Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Peran Ganda Konflik Peran Ganda

2.1.5 Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Peran Ganda

Faktor pendukung peran ganda ialah adanya dukungan dan pengertian suami atas bekerjanya istri, kedisiplinan diri dalam mengatur waktu dan menyelesaikan pekerjaan, serta keleluasaan mengatur jam dan jadwal kerja jika terpaksa menghadapi konflik ganda. Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor dominan yang mendorong wanita untuk melakukan peran ganda. Sebab keadaan ekonomi yang semakin mendesak mengakibatkan wanita harus turut serta berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi unuk menambah penghasilan keluarga. Selain itu kesempatan kerja juga semakin luas terbuka untuk para wanita. Wanita turut memilih untuk bekerja karena mempunyai kebutuhan relasi sosial yang tinggi dan tempat kerja dapat mencukupi kebutuhan tersebut. Dalam diri mereka tersimpan suatu kebutuhan akan penerimaan sosial akan adanya identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja. Bergaul dengan rekan di kantor lebih menyenangkan daripada di rumah. Faktor berikutnya yang melatarbelakangi peran ganda ialah tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seorang wanita, merupakan faktor penting untuk bekerjanya wanita. Aktualisasi diri juga merupakan salah satu faktor pemicu peran ganda kepuasan, dan keinginan untuk meningkatkan dirinya dapat diraih dengan mejajaki dunia karier, dimana akan diberikan reward berupa peningkatan karier apabila melakukan kinerja yang baik. Dengan berkarya, berkreasi dan mencipta serta mengembangkan ilmu, mendapat penghargaan, penerimaan, dan prestasi merupakan salah satu bagian dari proses penemuan dan pencapaian kepenuhan diri. Kebutuhan akan aktualisasi banyak diambil oleh para wanita di jaman ini terutama dengan makin terbukanya kesempatan yang sama pada wanita untuk meraih jenjang karier yang tinggi.

2.1.6 Konflik Peran Ganda

Konflik peran didefinisikan oleh Brief et al dalam Nimran 1999 adalah adanya ketidakcocokan antara harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran. Secara lebih spesifik, Leigh et al dalam Nimran 1999 menyatakan bahwa konflik peran merupakan hasil dari ketidak konsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya. Menurut Goode dalam Kaltsum 2006, konflik peran ganda adalah kesulitan-kesulitan yang dirasakan dalam menjalankan kewajiban atau tuntutan peran yang berbeda secara bersamaan. Wanita karir dituntut untuk dapat memberikan unjuk kerja performance yang maksimal dalam menyelesaikan tugas-tugasnya baik didalam keluarga, maupun dikantor. Menurut pendapat Bimbaum dalam Hoffman et al 1974 konflik peran ganda disebabkan kegagalan individu dalam mengkombinasikan atau memadukan secara seimbang antara karier dan rumahtangga. Sementara kemampuan untuk mengkombinaskan serta melakukan penyesuaian yang serasi dalam menghadapi konflik peran ganda dipengaruhi oleh sosialisasi seseorang. Sosialisasi merupakan proses dimana seseorang melatih diri untuk peka terhadap tuntutan-tuntutan lingkungannya dan membiasakan diri berprilaku selaras dengan lingkungan sekitarnya.

2.2 Kerangka Pemikiran

Industrialisasi yang semakin maju membutuhkan tenaga kerja yang besar. Kebutuhan akan tenaga kerja ini tidak hanya membutuhkan tenaga kerja pria, namun juga tenaga kerja wanita. Sementara itu masih banyak stereotipe yang memandang bahwa pendidikan lebih diutamakan bagi pria, sementara wanita tidak perlu membutuhkan pendidikan yang tinggi karena pada akhirnya wanita hanya akan bekerja didapur. Anggapan ini muncul dari anggapan masyarakat yang sudah tertanam sejak dahulu. Seiring dengan pesatnya kebutuhan tenaga kerja akibat dari industrialisasi, saat ini wanita juga sudah banyak yang telah mengeyam pendidikan sama dengan pria. Hal ini mengakibatkan semakin luasnya kesempatan kerja bagi seorang wanita, serta semakin banyak pula tenaga kerja wanita yang bekerja produktif di luar rumah. Walaupun saat ini keberadaan wanita dalam dunia kerja sudah diperhitungkan dan kesempatan pendidikan bagi wanita terbuka lebar, namun masih terdapat ideologi gender yang sangat kuat dalam masyarakat. Ideologi ini memandang bahwa seorang wanita yang bekerja juga tidak lepas dari tanggung jawab pekerjaan domestik pekerjaan yang berhubungan dengan anak dan rumahtangga. Ideologi ini mendikotomi kerja secara seksual, yakni pembagian