia lebih kecil dibandingkan jumlah konsumsi BBM (Lampiran 5 dan Lampiran 7). Pada negeri yang mempunyai “cadangan minyak bumi terbukti” yang besar dan potensi cadangan minyak bumi yang juga sebesar itu (Lampiran 1), namun Indonesia kemudian “dihadapkan” kepada ketergantungan yang tinggi kepada impor BBM (Lampiran 6 dan Lampiran 8).

Dewasa ini tanaman pangan dan pakan yang menjadi feedstock

pengembangan BBN dan pemenuh kebutuhan dasar manusia untuk pangan dan pakan telah menunjukkan harga jual output yang meningkat di pasar dunia. Minyak kelapa sawit kasar (CPO), gula (tetes tebu), dan ubi kayu merupakan

feedstock BBN di Indonesia. Jagung, beras, kelapa, dan gandum berpotensi dapat dikembangkan menjadi feedstock BBN di masa depan. Kayu, batubara, BBM, dan gas merupakan komoditi pensubstitusi BBN.

Oleh karena itu, pemerintah yang semula menjadikan BBN hendak sebagai andalan energi alternatif untuk mengurangi kecepatan konsumsi BBM impor berbasis fosil, namun pemerintah kemudian bertindak setengah hati ketika mengembangkan produksi BBN. Hal itu disebabkan oleh keberadaan fiskal di atas di tengah ketidaktransparansian manajemen perdagangan minyak bumi dan manajemen perdagangan BBM, yang menimbulkan inefisiensi distribusi, misalnya pada kasus PT Petral yang merupakan anak perusahaan BUMN PT Pertamina (Persero). Akibatnya, pembukaan lahan yang semula digunakan untuk mengembangkan produksi BBN oleh perusahaan-perusahaan besar tersebut menjadi terbengkalai, karena dukungan pemerintah untuk memberikan insentif kepada pengembangan konsumsi dan produksi BBN kalah kuat dibandingkan upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah inefisiensi distribusi perdagangan minyak bumi dan BBM. Sementara itu, pengembangan produksi


(46)

14

BBN pada tingkatan faktor produksi dihadapkan pada masalah sengketa lahan dan masalah deforestasi.

Pada sisi lain, selisih semua penerimaan pendapatan terkait BBM dikurangi belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil sumberdaya alam minyak bumi sesungguhnya menghasilkan surplus neraca BBM dalam APBN (Tabel 2). Semakin besar subsidi BBM diikuti oleh peningkatan konsumsi BBM, kemudian akuntansi BBM dalam APBN menunjukkan semakin surplus (Tabel 2). Disamping itu laporan audit pendapatan Pertamina sebelum dikurangi pajak dan beban perusahaan, juga menghasilkan laba ratusan triliun dan masih menghasilkan puluhan triliun laba setelah pajak (Tabel 4). Namun karena keberadaan pembangunan nasional dibimbing oleh utang, maka keberlanjutan anggaran ditentukan oleh keberhasilan peningkatan penerimaan pajak (Tabel 5).

Pada Tabel 5, penerimaan negara dari perdagangan internasional ekspor dan impor mengalami penurunan. Hal ini merupakan implikasi dari sistem integrasi ekonomi kawasan perdagangan bebas yang semakin diperluas secara cepat. Penerimaan bukan pajak dari sumberdaya alam juga menurun, setelah pengungkapan pencemaran lingkungan hidup, tuntutan kenaikan upah buruh disamakan dengan upah buruh di tingkat internasional, desakan penghitungan kembali sistem bagi hasil kontrak karya, dan peningkatan desakan bagi hasil penerimaan BUMN kepada pemerintah daerah. Hal itu misalnya terjadi pada kasus Freeport, tambang aluminium Asahan, PT Newmont, dan perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Disamping itu pada APBN-Perubahan tahun 2011 dibandingkan APBN tahun 2012 terdapat masalah. Masalah tersebut adalah terjadi penurunan peran perbankan, BUMN, privatisasi dan restrukturisasi, Penyertaan Modal Negara, pembangunan infrastruktur, sumber utang dalam negeri dan luar negeri, penerusan pinjaman utang, serta pembayaran cicilan utang dan pokok


(47)

(48)

16

utang yang mengganggu sumber pembiayaan regime defisit anggaran, yang dibimbing utang tersebut. Masalah sumber pembiayaan defisit anggaran tersebut lebih besar dibandingkankan isu kenaikan harga minyak bumi di pasar internasional di tengah ketergantungan pasokan energi Indonesia dari impor BBM. Listrik, sektor transportasi, dan gas terkait dengan keberlanjutan pasokan energi berbasis impor BBM tersebut.

