lebih mengacu pada tolok ukur penelitian matan yang telah dirumuskan oleh ul
ama hadīs. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Shalahuddīn al-Adabī bahwa matan hadīs yang maqbūl diterima sebagai hujjah haruslah: 1 tidak
bertentangan dengan petunjuk al- Qur’an; 2 tidak bertentangan dengan hadīs
yang lebih kuat; 3 tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera, dan sejarah; 4 susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
86
Berikut ini ditelaah kualitas matan hadīs-hadīs tentang Ṣalāt tasbīh seperti yang ditempuh pada kajian kualitas sanad, yakni berdasarkan
klasifikasi hadīs yang ada.
1. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanad
Suatu matan hadis tidak dianggap sahîh apabila sanadnya diragukan. Dari hasil penelitian sanad yang telah dilakukan, bahwa penulis telah mendapati
pada hadis di atas beserta mukharrij-nya telah diriwayatkan dalam keadaan bersambung, akan tetapi ada
periwayat hadīs yang dipermasalahkan kualitasnya. Pujian yang diberikan kepadanya sangat rendah. Sebaliknya celaan yang
dilontarkan terhadap dirinya berperingkat tinggi. Maka cukup kuat alasan untuk memenangkan ketercelaan yang bersangkutan dari pada keterpujiannya.
Sebagaimana Ibnu Shalah dan Jumhur Ushūliyyīn mengatakan bahwa jarh
didahulukan dari ta’dīl. Seandainya jumlah orang yang mena’dilkan lebih banyak
86
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992, h. 128-129.
dari yang menjarah dan orang yang menjarah itu lebih banyak meneliti keadaan rawi maka akan tampak masalah yang tidak diketahui oleh orang yang
mena’dilnya. Sementara orang-orang yang mena’dilnya hanya faktor luar keadaan seseorang. Dengan demikian orang yang memberi jarh mempunyai nilai tambah
bisa dijadikan dasar pendapatnya atas pendapat orang yang mena’dil.
87
Hal ini pula yang terjadi pada penilaian terhadap Mūsa bin ‘Abd al- ‘Azīz. Yakni meskipun lebih banyak jumlah orang mena’dilnya akan tetapi
tingkatan ta’dilnya rendah yakni lā ba’sa bih dan shadūq itupun ditambah dengan kata siu al-hifzi.
Sedangkan pendapat Ibnu Hibbān yang mengatakan siqah tidak dapat dijadikan patokan karena beliau termasuk orang yang tasahul. Sedangkan
jarh terhadap Mūsā bin ‘Abd al-‘Azīz meskipun lebih sedikit daripada orang yang
mena’dilnya, akan tetapi tingkat jarh yang dikemukakannya tinggi yakni munkar al-
hadīs dan ḍa’īf. Maka pendapat yang menjarah lebih didahulukan dari pendapat yang menta’dil. Itu berarti bahwa Mūsā bin ‘Abd al-‘Azīz berkualitas
ḍa’īf. sehingga seluruh sanad hadīs tentang Ṣalāt tasbīh berkualitas ḍa’īf. maka
hal ini dapat mempengaruhi ke-sahîh-an hadis tersebut.
2. Meneliti Matan yang Semakna
Mencermati susunan matan hadīs tersebut sebagaimana telah disajikan pada bab kedua, tampak bahwa dari enam riwayat yang ada ditemukan mengandung
87
Mahmud Ali Fayyad, Manhāj al-Muhaddisīn fī Dhabt al-Sunnah, diterjemahkan oleh A.
Zarkasyi Chumaidy dengan judul Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1998, h. 78.