Keterangan Tambahan Singkatan Salit tasbih dalam perspektif hadis (studi analisis sanad dan matan)

ix DAFTAR ISI AB STRAK …………………………………………………………………... iv KATA P ENGANTAR …….…………………………………………………v PEDOMAN TRANSLI TERASI …………………………………………….vii DAFTA R ISI ………………………………………………………………….ix BAB I: PENDAHUL UAN …………...……………………………………… 1 A. Latar Belakang Masalah ……………………………………….......1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………….……..7 C. Tinjauan Pustaka ……………………………………...…...………8 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...………………………………….10 E. Metodologi Penelitian ……….…………………………………….10 F. Sistematika Penulisan ……………………………………………..12 BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG ṢALᾹT TASBῙH ………………13 A. Pengertian Ṣalāt Tasbīh ………………………………….……..….13 B. Tujuan Ṣalāt Tasbīh ……………………………………………..….17 C. Tata Cara Ṣalāt Tasbīh ………………………………………….….19 BAB III: KAJIAN TERHADAP SANAD DAN MATAN ………………….24 A. Kritik Sanad Hadis….. ……………………………………………..24 B. Kritik Matan Hadis………………… ……………………………....70 BAB IV: PENUTUP ……..…………………..……………...………………...77 A. Kesimpulan …….…………………………………………………..77 B. Saran-saran ...….……………………………………….…………..78 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………… 79 1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

al-Sunnah dalam Islam memiliki kedudukan sebagai penafsir atas al- Qur’an dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi Saw. merupakan perwujudan dari al- Qur’an yang ditafsirkan untuk kebutuhan manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. 1 Oleh karena itu, umat Islam pada masa Nabi Muhammad Saw. al-sah ābaṯ dan pengikut jejaknya, menggunakan hadis sebagai hujjah diikuti dengan mengamalkan isinya dengan penuh semangat, kepatuhan, dan ketulusan. Dalam prakteknya, di samping menjadikan al- Qur’an sebagai hujjah, mereka juga menjadikan hadis sebagai hujjah yang serupa secara seimbang, karena keduanya sama diyakini berasal dari wahyu Allah Swt. Terdapat perbedaan mendasar antara keduanya, yakni kedudukan al- Qur’an bersifat qat’i al-wurūd, 2 sedangkan hadis kebanyakan yang bersifat zhanny al-wur ūd. 3 Juga karena dilihat dari periwayatannya hadis berbeda dengan al- Qur’an. Al-Qur’an diriwayatkan tanpa keterputusan antara sumber pertama dengan sumber berikutnya. Artinya, periwayatan al- Qur’an selalu mutawatir sedangkan hadis tidak demikian, bahkan bila dikalkulasi jumlah hadis yang mutawatir lebih sedikit dibanding keseluruhan hadis yang kebanyakan bersifat 1 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Penerjemah Muhammad al- Baq īr Bandung : Karisma, 1993, h. 17. 2 Qat’i al-wurūd adalah absolute mutlak kebenaran beritanya. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992, h. 4. 3 Zhanni al- wur ūd adalah nisbi atau relatif tidak mutlak tingkat kebenaran beritanya. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.4. ahad. 4 Dalam proses periwayatan tersebut umumnya terjadi periwayatan secara makna, sehingga kemurniannya tidak mendapat jaminan dari Allah Swt. Sifatnya yang tipikal itu tidak menjamin hadis dapat terhindar dari intervensi luar yang sifatnya destruktif, terutama adanya usaha-usaha untuk memalsukannya dalam rentang waktu pengkodifikasian hadis yang cukup lama, sehingga hadis-hadis palsu muncul dengan berbagai motivasi dan kepentingan pribadi dan golongan. 5 Oleh sebab itu hadis tersebut perlu diteliti kembali kemurniannya agar ajaran yang disandarkan kepada Nabi Saw. dapat dipertanggung jawabkan hal ini agar terhindar dari pernyataan Nabi Saw . “Barang siapa yang secara sengaja berbohong atas namaku maka hendaknya ia bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka”. 6 Sebab di dalam tubuh hadis tak terlepas dari permasalahan-permasalahan yang mengakibatkan kualitas hadis menjadi Ṣahīh, hasan, dhaif, dan bahkan maudu’. Pokok permasalahan hadis secara umum adalah menyangkut kualitas hadis, pemahaman hadis sampai pada aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Sentralnya adalah sanad dan matan hadis, keduanya merupakan unsur penting yang saling berkaitan erat menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis. Sehingga kekosongan salah satunya akan berpegaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadis. Selain itu, dalam perjalanan sejarah telah terjadi pemalsuan hadis pada peristiwa pergolakan politik antara kubu Muawiyah bin Abi Sufyan w. 60 H680 M dan kubu Ali bin Abi Thalib memerintah 35-40 H656-661 M. Masing- masing ingin meligitimasi pendapatnya dengan al- Qur’an dan al-Sunnah sampai 4 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. h. 3. 5 Harun Nasution, Teologi Islam Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia Press, 1992, h. 1-10. 6 Shahih Bukhari, Kitab ‘Ilm Bab dosa seorang yang berbohong atas Nabi SAW. Juz I. h. 31