Batas maksimum utang negara yang menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) maupun batas maksimum utang negara menggunakan rasio utang terhadap ekspor terbukti menimbulkan keliru analisis (Tabel 2). Akibatnya, terjadi masalah likuiditas APBN, rendahnya penyerapan anggaran, penyerapan besar-besaran anggaran di penghujung akhir tahun anggaran, penghematan anggaran yang kurang optimal, dan inefisiensi anggaran yang terjadi berulang. Kekeliruan indikator batas maksimum utang negara tersebut menimbulkan kekeliruan untuk melakukan respons dalam bentuk kebijakan pemerintah yang lebih tepat.

Keliru dalam menganalisis sumber penyebab krisis anggaran yang bersifat kronis, sebagaimana ditunjukkan oleh keberadaan APBN tahun 2012 (Tabel 5). APBN tahun 2012 mendadak direvisi menggunakan RAPBN-Perubahan tahun 2012, hanya dalam periode implementasi 2 bulan di awal tahun anggaran. Hal itu memperkuat dugaan telah terjadi mismanajemen APBN. Persoalan mismanajemen PLN yang terlambat mengkonversi BBM menggunakan gas dan batubara, telah ditutupi oleh pemerintah dan Badan Anggaran DPR RI menggunakan isu kenaikan harga BBM. Isu tersebut menggunakan momentum asumsi dasar harga minyak bumi di pasar internasional berada di bawah kenaikan harga minyak bumi di pasar internasional dan isu rencana invasi terhadap teluk Hormuz yang menjadi salah satu urat nadi perdagangan minyak dunia.


(49)

17

Keberadaan impor BBM dan kenaikan harga minyak bumi tingkat dunia yang melebihi asumsi dasar harga minyak bumi, dan penurunan produksi lifting minyak pada APBN 2012 tersebut sering dijadikan argumentasi oleh pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM. Argumentasi tersebut berhasil digunakan oleh pemerintah untuk menaikkan harga eceran BBM tahun 2005 dan tahun 2008, menaikkan harga langganan BBM untuk sektor industri secara berkala hampir 2 minggu sekali, maupun menghapus subsidi pertamax dan pertamax plus.

Namun, masyarakat mayoritas di Indonesia pada tahun 2012 merasa bahwa kebijakan anti subsidi secara ideologi, sosial, dan ekonomi dipandang tidak layak dan ditolak keberadaannya sebagaimana ditunjukkan melalui perluasan demontrasi parlemen jalanan di kota-kota besar di Indonesia menjelang Sidang Paripurna pengambilan keputusan untuk menaikkan harga eceran BBM per 1 April 2012. Partai politik penguasa dan pemerintah yang bermaksud menaikkan harga BBM dengan menggunakan berbagai manuver argumentasi di atas, justru direspons oleh demonstrasi yang menolak kenaikan harga eceran BBM semakin membesar dan meluas. Partai berkuasa yang dominan dan berkoalisi tersebut melakukan manuver meniakkan harga eceran BBM kepada partai minoritas. Partai Gerindra dan Partai Hanura meresponsnya dengan melakukan “walk out” pada sidang opsi kenaikan harga eceran BBM. Partai PDI Perjuangan dan Partai Hanura dalam Sidang Paripurna DPR RI per 30 Maret 2012 juga melakukan “walk out”.

Kejadian tersebut di atas menunjukkan bahwa opsi kenaikan harga eceran BBM juga secara politik dan budaya demokrasi tidak layak, meskipun upaya menaikkan harga eceran BBM telah terjadi sejak periode pemerintahan Soekarno. Ketika menuju Sidang Paripurna DPR RI, maka semakin hari perluasan demonstrasi jalanan semakin keras dan semakin terbangun keyakinan


(50)

(51)

(52)

20

bahwa kenaikan harga eceran BBM dari sisi pertahanan dan keamanan nasional juga tidak layak. Meskipun demikian pemerintah dan partai politik koalisi pendukung penguasa masih berharap, agar surplus neraca BBM, gas, dan listrik dalam APBN masih dapat dijadikan sebagai sumber pendanaan untuk “membiayai” defisit anggaran APBN (Tabel 5).

Berdasarkan informasi-informasi di atas, maka kebijakan pengembangan produksi BBN diketahui bukan hanya akan mempunyai dampak positif terhadap perekonomian di Indonesia dalam bentuk penyediaan kesempatan kerja, penurunan pendapatan rumah tangga, dan peningkatan investasi, namun kebijakan pengembangan BBN pada sisi lain berpotensi menimbulkan dampak negatif berupa peningkatan laju inflasi, pencemaran lingkungan hidup, penurunan output pangan, dan penurunan output pakan. Oleh karena itu pengembangan produksi dan mandat BBN perlu dikaji secara lebih mendalam berdasarkan tinjauan ilmu ekonomi secara lebih komprehensif, sehingga dampak mandat konsumsi BBN yang bersifat positif dan negatif secara luas dalam perekonomian Indonesia dapat dianalisis, termasuk di dalamnya dampak terhadap lingkungan hidup.

