Meneliti Matan yang Semakna

Tasbīhkanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi, Rasulullah bersabda: Jadikanlah tasbīh itu dalam sujudmu.” Hadīs yang senada juga terdapat dalam Shahīh Muslim dan Al-Musnad Ahmad ibn Hanbal: ِلاَ نْب َنَأ نَع َ ْلَط يَأ نْب قَ ْ ِا ْنَع راَمَع نْب َ ِرْكِع يَث ْيِ َو انَث يَأ يَثّدَح ها دْبَع انثّدَح َااَ : ااَ َن ِِِوُعْدُأ ااَمِلَ يْمِلَع ها اوُ َراَ تَلاَ َ َمَلَ َو ِهْيَلَع ُها َلَص َِنلا ِِا مْيَلُ ُأ ْا َءاَج ْدَ َتلَلَ دَ اْوَ َ هّناَ َ َ َجاَح لَ َُُ اًرْشَع هن رِبْكَ و اًرْشَع هْنِ ْدِمَْا َو اًرْشَع َجوَ َع ها َِْْ ْيِبْسَ تْلَلَ . 91 “’Abdullāh menceritakan kepada kami, ayahku menceritakan kepadaku, Waki’ mencertitakan kepada kami, ‘Ikrimah menceritakan kepadaku, dari Ishāq bin Abī Thalhaṯ, dari Anas bin Mālik, ia berkata: Ummu Sulaym datang kepada Nabi saw dan berkata Ya Rasulullah ajarilah aku beberapa kalimat yang dapat aku baca dalam doaku. Kemudian Rasulullah mengatakan bertasbīhlah kepada Allah sepuluh kali, bertahmidlah sepuluh kali, dan bertakbirlah sepuluh kali kemudian bermohonlah kepada Allah apa saja yang engkau kehendaki. L antas Rasulullah mengatakan kerjakanlah.” Adapun mengenai matan hadīs tersebut terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imām Tirmizi menganggap bahwa hadīs tersebut membahas tentang Ṣalāt tasbīh sehingga beliau meletakkannya dalam bab Ṣalāt tasbīh. Akan tetapi, dalam syarh Tirmīzī, al-Irāqī mengatakan bahwa hadīs tersebut hanya membicarakan 91 Muslim al- Naisabūrī, Al-Imām Abī Husaīn Muslim ibn al-Hajjāj al-Qushairi. Shahih Muslim ,, juz I Bayrūt: Dar al- Kutub al-Ilmiyyah, 1992, h. 418. Al-Imām Ahmad ibn Ibn Hanbal,. Al- Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid III Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994, h. 120. tentang tasbīh sesudah Ṣalāt, bukan tentang Ṣalāt tasbīh. Juga karena lafaz-lafaz dalam hadīs tersebut tidak sesuai dengan lafaz-lafaz Ṣalāt tasbīh. 92 Setelah membandingkan redaksi kedua matan hadīs di atas, maka dapat dinyatakan bahwa kandungan keduanya sama, yakni sama-sama berbicara tentang permintaan Ummu Sulaym kepada Rasulullah saw. Untuk diajari kalimat yang dapat ia baca dalam Ṣalāt, kemudian Rasulullah saw menyuruh untuk bertasbīh, bertahmid, dan bertakbir masing-masing sebanyak sepuluh kali baru kemudian mengucapkan doa. Dengan kenyataan tersebut, dengan didukung oleh asbāb wurūd 93 dapat ditegaskan bahwa hadīs Ummu Sulaym berbicara tentang tasbīh sesudah Ṣalāt, bukan tentang Ṣalāt tasbīh. Hal tersebut juga sesuai dengan kebiasaan masyarakat ketika selesai Ṣalāt, yakni duduk bertasbīh baru kemudian dilanjutkan dengan berdoa. Sehingga meskipun hadis yang kedua sahih tetapi tidak dapat mendukung hadis yang pertama. Dengan demikian hadis yang pertama tidak mendapat pendukung. Dengan begitu, hadis tersebut tetap berkualitas daif dan juga tidak memenuhi kaidah kesahihan matan hadis, 92 Al- I ā al-Hāfiz Abā al- Ulā Muha ad Abd al-‘ah ā ib Abd al-‘ahī al- Muba akfū ī, Tuhfat al-Ahwaz bi Sya h Jā i’ al-Ti īzī juz II Bay ūt: Dā al-Fikr, t.th., h. 509. 93 Menurut asb āb wurūdnya, hadis tersebut berbicara tentang tasbih sesudah salat. Lihat Al- Sya īf Ib āhī Muha ad bi Ka āl al-Dī al-Syahī bi Ha zah al-Husayn al-Ha afī al-Di asy ī, Al- Bayā wa al-Ta’ īf fī Asbāb Wu ūd al-Hadīs al-Sya īf, juz I Cet. I; Bay ūt: Al-Maktabah al- Il iyyah, 1982, h. 167. Berdasarkan kajian tersebut di atas, maka dapat ditegaskan bahwa hadis-hadis yang dipahami oleh masyarakat sebagai dalil untuk melaksanakan salat tasbih berkualitas daif, baik dari segi sanad ataupun matannya. Kendati demikian hadis daif tersebut memenuhi syarat dijadikan sebagai fadāil al-a’māl yang cukup berlandaskan hadis daif. Oleh karena itu, Ibn Qudamah berkata bahwa jika ada orang yang melakukannya maka hal tersebut tidak mengapa, karena salat nawāfil dan fadāil al-a’māl tidak disyaratkan harus dengan berlandaskan hadis sahih. 76 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis meneliti otentitas dan kritik hadis tentang salat tasbih, setelah ditelusuri, ternyata data yang diperoleh menunjukkan bahwa hadis- hadis tentang Ṣalāt tasbīh berada pada kitab dan bab yang berbeda dengan yang ditunjukkan di dalam kitab al- Mu’jam al-Mufahras li al-Fāz al-Hadis al- Nabawī berdasarkan klasifikasi riwayat yang ada yang terkait dengan masalah tersebut yaitu terdapat dalam enam riwayat dari tiga mukharrij , yaitu Abū Dāwud, al-Tirmizī dan Ibnu Mājah. Tercantum ada nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadīs tersebut, yakni al-Ansārī, ‘Abdullāh bin ‘Amr, Ibnu ‘Abbās dan Abī Rāfi’. Itu berarti bahwa sanad yang dikritik mendapat dukungan berupa syāhid, begitu pula pada periwayat-periwayat sesudahnya ditemukan dukungan berupa mutt abi’. Adapun Setelah melakukan penelitian sanad penulis berkesimpulan bahwa hadis tentang salat tasbih berkualitas daif demikian pula dengan matannya. Kendati demikian salat tasbīh tersebut memenuhi syarat dapat dijadikan sebagai fadāil al-a’māl karena cukup berlandaskan hadis daif.

