Produksi dan Perdaga nga n Komoditi Pertanian di Pasar Global

49

2.4 Produksi dan Perdaga nga n Komoditi Pertanian di Pasar Global

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh organisasi PBB untuk Pangan dan Pertanian FAO, kecenderungan perdagangan pangan internasional tahun 2015- 2030 menunjukkan bhawa negara berkembang akan berubah dari pengekspor komoditi pangan menjadi negara pengimpor komoditi pangan. Akibatnya devisa negara-negara kurang berke mbang dan negara berkembang akan tersedot dalam jumlah besar hanya untuk impor pangan mencapai 4-5 persen dari produk domestik bruto Gatra, 24- 30 Januari 2008. Masalah pangan global diperkirakan akan semakin rumit akibat adanya dua kepentingan yang saling berebut untuk mendapatkan pasokan pangan yaitu di satu sisi terjadinya penurunan produksi pangan akibat perubahan iklim global, sementara di sisi lainnya adalah adanya konversi bahan pangan ke energi karena dipicu oleh semakin tingginya harga bahan bakar fosil atau minya bumi. Kelangkaan pangan juga dipicu oleh meningkatnya permintaan akibat adanya kepanikan negara berpenduduk besar untuk membeli stok pangan dunia karena kekhawatiran stok pangan domestik tidak mencukupi permintaan dalam negeri Sawit, 2008. Berdasarkan data FAO 2010, produksi gandum Amerika Serikat AS, Australia, Kanada dan Rusia menurun dari 622 juta ton tahun 2005 menjadi 593 juta ton pada tahun 2007 yang me micu ke naikan harga dari US 4.52 per bushel pada 2006 menjadi US 9.93 per bushel tahun 2007. Fenomena persaingan kebutuhan pangan antara manusia, ternak dan energi akan terus berlanjut di masa yang akan datang Kompas, 2008. 50 Sementara itu, Sawit 2008 mengemukakan bahwa kelangkaan pangan di Indonesia juga di perparah oleh faktor internal antara lain adanya konversi lahan pertanian yang terus meningkat dari 110 ribu ha tahun 2002 menjadi 145 ribu ha pada tahun 2006. Hal ini dipicu oleh menurunnya produkt ivitas sektor pertanian yang pada tahun 1997 sebesar Rp 1.7 juta sedangkan sektor industri mencapai Rp 9.5 juta 1 : 5,58 sedangkan kondisi pada tahun 2005 adalah sebesar Rp 6,1 juta untuk sektor pertanian dan Rp 41.1 juta untuk sektor industri 1:6.73. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi semakin tidak menarik. Pada awal Juni 2008, di markas besar WTO ada sekitar 237 orang yang berasal dari 55 negara mewakili NGO terkemuka, seperti Action Aid, Oxfam; Sarikat Perdagangan Trade Union; Organisasi Petani dan Organisasi Kemasyarakatan menyampaikan berbagai pernyataan dan keprihatinan Sawit, 2008. Mereka menyuarakan kekhawatiranya karena perang dagang ini ternyata belum mengarah ke penyelesaian masalah krisis pangan global, tetapi masih saja terperangkap untuk terus memperdalam liberalisasi perdagangan Sawit, 2008. Mereka juga prihatin atas harga pangan yang terus bergejolak, meningkatnya ketergantungan impor pangan negara berkembang, dan semakin menguatkan peran Multinational Corporations MNCs da lam pasar agribisnis pangan dan pertanian TWN, 2008b. Berdasarkan data WTO 2005 di tingkat global, peran produk pertanian dibandingkan dengan total barang merchandise yang diperdagangkan adalah relatif kecil. Barang yang dominan adalah produk manufaktur dan bahan bakar minyakhasil tambang. Pada 2004 misalnya, produk pertanian mengambil peran hampir 9 persen. Namun apabila dilihat dalam produk pertanian global itu sendiri, 51 pangan mengambil peran yang dominan yaitu sekitar 80 persen belum termasuk produk perikanan WTO, 2005. Walaupun peran pangan atau produk pertanian adalah kecil, namun perannya besar buat negara berkembang. Itu tidak hanya menyangkut ekspor untuk memperoleh devisa yang sangat diperlukan untuk pembangunan, tetapi juga keterlibatan banyak petani peternak kecil serta miskin dan menggantungkan hidup dari sektor itu Sawit, 2008. Sawit 2008, lebih lanjut mengemukakan bahwa sebagian besar penduduk di negara berkembang mengantungkan harapan pada subsektor itu agar dapat mendorong pembangunan desa, mengatasi kemiskinan dan kelaparan, serta sebagai filter terhadap urbanisasi. Penelitian di tingkat globa l dan dalam negeri menyimpulkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian dan pangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengurangan penduduk miskin dan untuk mengatasi kerawanan pangan food insecurity Sawit, 2008. Data FAO 2010 juga menunjukkan bahwa konsentrasi produksi pangan dan perdagangan pangan berada di negara maju, buka n di negara berkembang. Hasil penelitian Sawit 2007a memperlihatkan bahwa dalam dua dasa warsa terakhir, terungkap bahwa trend produksi pangan semakin mengerucut ke sejumlah kecil negara maju yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Selandia Baru dan Kanada. Hasil studi tersebut lebih lanjut menunjukka n bahwa Amerika Serikat menghasilkan pangan terutama jagung, minyak kedelai, gandum, daging unggas, beras, kedelai, buah dan sayur, daging sapi, susu bubuk skim, dan keju. Uni Eropa memproduksi buah dan sayur, jagung, gula, gandum, daging