Meskipun lahan kelapa sawit di Indonesia berkembang sangat cepat, karena tarikan faktor permintaan BBN, yang mendorong harga ekspor CPO meningkat di pasar internasional, akan tetapi perkembangan luas lahan ubi kayu di Indonesia tidaklah secepat kelapa sawit, sehingga analisis dampak penawaran luas lahan ubi kayu perlu dibedakan dengan permintaan luas lahan ubi kayu. Hal itu, karena ubi kayu yang menjadi feedstock BBN untuk bioetanol. Demikian pula luas lahan kelapa sawit perlu dibedakan dampak atas penawaran dan permintaan peningkatan luas lahan kelapa sawit. Dengan demikian pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana:


(53)

21

2. Dampak perluasan lahan tanaman berbasis BBN, penurunan luas lahan kayu dan hasil hutan lain, dan peningkatan modal tetap industri minyak dan lemak dan BBN pada penduduk perkotaan Urban 3.

3. Dampak perubahan produktivitas pada tanaman BBN, industri minyak dan lemak, industri gula, dan BBN.

4. Dampak peningkatan harga pangan internasional yang berpotensi sebagai

feedstock BBN dan peningkatan harga substitusi BBN tingkat internasional. 5. Dampak subsidi harga output BBN.

6. Dampak peningkatan permintaan lahan kelapa sawit dan lahan ubi kayu. Terhadap keragaan ekonomi makro, harga ouput komoditi lokal, output, permintaan ekspor, jumlah penawaran impor, stok modal aktual, permintaan tenaga kerja, harga faktor primer pertanian, jumlah konsumsi nominal, jumlah permintaan beras, penerimaan pendapatan rumah tangga, dan emisi karbon?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang, perumusan masalah, dan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan umum yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana dampak pengembangan produksi BBN terhadap perekonomian Indonesia. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis:

1. Dampak peningkatan konsumsi BBN dari industri minyak dan lemak.

2. Dampak perluasan lahan tanaman berbasis BBN, penurunan luas lahan kayu dan hasil hutan lain, dan peningkatan modal tetap industri minyak dan lemak dan BBN pada penduduk perkotaan Urban 3.

3. Dampak perubahan produktivitas tanaman BBN, industri minyak dan lemak, industri gula, dan BBN.


(54)

22

4. Dampak peningkatan harga pangan internasional yang berpotensi sebagai

feedstock BBN dan peningkatan harga substitusi BBN tingkat internasional. 5. Dampak subsidi harga output BBN.

6. Dampak peningkatan permintaan lahan kelapa sawit dan lahan ubi kayu. Terhadap pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, penerimaan pemerintah dari pajak-pajak dan bukan pajak-pajak, pengeluaran pemerintah, kenaikan harga ouput komoditi pangan lokal, “trade-off” antara output feedstock BBN dengan pangan dan pakan, permintaan tenaga kerja, jumlah konsumsi nominal, jumlah permintaan beras, penerimaan pendapatan rumah tangga, dan emisi karbon.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna untuk civitas akademika guna memperdalam aplikasi model keseimbangan umum pada kasus pengembangan produksi BBN terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan model

recursive dynamic jangka panjang. Penelitian ini diharapkan juga berguna untuk pengambilan keputusan pemerintah dalam mengembangkan BBN, misalnya pada Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, BUMN PT Pertamina, Perbankan, Badan Pengembangan Bioenergi Nasional, Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, Bappenas, Kementerian Kehutanan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan, sebagai informasi untuk penelitian lain, sektor swasta, dan kelompok-kelompok kepentingan seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan hidup.

1.5. Kebaruan dan Keterbatasan Penelitian


(55)

23

1. Peningkatan harga pangan, harga kayu bulat, dan harga hasil tambang tingkat internasional pada level ekonomi sektoral berdampak negatif berupa penurunan output padi, ubi kayu, industri pengolahan dan pengawetan makanan, industri penggilingan padi, dan industri tepung. Peningkatan harga pangan, harga kayu bulat, dan harga hasil tambang tingkat internasional berdampak negatif berupa penurunan permintaan tenaga kerja sektor padi, ubi kayu, serta industri pengolahan dan pengawetan makanan. Penurunan permintaan tenaga kerja tersebut, karena penurunan output. Dampak negatif lainnya adalah berupa penurunan penerimaan pendapatan nominal agregat pada semua kelompok rumah tangga. Karena itu harga BBM bersumber impor memerlukan subsidi, supaya harga BBM dapat dijual di dalam negeri menggunakan pertimbangan kemampuan daya beli konsumen di dalam negeri menggunakan rujukan harga BBM di dalam negeri. Tindakan pemerintah untuk mendekatkan harga jual BBM di dalam negeri menggunakan rujukan harga BBM di pasar internasional (New York) telah menimbulkan dampak negatif tersebut di atas, ketika pendapatan per kapita penduduk Indonesia berada jauh di bawah pendapatan per kapita penduduk New York. Pengalihan subsidi BBM ke subsidi BBN, pengembangan industri pensubstitusi BBM dari BBN, dan dilakukan kegiatan re-ekspor BBN akan mengubah dari ancaman kenaikan harga minyak bumi di pasar internasional menjadi potensi kekuatan perekonomian Indonesia di masa depan.

