57
Menurut Siregar 2008, umumnya pengembangan sektor pertanian di daerah ditujuka n antara lain: untuk peningkatan kemampuan daerah dalam
penyediaan pasokan atau cadangan pangan dan hasil- hasil pertanian lainnya; peningkatan daya beli dan akses masyarakat terhadap pangan serta peningkatan
pendapatan terutama dari kelompok rumah tangga tani. Keberhasilan pembangunan tersebut diharapka n akan mempengaruhi jumlah permintaan akhir,
yang kemudian akan membawa pada perubahan terhadap keseluruhan perekonomin daerah Siregar, 2008.
2.6 Tinjauan Studi Te rdahulu
Zhai et al. 2009 menganalisis mengenai dampak potensial perubahan iklim global jangka panjang terhadap produksi sektor pertanian dan perdagangan RRC
menggunakan model Computable General Equillibrium CGE. Hasil penelitian dengan menggunakan sekenario baseline menunjukkan bahwa perubahan iklim
akan mengakibatkan penurunan PDB sebesar 1.3 persen dan mengakibatkan welfare loss equivalent
sebesar 1.1 persen pada tahun 2080 untuk RRC. Pada tataran global, dampak perubahan iklim diproyeksikan menurunka n PDB riil
dunia sebesar 1.4 persen dan mengakibatkan penurunan welfare sebesar 1.3 persen.
Pada tahun 2080, Zhai et al. 2009 memprediksikan bahwa produksi tanaman pangan global turun sebesar 7.4 persen dika renaka n negara- negara
berkembang mengalami dampak perubahan iklim yang lebih parah dibandingkan dengan negara-negara maju. Seba gai ko nsekuensi dari meningka tnya biaya input,
sektor hilir tanaman pangan seperti livestock dan makanan olahan juga mengalami penurunan produksi global, masing- masing sebesar 5.9 persen dan 4.6 p ersen.
58
Meskipun kerugian produktivitas tanaman pangan RRC akibat perubahan iklim cukup besar yaitu 7.2 persen, namun penurunan produksi tanaman pangan
relatif kecil. Output tanaman pangan RRC kecuali gandum, mengalami penurunan antara 0.2 hingga 0.5 persen pada tahun 2080. Sementara itu, output gandum
mengalami peningkatan sebesar 4.2 persen relatif terhadap baseline. Dikarenakan penuruna n produktivitas RRC akibat perubahan iklim masa datang yang lebih
rendah daripada rata-rata dunia, maka harga tanaman pangan di tingkat produsen akan turun dibandingkan harga tanaman pangan dunia, sehingga menyebabkan
peningkatan ekspor dan penurunan impor di sektor tanaman pangan RRC. Dalam hal ini, ekpor beras RRC diproyeksikan meningkat 46.8 persen, gandum
meningkat 126.7 persen, biji-bijian lainnya meningkat 63.7 persen, dan tanaman pangan lainnya meningkat 110.4 persen. Sementara itu, impor beras RRC
diproyeksikan mengalami penurunan 43.1 persen, gandum menurun 17.6 persen, biji-bijian lainnya menurun 14.9 persen, dan tanaman pangan lainnya menurun
30.1 persen. Secara umum disimpulkan bahwa, sektor makanan olahan RRC diprediksikan mengalami kerugian yang paling besar dari perubahan produktivitas
sektor pertanian akibat perubahan iklim global, sedangkan beberapa sektor tanaman pangan seperti gandum di RRC mengalami perkembangan positif
karena peningkatan permintaan dari wilayah lain di dunia. Darwin et al. 1995 melakukan evaluasi dampak perubahan iklim global
terhadap pertanian dunia dengan suatu model yang menghubungkan antara kondisi iklim terhadap kondisi tanah, sumber daya air, produksi, perdagangan, dan
konsumsi 13 komoditi di seluruh dunia. Skenario perubahan iklim yang digunakan didasarkan pada model meteorologi pada Goddard Institute for Space
59
Studies, Geophisical Fuid Dynamic Laboratory, United Kingdom Meteorological Office
da n Oregon State University dengan rentang peruba han temperatur global rata-rata 2.8-5.2°C dan perubahan curah hujan sebesar 7.8-15.0 persen.