B. Saran-Saran

Kedudukan Hadis Nabi Saw. Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al- Qur’an mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Untuk itu penulis menghimbau sebagai berikut : Agar pembaca dapat menindak lanjuti penelitian kualitas sanad dan matan terhadap hadis-hadis yang beredar di masyarakat yang hal itu sudah menjadi amaliyah kaum muslimin. Dengan tujuan memberikan perhatian yang penuh terhadap hadis, agar pengetahuan, pemahaman dan pengamalan hadis di masyarakat dapat tersebar dengan baik. Akhirnya kepada Allah Swt. Penulis berharap agar skripsi ini menjadi titik sumber pengetahuan dan inspirasi yang bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. 78 DAFTAR PUSTAKA Abdul Bāqi, M. Fuad. Mu’jam al-Mufaḥras alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm. Beirut: Dār al Fikr, 1987. Ajaj al-Khathib, Muhammad. Ush ūl al-Hadis. Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007. al- Asqalānī, ibn Hajar. Tahzīb al-Tahzīb.Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994. Bustamin dan Salam Isa. Metodologi Kritik Sanad. Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004. Chumaidy, A. Zarkasyi. Ilmu Jarh wa Ta’dil. Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003. Chumaidy, A. Zarkasyi. Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 1998. al- Dārimī, al-Fadhl ibn Bahram. Sunan al-Darimī. Indonesia: Maktabah wahlan, t.th al- Dimasyqī, Husayn al-Hanafī. Al-Bayān wa al-Ta’rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīs al- Syarīf. Bayrūt: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1982. Fathullah, Ahmad Lutfi. Al- Qur’an Al-Hadi. Jakarta : Pusat Kajian Hadis. Husain al-Munawwar, Said Aqil. Metode Takhrij Hadis. Semarang: Dina Utama, 1994. Ilham, Masturi dan Tamam, Asmu’i. 60 Biografi Ulama Salaf . Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2006. Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. ---------------------, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 2005. ----------------------, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Jakarta: Intimedia dan Insan Cemerlang, t.th. --------------------, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Itr, Nuruddin. Manhāj al-Naqd fī‘Ulūm al-Hadīs. Damaskus: Dār al-Fikr, 1979. al- Jafī, Bukhārī. Sahīh al-Bukhār. Bayrūt: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992.