2. Kenaikan harga pangan di tingkat konsumen mendorong pemerintah meningkatkan impor pangan. Impor pangan yang meskipun dalam volume sedikit mampu menurunkan kenaikan harga pangan. Akan tetapi kenaikan harga pangan sulit direspons melalui kenaikan output pangan, karena keterbatasan faktor-faktor produksi pada tanaman pangan dalam merespons


(56)

24

berlahan sempit sulit melipatgandakan produksi secara nyata, ketika harga output komoditi lokal meningkat. Kegiatan impor pangan adalah sesuatu yang dapat diterima dari sisi ilmu perdagangan internasional yang menganut sistem perekonomian terbuka, namun peningkatan impor pangan mendapat resistensi dalam praktek politik di Indonesia dan bersifat merugikan politik pencitraan terhadap kinerja pemerintah. Dalam perspektif ilmu politik, maka kegagalan dalam membangun citra yang lebih baik itu, dipandang sebagai suatu kejadian deligitimasi kekuatan politik.

3. Kebijakan pro-subsidi masih diperlukan oleh masyarakat Indonesia, ketika pendapatan per kapita penduduk Indonesia berada di bawah negara-negara maju. Oleh karena itu, subsidi BBN dan momentum menjadikan BBN sebagai pensubstitusi BBM, potensi re-ekspor BBN berguna untuk memperbaiki harga output komoditi lokal, memperbaiki upah tenaga kerja, memperbaiki penerimaan pendapatan rumah tangga, dan memperbaiki emisi karbon. Produksi biosolar, bioetanol, bio-oil, konversi minyak tanah ke LPG 3 kg, dan potensi konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) telah dilakukan di Indonesia, sehingga pengembangan produksi BBN dan sumber energi alternatif lainnya merupakan suatu keniscayaan masa depan di Indonesia. 4. Dilakukan penggunaan metode disagregasi matriks untuk baris dan kolom

(Xij) secara bertahap dalam melakukan konstruksi data, sehingga metode

tersebut dapat digunakan untuk membangun sektor-sektor baru yang diperlukan oleh peneliti berdasarkan pendekatan kuantitatif dan non survei, tanpa harus menunggu hasil publikasi update dari sektor baru tersebut dari pemerintah, apabila dampak sektor baru tersebut dipandang penting untuk dianalisis. Hal itu, karena penambahan sektor baru dalam Tabel IO akan memerlukan waktu tunggu selama 5 tahun atau lebih, sehingga dengan adanya metode disagregasi matriks, maka peneliti dapat melakukan estimasi


(57)

25

terhadap dampak suatu guncangan peubah eksogen untuk sektor baru yang menjadi minat peneliti. Selama ini disagregasi yang telah dilakukan para peneliti model keseimbangan umum adalah melakukan konstruksi data per baris (Xin) atau per kolom (Xmj), namun belum diketahui penggunaan

disagregasi dalam baris dan kolom (Xij

5. Dibangun konstruksi database yang baru dari Tabel IO tahun 2005 ke Tabel IO Updating tahun 2008. Dilakukan penghitungan produktivitas sektor menggunakan Total Faktor Produktivitas tahun 2000-2007 Park (2010) dan perhitungan produktivitas BBN. Total Faktor Produktivitas sebelum ini menggunakan nilai yang lama tahun 2000 ke bawah. Dilakukan rekonstruksi data lahan dan modal.

). Penggunaan metode disagregasi pada sektor baru yang tidak tersedia dalam Tabel IO dapat mengurangi kritik terhadap penggunaan peubah yang dianggap artifisial.

Keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Model pada penelitian ini tidak merinci sektor keuangan. Sektor keuangan merupakan isu yang juga penting selain isu kenaikan harga pangan dan harga energi di pasar internasional.

2. Emisi karbon dihitung di luar model dan digunakan data output per komoditi. Penghitungan emisi karbon menggunakan perhitungan di dalam model memerlukan konstruksi database baru dan modifikasi model keseimbangan umum INDOF yang baru. Disamping itu terdapat pendekatan lain untuk menghitung emisi karbon, yaitu menggunakan luas lahan.

3. Terdapat keinginan untuk mengetahui dampak pengembangan produksi BBN terhadap penduduk miskin dan tidak miskin, namun data yang tersedia adalah penerimaan pendapatan rumah tangga.


(58)

26

industri dan per komoditi belum dapat sepenuhnya dilakukan. Keterbatasan tersebut membuat penelitian ini masih banyak menggunakan rujukan hasil estimasi dari negara lain.

5. Dalam membangun baseline, peubah eksogen pertumbuhan tenaga kerja (emptrend) dan jumlah rumah tangga (q) tidak diisi dengan angka tertentu, yang menjadi pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan jumlah rumah tangga.


