13
ini dilakukan oleh Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi BPTP Sumatera Utara bersama dengan kelompok tani di Kabupaten Karo
9
. Penelitian mengenai pembibitan kentang juga pernah dilakukan oleh
Bachrein 2004 yang mengkaji keragaan usahatani dan pembibitan kentang di Jawa Barat. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2002 ini membandingkan
usahatani yang dijalankan oleh petani penangkar bibit kentang dan petani kentang konsumsi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa petani penangkar bibit lebih
intensif dalam mengelola usahataninya dibandingkan petani konsumsi, terutama dalam hal penggunaan bibit unggul berkualitas tinggi, pupuk kandang, dan pupuk
anorganik. Namun demikian, hasil yang diperoleh petani penangkar tersebut belum optimal karena persentase hasil umbi kentang yang lolos seleksi untuk bibit
masih tergolong rendah 52,8 persen. Hal tersebut berdampak pada penggunaan bibit kentang bermutu di tingkat petani yang secara umum masih tergolong
rendah. Rendahnya penggunaan bibit kentang bermutu di tingkat petani disebabkan oleh keterbatasan jumlah bibit kentang yang bermutu atau
bersertifikat, keterbatasan modal yang dimiliki petani, dan tingginya harga bibit impor. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan pengelolaan usahatani di tingkat
petani penangkar agar dapat menghasilkan bibit kentang secara optimal.
2.2. Pemasaran Kentang
Sejumlah kajian empiris mengenai pemasaran kentang telah banyak dilakukan. Namun, pemasaran kentang yang lebih banyak disoroti yaitu
pemasaran di tingkat pedagang dan konsumen. Sementara itu, pemasaran kentang di tingkat petani belum banyak menjadi sorotan. Teknologi Industri Pertanian IPB
bekerja sama dengan Canadian Cooperative Association 19981999 melakukan penelitian mengenai kajian pasar kentang. Penelitian ini membahas tentang
pemasaran kentang di pulau Jawa Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jakarta dengan beberapa responden, yang meliputi pedagang dan konsumen di
berbagai jenis pasar pasar induk, pasar tradisional lokal, dan pasar swalayan, industri pengolah kentang, serta petani-petani kentang di pusat-pusat produksi di
9
http:bbp2tp.litbang.deptan.go.id [6 Maret 2011]
14
Jawa. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa kentang yang memiliki harga jual tinggi yaitu kentang yang memiliki atribut seperti berukuran besar, dagingnya
berwarna kuning, bulat, bersih, keras, mulus, cerah, dan tidak basah. Kentang yang memiliki atribut demikian umumnya dihasilkan dari varietas Granola.
Petani kentang di pulau Jawa memiliki produktivitas rata-rata 10-25 tonha Besarnya produktivitas ini tergantung dari lokasi budidaya. Varietas kentang yang
banyak ditanam petani yaitu Granola. Sementara itu, varietas lain seperti Atlantic,
Cipanas, Agriya, Herta, Aquila, Ritek, Lamping, Kennebec, Grata, dan Marita,
tidak banyak ditanam petani. Permasalahan yang dihadapi para petani kentang di Indonesia di antaranya: penyakit pada tanaman kentang, harga pupuk dan
pestisida yang tinggi, perubahan iklim yang tidak menentu, kesulitan transportasi, dan kesulitan mendapatkan tambahan modal kerja. Sementara itu, permasalahan
yang dihadapi sebagian besar para pedagang kentang, yaitu: kesulitan mendapatkan kentang yang berkualitas baik seperti kentang dari Dieng, harga beli
yang tinggi, ulah pedagang besar yang mempermainkan harga, serta kentang yang membusuk.
Penelitian terdahulu mengenai pemasaran kentang juga pernah dilakukan oleh Adiyoga et al. 2006 yang bertujuan untuk mengkaji integrasi pasar kentang
di beberapa kota besar pusat konsumsi Bandung, Jakarta, Medan dan Singapura. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu pendekatan
korelasi statik dan kointegrasi antarharga. Pendekatan korelasi statik digunakan untuk melihat keeratan hubungan antarvariabel yang dianalisis, sedangkan
pendekatan kointegrasi dilakukan untuk melihat hubungan jangka panjang antara peubah-peubah ekonomi harga. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa
koefisien korelasi bukan merupakan indikator yang konsisten atau tegas untuk menentukan integrasi pasar. Namun, dari hasil analisis kointegrasi dapat
diindikasikan bahwa pasar kentang yang ada di Jakarta, Bandung, Sumatera Utara, dan Singapura terintegrasi.
Sementara itu, Bachrein 2004 mengkaji tentang pemasaran bibit kentang di Jawa Barat. Rantai pemasaran bibit kentang di Jawa Barat dimulai dari petani
produsen yang menjual hasil panen umbi yang lolos seleksi secara langsung kepada petani dan pedagang besar. Namun, ada pula petani produsen yang
15
memasarkan bibit kentangnya kepada pedagangkonsumen lokal, pedagang pengumpul, maupun melalui paguyuban yang selanjutnya dijual ke pedagang
besar. Distribusi bibit kentang yang berasal dari lokasi penelitian, yakni Kecamatan Pangalengan, sebagian besar disalurkan untuk memenuhi kebutuhan
bibit di Jawa Barat dan sebagian lagi dijual ke provinsi lain, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, dan Sulawesi.
2.3. Kajian Empiris Efisiensi Teknis Usahatani