Hasil penelitannya menyimpulkan beberapa temuan sebagai berikut: Pertama, perubahan temperatur dan pola curah hujan untuk 100 tahun ke depan
tidak mengancam produksi makanan di dunia secara keseluruhan. Meskipun produksi dunia untuk tanaman bukan biji-bijian cenderung menurun 0.2-1.3
persen, namun produksi gandum cenderung meningkat 0.5-3.3 persen demikian juga produksi livestock 0.7-0.9 persen. Produksi dunia untuk kelompok makanan
olahan juga mengalami peningkatan sebesar 0.2-0.4 persen. Kedua, adaptasi petani merupakan mekanisme utama untuk menjaga agar
produksi makanan dunia tetap meningkat di tengah prediksi perubahan iklim global. Dengan pemilihan kombinasi input dan output yang paling
menguntungkan atas lahan pertanian yang tersedia, petani dapat memperoleh keuntungan sebesar 79 hingga 88 persen atas 19-30 persen pengurangan suplai
sereal dunia secara langsung akibat perubahan iklim. Dengan menyesuaikan terhadap pasar domestik dan perdagangan internasional lahan pertanian
diasumsikan tetap akan mengurangi 97 persen dampak negatif perubahan iklim. Petani juga dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan meningka tka n luas
lahan pertanian 7.1-14.8 persen yang akan meningkatkan produksi sereal dunia sebesar 0.2-1.2 persen.
Ketiga, biaya dan manfaat atas perubahan iklim global tidak berdampak secara merata di seluruh dunia. Semakin hangatnya temperatur di daerah kutub
dan pegunungan akan meningkatkan kualitas tanah yang sesuai untuk pertanian
60
dan kehutannan, sebaliknya semakin tinggi temperatur di daerah tropis akan mengurangi kelembaban tanah sehingga menurunkan produktivitas pertanian dan
kehutanan. Selain itu, PDB di wilayah dengan garis lintang yang tinggi misalkan Kanada cenderung akan meningkat akibat perubahan iklim, sedangkan PDB di
daerah tropis cenderung menurun. Keempat, perubahan iklim cenderung mempengaruhi seluruh struktur
pertanian dan makanan olahan di Amerika Serikat. Tanah yang cocok digunakan untuk pertanian dan kehutanan cenderung meningkat, namun kelembaban tanah
berkurang yang berpotensi mengurangi produksi pertanian di Corn Belt dan Southeast
. Petani akan beradaptasi dengan meningkatkan produksi gandum dan mengurangi produksi biji-bijian lainnya, terutama jagung. Sebagai hasil dari
berkurangnya bahan makanan, produksi livestock juga mengalami pe nurunan. Produksi komoditi makanan olahan secara umum mengalami penurunan.
Kelima, PDB dunia dimungkinkan mengalami penurunan jika perubahan iklim cukup signifikan atau perluasan lahan pertanian tidak bisa dilakukan.
Berdasarkan skenario perubahan iklim, dampak tahunan neto terhadap PDB dunia berkisar antara -0.1 hingga 0.1 persen. Output dunia untuk makanan olahan juga
mengalami penurunan 0.002 hingga 0.58 persen. Hasil ini mengindikasikan bahwa temperatur dan pola hujan yang baru akibat perubahan iklim cenderung
mengurangi rata-rata produktivitas pertanian dengan asumsi lahan pertanian dunia tidak berubah.
Keenam, perubahan penggunaan tanah akibat perubahan iklim menyebabkan pergeseran lahan pertanian dan padang rumput permanen, sehingga
akan meningkatkan isu sosial dan lingkungan. Walaupun terdapat peningkatan
61
neto pada lahan pertanian di dunia secara keseluruhan, namun sebesar 4.2-10.5 persen lahan pertanian yang ada diuba h unt uk keperlua n lain di bawah skenario
perubahan iklim. Selain itu, lahan hutan cenderung menur un di bawah perubahan iklim globa l 3.6-9.1 persen, neto. Hal ini dapat menyebabkan konflik
konsekuensi lingkungan atas lahan pertanian di beberapa wilayah. Di wilayah tropis, kompetisi dari produksi tanaman pangan dapat memperburuk dampak
langsung perubahan iklim terhadap hutan hujan tropis. Ketuj uh, walaupun suplai air cenderung meningkat di dunia secara
keseluruhan seiring dengan perubahan iklim, kekurangan dapat terjadi di beberapa wilayah. Berdasarkan simulasi, supplai air dunia meningkat 6.4-12.4 persen. Di
Jepang, perubahan supplai air berkisar antara -9,4 hingga 10,2 persen, namun harga air di Jepang meningkat lebih dari 75 persen.