(59)

27

II.

KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Todaro (2000) pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, dan kemajuan teknologi. Akumulasi modal meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan sumberdaya manusia. Pertumbuhan penduduk yang pada beberapa tahun berikutnya membawa pertumbuhan angkatan kerja. Akumulasi modal terjadi, apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan di kemudian hari.

Djojohadikusumo (1994) mengelompokkan teori pertumbuhan berdasarkan pendekatan Neo Keynes (teori Harrod dan teori Domar), Neo Klasik (Robert Merton Solow), Nicholas Kaldor, dan Simon Kuznet. Pertumbuhan Keynes berkisar pada tingkat pendapatan yang stabil berdasarkan kesempatan kerja secara penuh, termasuk penggunaan kapasitas produksi yang terpasang (Djojohadikusumo, 1994). Harrod mempersoalkan tentang dalam kondisi yang bagaimana dapat dicapai kestabilan pada pendapatan dan kesempatan kerja secara penuh dan dapat dipertahankan seterusnya dalam dinamika perkembangan ekonomi. Perhatian Harrod dipusatkan pada persyaratan yang harus dipenuhi untuk memelihara ekuilibrium antara tabungan, investasi, dan pendapatan dalam dinamika pertumbuhan ekonomi. Analisis Harrod dalam bentuk formal disusun dalam suatu kerangka agregatif.

Dalam teori dinamika, Harrod memaparkan azas fundamental yang menyangkut faktor dinamika. Ciri pokok gagasan Harrod terletak pada faktor ketidakstabilan yang menjadi gangguan terhadap kondisi ekuilibrium. Konsekuensi dari teori ketidakstabilan ini adalah diperlukan langkah-langkah


(60)

28

kebijakan tertentu untuk menanggulangi ketidakstabilan, guna menjaga pertumbuhan yang berdasarkan ekuilibrium yang stabil. Harrod memaparkan dua konsep laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan produksi dan pendapatan pada tingkat yang dianggap memadai dari sudut pandangan calon investor (the warranted rate of growth).

Pada laju yang dianggap memadai itu, para calon investor akan meneruskan usahanya dengan melakukan investasi secara kontinyu. Disamping itu Harrod menjelaskan kondisi natural rate of growth, yaitu laju pertumbuhan produksi dan pendapatan yang ditentukan oleh kondisi dasar yang menyangkut bertambahnya angkatan kerja, karena penduduk bertambah. Kemudian meningkatnya produktivitas kerja, karena kemajuan teknologi. Kondisi dasar tersebut yang berkisar pada pertambahan tenaga kerja dan peningkatan produktivitas kerja, sekaligus menjadi batas maksimum untuk laju pertumbuhan produksi dan pendapatan riil. Harrod berpendapat bahwa pertumbuhan kontinyu dalam ekuilibrium, yaitu dengan kestabilan pendapatan dan kesempatan kerja penuh, hanya dapat dicapai, jika syarat tentang laju pertumbuhan dari sudut pandangan calon investor (the warranted rate of growth) dan laju pertumbuhan yang natural dapat dicapai. Dengan kata lain, dalam konstelasi ekonomi telah tercapai laju pertumbuhan dari sudut pandangan calon investor (the warranted rate of growth) sama dengan laju pertumbuhan yang natural. Akan tetapi, faktor-faktor yang menentukan laju pertumbuhan dari sudut pandangan calon investor itu berlainan dan bersifat independen dari faktor-faktor yang menentukan laju pertumbuhan yang natural.

Karena laju pertumbuhan dari sudut pandangan calon investor (the warranted rate of growth) jarang sekali sama dengan laju pertumbuhan yang

natural, maka ketidakstabilan itu dinyatakan dalam bentuk teori ketidakstabilan dari Harrod (Djojohadikusumo, 1994). Gagasan Harrod yang berintikan pada


(61)

29

teori ketidakstabilan menjadi pertimbangan dasar bahwa jika dikehendaki adanya ekuilibrium dalam proses pertumbuhan, maka diperlukan intervensi kebijakan untuk menanggulangi gangguan ketidakstabilan dan penyimpangan yang merupakan ciri pokok pada pertumbuhan Harrod (Djojohadikusumo, 1994).

Teori pertumbuhan Domar berawal dari azas multiplier investasi (Djojohadikusumo, 1994). Laju pertumbuhan pada permintaan efektif langsung dihadapkan kepada pertumbuhan pada kapasitas produksi. Model Domar mengatakan bahwa pertumbuhan pada permintaan adalah sama dengan pertambahan investasi (I) dikalikan oleh multiplier (1/s). Pertumbuhan pada kapasitas produksi adalah sama dengan investasi (I) dibagi oleh rasio modal terhadap output (k). karena itu pertumbuhan pada permintaan adalah sama dengan pertumbuhan pada kapasitas produksi: ΔI/I = s/k*. Keadaan demikian akan membawa investasi dalam jumlah yang semakin besar.