sapi, daging unggas, susu bubuk skim, mentega, dan keju. Selandia Baru menghasilkan daging sapi, susu bubuk skim, mentega dan keju. Australia manghasilkan jagung, 52 gula, gandum, daging sapi, susu bubuk skim, mentega dan keju. Kanada memproduksi mentega, daging sapi, buah dan sayur, minyak kedelai, gandum dan jagung. Sawit 2008 menemukan bahwa AS mensubsidi paling tinggi terhadap 4 dari 20 komoditi pangannonpangan penting yaitu: beras, jagung, kedelai, dan gandum. Subsidi itu cenderung meningkat dari periode sebelum ke periode setelah Perjanjian Pertanian disepakati akhir 2004, itu sesuai dengan UU Usahatani Farm Bill Sawit, 2008. IATP Institute for Agruculture ond Trade Policy 2007 menyebutkan bahwa hal tersebut telah menyebabkan tingkat dumping kedelai meningkat dari rata-rata 2 persentahun pre-1996 Farm Bill menjadi 11.8 persen post-1996 Farm Bill. Hal yang sama untuk beras, dari 13.5 persen menjadi 19.2 persen; jagung dari 6.8 persen menjadi 19.2 persen. Hal ini berarti bahwa semakin rendah harga pangan tersebut di pasar dunia, berarti semakin tinggi tingkat subsidi yang diberikan ke petani mereka, atau sebaliknya kalau harga pangan tinggi. Sawit 2008 mengemukakan bahwa implikasi dari kebijakan negara produsen pangan di atas, atau perubahan kebijakan pangan negara maju, akan besar pengaruhnya terhadap negara berkembang, termasuk Indo nesia. Setidak- tidaknya melalui 3 cara, yaitu: 1 pada saat subsidi besar- besaran itu dilakukan, harga pangan di pasar dunia menjadi rendah. Harga pangan rendah itu bukanlah gambaran efisiensi. Persaingan menjadi tidak fair. Itu telah berpengaruh negatif buat petani di negara berkembang, baik petani di negara impor netto, maupun petani di negara ekspor netto, sehingga sama-sama sulit bersaing secara fair; 2 pada saat kebijakan pangan mereka berubah, misalnya pengalihan ke subsidi bio- fuel seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir, maka itu akan berdampak negatif 53 buat ko nsumen di negara berkembang impor netto pangan, seperti Indonesia. Harga pangan menjadi mahal dan inflasi akan meningkat; dan 3 bila terjadi serangan hama dan penyakit, serta bencana alam, maka dampaknya adalah meluas, ke seluruh dunia dan global. Negara impor netto tentu akan kesulitan dalam akses pangan dan keterbatasan devisa. Sawit 2008 lebih lanjut mengemukakan bahwa konsentrasi perdagangan juga terlihat dari peran Multinational Corporations MNCs, yang menguasai industri hulu seperti industri benihpupukpestisida dan hilir seperti pengolahanpengepakanstandarisasi. Oleh karena itu, mereka semakin perkasa dan bertambah kuat, sehingga dapat mengatur suplai dan harga produk pangan, sesuai dengan kepentingannya. Braun 2008a dari hasil penelitian International Food Policy Research Institute IFPRI memperkiraka n 6.5 milyar konsumen global dilayani oleh berbagai pemasok suplier, tersebar ke Afrika, Asia, Amerika, dan benua lainnya. Pasar swalayan telah dilayani oleh para pedagang dan industri pengolahan. Industri ini juga disuplai oleh sektor usahatani. Sedangkan sektor usahatani juga menerima input dari industri pupuk, industri kimia, industri benih, dan industri input lainnya Braun, 2008a . Dalam sistem itu, mereka telah menjadi konglomerat baru sebagian kongklomerat lama, yang kekuatan power dan pengaruh leverage-nya secara global, termasuk ke Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan hasil studi tersebut, diketahui bahwa antara tahun 2004 dan 2006 dilaporkan bahwa: 1 10 penjual pangan retail menguasai lebih dari 40 persen, 2 tingkat penjualan dari 10 pengolah pangan dan industri input tumbuh masing-masing sebesar 13 persen dan 10 persen. 54 Sawit 2008 mengemukakan bahwa di Indonesia konsumen akan berhadapan dengan pengecer pangan global yang telah merambah ke berbagai kota lain di Jawa dan Luar Jawa seperti Carrefour. Namun demikian, belum ada hasil penelitian secra menyeluruh mengenai dampak berkembangnya pengecer global tersebut terhadap keberadaan pasar traditional di Indonesia. Di Bangkok dalam sebuah koran disebutkan bahwa sepertiga jumlah retail lokal telah menutup usahanya dalam beberapa tahun terakhir, karena tidak mampu bersaing dengan retail raksasa seperti Wal- Mart Sawit, 2008. Reardon dan Gulati 2008 dari IFPRI melaporkan ba hwa revolusi supermarket bermata dua. Satu sisi dapat mempermurah harga pangan buat konsumen dan menciptakan peluang buat petani dan pengolah pangan. Namun disisi lain, dapat pula mengancam pengecer kecil, petani, dan pengolah pangan yang tidak mampu menghadapi pesaing baru, sebagian diantaranya raksasa, mereka akan sulit memenuhi sejumlah persyaratan pasar swalayan. Berdasarkan Reardon dan Gulati 2008 dikemukakan bahwa supermarket di negara berkembang Afrika, Asia dan Amerika Latin berkembang dalam 4 gelombang, yang pertumbuhannya lebih pesat daripada pertumbuhan Produk Domestik Bruto PDB di negara berkembang itu sendiri.

2.5 Peranan Sektor Pertanian Terhadap Produk Domestik Bruto Nasional Indonesia