Deressa dan Hassan 2009 melakukan studi menggunakan model Ricardian untuk menangkap adaptasi yang dilakukan petani terhadap keberagaman faktor
lingkungan untuk menganalisa dampak perubahan iklim terhadap tanaman pertanian pangan di Ethiopia. Pendekatan Ricardian mengestimasi pentingnya
iklim dan variabel lainnya terhadap kapitalisasi nilai lahan pertanian. Penerimaan neto per hektar diregress terhadap variabel iklim dan variabel bebas lainnya.
Variabel iklim yang digunakan meliputi temperatur linier dan kuadratik serta curah hujan untuk empat musim: dingin, panas, semi, dan gugur. Selain itu,
variabel bebas lainnya yang digunakan meliputi atribut rumah tangga dan tipe tanah. Variabel rumah tangga dalam model yaitu kepemilikan hewan ternak
livestock, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, jarak terhadap pasar input, dan ukuran rumah tangga. Tipe tanah yang dimasukkan dalam model adalah
62
nitosols da n lithosols. Hasil regresi mengindikasikan bahwa mayoritas variabel
iklim, rumah tangga, dan tanah memiliki dampak signifikan terhadap penerimaan neto per hektar. Koefisien temperatur musim semi dan musim panas menunjukkan
tanda negatif, sedangkan temperatur musim dingin dan gugur memiliki koefisien positif. Koefisien curah hujan musim dingin dan musim gugur bertanda negatif
sedangkan curah hujan musim semi dan musim panas bertanda pos itif. Seperti yang diharapkan pula, tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan
kepemilikan hewan ternak berpengaruh positif terhadap penerimaan neto per hektar. Jarak terhadap lokasi pasar input berdampak negatif dikarenakan petani
mengeluarkan banyak biaya, dari segi uang maupun waktu. Ukuran rumah tangga juga berpengaruh negatif terhadap penerimaan neto per hektar dikarenakan
banyaknya orang yang menjadi tanggungan dan tidak produktif di wilayah pedasaan di Ethiopia.
Analisis juga dilakukan untuk melihat dampak perubahan temperatur dan curah hujan pada pertanian di Ethiopia. Hasil analisis Deressa dan Hassan 2009
menunjukkan bahwa peningkatan temperatur selama musim dingin dan musim panas secara signifikan mengurangi penerimaan neto per hektar, masing- masing
sebesar US 997.85 dan US 1 277.28. Peningkatan temperatur selama musim semi dan musim gugur akan meningkatkan penerimaan neto per hektar sebesar
US 375.83 dan US 1 887.69. Peningkatan temperatur tahunan mengurangi penerimaan neto per hektar sebesar US 21.61 meskipun pada tingkat yang tidak
signifikan. Peningkatan curah hujan tahunan secara marginal mengurangi penerimaan neto per hektar sebesar US 322.75.
63
Prediksi menggunakan mode l iklim SRES juga dilakuka n pada studi Deressa dan Hassan 2009 untuk melihat dampak perubahan iklim terhadap
penerimaan neto per hektar petani Ethiopia pada tahun 2050 dan 2100. Hasil analisis mengindikasikan bahwa perubahan iklim mengurangi penerimaan neto
per hektar pada tahun 2050 dan 2100 dengan pengurangan terbesar terjadi pada tahun 2100 untuk semua skenario.
Surmaini. et al. 2008 yang meneliti mengenai dampak perubahan iklim terhadap produksi padi di tiga daerah dengan ketinggian berbeda yaitu daerah
dataran tinggi di Jawa Barat, daerah dataran sedang di Jawa Timur dan dataran rendah di Jawa Tengah menemukan bahwa di dataran rendah kenaikan suhu
sampa i 2
2.7. Kebaruan Novelty