Sama dan selaras dengan garis pemikiran dalam gagasan Harrod, jika karena sebab apapun laju pertumbuhan investasi menyimpang dari laju kritis s/k, laju pertumbuhan pada kapasitas produksi, maka penyimpangan itu cenderung untuk berlangsung terus dalam jurusan sama. Karena itu diperlukan intervensi kebijakan, jika kecenderungan penyimpangan hendak dikembalikan pada jalur ekuilibrium.

Model pertumbuhan ekonomi Solow menggunakan peubah output (Y), modal (K), tenaga kerja (L), dan pengetahuan atau efektivitas tenaga kerja (A) (Romer, 2006). Output berubah sepanjang waktu, jika input produksi mengalami perubahan. Asumsi yang digunakan adalah pertama, fungsi produksi berada pada skala penerimaan yang konstan. Dua kali peningkatan modal dan tenaga kerja efektif menghasilkan output sebanyak dua kali pula. Fungsi produksi pada skala penerimaan yang konstan menggunakan asumsi bahwa perekonomian


(1)

Lampiran 25. Lanjutan

Sektor

Pemerintah

Perubahan Stok

Margin

Total

Domestik

Impor

Jumlah

Domestik

Impor

Jumlah

Sales

Komunikasi

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

199 626.34

Lkuang

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

278 904.26

Realestat

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

340 234.84

Umum

245 948.34

1 067.50

247 015.85

0.00

0.00

0.00

0.00

277 130.85

Jsosial

165 875.11

3 086.61

168 961.72

0.00

0.00

0.00

0.00

340 900.86

Jlain

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

296 158.92


(2)

Lampiran 26. Lanjutan

Sektor

Biaya Lainnya (Rp Miliar)

Pajak Barang Antara (Rp Miliar) Pajak Investasi (Rp Miliar) Pajak Rumah Tangga (Rp Miliar) Pajak Ekspor (Rp Miliar)

Pajak Pemerintah (Rp Miliar) Domestik Impor Jumlah Domestik Impor Jumlah Domestik Impor Jumlah Domestik Impor Jumlah

Kayu 0.00 1 467.90 16.99 1 484.89 0.00 0.00 0.00 75.49 0.00 75.49 4.36 0.00 0.00 0.00

Hhutanl 0.00 140.05 16.08 156.14 0.00 0.00 0.00 76.37 2.86 79.24 6.90 0.00 0.00 0.00

Pikan -97.72 634.85 1.68 636.53 0.00 0.00 0.00 981.43 8.81 990.24 24.87 0.00 0.00 0.00

Pbatubara 0.00 4 297.30 492.67 4 789.97 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3 925.11 0.00 0.00 0.00 Pmigas 0.00 7 830.36 0.22 7 830.57 38.79 0.00 38.79 0.00 0.00 0.00 5 192.79 0.00 0.00 0.00 Ptambangl 0.00 2 372.36 729.50 3 101.86 0.00 0.00 0.00 30.96 0.00 30.96 26.36 0.00 0.00 0.00 Ioamkn 0.01 850.80 142.91 993.71 0.00 0.00 0.00 1 926.88 1 561.82 3 488.70 439.68 0.00 0.00 0.00 Imlemak 17 145.41 528.91 10.48 539.39 0.00 0.00 0.00 168.23 393.48 561.71 1 204.94 0.00 0.00 0.00

Ippadi 0.00 214.57 0.00 214.57 0.00 0.00 0.00 771.13 0.15 771.29 0.73 0.00 0.00 0.00

Itepung 0.00 512.00 49.25 561.25 0.00 0.00 0.00 760.01 367.01 1 127.02 39.00 0.00 0.00 0.00 Igula 1 659.50 292.62 179.03 471.65 0.00 0.00 0.00 206.76 1 283.13 1 489.89 5.73 0.00 0.00 0.00 Imknl 0.00 1 069.99 373.33 1 443.32 0.00 0.00 0.00 1 156.45 646.24 1 802.69 125.76 0.00 0.00 0.00 Iminum 0.00 430.74 3.50 434.24 0.00 0.00 0.00 1 424.34 75.00 1 499.34 27.64 0.00 0.00 0.00 Irokok 0.00 4 139.85 298.59 4 438.44 0.00 0.00 0.00 38 589.95 65.08 38 655.03 1 489.35 0.00 0.00 0.00 Ipintal 0.00 300.23 2 126.55 2 426.78 0.00 0.00 0.00 5.88 0.49 6.37 229.49 0.00 0.00 0.00 Itekstil 0.00 754.34 601.81 1 356.14 1.75 0.15 1.90 917.83 2 134.24 3 052.07 905.66 0.00 0.00 0.00 Ibambu 0.00 1 262.86 158.58 1 421.44 1.77 0.36 2.13 426.77 50.68 477.46 483.41 0.00 0.00 0.00 Ikertas 0.00 880.30 2 081.69 2 961.99 0.00 0.00 0.00 148.04 628.93 776.98 393.44 0.00 0.00 0.00 Ipupuk -15 163.89 229.61 1 045.64 1 275.25 0.00 0.00 0.00 4.08 263.50 267.58 15.46 0.00 0.00 0.00 Ikimia 0.00 3 448.30 14 045.31 17 493.61 0.00 0.00 0.00 1 136.60 2 070.39 3 206.99 1 017.97 0.00 0.00 0.00 Pminyak -129 877.47 1 160.97 815.11 1 976.09 0.00 0.00 0.00 139.05 609.02 748.07 839.09 0.00 0.00 0.00


(3)

Lampiran 26. Lanjutan

Sektor

Biaya Lainnya (Rp Miliar)

Pajak Barang Antara (Rp Miliar) Pajak Investasi (Rp Miliar) Pajak Rumah Tangga (Rp Miliar) Pajak Ekspor

(Rp Miliar)

Pajak Pemerintah (Rp Miliar)

Domestik Impor Jumlah Domestik Impor Jumlah Domestik Impor Jumlah Domestik Impor Jumlah Realestat 0.00 3 989.28 0.00 3 989.28 54.12 0.00 54.12 2 195.70 0.00 2 195.70 308.75 0.00 0.00 0.00

Umum 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Jsosial 0.00 114.17 0.00 114.17 0.00 0.00 0.00 687.83 0.00 687.83 71.53 889.10 0.00 889.10 Jlain -40.70 2 702.35 0.00 2 702.35 274.41 0.00 274.41 2 011.75 0.00 2 011.75 85.99 0.00 0.00 0.00


(4)

Lampiran 29. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Sektoral dan Total Faktor Productivitas

LAPANGAN USAHA 2000

Q4 2001 Q4 2002 Q4 2003 Q4 2004 Q4 2005 Q4 2006 Q4 2007 Q4 2008 Q4 2009 Q4 2010 Q4 Kumulatif 2000- 2007 TFP 2000- 2007 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 8.11 2.61 5.98 5.06 1.18 5.59 2.63 2.12 5.12 4.12 3.84 33.28 0.869 2 Tanaman bahan makanan 9.34 -0.04 8.42 7.17 -2.42 7.49 -0.08 0.06 7.39 6.47 3.94 29.93 0.781 3 Tanaman perkebunan 11.41 9.54 5.45 4.20 7.00 4.23 5.62 5.44 2.05 1.53 1.93 52.89 1.380 4 Peternakan dan hasil-hasilnya 3.33 6.97 5.49 1.83 2.96 4.99 2.49 3.41 5.30 2.87 4.51 31.46 0.821 5 Kehutanan 9.83 -12.87 13.34 6.58 -2.27 0.34 -3.75 -1.51 2.05 1.72 1.06 9.70 0.253 6 Perikanan 3.03 8.07 -1.81 2.65 5.46 5.32 9.55 4.23 4.00 3.07 5.74 36.50 0.953 7 Pertambangan dan penggalian 13.09 -6.31 2.21 -7.81 6.93 3.69 -0.03 -2.19 2.48 5.29 4.23 9.58 0.250 8 Minyak dan gas bumi 6.78 -6.76 -5.52 -2.92 -4.29 -0.71 -2.63 -1.00 -0.06 1.42 0.53 -17.04 -0.445 9 Pertambangan bukan migas 30.28 -7.45 21.82 -21.63 35.90 10.70 1.92 -7.60 5.58 10.67 8.73 63.96 1.669 10 Penggalian 5.07 2.31 6.63 5.75 7.60 7.52 8.56 10.05 5.90 7.58 6.90 53.49 1.396 11 Industri pengolahan 4.65 3.30 2.28 7.04 7.43 2.94 5.78 3.82 1.85 4.32 5.26 37.24 0.972 12 Industri Migas -8.66 -2.82 2.50 -2.53 -2.44 -7.10 5.55 -4.04 -0.39 -3.41 -3.04 -19.53 -0.510 13 Pengilangan minyak bumi -8.66 5.39 -0.50 -1.21 0.20 -8.70 4.31 -1.11 -0.08 0.41 0.61 -10.29 -0.268 14 Gas alam cair -8.66 -8.28 4.79 -3.49 -4.39 -5.86 6.49 -6.20 -0.64 -6.40 -6.11 -25.59 -0.668 15 Industri Non Migas 6.48 4.26 2.25 8.45 8.73 4.12 5.80 4.64 2.06 5.05 5.98 44.74 1.168 16 Makanan, minuman dan tembakau 6.48 -1.44 -2.58 5.90 1.97 1.21 9.80 0.96 10.97 5.30 4.41 22.29 0.582 17 Tekstil, barang kulit dan alas kaki 6.48 -6.13 5.56 5.16 6.36 1.26 0.80 -8.21 -4.47 4.89 6.84 11.27 0.294 18 Barang kayu dan barang dari kayu lainnya 6.48 -1.07 -2.17 4.50 -2.21 -2.13 -1.10 -1.79 7.60 0.33 -5.42 0.51 0.013 19 Kertas dan barang cetakan 6.48 -6.57 10.80 7.10 7.54 -2.81 11.94 -0.52 -5.31 11.85 5.07 33.95 0.886 20 Pupuk, kimia dan barang dari karet 6.48 -0.27 8.28 10.68 14.65 2.61 4.17 7.13 2.34 3.06 5.17 53.74 1.403 21 Semen dan barang galian bukan logam 6.48 16.84 -0.95 16.47 7.53 -2.95 7.34 -2.41 -2.04 6.88 -1.46 48.35 1.262 22 Logam dasar besi dan baja 6.48 -5.49 0.15 -7.57 -2.06 0.38 2.03 2.33 -12.13 5.46 10.69 -3.74 -0.098 23 Alat angkutan, mesin dan peralatannya 6.48 27.45 3.80 13.60 17.57 12.23 5.12 14.54 -1.65 5.18 9.46 100.79 2.631 24 Barang lainnya 6.48 -5.53 -0.33 6.46 13.76 2.33 1.92 -7.26 6.49 1.24 3.46 17.84 0.466 25 Listrik, gas dan air bersih 11.80 0.53 9.40 2.11 6.88 5.39 7.69 11.55 9.34 14.90 4.33 55.35 1.445 26 Listrik 11.80 -1.49 6.74 1.48 6.20 5.83 8.67 6.64 5.60 8.09 5.80 45.85 1.197 27 Gas kota 11.80 7.16 14.08 10.21 13.68 3.64 8.56 42.82 26.63 41.63 0.02 111.94 2.922


(5)

Lampiran 29. Lanjutan

LAPANGAN USAHA 2000

Q4

2001 Q4

2002 Q4

2003 Q4

2004 Q4

2005 Q4

2006 Q4

2007 Q4

2008 Q4

2009 Q4

2010 Q4

Kumulatif 2000-

2007

TFP 2000-

2007

54 Sosial dan kemasyarakatan 4.00 7.15 8.18 7.60 7.50 7.29 7.33 6.87 7.75 6.47 5.65 55.93 1.460 55 Hiburan dan rekreasi 4.00 5.22 6.92 11.24 5.58 5.62 9.52 8.37 6.33 6.20 8.58 56.46 1.474 56 Perorangan dan rumah tangga 4.00 6.65 7.34 7.69 10.26 10.04 8.85 8.21 6.19 6.50 7.89 63.03 1.645

57 Produk Domestik Bruto 6.41 1.56 4.68 4.63 7.16 5.11 6.06 5.84 5.28 5.39 6.89 41.45 1.082 58 Tanpa Migas 10.36 2.57 5.69 5.53 8.36 5.90 6.60 6.51 5.71 5.80 7.42 51.52 1.345 60 Migas -8.66 -5.54 -2.97 -2.79 -3.66 -2.89 0.04 -2.04 -0.17 -0.21 -0.63 -28.52 -0.744


(6)

Lampiran 33. Luas Lahan di Indonesia Tahun 2000-2009

Jenis Lahan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Luas areal negara 190 457 190 457 190 457 190 457 190 457 190 457 190 457 190 457 190 457 190 457 Areal lahan 181 157 181 157 181 157 181 157 181 157 181 157 181 157 181 157 181 157 181 157

Lahan pertanian 45 677 46 300 46 881 49 406 51 766 49 246 50 200 51 000 52 000 53 600

Jumlah lahan pertanian organik 57 42 52

Lahan tanaman pangan permanen & yang dapat ditanami 34 500 35 200 35 781 38 406 40 766 38 246 39 200 40 000 41 000 42 600 Lahan yang dapat ditanami 20 500 20 200 20 081 22 406 24 666 21 946 21 500 22 000 22 700 23 600

Lahan kosong 9 342 8 535 10 194 12 418 11 342

Lahan tanaman pangan permanen 14 000 15 000 15 700 16 000 16 100 16 300 17 700 18 000 18 300 19 000 Padang rumput permanen dan padang rumput 11 177 11 100 11 100 11 000 11 000 11 000 11 000 11 000 11 000 11 000

Lahan hutan 99 409 99 099 98 788 98 478 98 167 97 857 97 172 96 487 95 802 95 117

Lahan lainnya 36 071 35 758 35 488 33 273 31 226 34 054 33 785 33 670 33 355 32 440

Lahan berpengairan 9 300 9 300 9 300 9 300 9 300 9 300 9 300 9 300 9 300 9 300

Luas lahan beririgasi 5 500 5 745 6 000 6 250 6 500 6 722 6 722 6 722 6 722 6 722

Pertumbuhan lahan hutan (%) -0.31 -0.31 -0.31 -0.32 -0.32 -0.70 -0.70 -0.71 -0.72